Ads

Kamis, 16 Januari 2020

Pendekar Bongkok Jilid 086

“Baik...., baik....”

Tiga orang pemuda itu dengan tubuh gemetar segera mengeluarkan semua isi saku mereka, menyerahkan uang mereka kepada pengumpul derma itu dan memasukkan uang itu ke dalam hio-louw yang besar itu. Melihat betapa tiga orang pemuda itu hanya mempunyai uang perak sebanyak tidak lebih dari sepuluh tail, pria tinggi besar itu menyeringai.

“Huh, nyawa kalian bertiga hanya kalian hargai sepuluh tail? Murah amat harganya nyawa kalian!”

“Maafkan kami, hanya itulah milik kami,” kata si baju kuning sambil memberi hormat, diikuti dua orang kawannya.

“Sudahlah,” kata pengumpul derma itu. “Sekarang semua yang berada di sini, harap suka memberi derma kepada kami. Yang Mulia Kim Sim Lama tentu akan memberkahi kalian yang telah memberi derma. Silakan mengisi hio-louw ini!”

Para tamu saling pandang dan mereka semua sudah mendengar bahwa apabila permintaan derma orang-orang Kim-sim-pai ini tidak dipenuhi, mereka tentu akan menganggap bahwa yang tidak memberi derma adalah musuh, maka mereka akan manggunakan kekerasan untuk menghajarnya.

Maka, bangkitlah para tamu itu dan merekapun mengeluarkan isi saku mereka dan memasukkan uang ke dalam hio-louw. Biarpun tidak semua orang menyerahkan seluruh isi kantong mereka, akan tetapi tidak ada yang berani memberi sedikit sehingga belasan orang ditambah pemberian pemilik kedai makanan, memberi derma yang cukup banyak, hampir setengah hio-louw besar itu.

Akan tetapi, Sie Liong dan Ling Ling tidak berdiri, melainkan melanjutkan makan hidangan yang mereka pesan dengan tenang. Melihat ini, si baju kuning yang telah mendapatkan malu besar di depan para tamu dan terutama sekali penghinaan yang dideritanya itu ditonton pula oleh Pendekar Bongkok dan nona manis itu, lalu menumpahkan kedongkolannya kepada Pendekar Bongkok.

“Heiii, onta bongkok! Engkau dan nonamu itu belum juga menyerahkan derma? Apakah engkau sudah bosan hidup? Losuhu, mereka berdua itu belum menyerahkan dana, bolehkah kalau aku yang memaksa mereka untuk memberi derma?”

Untuk melampiaskan kedongkolan hatinya, si baju kuning hendak menjilat si pengumpul dana dan hendak malakukan penghinaan terhadap Sie Liong dan Ling Ling.

Mendengar permintaan si baju kuning, pengumpul dana yang mulai merasa gembira karena hasil pemungutan dana itu dapat dikatakan berhasil baik, lalu mengangguk. Si baju kuning dan dua orang temannya segera mencari golok mereka yang tadi terlepas dari tangan dan dengan lagak jagoan mereka bertiga menghampiri Sie Liong dan Ling Ling yang sedang makan.

Sementara itu, biarpun kelihatan tenang dan melanjutkan makan bersama Ling Ling seolah-olah semua keributan yang terjadi itu tidak menarik perhatiannya, namun sesungguhnya begitu si pengumpul dana itu mengeluarkan bendera kecil dan terdengar seruan orang tentang Kim-sim-pai, kemudian mendengar ucapan pria tinggi besar itu bahwa semua penyumbang akan diberkahi oleh Kim Sim Lama, dia sudah tertarik sekali.

Nama Kim Sim Lama pernah didengarnya dari Coa Kiu orang ke tiga dari Tibet Sam Sinto yang membantu Thai-yang Suhu tokoh Pek-lian-kauw ketika mereka menculik gadis-gadis dusun.

Menurut pengakuan Cia Kiu, Tibet Ngo-houw, yaitu lima orang pendeta Lama Jubah Merah yang pernah mengganggu guru-gurunya di pegunungan Kun-lun, adalah kaki tangan Kim Sim Lama yang hendak memberontak terhadap Dalai Lama! Dan orang ini, si tinggi besar yang mengumpulkan dana dengan kekerasan, adalah seorang diantara anak buah Kim Sim Lama!

Maka, dia sudah memutar otak, mencari cara yang terbaik untuk menghubungi Kim Sim Lama melalui anak buahnya ini. Hanya dengan memasuki tempat gerombolan pemberontak Tibet itulah dia akan dapat memperoleh keterangan yang amat baik tentang para pendeta Lama yang memusuhi para pertapa dan tosu di Himalaya.

Tiga orang pemuda berandalan yang berlagak jagoan itu, selain ingin mengambil hati si pemungut dana yang amat lihai itu, juga ingin melampiaskan kemarahan mereka kepada Sie Liong dan kalau mendapat kesempatan tentu saja ingin juga menggoda Ling Ling yang manis.

Dengan sikap digagah-gagahkan, dengan dada dibusungkan, mereka membawa golok mendekati Sie Liong dan Ling Ling. Si baju kuning menggebrak meja sehingga makanan di atas meja itu berloncatan.

“Brakk! Hei, onta bongkok! Apakah telinganu juga sudah tuli?”






Sie Liong adalah seorang penyabar, akan tetapi sakarang dia dan terutama sekali Ling Ling diganggu orang selagi makan. Dia menoleh dan memandang kepada si baju kuning.

“Hemm, sobat. Engkau tadi sudah dihajar oleh pemungut derma itu, apakah masih juga belum jera dan masih ingin menjual lagak di sini? Pergilah dan jangan ganggu kami!”

“Keparat, kau berani melawanku?”

Si baju kuning mengangkat goloknya dan diayun ke arah telinga Sie Liong. Maksudnya jelas, untuk membuntungi sebelah telinga pemuda bongkok itu. Melihat ini, Sie Liong menanggalkan kesabarannya. Tangan kanan yang memegangi sumpit bergerak menotok ke arah pergelangan tangan si baju kuning.

“Tukkk!”

Golok itu terlepas dan sepasang sumpit itu masih terus meluncur ke depan, menotok ke arah dada. Si baju kuning roboh berlutut dan sepakan kaki Sie Liong membuat dia terlempar dan terjengkang lalu terguling-guling!

Melihat ini, dua orang temannya yang tak tahu diri menjadi marah. Mereka mengayun golok. Akan tetapi, sepasang sumpit itu kini berada di kedua tangan Sie Liong, masing-masing tangan memegang sebatang dan sekali kedua tangan itu bergerak, dua orang itupun roboh terpelanting keras sekali karena mereka sudah kehilangan tenaga dan lemas seketika.

Seperti tadi, dua kali kaki Sie Liong menendang dan tubuh mereka terlempar sampai beberapa meter jauhnya. Setelah itu, Sie Liong membersihkan sepasang sumpitnya, lalu melanjutkan makan minum.

Melihat ini, Ling Ling tersenyum gembira. Mampus kalian, pikirnya. Baru tahu ya siapa laki-laki yang bersama dengannya! Biarpun hatinya menjadi besar sekali, terasa mekar saking gembira dan bangganya, namun Ling Ling yang melihat Sie Liong kembali melanjutkan makan minum, iapun melanjutkan makan dengan sikap yang tenang sekali.

Terlalu tenang, sambil tak dapat ditahannya ia melirik ke sana sini sambil tersenyum-senyum. Sie Liong tentu saja melihat sikap gadis itu dan diam-diam dia merasa geli, akan tetapi juga senang karena dia melihat betapa gadis itu bergembira sekali.

Tiba-tiba Ling Ling terbelalak, mukanya pucat memandang ke arah belakang Sie Liong dan ia berbisik,

“Liong-ko, awas.... dia datang....!”

Sie Liong memutar tubuhnya dan melihat pengumpul dana yang bertubuh tinggi besar itu sudah melangkah perlahan-lahan ke arah mejanya. Sikap yang tenang dan langkah yang lambat itu bahkan mendatangkan keseraman, seolah-olah ada seekor biruang besar datang menghampiri, mengandung ancaman maut. Sepasang matanya melotot dan agaknya dia marah sekali kepada Sie Liong.

Sie Liong hanya sejenak saja memandang, lalu dia membalikkan tubuhnya lagi dan melanjutkan makan, seolah-olah tidak terjadi sesuatu! Melihat ini, Ling Ling juga menenang-nenangkan dirinya walaupun ia merasa betapa jantungnya berdebar tegang dan gelisah. Ia tadi sudah melihat betapa lihainya si pemungut derma itu, dan agaknya dia kini marah kepada Pendekar Bongkok.

Sementara itu, tiga orang pemuda yang tadi terkejut dan kesakitan terkena hajaran Pendekar Bongkok, kini sudah bangkit berdiri, agaknya siap membantu si pemungut dana. Mereka tidak merasa malu telah dihajar oleh si pemungut derma yang ternyata adalah orang Kim-sim-pai, nama yang amat terkenal dan ditakuti di seluruh Tibet.

Akan tetapi dihajar oleh seorang pemuda asing yang bertubuh bongkok? Sungguh merupakan penghinaan yang memalukan sekali, apalagi si bongkok itu muncul bersama seorang gadis cantik! Kini, melihat orang Kim-sim-pai menghampiri si bongkok, mereka mengharapkan agar si bongkok itu dihajar oleh orang Kim-sim-pai itu agar mereka dapat membalas penghinaan tadi, terhadap si bongkok maupun terhadap si gadls manis!

“Orang muda bongkok, dan kau juga nona. Cepat keluarkan seluruh barang milik kalian dan karena kalian tadi berani menghina tiga orang yang membantuku, maka kalian harus juga menyerahkan pakaian yang menempel di tubuh kalian. Hayo cepat!”

Mendengar perintah ini, tiga orang pemuda yang berada di belakang pendeta pemungut derma itu tertawa-tawa menyeringai, membayangkan betapa akan senangnya melihat nona manis itu dipaksa bertelanjang bulat di depan meraka, juga si bongkok!

Akan tetapi kalau wajah Ling Ling berubah merah sekali mendengar ucapan orang Kim-sim-pai itu, sebaliknya Sie Liong bersikap tenang-tenang saja. Akan tetapi dia memutar tubuhnya dan masih duduk, menghadapi raksaaa yang berdiri jangkung di depannya itu.

“Lo-suhu, engkau seorang pendeta, akan tetapi permintaanmu itu sungguh tidak sewajarnya. Bagaimana kalau kami menolak permintaanmu itu?”

Orang tinggi besar itu terbelalak kemudian tertawa bergelak. Perutnya yang besar itu terguncang dan suara ketawanya menggetarkan seluruh tamu yang berada di situ.

“Ha-ha-ha! Orang muda bongkok! Engkau belum mengenal siapa aku? Aku disebut orang Si Biruang Hitam dan belum pernah ada orang berani menentang perintahku! Kalau kalian tidak mentaati aku dan berani menolak perintahku, terpaksa aku akan dengan paksa menelanjangi kalian di sini, kemudian kubikin bongkokmu menjadi lurus!”

“Ha-ha-ha!” Tiga orang pemuda itu tertawa dan disambung oleh si baju kuning. “Lo-suhu, kalau bongkoknya diluruskan, berarti tulang punggungnya akan patah-patah dan dia akan mampus!”

“Kebetulan kalau begitu! Si manis ini kita yang merawat dan memeliharanya!” kata yang lain.

Kedua pipi Sie Liong mulai berubah merah dan diapun bangkit berdiri. Memang dia nampak bongkok dan lemah di depan anggauta Kim-sim-pai yang tinggi besar dan menyeramkan itu, seperti seekor domba berhadapan dengan seekor biruang!

Semua tamu memandang gelisah, bahkan Ling Ling juga agak pucat, khawatir kalau-kalau “jagonya” sekali ini akan kalah karena sikap orang Kim-sim-pai itu memang menyeramkan sekali.

“Lo-suhu, sungguh aku merasa heran sekali melihat sikap dan sepak terjangmu. Engkau berjubah pendeta dan engkau mengumpulkan dana untuk para pendeta dan kuil. Ini berarti bahwa engkau adalah seorang manusia yang menjauhkan diri dari kesesatan, menjauhkan diri dari kekuasaan iblis yang bekerja melalui pengaruh nafsu, mendekatkan diri dengan Tuhan dan selalu mengikuti jalan kebenaran. Akan tetapi mengapa sepak terjangmu seperti ini? Sebenarnya engkau ini pendeta ataukah penjahat? Sadarlah, losuhu, sebelum terlambat!”

Sepasang mata itu melotot, mulut itu ternganga karena anggauta Kim-sim-pang itu terheran-heran, hampir tidak percaya bahwa ada seorang pemuda, bertubuh cacat bongkok pula, berani mengucapkan kata-kata seperti itu kepadanya!

Kalau yang berkata demikian itu atasannya di Kim-sim-pang, atau setidaknya seorang pendeta Lama yang berilmu tinggi, atau seorang pejabat tinggi yang berkuasa, dia tidak akan merasa heran. Akan tetapi seorang pemuda biasa, asing pula, bongkok pula, berani mengucapkan kata-kata seperti itu, di depan umum pula? Dia merasa terhina bukan main dan api kemarahan seperti hendak membakar-hanguskan kepala dan dadanya!

“Demi semua dewa dan iblis! Siapakah engkau berani berkata seperti itu kepada Biruang Hitam? Hayo mengaku siapa engkau sebelum engkau terlanjur mampus dan menjadi mayat tanpa nama!”

Berkata demikian, Si Biruang Hitam itu sudah menggerak-gerakkan sepuluh buah jari tangannya dan terdengar bunyi berkerotokan seolah-olah semua potongan tulang jari tangannya menjadi hidup dan berteriak-teriak.

Sie Liong bersikap tenang saja. Dia tahu apa artinya bunyi berkerotokan pada buku-buku jari tangan orang itu. Seorang yang memiliki tenaga yang amat kuat dan jari-jari tangan itu telah terlatih, akan tetapi tenaga itu baginya tidak berbahaya, hanya merupakan tenaga luar yang nampaknya saja dahsyat.

“Namaku Sie Liong dan aku sama sekali tidak ingin memusuhimu, akan tetapi tentu saja aku akan menentang segala macam bentuk kejahatan yang dilakukan oleh siapapun juga.”




Pendekar Bongkok Jilid 085
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar