Dia lalu kembali ke tempat tadi, melihat betapa orang ke tiga dari Tibet Sam Sinto sudah siuman dan kini bangkit sambil mengeluh. Melihat Pendekar Bangkok datang kembali, dia terkejut, meloncat akan tetapi roboh lagi sambil mengerang kesakitan. Wajahnya nampak ketakutan dan orang tinggi besar itu segera menjatuhkan diri, berlutut menghadapi Pendekar Bongkok.
“Taihiap (pendekar besar), ampunilah aku....”
Wajahnya nampak ketakutan dan orang tinggi besar itu segera menjatuhkan diri berlutut menghadap Pendekar Bangkok.
Pendekar Bongkok adalah orang yang berhati lembut. Dia tidak pernah membenci orang, betapapun jahatnya orang itu. Yang ditentangnya adalah perbuatan jahat, bukan orangnya. Dia tahu, dari gemblengan yang didapatnya dari Pek-sim Sian-su, bahwa orang yang melakukan perbuatan jahat adalah orang yang sedang sakit batinnya. Yang mendorongnya melakukan perbuatan jahat adalah batinnya yang sakit itu. Kalau batinnya sembuh tentu dia tidak akan melakukan perbuatan jahat. Maka, melihat betapa seorang diantara Tibet Sam Sinto itu minta ampun, dia mengangguk.
“Siapa namamu?”
“Namaku Coa Kiu, taihiap. Mereka ini adalah kakakku dan adikku, dan ijinkanlah aku membawa mayat mereka agar dapat kukuburkan dengan pantas.”
“Nanti dulu, aku ingin bertanya. Dimana adanya gadis-gadis yang diculik itu dan mengapa mereka diculik?”
“Itu adalah kehendak Thai-yang Suhu yang sedang mengumpulkan lima belas orang gadis untuk dijadikan pelayan di Pek-lian-kauw. Kami hanya membantunya. Gadis-gadis itu dalam keadaan selamat, berada di rumah itu. Mereka tidak diganggu karena memang hendak diangkut dan diserahkan kepada ketua Pek-lian-kauw.”
Pendekar Bongkok mengangguk, hatinya merasa lega. Orang ini jelas tidak berani berbohong.
“Satu pertanyaan lagi. Engkau memakai julukan Tibet Sam Sinto, tentu merupakan tokoh Tibet. Aku ingin sekali tahu tentang mereka yang disebut Tibet Ngo-houw (Lima Harimau Tibet), yaitu lima orang pendeta Lama dari Tibet. Di manakah mereka sekarang dan apa kedudukan mereka?”
Mendengar disebutnya Lima Harimau Tibet, Coa Kiu terkejut dan kelihatan ketakutan.
“Tidak, taihiap.... aku tidak mempunyai hubungan dengan mereka. Sama sekali tidak mempunyai hubungan....!”
Pendekar Bongkok mengerutkan alisnya. Sikap itu sungguh menarik sekali.
“Aku tidak menuduhmu memiliki hubungan, hanya ingin mendapat keterangan darimu tentang diri mereka.”
Barulah Coa Kiu kelihatan lega.
“Mereka adalah tokoh-tokoh paling ditakuti di Tibet, dan kini mereka menjadi pendukung-pendukung utama dari Kim Sim Lama, pendeta tingkat tinggi yang memberontak karena hendak merampas kedudukan Dalai Lama.”
“Pemberontak? Ah, dimana kini mereka itu?”
“Di sekitar telaga Yam-so di sebelah selatan Lasha. Lima Harimau Tibet menjadi pendukung dan bahkan lima orang tokoh itulah yang sebenarnya menjadi pelopor karena tanpa adanya mereka, tentu Kim Sim Lama tidak mampu berbuat sesuatu.”
Pendekar Bongkok mengangguk-angguk. Pada saat itu, para penduduk dusun sudah semakin dekat dan Coa Kiu nampak gelisah. Maka dia lalu menyuruh orang itu membawa jenazah dua orang saudaranya dan melarikan diri ke jurusan lain. Coa Kiu mengucapkan terima kasih dan memanggul jenazah kakaknya dan adiknya, pergi dari situ sambil terhuyung.
Pendekar Bongkok tidak menanti datangnya orang-orang dusun, melainkan cepat dia lari ke arah rumah yang menjadi tempat tinggal Thai-yang Suhu dan teman-temannya. Sembilan orang gadis yang berada dalam ruangan di rumah itu, terkejut ketika daun pintu dirobohkan orang dari luar. Mereka bergerombol saling peluk dengan ketakutan, semua mata memandang ke arah pemuda bongkok yang berdiri di ambang pintu.
“Ampunkan kami.... jangan.... jangan ganggu kami....!” kata seorang diantara mereka.
Melihat betapa semua gadis yang berada di ruangan itu masih amat muda dan cantik-cantik, kini wajah yang manis-manis itu nampak pucat, mata mereka terbelalak seperti sekelompok kelinci yang ketakutan melihat seekor harimau, Pendekar Bongkok tersenyum pahit, teringat akan bongkoknya dan dia maklum bahwa tentu mereka mengira bahwa dia seorang jahat!
“Tenanglah, nona-nona. Aku tidak berniat jahat. Aku datang untuk membebaskan kalian. Para penjahat itu telah kuusir pergi dan keluarga kalian kini sedang menuju ke sini.”
Namun, para gadis remaja itu masih belum percaya dan mereka masih memandang kepada pemuda berpunuk itu dengan curiga. Pada saat itu, orang-orang dusun sudah tiba di situ. Mereka menyerbu ke dalam rumah dan dipimpin oleh Gumo Cali, mereka tiba di ruangan yang daun pintunya sudah dijebol Sie Liong dan mereka melihat Sie Liong masih berdiri di ambang pintu dan para gadis itu memandang ketakutan.
“Ayah....!”
Teriakan ini bukan hanya keluar dari mulut dua orang gadis puteri Gumo Cali, akan tetapi juga dari para gadis lain.
Ternyata para ayah gadis-gadis yang diculik itu ikut pula dalam rombongan para penyerbu. Terjadilah pertemuan yang mengharukan dan para gadis itu dihujani pertanyaan oleh ayah mereka. Diam-diam Pendekar Bongkok merasa lega dan gembira mendengar keterangan mereka bahwa benar seperti yang diceritakan Coa Kiu, mereka itu sama sekali tidak diganggu, bahkan diperlakukan dengan baik.
“Semua ini karena jasa Pendekar Bongkok! Taihiap, terimalah terima kasih kami!”
Gumo Cali menjatuhkan diri berlutut menghadap Pendekar Bongkok, diturut oleh semua orang. Para gadis yang tadinya merasa ketakutan itu kini baru sadar bahwa pemuda bongkok itu memang benar menjadi penolong mereka. Maka merekapun ikut berlutut di samping ayah masing-masing.
Seorang diantara para gadis itu, menjatuhkan diri berlutut paling dekat di depan Pendekar Bongkok dan ia menangis sesenggukan. Tadipun Sie Liong melihat bahwa berbeda dengan para gadis lain, tidak ada seorangpun yang memeluk gadis ini.
Tadinya dia mengira bahwa tentu ayah gadis yang satu ini tidak ikut. Ia seorang gadis yang bertubuh sedang, berkulit agak gelap namun wajahnya manis sekali, dengan mata yang lebar dan bening. Pakaiannya sederhana, bahkan ia tidak memakai perhiasan seperti para gadis lainnya. Usianya kurang lebih delapan belas tahun dan tubuhnya sudah mulai padat ramping, bagaikan setangkai bunga yang mulai mekar.
“Nona, engkau kenapakah?” tanya Sie Liong, dan kepada semua orang dia berkata, “Harap kalian suka berdiri, tidak perlu memberi hormat berlebihan seperti itu!”
Gumo Cali bangkit dan yang lain ikut berdiri. Gadis itu masih tetap berlutut di depan Sie Liong. Dia segera meayentuh pundaknya dengan lembut.
“Nona, bangkitlah, tidak perlu berlutut dan mengapa engkau menangis? Bukankah seharuanya engkau bergembira karena sudah terbebas dari cengkeraman penjahat?” Lalu dia merasa curiga kalau-kalau gadis ini mengalami nasib yang buruk di tangan para penjahat. “Nona, apakah para penjahat itu mengganggumu?”
Gadis itu menggeleng kepalanya, akan tetapi masih terisak. Akhirnya, dengan suara bercampur tangis, ia berkata,
“Aku.... aku tidak mau pulang.... ke rumah mereka....”
“Kenapa, nona? Dimana rumahmu?” tanya Sie Liong.
Seorang diantara para penduduk dusun itu, seorang laki-laki setengah tua, lalu mendekat dan berkata,
“Ling Ling, kenapa engkau tidak mau pulang?” Gadis itu tidak menjawab, hanya menggeleng kepala sambil menangis.
“Siapakah nona ini, paman, dan dimana rumahnya?” tanya Sie Liong.
Orang itu lalu memberi keterangan bahwa gadis itu bernama Sam Ling, biasa dipanggil Ling Ling. Ia seorang gadis yatim piatu. Ketika ia berusia sepuluh tahun, ayah dan ibunya meninggal dunia karena wabah, dan ia lalu dipungut anak oleh keluarga di dusunnya. Dijadikan anak angkat dan bekerja seperti pelayan.
“Sepanjang pengetahuan kami, keluarga yang memungutnya itu bersikap baik kepadanya. Mereka tidak mempunyai anak, maka mau mengambil Ling Ling menjadi anak mereka. Ling Ling, katakanlah, kenapa engkau tidak mau pulang! Ayah dan ibu angkatmu tentu mengharapkan kedatanganmu!” kata orang itu.
Gadis itu mengangkat mukanya yang basah air mata, memandang kepada orang itu dan menggeleng kepala keras-keras sambil berkata,
“Tidak...., tidak.... aku tidak mau pulang ke sana.... Lebih baik aku mati saja dari pada harus kembali lagi ke sana....!” Dan iapun menangis lagi.
Sie Liong mengerutkan alisnya. Dia menduga bahwa tentu ada alasan kuat sekali mengapa gadis ini tidak mau pulang ke rumah ayah dan ibu angkatnya.
“Marilah, nona. Kita bicara di luar,” katanya, lalu dia berkata kepada semua orang. “Kalau kalian setuju, rumah ini sebaiknya dibakar saja agar jangan menjadi sarang penjahat lainnya! Dan semua orang boleh pulang, akan tetapi kerukunan seperti sekarang ini harus dipelihara terus. Kalau kalian dapat bersatu seperti ini, tidak akan ada penjahat yang berani mengganggu kalian.”
Berkata demikian, Sie Liong lalu mengajak gadis bernama Sam Ling atau Ling Ling itu untuk keluar.
Dia mengajak gadis itu agak menjauhi rumah, lalu duduk di atas batu besar.
“Nah, Ling Ling, duduklah kau dan ceritakan mengapa engkau memilih mati daripada pulang ke rumah orang tua angkatmu.”
Setelah mereka berada di tempat sepi, berdua saja, tiba-tiba gadis itu kembali menjatuhkan diri berlutut.
“Taihiap, engkau telah menyelamatkan aku dan teman-teman, harap taihiap jangan kepalang tanggung untuk menolong aku. Berjanjilah bahwa taihiap akan suka menolongku, dan aku akan menceritakan keadaanku.”
“Baiklah, dan duduklah agar engkau dapat bicara dengan enak. Ceritakan apa yang terjadi. Tentu saja aku suka membantumu kalau memang engkau perlu dibantu.”
“Sejak berusia sepuluh tahun, ayah ibuku meninggal dunia karena penyakit.”
Ling Ling mulai bercerita sambil duduk di atas batu, di depan Sie Liong. Suaranya lirih dan memelas, dan matanya yang lebar itu kini agak kemerahan dan masih basah walaupun ia sudah tidak menangis lagi.
“Aku diangkat anak oleh ayah ibu angkatku yang sekarang karena mereka tidak mempunyai anak. Kini mereka berusia kurang lebih empat puluh tahun. Dahulu memang sikap mereka itu baik sekali walaupun aku tidak menguntungkan mereka karena aku seorang anak perempuan. Akupun bekerja keras di rumah mereka, seperti seorang budak untuk membalas budi kebaikan hati mereka. Akan tetapi akhir-akhir ini....”
Ling Ling menutupi mukanya, merasa sedih dan berat hatinya untuk menceritakan peristiwa yang membuatnya merasa sengsara itu.
Sie Liong membiarkan gadis itu dan setelah kelihatan agak tenang, dia berkata,
“Bagaimana lanjutannya? Aku baru akan dapat menolongmu kalau aku mengetahui persoalannya.”
Gadis itu menatap wajah Sie Liong dengan sepasang mata yang penuh permohonan, sepasang mata yang tentu akan nampak indah kalau tidak tertutup awan kedukaan.
“Taihiap, aku akan kelihatan sebagai orang yang tidak mengenal budi kalau sekarang aku seolah menceritakan keburukan orang tua angkatku. Akan tetapi, kepadamu aku harus berterus terang dan harap taihiap mengerti bahwa bukan maksudku untuk memburukkan mereka. Aku masih berterima kasih kepada mereka. Begini taihiap. Akhir-akhir ini, semenjak beberapa bulan yang lalu ini, ayah angkatku berusaha untuk.... untuk menodaiku....”
Sie Liong mengerutkan alisnya dan mengamati wajah itu dengan sinar mata tajam menyelidik. Dia sudah menduga, akan tetapi ingin mendapat keyakinan.
“Apa maksudmu dengan menodai itu?”
“Dia.... dia mula-mula merayuku.... agar aku suka melayaninya, suka tidur dengan dia. Aku menolak dan beberapa kali dia nyaris berhasil memperkosa aku....! Karena aku selalu menghindar dan menolak, dia kini seperti benci kepadaku. Dan ibu angkatku agaknya melihat pula gejala itu dan iapun menjadi cemburu dan membenci aku....”
“Taihiap (pendekar besar), ampunilah aku....”
Wajahnya nampak ketakutan dan orang tinggi besar itu segera menjatuhkan diri berlutut menghadap Pendekar Bangkok.
Pendekar Bongkok adalah orang yang berhati lembut. Dia tidak pernah membenci orang, betapapun jahatnya orang itu. Yang ditentangnya adalah perbuatan jahat, bukan orangnya. Dia tahu, dari gemblengan yang didapatnya dari Pek-sim Sian-su, bahwa orang yang melakukan perbuatan jahat adalah orang yang sedang sakit batinnya. Yang mendorongnya melakukan perbuatan jahat adalah batinnya yang sakit itu. Kalau batinnya sembuh tentu dia tidak akan melakukan perbuatan jahat. Maka, melihat betapa seorang diantara Tibet Sam Sinto itu minta ampun, dia mengangguk.
“Siapa namamu?”
“Namaku Coa Kiu, taihiap. Mereka ini adalah kakakku dan adikku, dan ijinkanlah aku membawa mayat mereka agar dapat kukuburkan dengan pantas.”
“Nanti dulu, aku ingin bertanya. Dimana adanya gadis-gadis yang diculik itu dan mengapa mereka diculik?”
“Itu adalah kehendak Thai-yang Suhu yang sedang mengumpulkan lima belas orang gadis untuk dijadikan pelayan di Pek-lian-kauw. Kami hanya membantunya. Gadis-gadis itu dalam keadaan selamat, berada di rumah itu. Mereka tidak diganggu karena memang hendak diangkut dan diserahkan kepada ketua Pek-lian-kauw.”
Pendekar Bongkok mengangguk, hatinya merasa lega. Orang ini jelas tidak berani berbohong.
“Satu pertanyaan lagi. Engkau memakai julukan Tibet Sam Sinto, tentu merupakan tokoh Tibet. Aku ingin sekali tahu tentang mereka yang disebut Tibet Ngo-houw (Lima Harimau Tibet), yaitu lima orang pendeta Lama dari Tibet. Di manakah mereka sekarang dan apa kedudukan mereka?”
Mendengar disebutnya Lima Harimau Tibet, Coa Kiu terkejut dan kelihatan ketakutan.
“Tidak, taihiap.... aku tidak mempunyai hubungan dengan mereka. Sama sekali tidak mempunyai hubungan....!”
Pendekar Bongkok mengerutkan alisnya. Sikap itu sungguh menarik sekali.
“Aku tidak menuduhmu memiliki hubungan, hanya ingin mendapat keterangan darimu tentang diri mereka.”
Barulah Coa Kiu kelihatan lega.
“Mereka adalah tokoh-tokoh paling ditakuti di Tibet, dan kini mereka menjadi pendukung-pendukung utama dari Kim Sim Lama, pendeta tingkat tinggi yang memberontak karena hendak merampas kedudukan Dalai Lama.”
“Pemberontak? Ah, dimana kini mereka itu?”
“Di sekitar telaga Yam-so di sebelah selatan Lasha. Lima Harimau Tibet menjadi pendukung dan bahkan lima orang tokoh itulah yang sebenarnya menjadi pelopor karena tanpa adanya mereka, tentu Kim Sim Lama tidak mampu berbuat sesuatu.”
Pendekar Bongkok mengangguk-angguk. Pada saat itu, para penduduk dusun sudah semakin dekat dan Coa Kiu nampak gelisah. Maka dia lalu menyuruh orang itu membawa jenazah dua orang saudaranya dan melarikan diri ke jurusan lain. Coa Kiu mengucapkan terima kasih dan memanggul jenazah kakaknya dan adiknya, pergi dari situ sambil terhuyung.
Pendekar Bongkok tidak menanti datangnya orang-orang dusun, melainkan cepat dia lari ke arah rumah yang menjadi tempat tinggal Thai-yang Suhu dan teman-temannya. Sembilan orang gadis yang berada dalam ruangan di rumah itu, terkejut ketika daun pintu dirobohkan orang dari luar. Mereka bergerombol saling peluk dengan ketakutan, semua mata memandang ke arah pemuda bongkok yang berdiri di ambang pintu.
“Ampunkan kami.... jangan.... jangan ganggu kami....!” kata seorang diantara mereka.
Melihat betapa semua gadis yang berada di ruangan itu masih amat muda dan cantik-cantik, kini wajah yang manis-manis itu nampak pucat, mata mereka terbelalak seperti sekelompok kelinci yang ketakutan melihat seekor harimau, Pendekar Bongkok tersenyum pahit, teringat akan bongkoknya dan dia maklum bahwa tentu mereka mengira bahwa dia seorang jahat!
“Tenanglah, nona-nona. Aku tidak berniat jahat. Aku datang untuk membebaskan kalian. Para penjahat itu telah kuusir pergi dan keluarga kalian kini sedang menuju ke sini.”
Namun, para gadis remaja itu masih belum percaya dan mereka masih memandang kepada pemuda berpunuk itu dengan curiga. Pada saat itu, orang-orang dusun sudah tiba di situ. Mereka menyerbu ke dalam rumah dan dipimpin oleh Gumo Cali, mereka tiba di ruangan yang daun pintunya sudah dijebol Sie Liong dan mereka melihat Sie Liong masih berdiri di ambang pintu dan para gadis itu memandang ketakutan.
“Ayah....!”
Teriakan ini bukan hanya keluar dari mulut dua orang gadis puteri Gumo Cali, akan tetapi juga dari para gadis lain.
Ternyata para ayah gadis-gadis yang diculik itu ikut pula dalam rombongan para penyerbu. Terjadilah pertemuan yang mengharukan dan para gadis itu dihujani pertanyaan oleh ayah mereka. Diam-diam Pendekar Bongkok merasa lega dan gembira mendengar keterangan mereka bahwa benar seperti yang diceritakan Coa Kiu, mereka itu sama sekali tidak diganggu, bahkan diperlakukan dengan baik.
“Semua ini karena jasa Pendekar Bongkok! Taihiap, terimalah terima kasih kami!”
Gumo Cali menjatuhkan diri berlutut menghadap Pendekar Bongkok, diturut oleh semua orang. Para gadis yang tadinya merasa ketakutan itu kini baru sadar bahwa pemuda bongkok itu memang benar menjadi penolong mereka. Maka merekapun ikut berlutut di samping ayah masing-masing.
Seorang diantara para gadis itu, menjatuhkan diri berlutut paling dekat di depan Pendekar Bongkok dan ia menangis sesenggukan. Tadipun Sie Liong melihat bahwa berbeda dengan para gadis lain, tidak ada seorangpun yang memeluk gadis ini.
Tadinya dia mengira bahwa tentu ayah gadis yang satu ini tidak ikut. Ia seorang gadis yang bertubuh sedang, berkulit agak gelap namun wajahnya manis sekali, dengan mata yang lebar dan bening. Pakaiannya sederhana, bahkan ia tidak memakai perhiasan seperti para gadis lainnya. Usianya kurang lebih delapan belas tahun dan tubuhnya sudah mulai padat ramping, bagaikan setangkai bunga yang mulai mekar.
“Nona, engkau kenapakah?” tanya Sie Liong, dan kepada semua orang dia berkata, “Harap kalian suka berdiri, tidak perlu memberi hormat berlebihan seperti itu!”
Gumo Cali bangkit dan yang lain ikut berdiri. Gadis itu masih tetap berlutut di depan Sie Liong. Dia segera meayentuh pundaknya dengan lembut.
“Nona, bangkitlah, tidak perlu berlutut dan mengapa engkau menangis? Bukankah seharuanya engkau bergembira karena sudah terbebas dari cengkeraman penjahat?” Lalu dia merasa curiga kalau-kalau gadis ini mengalami nasib yang buruk di tangan para penjahat. “Nona, apakah para penjahat itu mengganggumu?”
Gadis itu menggeleng kepalanya, akan tetapi masih terisak. Akhirnya, dengan suara bercampur tangis, ia berkata,
“Aku.... aku tidak mau pulang.... ke rumah mereka....”
“Kenapa, nona? Dimana rumahmu?” tanya Sie Liong.
Seorang diantara para penduduk dusun itu, seorang laki-laki setengah tua, lalu mendekat dan berkata,
“Ling Ling, kenapa engkau tidak mau pulang?” Gadis itu tidak menjawab, hanya menggeleng kepala sambil menangis.
“Siapakah nona ini, paman, dan dimana rumahnya?” tanya Sie Liong.
Orang itu lalu memberi keterangan bahwa gadis itu bernama Sam Ling, biasa dipanggil Ling Ling. Ia seorang gadis yatim piatu. Ketika ia berusia sepuluh tahun, ayah dan ibunya meninggal dunia karena wabah, dan ia lalu dipungut anak oleh keluarga di dusunnya. Dijadikan anak angkat dan bekerja seperti pelayan.
“Sepanjang pengetahuan kami, keluarga yang memungutnya itu bersikap baik kepadanya. Mereka tidak mempunyai anak, maka mau mengambil Ling Ling menjadi anak mereka. Ling Ling, katakanlah, kenapa engkau tidak mau pulang! Ayah dan ibu angkatmu tentu mengharapkan kedatanganmu!” kata orang itu.
Gadis itu mengangkat mukanya yang basah air mata, memandang kepada orang itu dan menggeleng kepala keras-keras sambil berkata,
“Tidak...., tidak.... aku tidak mau pulang ke sana.... Lebih baik aku mati saja dari pada harus kembali lagi ke sana....!” Dan iapun menangis lagi.
Sie Liong mengerutkan alisnya. Dia menduga bahwa tentu ada alasan kuat sekali mengapa gadis ini tidak mau pulang ke rumah ayah dan ibu angkatnya.
“Marilah, nona. Kita bicara di luar,” katanya, lalu dia berkata kepada semua orang. “Kalau kalian setuju, rumah ini sebaiknya dibakar saja agar jangan menjadi sarang penjahat lainnya! Dan semua orang boleh pulang, akan tetapi kerukunan seperti sekarang ini harus dipelihara terus. Kalau kalian dapat bersatu seperti ini, tidak akan ada penjahat yang berani mengganggu kalian.”
Berkata demikian, Sie Liong lalu mengajak gadis bernama Sam Ling atau Ling Ling itu untuk keluar.
Dia mengajak gadis itu agak menjauhi rumah, lalu duduk di atas batu besar.
“Nah, Ling Ling, duduklah kau dan ceritakan mengapa engkau memilih mati daripada pulang ke rumah orang tua angkatmu.”
Setelah mereka berada di tempat sepi, berdua saja, tiba-tiba gadis itu kembali menjatuhkan diri berlutut.
“Taihiap, engkau telah menyelamatkan aku dan teman-teman, harap taihiap jangan kepalang tanggung untuk menolong aku. Berjanjilah bahwa taihiap akan suka menolongku, dan aku akan menceritakan keadaanku.”
“Baiklah, dan duduklah agar engkau dapat bicara dengan enak. Ceritakan apa yang terjadi. Tentu saja aku suka membantumu kalau memang engkau perlu dibantu.”
“Sejak berusia sepuluh tahun, ayah ibuku meninggal dunia karena penyakit.”
Ling Ling mulai bercerita sambil duduk di atas batu, di depan Sie Liong. Suaranya lirih dan memelas, dan matanya yang lebar itu kini agak kemerahan dan masih basah walaupun ia sudah tidak menangis lagi.
“Aku diangkat anak oleh ayah ibu angkatku yang sekarang karena mereka tidak mempunyai anak. Kini mereka berusia kurang lebih empat puluh tahun. Dahulu memang sikap mereka itu baik sekali walaupun aku tidak menguntungkan mereka karena aku seorang anak perempuan. Akupun bekerja keras di rumah mereka, seperti seorang budak untuk membalas budi kebaikan hati mereka. Akan tetapi akhir-akhir ini....”
Ling Ling menutupi mukanya, merasa sedih dan berat hatinya untuk menceritakan peristiwa yang membuatnya merasa sengsara itu.
Sie Liong membiarkan gadis itu dan setelah kelihatan agak tenang, dia berkata,
“Bagaimana lanjutannya? Aku baru akan dapat menolongmu kalau aku mengetahui persoalannya.”
Gadis itu menatap wajah Sie Liong dengan sepasang mata yang penuh permohonan, sepasang mata yang tentu akan nampak indah kalau tidak tertutup awan kedukaan.
“Taihiap, aku akan kelihatan sebagai orang yang tidak mengenal budi kalau sekarang aku seolah menceritakan keburukan orang tua angkatku. Akan tetapi, kepadamu aku harus berterus terang dan harap taihiap mengerti bahwa bukan maksudku untuk memburukkan mereka. Aku masih berterima kasih kepada mereka. Begini taihiap. Akhir-akhir ini, semenjak beberapa bulan yang lalu ini, ayah angkatku berusaha untuk.... untuk menodaiku....”
Sie Liong mengerutkan alisnya dan mengamati wajah itu dengan sinar mata tajam menyelidik. Dia sudah menduga, akan tetapi ingin mendapat keyakinan.
“Apa maksudmu dengan menodai itu?”
“Dia.... dia mula-mula merayuku.... agar aku suka melayaninya, suka tidur dengan dia. Aku menolak dan beberapa kali dia nyaris berhasil memperkosa aku....! Karena aku selalu menghindar dan menolak, dia kini seperti benci kepadaku. Dan ibu angkatku agaknya melihat pula gejala itu dan iapun menjadi cemburu dan membenci aku....”
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar