Semua mata memandang, semua kepala menoleh ketika Sie Liong dan Ling Ling memasuki kedai makanan itu. Ling Ling adalah seorang gadis yang terlampau menarik untuk dilewatkan begitu saja oleh mata pria. Dan temannya, Sie Liong, juga seorang pemuda yang terlampau aneh dengan cacatnya, sehingga semua orang tertarik untuk memandangnya.
Mereka memasuki sebuah kedai makan di kota Nam-leng yang berada di sebelah barat kota besar Lasha pada tengah hari itu untuk makan siang. Seorang pelayan kedai menyambut mereka dan membawa mereka ke sebuah meja kosong di sudut kanan, diikuti pandang mata belasan orang tamu yang sedang duduk makan di kedai itu.
Segera terdengar suara bisik-bisik, bahkan ada yang agak keras diselingi tawa sehingga terdengar sepenuhnya oleh pendengaran Sie Liong yang tajam terlatih, dan terdengar sebagian oleh Ling Ling.
“Amboi.... manisnya....!”
“Lihat bentuk tubuhnya.... seperti kijang emas....!”
“Matanya.... ah, begitu jeli seperti bintang kejora!”
“Kalau aku, yang paling menarik adalah mulutnya. Lihat, bibirnya tipis merah segar, seperti buah masak membikin gemes!”
“Sayang ya, gadis semolek itu ditemani seorang.... ha-ha, seekor monyet!”
“Bukan monyet, dia setan bongkok yang baru muncul dari kuburan, ha-ha!”
“Siapa tahu, dia hanya pelayannya saja!”
“Atau saudaranya!”
“Tidak mungkin dia suaminya atau pacarnya. Huh, seperti onta begitu, mana mungkin berpasangan bidadari?”
Sie Liong diam saja, akan tetapi dia merasa betapa jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Dia tidak dapat merasa sakit hati lagi kalau dirinya diperolok orang. Dia sudah yakin sepenuhnya akan keburukan dirinya yang cacat. Dia pun tidak iri atau cemburu mendengar pria-pria itu memuji-muji kecantikan Ling Ling. Memang Ling Ling seorang gadis yang manis sekali.
Akan tetapi semua olok-olok itu membuka matanya, menekan batinnya, membuat dia sadar sepenuhnya bahwa dia tidak pantas bersanding dengan Ling Ling! Apalagi mencintanya! Sungguh dia tidak tahu diri. Pria cacat seperti dia mana pantas menjadi pacar atau suami seorang gadis semanis Ling Ling? Mereka itu benar dalam olok-olok mereka. Menjadi pelayan Ling Ling saja tidak patut kalau melakukan perjalanan bersama seperti itu. Hanya akan menyeret Ling Ling dalam kerendahan dan membuat Ling Ling menjadi bahan olok-olok orang lain.
Ling Ling hanya dapat mendengar sebagian saja, akan tetapi cukup membuat kedua pipinya menjadi merah sekali. Ingin rasanya ia memaki-maki para tamu itu. Mereka berani merendahkan dan menghina Pendekar Bongkok! Ingin ia membujuk Sie Liong agar menghajar mereka itu, agar terbuka mata mereka siapa adanya pemuda bongkok yang mereka pandang rendah dan hina itu!
Akan tetapi ia sudah cukup mengenal watak Pendekar Bongkok, tahu bahwa bujukannya takkan berhasil. Pendekar Bongkok terlalu rendah hati dan penyabar. Ketika ia melirik, ia melihat betapa Sie Liong sama sekali tidak terpengaruh semua ejekan itu, seolah-olah tidak pernah mandengarnya. Diam-diam Ling Ling merasa penasaran, walaupun kagum. Untuk melampiaskan rasa penasaran hatinya, iapun berkata dengan suara agak dikeraskan kepada Sie Liong.
“Liong-ko, kedai di sini cukup enak tempatnya, ya? Entah bagaimana dengan hidangannya, dan sayangnya, banyak sekali lalat kotor di sini!”
Sie Liong memandang kepadanya dan menahan senyumnya. Tempat itu memang tidak amat bersih, akan tetapi juga tidak banyak lalat kotor seperti yang dikatakan Ling Ling dan dia mengerti bahwa gadis itu menjadi panas hatinya mendengar olok-olok para tamu itu.
Diantara para tamu ada segerombolan pemuda berusia lebih dua puluh lima tahun yang duduk di meja sebelah mereka, jumlah mereka ada tiga orang dan mereka tadi juga mengeluarkan kata-kata pujian terhadap Ling Ling dangan sikap berani dan berandalan. Mendengar ucapan Ling Ling, seorang diantara mereka terkekeh.
“Wah, kita dianggap lalat kotor! Ha-ha, kalau aku benar menjadi lalat, aku akan terbang dan hinggap di pipinya untuk mencuri cium, atau di bibirnya yang akan kugigit dengan gemas!” Kawan-kawannya tertawa mendengar kelakar yang kurang ajar itu.
“Liong-ko, yang membikin aku tidak kuat dan muak tentang lalat-lalat itu adalah suaranya. Mari kita pergi mencari kedai lain saja, Liong-ko!” kata pula Ling Ling, kini lebih marah lagi.
“Ha-ha, kawan-kawan. Kita tiga ekor lalat akan selalu terbang mengikutinya. Setuju?”
“Akur....!” seru teman-temannya pula.
Ling Ling tak dapat menahan lagi kemarahannya walaupun Sie Liong memberi isyarat dengan kedipan mata agar gadis itu diam. Ia bangkit berdiri dan memanggil pelayan.
“Hei, bung pelayan, kesinilah!”
Ketika pelayan datang, Ling Ling berkata sambil melirik ke arah meja di sebelah dimana tiga orang pemuda berandal itu duduk.
“Bung pelayan, kalau engkau tidak mau mangusir lalat kuning di sana itu, aku tidak jadi makan di sini. Dia kotor sakali, menjijikkan!”
Sie Liong hendak mencegah, namun gadis itu sudah terlanjur bicara, bahkan kini terang-terangan Ling Ling memandang dengan mata melotot kepada pemuda berpakaian kuning, seorang diantara mereka bertiga itu.
Tentu saja si pelayan menjadi salah tingkah dan tidak tahu harus berbuat apa. Ketika si baju kuning itu bangkit dengan marah dan bersama dua orang temannya menghampiri meja Ling Ling, pelayan itu mundur dan pergi ketakutan. Si baju kuning kini menghampiri Ling Ling dan sambil tersenyum mengejek dia berkata.
“Nona manis, berani engkau menghinaku, ya? Kalau sekarang juga kupeluk kau, kucium pipimu dan kugigit bibirmu, engkau mau apa? Mau mengandalkan pengawalmu yang bongkok ini? Hayo minta maaf kepadaku, kalau tidak, akan kucium pipimu!”
Pada saat itu, Sie Liong bangkit berdiri karena dia khawatir kalau pemuda itu benar-benar melaksanakan ancamannya. Berdirinya sudah terlalu dekat dan sekali tangannya menjangkau, dia tentu akan dapat merangkul Ling Ling yang kelihatan marah dan berani itu.
“Harap sam-wi suka bersabar dan maafkan kami. Kalau mulai saat ini sam-wi (kalian bertiga) tidak menyinggung kami, tentu kamipun tidak akan berani menyinggung sam-wi. Maafkanlah kami dan habiskan perkara yang tidak ada artinya ini sampai disini saja.”
Sikap dan ucapan Sie Liong ini dinilai sebagai pernyataan takut oleh tiga orang pemuda berandal itu.
“Apa kau bilang? Mana bisa kami memaafkan begitu saja! Nona ini harus minta maaf kepada kami, dan engkau ini onta bongkok harus berlutut minta maaf kepada kami, baru kami mau sudah!”
Sie Liong mangerutkan alisnya. Dia tidak ingin mencari keributan, akan tetapi kalau dia disuruh minta maaf sambil berlutut, tentu saja dia tidak sudi.
“Harap sam-wi tidak bersikap begitu. Kami adalah pendatang yang tidak ingin mencari permusuhan.”
“Onta bongkok, engkau mencari permusuhan aku tidak takut! Tidak mencari pun, kami yang mencari permusuhan danganmu! Hayo ke sini rasakan hajaran kami!” kata si baju kuning.
Pada saat itu, terdengar suara yang parau dan dalam, namun nyaring sehingga terdengar oleh semua tamu kedai makan itu.
“Ho-ho, siapa dia yang mencari permusuhan di sini? Hayo maju dan lawan aku!”
Tiga orang pemuda berandalan itu menengok dengan marah. Mereka melihat seorang pria berusia lima puluhan tahun, bertubuh tinggi besar, dengan jubah seperti pendeta akan tetapi pakaiannya butut seperti pengemis, dan tangan kirinya memegang sebuah hio-louw atau tempat abu sembahyang dari besi, tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut.
Melihat pakaiannya, orang-orang di situ tahu bahwa pria ini adalah sebangsa peminta derma untuk keperluan kuil atau para pendeta. Dia semacam pesuruh para pendeta dan akan menerima imbalan beberapa bagian dari hasil pemberian derma yang dikumpulkannya.
Melihat seorang setengah pengemis yang menegur mereka, bahkan menantang, tiga orang pemuda berandalan itu tentu saja memandang rendah dan menjadi marah bukan main. Si baju kuning lalu melompat ke dekat orang itu dan memaki.
“Kau ini pengemis busuk, jembel tua berani menegur kami dan berani menentang? Nah, aku melawanmu, nih, makan pukulanku!”
Si baju kuning langsung mangayun kepalan tangan kanannya ke arah muka orang itu. Orang itu melihat mukanya dipukul, tidak mengelak, bahkan memutar mukanya dan menerima pukulan kepalan tangan itu dengan kepalanya yang berambut penuh uban, di bagian kiri atas telinga.
“Dukkkk!”
Pukulan itu keras sekali datangnya dan akibatnya, bukan yang punya kepala yang kesakitan melainkan si baju kuning yang menjerit kesakitan sambil terhuyung ke belakang dan memegangi tangan kanan dengan tangan kirinya.
Bukan main nyerinya tangan yang memukul tadi, seperti memukul besi dan seperti remuk rasanya semua buku tulang jari tangannya. Hal ini membuat kedua orang temannya menjadi marah. Mereka meloncat ke dekat kawan mereka dan kini mereka bertiga sudah mencabut golok yang tersembunyi di balik baju masing-masing. Dengan tiga batang golok di tangan, tiga orang pemuda berandalan itu mengepung.
Akan tetapi, penarik derma itu tersenyum mengejek, tidak menurunkan hio-louw dan masih berdiri tegak dengan tongkat butut di tangan kanan.
Tiga orang pemuda itu mengeluarkan teriakan garang lalu mereka menerjang dari tiga jurusan, sementara para tamu di kedai itu memandangi dengan gelisah, akan tetapi mereka tidak berani beranjak dari tempat masing-masing, hanya menonton dengan hati penuh ketegangan.
Tiga batang golok berkelebatan ketika tiga orang pemuda itu menyerang dan biarpun gerakan mereka tidak menunjukkan gerakan silat tingkat tinggi, namun mereka masih muda dan tenaga mereka kuat, juga agaknya mereka sudah biasa berkelahi menggunakan kekerasan.
“Wuut-wuut-wuuut....!” Tiga batang golok menyambar.
“Trang-trang-trangggggg....!”
Tiga batang golok itu disambar tongkat butut dan tiga batang golok itu terlempar dan lepas dari tangan para pemegangnya. Tongkat itu masih terus menyambar-nyambar dan kaki tiga orang pemuda itu terbabat, membuat mereka roboh terpelanting!
Semua orang menjadi berisik dan tiba-tiba orang itu menurunkan hio-louw di atas meja kasir. Meja mengeluarkan suara berkeretekan saking beratnya hio-louw itu dan kini pemungut derma itu mengeluarkan sebuah bendera kecil yang ada gambarnya sebuah hati tersulam dengan benang emas.
“Kim-sim-pai....!” terdengar orang berbisik-bisik.
Mendengar disebutkannya Kim-sim-pang (perkumpulan Hati Emas), semua orang terkejut dan semua orang sudah tahu bahwa Kim-sim-pang adalah perkumpulan para pemberontak yang dipimpin oleh Kim Sim Lama.
Sudah terkenal sekali bahwa anggauta pemberontak ini banyak, juga mereka mempunyai jagoan-jagoan yang berilmu tinggi. Ketika mendengar bisikan itu, tiga orang pemuda berandalan yang mengaduh-aduh sambil menggosok-gosok tulang kering kaki mereka yang terasa nyeri sekali, kini memandang dengan maka pucat dan nyali mereka terbang entah kemana.
“Ha-ha-ha, kalian cacing tanah busuk. Hayo cepat serahkan semua milikmu sebagai sumbangan untuk menebus dosa atau kalian masih ingin berkenalan dengan tongkatku?”
Mereka memasuki sebuah kedai makan di kota Nam-leng yang berada di sebelah barat kota besar Lasha pada tengah hari itu untuk makan siang. Seorang pelayan kedai menyambut mereka dan membawa mereka ke sebuah meja kosong di sudut kanan, diikuti pandang mata belasan orang tamu yang sedang duduk makan di kedai itu.
Segera terdengar suara bisik-bisik, bahkan ada yang agak keras diselingi tawa sehingga terdengar sepenuhnya oleh pendengaran Sie Liong yang tajam terlatih, dan terdengar sebagian oleh Ling Ling.
“Amboi.... manisnya....!”
“Lihat bentuk tubuhnya.... seperti kijang emas....!”
“Matanya.... ah, begitu jeli seperti bintang kejora!”
“Kalau aku, yang paling menarik adalah mulutnya. Lihat, bibirnya tipis merah segar, seperti buah masak membikin gemes!”
“Sayang ya, gadis semolek itu ditemani seorang.... ha-ha, seekor monyet!”
“Bukan monyet, dia setan bongkok yang baru muncul dari kuburan, ha-ha!”
“Siapa tahu, dia hanya pelayannya saja!”
“Atau saudaranya!”
“Tidak mungkin dia suaminya atau pacarnya. Huh, seperti onta begitu, mana mungkin berpasangan bidadari?”
Sie Liong diam saja, akan tetapi dia merasa betapa jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Dia tidak dapat merasa sakit hati lagi kalau dirinya diperolok orang. Dia sudah yakin sepenuhnya akan keburukan dirinya yang cacat. Dia pun tidak iri atau cemburu mendengar pria-pria itu memuji-muji kecantikan Ling Ling. Memang Ling Ling seorang gadis yang manis sekali.
Akan tetapi semua olok-olok itu membuka matanya, menekan batinnya, membuat dia sadar sepenuhnya bahwa dia tidak pantas bersanding dengan Ling Ling! Apalagi mencintanya! Sungguh dia tidak tahu diri. Pria cacat seperti dia mana pantas menjadi pacar atau suami seorang gadis semanis Ling Ling? Mereka itu benar dalam olok-olok mereka. Menjadi pelayan Ling Ling saja tidak patut kalau melakukan perjalanan bersama seperti itu. Hanya akan menyeret Ling Ling dalam kerendahan dan membuat Ling Ling menjadi bahan olok-olok orang lain.
Ling Ling hanya dapat mendengar sebagian saja, akan tetapi cukup membuat kedua pipinya menjadi merah sekali. Ingin rasanya ia memaki-maki para tamu itu. Mereka berani merendahkan dan menghina Pendekar Bongkok! Ingin ia membujuk Sie Liong agar menghajar mereka itu, agar terbuka mata mereka siapa adanya pemuda bongkok yang mereka pandang rendah dan hina itu!
Akan tetapi ia sudah cukup mengenal watak Pendekar Bongkok, tahu bahwa bujukannya takkan berhasil. Pendekar Bongkok terlalu rendah hati dan penyabar. Ketika ia melirik, ia melihat betapa Sie Liong sama sekali tidak terpengaruh semua ejekan itu, seolah-olah tidak pernah mandengarnya. Diam-diam Ling Ling merasa penasaran, walaupun kagum. Untuk melampiaskan rasa penasaran hatinya, iapun berkata dengan suara agak dikeraskan kepada Sie Liong.
“Liong-ko, kedai di sini cukup enak tempatnya, ya? Entah bagaimana dengan hidangannya, dan sayangnya, banyak sekali lalat kotor di sini!”
Sie Liong memandang kepadanya dan menahan senyumnya. Tempat itu memang tidak amat bersih, akan tetapi juga tidak banyak lalat kotor seperti yang dikatakan Ling Ling dan dia mengerti bahwa gadis itu menjadi panas hatinya mendengar olok-olok para tamu itu.
Diantara para tamu ada segerombolan pemuda berusia lebih dua puluh lima tahun yang duduk di meja sebelah mereka, jumlah mereka ada tiga orang dan mereka tadi juga mengeluarkan kata-kata pujian terhadap Ling Ling dangan sikap berani dan berandalan. Mendengar ucapan Ling Ling, seorang diantara mereka terkekeh.
“Wah, kita dianggap lalat kotor! Ha-ha, kalau aku benar menjadi lalat, aku akan terbang dan hinggap di pipinya untuk mencuri cium, atau di bibirnya yang akan kugigit dengan gemas!” Kawan-kawannya tertawa mendengar kelakar yang kurang ajar itu.
“Liong-ko, yang membikin aku tidak kuat dan muak tentang lalat-lalat itu adalah suaranya. Mari kita pergi mencari kedai lain saja, Liong-ko!” kata pula Ling Ling, kini lebih marah lagi.
“Ha-ha, kawan-kawan. Kita tiga ekor lalat akan selalu terbang mengikutinya. Setuju?”
“Akur....!” seru teman-temannya pula.
Ling Ling tak dapat menahan lagi kemarahannya walaupun Sie Liong memberi isyarat dengan kedipan mata agar gadis itu diam. Ia bangkit berdiri dan memanggil pelayan.
“Hei, bung pelayan, kesinilah!”
Ketika pelayan datang, Ling Ling berkata sambil melirik ke arah meja di sebelah dimana tiga orang pemuda berandal itu duduk.
“Bung pelayan, kalau engkau tidak mau mangusir lalat kuning di sana itu, aku tidak jadi makan di sini. Dia kotor sakali, menjijikkan!”
Sie Liong hendak mencegah, namun gadis itu sudah terlanjur bicara, bahkan kini terang-terangan Ling Ling memandang dengan mata melotot kepada pemuda berpakaian kuning, seorang diantara mereka bertiga itu.
Tentu saja si pelayan menjadi salah tingkah dan tidak tahu harus berbuat apa. Ketika si baju kuning itu bangkit dengan marah dan bersama dua orang temannya menghampiri meja Ling Ling, pelayan itu mundur dan pergi ketakutan. Si baju kuning kini menghampiri Ling Ling dan sambil tersenyum mengejek dia berkata.
“Nona manis, berani engkau menghinaku, ya? Kalau sekarang juga kupeluk kau, kucium pipimu dan kugigit bibirmu, engkau mau apa? Mau mengandalkan pengawalmu yang bongkok ini? Hayo minta maaf kepadaku, kalau tidak, akan kucium pipimu!”
Pada saat itu, Sie Liong bangkit berdiri karena dia khawatir kalau pemuda itu benar-benar melaksanakan ancamannya. Berdirinya sudah terlalu dekat dan sekali tangannya menjangkau, dia tentu akan dapat merangkul Ling Ling yang kelihatan marah dan berani itu.
“Harap sam-wi suka bersabar dan maafkan kami. Kalau mulai saat ini sam-wi (kalian bertiga) tidak menyinggung kami, tentu kamipun tidak akan berani menyinggung sam-wi. Maafkanlah kami dan habiskan perkara yang tidak ada artinya ini sampai disini saja.”
Sikap dan ucapan Sie Liong ini dinilai sebagai pernyataan takut oleh tiga orang pemuda berandal itu.
“Apa kau bilang? Mana bisa kami memaafkan begitu saja! Nona ini harus minta maaf kepada kami, dan engkau ini onta bongkok harus berlutut minta maaf kepada kami, baru kami mau sudah!”
Sie Liong mangerutkan alisnya. Dia tidak ingin mencari keributan, akan tetapi kalau dia disuruh minta maaf sambil berlutut, tentu saja dia tidak sudi.
“Harap sam-wi tidak bersikap begitu. Kami adalah pendatang yang tidak ingin mencari permusuhan.”
“Onta bongkok, engkau mencari permusuhan aku tidak takut! Tidak mencari pun, kami yang mencari permusuhan danganmu! Hayo ke sini rasakan hajaran kami!” kata si baju kuning.
Pada saat itu, terdengar suara yang parau dan dalam, namun nyaring sehingga terdengar oleh semua tamu kedai makan itu.
“Ho-ho, siapa dia yang mencari permusuhan di sini? Hayo maju dan lawan aku!”
Tiga orang pemuda berandalan itu menengok dengan marah. Mereka melihat seorang pria berusia lima puluhan tahun, bertubuh tinggi besar, dengan jubah seperti pendeta akan tetapi pakaiannya butut seperti pengemis, dan tangan kirinya memegang sebuah hio-louw atau tempat abu sembahyang dari besi, tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut.
Melihat pakaiannya, orang-orang di situ tahu bahwa pria ini adalah sebangsa peminta derma untuk keperluan kuil atau para pendeta. Dia semacam pesuruh para pendeta dan akan menerima imbalan beberapa bagian dari hasil pemberian derma yang dikumpulkannya.
Melihat seorang setengah pengemis yang menegur mereka, bahkan menantang, tiga orang pemuda berandalan itu tentu saja memandang rendah dan menjadi marah bukan main. Si baju kuning lalu melompat ke dekat orang itu dan memaki.
“Kau ini pengemis busuk, jembel tua berani menegur kami dan berani menentang? Nah, aku melawanmu, nih, makan pukulanku!”
Si baju kuning langsung mangayun kepalan tangan kanannya ke arah muka orang itu. Orang itu melihat mukanya dipukul, tidak mengelak, bahkan memutar mukanya dan menerima pukulan kepalan tangan itu dengan kepalanya yang berambut penuh uban, di bagian kiri atas telinga.
“Dukkkk!”
Pukulan itu keras sekali datangnya dan akibatnya, bukan yang punya kepala yang kesakitan melainkan si baju kuning yang menjerit kesakitan sambil terhuyung ke belakang dan memegangi tangan kanan dengan tangan kirinya.
Bukan main nyerinya tangan yang memukul tadi, seperti memukul besi dan seperti remuk rasanya semua buku tulang jari tangannya. Hal ini membuat kedua orang temannya menjadi marah. Mereka meloncat ke dekat kawan mereka dan kini mereka bertiga sudah mencabut golok yang tersembunyi di balik baju masing-masing. Dengan tiga batang golok di tangan, tiga orang pemuda berandalan itu mengepung.
Akan tetapi, penarik derma itu tersenyum mengejek, tidak menurunkan hio-louw dan masih berdiri tegak dengan tongkat butut di tangan kanan.
Tiga orang pemuda itu mengeluarkan teriakan garang lalu mereka menerjang dari tiga jurusan, sementara para tamu di kedai itu memandangi dengan gelisah, akan tetapi mereka tidak berani beranjak dari tempat masing-masing, hanya menonton dengan hati penuh ketegangan.
Tiga batang golok berkelebatan ketika tiga orang pemuda itu menyerang dan biarpun gerakan mereka tidak menunjukkan gerakan silat tingkat tinggi, namun mereka masih muda dan tenaga mereka kuat, juga agaknya mereka sudah biasa berkelahi menggunakan kekerasan.
“Wuut-wuut-wuuut....!” Tiga batang golok menyambar.
“Trang-trang-trangggggg....!”
Tiga batang golok itu disambar tongkat butut dan tiga batang golok itu terlempar dan lepas dari tangan para pemegangnya. Tongkat itu masih terus menyambar-nyambar dan kaki tiga orang pemuda itu terbabat, membuat mereka roboh terpelanting!
Semua orang menjadi berisik dan tiba-tiba orang itu menurunkan hio-louw di atas meja kasir. Meja mengeluarkan suara berkeretekan saking beratnya hio-louw itu dan kini pemungut derma itu mengeluarkan sebuah bendera kecil yang ada gambarnya sebuah hati tersulam dengan benang emas.
“Kim-sim-pai....!” terdengar orang berbisik-bisik.
Mendengar disebutkannya Kim-sim-pang (perkumpulan Hati Emas), semua orang terkejut dan semua orang sudah tahu bahwa Kim-sim-pang adalah perkumpulan para pemberontak yang dipimpin oleh Kim Sim Lama.
Sudah terkenal sekali bahwa anggauta pemberontak ini banyak, juga mereka mempunyai jagoan-jagoan yang berilmu tinggi. Ketika mendengar bisikan itu, tiga orang pemuda berandalan yang mengaduh-aduh sambil menggosok-gosok tulang kering kaki mereka yang terasa nyeri sekali, kini memandang dengan maka pucat dan nyali mereka terbang entah kemana.
“Ha-ha-ha, kalian cacing tanah busuk. Hayo cepat serahkan semua milikmu sebagai sumbangan untuk menebus dosa atau kalian masih ingin berkenalan dengan tongkatku?”
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar