“Bagus! Aku akan menelanjangimu, baru membunuhmu dan menyerahkan nona ini kepada tiga orang pemuda ini!”
Berkata demikian, pendeta pemungut dana itu sudah menubruk ke depan, gerakannya memang mirip seekor biruang yang menyerang dahsyat. Namun, Sie Liong sudah siap siaga dan dengan mudah dia menggeser kaki dan tubuhnya menyelinap ke kiri sehingga tubrukan itu luput.
“Hyaaaaahhhhh....!”
Pendeta itu semakin marah ketika tubrukannya luput dan dengan bentakan nyaring, kedua lengannya yang tadi menjulur ke depan, segera dibabatkan ke kanan mengejar bayangan Sie Liong dan kedua tangannya membentuk cakar harimau, mencengkeram kearah dada dan muka Pendekar Bongkok. Karena serangan susulan ini amat cepat datangnya dan dahsyat sekali, Sie Liong menyambutnya dengan tangkisan lengan kanan yang diputar dari kiri bawah ke kanan atas.
“Desss....!!”
Kedua lengan pendeta itu sekaligus tertangkis oleh lengan kanan Sie Liong yang mengerahkan sin-kang dan akibatnya, tubuh pendeta itu terpelanting dan jatuh terbanting menimpa meja!
Sungguh sial baginya, mukanya berada di bawah dan tanpa dapat dicegahnya lagi, mukanya masuk ke dalam mangkok besar yang masih terisi masakan! Seperti harimau terjebak, dia menggereng marah dan ketika dia meloncat bangkit lagi, mukanya penuh dengan kuah dan saus tomat, nampak buruk, lucu, akan tetapi juga mengerikan!
Pada saat itu, Sie Liong mendengar suara Ling Ling menjerit dan ketika dia menoleh, ternyata tiga orang pemuda itu seperti berlumba hendak menelanjangi dan menciumi Ling Ling yang melawan mati-matian, mencakar dan menampar sejadi-jadinya.
“Pengecut-pengecut busuk!”
Sie Liong membentak marah, tangannya meraih beberapa batang supit dari meja berdekatan dan begitu tangan itu bergerak, tiga batang sumpit meluncur bagaikan anak panah.
Tiga orang pemuda yang sedang memperebutkan Ling Ling itu menjerit dan roboh sambil berteriak-teriak dan mengaduh-aduh kesakitan karena pangkal lengan mereka dekat pundak telah tertembus sebatang sumpit! Rasa nyeri membuat tubuh mereka panas dingin, lengan lumpuh dan mereka hanya dapat mengaduh-aduh dan menggeliat-geliat seperti cacing-cacing terkena abu panas!
Ling Ling yang marah bukan main kepada mereka, segera menyambar barang seadanya di atas meja berdekatan, lalu menimpakan segala macam piring mangkok berikut sisa isinya ke atas kepala tiga orang itu.
Terdengar suara hiruk pikuk pecahnya mangkok piring di atas kepala tiga orang pemuda itu yang menjadi semakin kesakitan. Nampak kepala mereka berdarah dan dahi mereka benjol-benjol!
Kini perkelahian antara tokoh Kim-sim-pai dan Pendekar Bongkok berlangsung seru. Meja kursi berserakan dan pendeta itu sudah marah dan penasaran bukan main. Semua serangannya selalu dapat dielakkan lawan, bahkan setiap kali ditangkis, dia merasa seluruh lengannya nyeri dan tubuhnya tergetar hebat.
Sebagai seorang ahli silat yang tingkatnya cukup tinggi, tahulah anggauta Kim-sim-pai itu bahwa pemuda bongkok itu sungguh memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, dan ilmu silat yang tinggi dan aneh.
“Pemuda bongkok, sekarang saatnya engkau mampus!”
Bentak orang itu dan dia menyambar tongkat bututnya yang tadi dia letakkan di atas meja bersama hio-louw yang sudah terisi banyak uang sumbangan dari para tamu yang ketakutan tadi.
Kalau tadi dia tidak mau mempergunakan tongkatnya adalah karena dia memandang rendah pemuda bongkok itu. Setelah semua serangannya gagal bahkan tiga kali dia terpelanting, akhirnya dia tidak mau sungkan lagi dan sudah menyambar tongkat bututnya dan sambil menggereng diapun menyerang dengan tongkatnya.
Tongkat itu terbuat dari kayu hitam yang berat dan kerasnya seperti besi. Besarnya hanya selengan tangan dan panjangnya setinggi tubuh pemiliknya. Namun, ketika dipakai menyerang, tongkat itu berputar dan lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar hitam yang mengeluarkan suara bersiutan!
Melihat gerakan lawan yang menggunakan tongkat, tahulah Sie Liong bahwa tongkat lawan itu cukup berbahaya. Maka, diapun tidak mau membuang banyak waktu lagi. Dia mengerahkan tenaganya dan kedua tangannya mengepulkan uap putih ketika dia bergerak dengan ilmu Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih). Dengan berani dia menyambut gulungan sinar hitam itu dengan kedua tangannya, menangkis sambil mengerahkan tenaga Pek-in Sin-ciang.
“Krakkkk!”
Tongkat itu patah-patah menjadi tiga potong dan selagi angggauta Kim-sim-pai itu terkejut, tangan kiri Sie Liong sudah mendorongnya dengan pengerahan Swat-liong-ciang (Pukulan Naga Salju).
“Plakkk!”
Nampaknya tidak terlalu keras telapak tangan kiri Sie Liong mengenai dada dekat pundak lawan, namun akibatnya sungguh hebat. Tubuh tinggi besar itu terjengkang menabrak meja kursi dan ketika akhirnya dia merangkak bangun, wajahnya pucat dan tubuhnya menggigil kedinginan!
Demikian hebatnya pukulan Swat-liong-ciang itu, mengandung kekuatan sin-kang yang amat dingin menembus tulang! Masih untung bagi pendeta itu bahwa Sie Liong tidak berniat membunuhnya sehingga membatasi tenaganya.
Kalau dia menggunakan seluruh tenaga Swat-liong-ciang, tentu lawannya takkan mampu bangkit kembali, darahnya akan menjadi beku dan dia akan tewas seketika.
Orang itu yang berjuluk Biruang Hitam, bangkit dan memandang kepada Sie Liong dengan mata terbelalak.
“Kau.... kau.... yang berjuluk Pendekar Bongkok....!” Akhirnya dia bertanya.
Sie Liong tidak menjawab, hanya mengangguk. Kembali orang itu nampak terkejut dan dia lalu menghela napas panjang.
“Pendekar Bongkok, nama besarmu bukan kosong belaka. Aku mengaku kalah, akan tetapi urusan kita bukan berakhir sampai disini saja!”
Kalimat terakhir itu mengandung ancaman dan diapun menghampiri hio-louw di atas meja dan mengangkatnya lalu melangkah hendak pergi.
“Biruang Hitam, tahan dulu! Engkau telah merusakkan banyak prabot rumah makan ini dan hendak pergi begitu saja membawa semua sumbangan itu? Tinggalkan semua isi hio-louw itu di sini!” kata Sie Liong yang melihat banyak meja kursi patah-patah dan mangkok piring pecah-pecah.
Biruang Hitam itu berhenti, lalu membalikkan tubuhnya, menyeringai pahit dan tiba-tiba dia berkata,
“Nah, terimalah ini!”
Dia melontarkan hio-louw yang amat berat itu ke arah Sie Liong! Ling Ling terkejut sekali karena hio-louw yang berat itu menyambar ke arah Sie Liong, juga para tamu di rumah makan itu terbelalak dan merasa tegang.
Namun, dengan tangan kirinya, Sie Liong menyambut hio-louw itu, lalu menuangkan seluruh isinya ke atas meja. Kemudian, dia melontarkan kembali hio-louw itu ke arah Biruang Hitam sambil berseru.
“Bawalah pulang hio-louwmu ini dan jangan lagi mengganggu penduduk!”
Hio-louw itu melayang ke arah Biruang Hitam yang terpaksa menerimanya dengan kedua tangannya. Akan tetapi kini berat hio-louw itu ditambah dengan tenaga lontaran yang amat kuat dari Sie Liong. Biruang Hitam terhuyung dan biarpun dia tidak sampai roboh, namun ketika akhirnya dia dapat bertahan berdiri dengan kedua kaki gemetar, dari ujung mulutnya mengalir darah segar.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam menerima lontaran kembali hio-louw kosong tadi, dia telah menderita luka dalam. Tanpa bicara lagi diapun melangkah pergi meninggalkan rumah makan itu.
“Pendekar Bongkok....!”
Kini para tamu berbisik-bisik, menyebutkan nama ini dan mereka memandang kepada pemuda bongkok itu dengan sinar mata penuh kagum, heran dan juga gentar. Tiga orang pemuda yang tadi roboh terkena tusukan sumpit kemudian dihajar kepala mereka dengan mangkok piring oleh Ling Ling, kini merangkak dan dengan tubuh gemetar ketakutan mereka berlutut dan menghadap ke arah Sie Liong.
“Taihiap, harap, ampunkan kami....” katanya.
“Ampun, taihiap, mata kami seperti buta tidak melihat seorang pendekar sakti....” kata yang kedua.
“Taihiap.... Siocia (nona).... kami tidak berani lagi....” kata pemuda yang ke tiga.
Melihat sikap tiga orang pemuda yang rupanya sudah tidak karuan itu, baju robek-robek, muka berlepotan kuah, masakan dan darah, dahi benjol-benjol, pundak masih tertusuk sumpit, mengangguk-angguk sambil berlutut, Ling Ling dan Sie Liong saling pandang dan keduanya lalu tertawa geli.
“Liong-ko, biarkan tiga lalat ini terbang pergi!” kata Ling Ling gembira dan bangga bukan main karena kemenangan Sie Liong yang menimbulkan kekaguman kepada semua orang.
Kalau tadi semua orang memandang kepada Sie Liong dengan sinar mata mencemooh, kini semua mata memandang kagum dan juga gentar!
Sie Liong lalu memandang kepada tiga orang itu.
“Nah, kalian sudah mendengar? Hayo terbang pergi!” bentaknya.
Tiga orang pemuda itu lalu bangkit dan dengan terhuyung-huyung mereka lari keluar dari rumah makan itu, diiringkan senyum bahkan suara ketawa beberapa orang tamu rumah makan.
Sie Liong memanggil pengurus rumah makan.
“Engkau perhitungkan berapa kerugian karena kerusakan ini, lalu ambil dari uang di atas meja ini. Selebihnya, kembalikan kepada para tamu yang tadi dipaksa untuk memberi sumbangan.”
Dia lalu mengeluarkan uang membayar harga makanan dan minuman, kemudian memegang tangan Ling Ling dan menggandeng gadis itu keluar dari situ. Dengan bangga sekali Ling Ling memegang tangan pendekar itu dan ketika mereka berjalan keluar, ia merapatkan tubuhnya.
Akan tetapi ia tidak tahu betapa diam-diam Sie Liong merasa khawatir sekali. Ikutnya Ling Ling dengannya akan mendatangkan banyak kesulitan bagi dirinya dan terutama sekali bahaya besar bagi Ling Ling.
Pula, tadi di rumah makan sudah terbukti jelas betapa gadis itu selama hidupnya akan menderita batin mendengar ejekan orang-orang kalau sampai menjadi teman hidupnya. Gadis yang semanis Ling Ling tidak pantas menjadi isteri seorang pria cacat seperti dia! Kalau dipaksakan, Ling Ling akan selalu mendengar ejekan orang. Masih baik kalau perasaan dan hatinya kuat, bagaimana kalau kelak sampai terguncang? Bukan tidak mungkin, dan dia pun tidak akan terlalu menyalahkan kalau kelak timbul penyesalan dalam hati Ling Ling, telah menjadi isteri seorang pria yang cacat!
Siapa tahu kelak akan datang penggoda, seorang pria yang tampan dan baik, sehat dan tidak cacat, dan hati Ling Ling jatuh. Kalau terjadi demikian, dia tidak akan dapat menyalahkan Ling Ling walaupun hal itu akan menghancurkan hatinya. Daripada menghadapi bahaya seperti itu, jauh lebih baik menyingkiri bahaya itu. Dan satu-satunya jalan adalah berpisah dari Ling Ling!
Hal itu sudah sejak lama dia pikirkan, sebelum mereka memasuki kota Lok-yang. Ling Ling adalah seorang gadis yang manis sekali dan setiap orang pemuda tentu akan mudah jatuh cinta kepadanya. Masih banyak sekali pemuda yang tampan dan berbudi baik, yang pantas untuk menjadi jodoh gadis yang bernasib malang ini.
Dia tahu bahwa diam-diam dia amat tertarik kepada Ling Ling, bahkan dapat dia mengaku bahwa dia telah jatuh cinta kepada Ling Ling dan akan merasa berbahagia sekali kalau selanjutnya dia hidup berdampingan dengan gadis itu sebagai suami isteri. Dan diapun dapat merasakan bahwa Ling Ling mencintanya! Akan tetapi, tentu cinta gadis itu timbul karena merasa berhutang budi dan merasa kasihan, bukan cinta seorang wanita yang tertarik oleh seorang pria.
“Tidak, aku tidak boleh merusak kehidupan Ling Ling!” demikian dia telah mengambil keputusan sebelum mereka memasuki Lasha.
Berkata demikian, pendeta pemungut dana itu sudah menubruk ke depan, gerakannya memang mirip seekor biruang yang menyerang dahsyat. Namun, Sie Liong sudah siap siaga dan dengan mudah dia menggeser kaki dan tubuhnya menyelinap ke kiri sehingga tubrukan itu luput.
“Hyaaaaahhhhh....!”
Pendeta itu semakin marah ketika tubrukannya luput dan dengan bentakan nyaring, kedua lengannya yang tadi menjulur ke depan, segera dibabatkan ke kanan mengejar bayangan Sie Liong dan kedua tangannya membentuk cakar harimau, mencengkeram kearah dada dan muka Pendekar Bongkok. Karena serangan susulan ini amat cepat datangnya dan dahsyat sekali, Sie Liong menyambutnya dengan tangkisan lengan kanan yang diputar dari kiri bawah ke kanan atas.
“Desss....!!”
Kedua lengan pendeta itu sekaligus tertangkis oleh lengan kanan Sie Liong yang mengerahkan sin-kang dan akibatnya, tubuh pendeta itu terpelanting dan jatuh terbanting menimpa meja!
Sungguh sial baginya, mukanya berada di bawah dan tanpa dapat dicegahnya lagi, mukanya masuk ke dalam mangkok besar yang masih terisi masakan! Seperti harimau terjebak, dia menggereng marah dan ketika dia meloncat bangkit lagi, mukanya penuh dengan kuah dan saus tomat, nampak buruk, lucu, akan tetapi juga mengerikan!
Pada saat itu, Sie Liong mendengar suara Ling Ling menjerit dan ketika dia menoleh, ternyata tiga orang pemuda itu seperti berlumba hendak menelanjangi dan menciumi Ling Ling yang melawan mati-matian, mencakar dan menampar sejadi-jadinya.
“Pengecut-pengecut busuk!”
Sie Liong membentak marah, tangannya meraih beberapa batang supit dari meja berdekatan dan begitu tangan itu bergerak, tiga batang sumpit meluncur bagaikan anak panah.
Tiga orang pemuda yang sedang memperebutkan Ling Ling itu menjerit dan roboh sambil berteriak-teriak dan mengaduh-aduh kesakitan karena pangkal lengan mereka dekat pundak telah tertembus sebatang sumpit! Rasa nyeri membuat tubuh mereka panas dingin, lengan lumpuh dan mereka hanya dapat mengaduh-aduh dan menggeliat-geliat seperti cacing-cacing terkena abu panas!
Ling Ling yang marah bukan main kepada mereka, segera menyambar barang seadanya di atas meja berdekatan, lalu menimpakan segala macam piring mangkok berikut sisa isinya ke atas kepala tiga orang itu.
Terdengar suara hiruk pikuk pecahnya mangkok piring di atas kepala tiga orang pemuda itu yang menjadi semakin kesakitan. Nampak kepala mereka berdarah dan dahi mereka benjol-benjol!
Kini perkelahian antara tokoh Kim-sim-pai dan Pendekar Bongkok berlangsung seru. Meja kursi berserakan dan pendeta itu sudah marah dan penasaran bukan main. Semua serangannya selalu dapat dielakkan lawan, bahkan setiap kali ditangkis, dia merasa seluruh lengannya nyeri dan tubuhnya tergetar hebat.
Sebagai seorang ahli silat yang tingkatnya cukup tinggi, tahulah anggauta Kim-sim-pai itu bahwa pemuda bongkok itu sungguh memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, dan ilmu silat yang tinggi dan aneh.
“Pemuda bongkok, sekarang saatnya engkau mampus!”
Bentak orang itu dan dia menyambar tongkat bututnya yang tadi dia letakkan di atas meja bersama hio-louw yang sudah terisi banyak uang sumbangan dari para tamu yang ketakutan tadi.
Kalau tadi dia tidak mau mempergunakan tongkatnya adalah karena dia memandang rendah pemuda bongkok itu. Setelah semua serangannya gagal bahkan tiga kali dia terpelanting, akhirnya dia tidak mau sungkan lagi dan sudah menyambar tongkat bututnya dan sambil menggereng diapun menyerang dengan tongkatnya.
Tongkat itu terbuat dari kayu hitam yang berat dan kerasnya seperti besi. Besarnya hanya selengan tangan dan panjangnya setinggi tubuh pemiliknya. Namun, ketika dipakai menyerang, tongkat itu berputar dan lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar hitam yang mengeluarkan suara bersiutan!
Melihat gerakan lawan yang menggunakan tongkat, tahulah Sie Liong bahwa tongkat lawan itu cukup berbahaya. Maka, diapun tidak mau membuang banyak waktu lagi. Dia mengerahkan tenaganya dan kedua tangannya mengepulkan uap putih ketika dia bergerak dengan ilmu Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih). Dengan berani dia menyambut gulungan sinar hitam itu dengan kedua tangannya, menangkis sambil mengerahkan tenaga Pek-in Sin-ciang.
“Krakkkk!”
Tongkat itu patah-patah menjadi tiga potong dan selagi angggauta Kim-sim-pai itu terkejut, tangan kiri Sie Liong sudah mendorongnya dengan pengerahan Swat-liong-ciang (Pukulan Naga Salju).
“Plakkk!”
Nampaknya tidak terlalu keras telapak tangan kiri Sie Liong mengenai dada dekat pundak lawan, namun akibatnya sungguh hebat. Tubuh tinggi besar itu terjengkang menabrak meja kursi dan ketika akhirnya dia merangkak bangun, wajahnya pucat dan tubuhnya menggigil kedinginan!
Demikian hebatnya pukulan Swat-liong-ciang itu, mengandung kekuatan sin-kang yang amat dingin menembus tulang! Masih untung bagi pendeta itu bahwa Sie Liong tidak berniat membunuhnya sehingga membatasi tenaganya.
Kalau dia menggunakan seluruh tenaga Swat-liong-ciang, tentu lawannya takkan mampu bangkit kembali, darahnya akan menjadi beku dan dia akan tewas seketika.
Orang itu yang berjuluk Biruang Hitam, bangkit dan memandang kepada Sie Liong dengan mata terbelalak.
“Kau.... kau.... yang berjuluk Pendekar Bongkok....!” Akhirnya dia bertanya.
Sie Liong tidak menjawab, hanya mengangguk. Kembali orang itu nampak terkejut dan dia lalu menghela napas panjang.
“Pendekar Bongkok, nama besarmu bukan kosong belaka. Aku mengaku kalah, akan tetapi urusan kita bukan berakhir sampai disini saja!”
Kalimat terakhir itu mengandung ancaman dan diapun menghampiri hio-louw di atas meja dan mengangkatnya lalu melangkah hendak pergi.
“Biruang Hitam, tahan dulu! Engkau telah merusakkan banyak prabot rumah makan ini dan hendak pergi begitu saja membawa semua sumbangan itu? Tinggalkan semua isi hio-louw itu di sini!” kata Sie Liong yang melihat banyak meja kursi patah-patah dan mangkok piring pecah-pecah.
Biruang Hitam itu berhenti, lalu membalikkan tubuhnya, menyeringai pahit dan tiba-tiba dia berkata,
“Nah, terimalah ini!”
Dia melontarkan hio-louw yang amat berat itu ke arah Sie Liong! Ling Ling terkejut sekali karena hio-louw yang berat itu menyambar ke arah Sie Liong, juga para tamu di rumah makan itu terbelalak dan merasa tegang.
Namun, dengan tangan kirinya, Sie Liong menyambut hio-louw itu, lalu menuangkan seluruh isinya ke atas meja. Kemudian, dia melontarkan kembali hio-louw itu ke arah Biruang Hitam sambil berseru.
“Bawalah pulang hio-louwmu ini dan jangan lagi mengganggu penduduk!”
Hio-louw itu melayang ke arah Biruang Hitam yang terpaksa menerimanya dengan kedua tangannya. Akan tetapi kini berat hio-louw itu ditambah dengan tenaga lontaran yang amat kuat dari Sie Liong. Biruang Hitam terhuyung dan biarpun dia tidak sampai roboh, namun ketika akhirnya dia dapat bertahan berdiri dengan kedua kaki gemetar, dari ujung mulutnya mengalir darah segar.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam menerima lontaran kembali hio-louw kosong tadi, dia telah menderita luka dalam. Tanpa bicara lagi diapun melangkah pergi meninggalkan rumah makan itu.
“Pendekar Bongkok....!”
Kini para tamu berbisik-bisik, menyebutkan nama ini dan mereka memandang kepada pemuda bongkok itu dengan sinar mata penuh kagum, heran dan juga gentar. Tiga orang pemuda yang tadi roboh terkena tusukan sumpit kemudian dihajar kepala mereka dengan mangkok piring oleh Ling Ling, kini merangkak dan dengan tubuh gemetar ketakutan mereka berlutut dan menghadap ke arah Sie Liong.
“Taihiap, harap, ampunkan kami....” katanya.
“Ampun, taihiap, mata kami seperti buta tidak melihat seorang pendekar sakti....” kata yang kedua.
“Taihiap.... Siocia (nona).... kami tidak berani lagi....” kata pemuda yang ke tiga.
Melihat sikap tiga orang pemuda yang rupanya sudah tidak karuan itu, baju robek-robek, muka berlepotan kuah, masakan dan darah, dahi benjol-benjol, pundak masih tertusuk sumpit, mengangguk-angguk sambil berlutut, Ling Ling dan Sie Liong saling pandang dan keduanya lalu tertawa geli.
“Liong-ko, biarkan tiga lalat ini terbang pergi!” kata Ling Ling gembira dan bangga bukan main karena kemenangan Sie Liong yang menimbulkan kekaguman kepada semua orang.
Kalau tadi semua orang memandang kepada Sie Liong dengan sinar mata mencemooh, kini semua mata memandang kagum dan juga gentar!
Sie Liong lalu memandang kepada tiga orang itu.
“Nah, kalian sudah mendengar? Hayo terbang pergi!” bentaknya.
Tiga orang pemuda itu lalu bangkit dan dengan terhuyung-huyung mereka lari keluar dari rumah makan itu, diiringkan senyum bahkan suara ketawa beberapa orang tamu rumah makan.
Sie Liong memanggil pengurus rumah makan.
“Engkau perhitungkan berapa kerugian karena kerusakan ini, lalu ambil dari uang di atas meja ini. Selebihnya, kembalikan kepada para tamu yang tadi dipaksa untuk memberi sumbangan.”
Dia lalu mengeluarkan uang membayar harga makanan dan minuman, kemudian memegang tangan Ling Ling dan menggandeng gadis itu keluar dari situ. Dengan bangga sekali Ling Ling memegang tangan pendekar itu dan ketika mereka berjalan keluar, ia merapatkan tubuhnya.
Akan tetapi ia tidak tahu betapa diam-diam Sie Liong merasa khawatir sekali. Ikutnya Ling Ling dengannya akan mendatangkan banyak kesulitan bagi dirinya dan terutama sekali bahaya besar bagi Ling Ling.
Pula, tadi di rumah makan sudah terbukti jelas betapa gadis itu selama hidupnya akan menderita batin mendengar ejekan orang-orang kalau sampai menjadi teman hidupnya. Gadis yang semanis Ling Ling tidak pantas menjadi isteri seorang pria cacat seperti dia! Kalau dipaksakan, Ling Ling akan selalu mendengar ejekan orang. Masih baik kalau perasaan dan hatinya kuat, bagaimana kalau kelak sampai terguncang? Bukan tidak mungkin, dan dia pun tidak akan terlalu menyalahkan kalau kelak timbul penyesalan dalam hati Ling Ling, telah menjadi isteri seorang pria yang cacat!
Siapa tahu kelak akan datang penggoda, seorang pria yang tampan dan baik, sehat dan tidak cacat, dan hati Ling Ling jatuh. Kalau terjadi demikian, dia tidak akan dapat menyalahkan Ling Ling walaupun hal itu akan menghancurkan hatinya. Daripada menghadapi bahaya seperti itu, jauh lebih baik menyingkiri bahaya itu. Dan satu-satunya jalan adalah berpisah dari Ling Ling!
Hal itu sudah sejak lama dia pikirkan, sebelum mereka memasuki kota Lok-yang. Ling Ling adalah seorang gadis yang manis sekali dan setiap orang pemuda tentu akan mudah jatuh cinta kepadanya. Masih banyak sekali pemuda yang tampan dan berbudi baik, yang pantas untuk menjadi jodoh gadis yang bernasib malang ini.
Dia tahu bahwa diam-diam dia amat tertarik kepada Ling Ling, bahkan dapat dia mengaku bahwa dia telah jatuh cinta kepada Ling Ling dan akan merasa berbahagia sekali kalau selanjutnya dia hidup berdampingan dengan gadis itu sebagai suami isteri. Dan diapun dapat merasakan bahwa Ling Ling mencintanya! Akan tetapi, tentu cinta gadis itu timbul karena merasa berhutang budi dan merasa kasihan, bukan cinta seorang wanita yang tertarik oleh seorang pria.
“Tidak, aku tidak boleh merusak kehidupan Ling Ling!” demikian dia telah mengambil keputusan sebelum mereka memasuki Lasha.
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar