Bi Sian memasuki kota Lasha dengan wajah gembira. Bangunan-bangunan kuno dan besar megah di kota itu membuat dia kagum sekali. Sebuah kota yang lain dari pada yang lain, terletak di daerah pegunungan yang hawanya dingin dan bangunan raksasa itu berderet-deret di lereng-lereng bukit.
Bangunan raksasa yang berderet-deret itu adalah tempat tinggal Dalai Lama dan para pendeta Lama yang merupakan golongan yang paling berkuasa dan kuat di Tibet. Ia tidak tahu betapa kemunculannya menarik perhatian banyak orang, terutama kaum prianya karena ia adalah seorang gadis yang selain cantik manis, juga pakaiannya yang tambal-tambalan itu sungguh aneh sekali. Tambal-tambal akan tetapi tidak butut, bahkan baru dan bersih!
Bukan hanya mata para pria yang berada di jalan raya kota Lasha saja yang memandang kagum, bahkan juga Bong Gan mencuri pandang dari samping dan diapun kagum dan bangga.
Melihat gadis itu berwajah demikian cerah dan gembira, sepasang matanya yang indah itu bersinar dan mulutnya tersenyum-senyum, dengan lenggang perlahan bagaikan menari, sungguh Bi Sian merupakan seorang wanita yang memiliki daya tarik amat besar. Dan dia berbangga hati karena dialah pria yang mendampingi gadis ini. Bahkan pandang mata iri dari para pria di situ menambah kebanggaan hatinya!
Dia jatuh cinta kepada gadis ini dan biarpun Bi Sian belum menjawab secara meyakinkan, namun gadis itu tidak marah mendengar dia mengaku cinta. Gadis itu sudah tahu bahwa dia mencintanya dan ia tidak marah. Itu sudah lebih dari cukup untuk sementara ini.
Hanya, kadang dia merasa tersiksa sekali, apalagi kalau mereka terpaksa bermalam di hutan atau kuil tua, melihat gadis itu tidur pulas demikian dekatnya! Nafsu berahinya membakar dirinya, dan dia tidak berani apa-apa, menyentuhpun tidak berani. Sama halnya dengan seorang kelaparan melihat dan mencium makanan lezat di depan hidung dan mulut, akan tetapi tidak boleh menjamahnya!
Akan tetapi, melihat betapa gadis yang dicintanya itu menjadi perhatian banyak orang begitu memasuki kota Lasha, Bong Gan mengerutkan alisnya, teringat akan kemungkinan adanya Sie Liong di kota ini. Dia lalu menyentuh lengan Bi Sian dan ketika gadis itu memandang kepadanya, dia memberi isyarat agar dia itu mengikutinya, menyelinap diantara rumah penduduk dan berada di balik sebuah rumah, tidak nampak dari jalan raya.
“Ada apakah, sute?” tanya Bi Sian ketika mereka berada di balik rumah itu dan tidak nampak oleh orang lain.
“Aku baru saja teringat, suci. Kita mencari Pendekar Bongkok dan mungkin saja dia sudah lebih dahulu berada di sini, maka sungguh tidak baik kalau kini kemunculanmu di sini menarik perhatian orang.”
Bi Sian menatap wajah pemuda itu dengan alis berkerut karena ia mengira bahwa ucapan pemuda itu keluar dari hati yang dibakar iri dan cemburu. Ia tadipun melihat betapa pandang mata para pria di kota itu ditujukan kepada dirinya penuh kagum dan heran, dan agaknya ini yang membuat Bong Gan berkata seperti itu.
“Hemm, mengapa tidak baik, sute?” tanyanya, suaranya mengandung teguran.
Bong Gan tersenyum. Dia dapat menduga mengapa suci-nya itu bersikap tak senang,
“Aih, suci. Aku sama sekali tidak merasa kurang senang melihat sikap orang-orang yang kagum kepadamu, bahkan aku merasa bangga! Akan tetapi, seperti yang pernah kau ceritakan kepadaku, Pendekar Bongkok itu melarikan diri ketika kau serang dan agaknya dia tidak suka berkelahi denganmu. Hal ini berarti dia ingin menghindarkan diri darimu. Nah, andaikata dia sudah tiba di sini lalu dia mendengar akan kemunculanmu, seorang gadis yang mudah dikenal dan memiliki ciri khas, yaitu cantik manis dengan pakaian tambal-tambalan yang aneh, tentu dia akan lebih dahulu melarikan diri sebelum sempat kita temui.”
Bi Sian menarik napas panjang.
“Ah, engkau benar, sute. Betapa cerobohnya aku! Benar sekali, kita masuk tanpa diketahui orang, dan lebih dahulu mencari keterangan tentang dirinya. Kiranya tidak akan sukar mencari orang dengan cacat bongkok seperti dia. Nah, kita masuk di rumah makan sana itu, sute, kita makan dan kita sekalian mencari keterangan di sana.”
Kembali Bi Sian yang memimpin seperti biasanya setelah ia disadarkan oleh sutenya. Dengan berindap kini, tidak menyolok, mereka lalu menuju ke rumah makan, masuk dan memilih tempat di sudut yang agak gelap dan tidak menyolok, juga tidak nampak dari pintu depan karena terhalang tihang. Tanpa banyak cakap mereka memesan makanan, dan minuman, lalu makan sambil diam-diam memperhatikan ruangan rumah makan itu.
Siang hari itu, tidak banyak orang makan di situ. Karena Bi Sian sengaja duduk membelakangi ruangan menghadap dinding, maka Bong Gan yang bertugas sebagai mata-mata dan menyelidiki keadaan ruangan itu, juga beberapa orang tamu yang makan minum di situ.
Hanya ada tiga meja yang terisi tamu, masing-masing empat orang sehingga selain mereka berdua, ada dua belas orang tamu pria yang sedang makan minum. Karena Bi Sian sengaja memalingkan muka dan duduk menghadap dinding, maka ia tidak menarik banyak perhatian.
Bong Gan tadinya menyapu para tamu dengan pandang matanya yang acuh dan tidak tertarik, akan tetapi tiba-tiba sepasang mata pemuda itu bersinar-sinar, kemudian pandang matanya melekat pada seseorang yang baru saja melangkah masuk.
Jantungnya seperti berhenti berdetak untuk beberapa saat lamanya, kemudian berdebar keras sekali. Apa yang dilihatnya membuat api gairah dalam dirinya seperti berkobar seketika, akan tetapi dia masih teringat bahwa Bi Sian duduk di depannya. Maka dia pun dapat menguasai perasaannya, agar jangan sampai nampak oleh suci-nya. Hanya ada satu yang dapat menarik perhatian dan membangkitkan gairah dalam hati pemuda ini, yalah wanita cantik. Dan wanita yang kini melenggang masuk ke dalam rumah makan itu lebih daripada cantik!
Gadis itu usianya sudah dewasa dan matang, setidaknya tentu ada dua puluh empat tahun usianya. Wajahnya berbentuk bulat telur, kulitnya putih mulus agak kemerahan dan sebagian lengannya yang nampak karena lengan bajunya tergulung sebagian, juga berkulit putih halus, dengan bulu lembut.
Wajah itu manis sekali, cantik jelita dengan daya tarik yang amat kuat. Kecantikan wajah seorang peranakan Kirgiz dan Han. Bentuk tubuhnya padat dan lemah gemulai, pinggangnya yang ramping itu seperti pohon yang-liu tertiup angin, lenggangnya mempesona, seperti lenggang seekor harimau kelaparan, dengan buah pinggul menari-nari, setiap kali melangkah, tepi lutut sebelah dalam saling bersentuhan. Pakaiannya ketat sekali, membuat lekuk lengkung tubuhnya yang padat berisi dan denok itu membayang jelas. Yang membuatnya lebih menarik lagi adalah punggungnya yang terhias sebatang pedang beronce merah!
Ketika memasuki restoran itu bersama seorang berpakaian pendeta tosu yang usianya sudah enam puluh tahun, pria yang bertubuh tinggi besar dan biarpun usianya sudah enam puluh tahun masih nampak tampan dan gagah, dengan jubah yang lebar membungkus tubuhnya, wanita itu segera menjadi perhatian para tamu pria yang duduk di rumah makan itu.
Gadis itupun melayangkan pandang matanya ke dalam ruangan rumah makan, dan ketika ia melihat Bong Gan yang memandang kepadanya dengan kagum, wanita itupun balas menatap dan sinar matanya memancarkan cahaya aneh, wajahnya yang berkulit putih mulus itu menjadi kemerahan, bibirnya yang merah dan berbentuk indah itu mekar dalam senyum memikat, sepasang matanya lalu melepas kerling yang menyambar bagaikan kilat!
Kemudian, gadis itu duduk menghadapi sebuah meja tak jauh dari tempat duduk Bong Gan dan sengaja ia duduk menghadap ke arah Bong Gan. Temannya, pendeta tinggi besar itu dengan sikap acuh saja lalu duduk di depannya, membelakangi meja Bong Gan.
Pelayan yang tadi juga menyambut Bong Gan dan Bi Sian dan yang menerima pesanan makanan, kini menghampiri dua orang tamu baru itu dan Bong Gan dapat melihat dengan jelas bahwa pelayan itu sudah mengenal mereka, nampak amat menghormat pendeta itu ketika menerima pesanan yang diucapkan oleh si gadis jelita dengan suara merdu.
Bi Sian dapat melihat betapa tadi sute-nya seperti tertarik oleh sesuatu, dan mendengar suara wanita yang merdu memesan makanan, iapun tertarik dan memutar sedikit tubuhnya agar miring dan iapun mengerling ke arah meja itu.
Melihat wanita yang amat cantik dengan sikap ramah terbuka, dengan pedang di punggung, tentu saja iapun amat tertarik, menduga bahwa tentu wanita itu seorang ahli silat, seorang wanita kang-ouw yang sudah biasa melakukan perantauan. Apalagi ditemani seorang pendeta tosu yang tinggi besar, maka tentu saja kehadiran dua orang itu memang amat menarik perhatian.
Melihat betapa Bi Sian melirik ke arah wanita itu, Bong Gan bersikap alim dan diapun menundukkan muka, tidak lagi menatap wanita itu.
Wanita cantik manis itu tentu saja amat menarik dan memiliki daya tarik yang amat kuat karena ia bukan lain adalah Pek Lan, gadis peranakan Kirgiz Han yang memang memiliki kecantikan istimewa. Yang berada di sampingnya adalah Thai-yang Suhu, tokoh Pek-lian-kauw yang tadinya adalah sahabat gurunya, Hek-in Kui-bo dan kini telah menjadi sahabat dan juga gurunya pula mengajarkan ilmu sihir dan sebagai imbalannya, Pek Lan menyerahkan dirinya untuk menjadi kekasih tokoh Pek-lian-kauw yang masih nampak muda dan tampan gagah itu.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Thai-yang Suhu mendapat tugas dari Pek-lian-kauw untuk mengumpulkan gadis-gadis dusun yang muda dan cantik untuk dijadikan pelayan di perkumpulan agama sesat itu.
Dalam pekerjaan ini, dia dibantu oleh Pek Lan yang menyamar sebagai “siluman merah” dan menculiki gadis-gadis dusun yang cantik. Juga tokoh Pek-lian-kauw itu dibantu oleh Tibet Sam Sinto.
Akan tetapi, ketika gerombolan ini yang bersembunyi di Bukit Onta sedang mengumpulkan gadis-gadis itu, muncul Pendekar Bongkok yang bukan saja menggagalkan usaha mereka, bahkan membuat Pek Lan dan Thai-yang Suhu terpaksa harus melarikan diri, sedangkan dua orang diantara Tibet Sam Sinto tewas di tangan Pendekar Bongkok.
Thai-yang Suhu dan Pek Lan lalu melarikan diri dengan hati gentar menghadapi Pendekar Bongkok yang terlalu kuat bagi mereka. Akan tetapi kemudian mereka berdua melanjutkan perjalanan ke Lasha karena Thai-yang Subu hendak mengabarkan tentang kemunculan Pendekar Bongkok itu kepada Kim Sim Lama, yaitu pimpinan pemberontak di Tibet yang bekerja sama pula dengan Pek-lian-kauw.
Dan dalam rumah makan ini, dimana Thai-yang Suhu sudah dikenal oleh pelayannya, mereka melihat Bong Gan dan Bi Sian. Tentu saja Pek Lan segera tertarik bukan main melihat Bong Gan, seorang pemuda yang memang tampan dan gagah! Gairahnya segera bangkit, dan Pek Lan sudah menentukan pilihannya untuk bersenang-senang malam nanti!
Gadis ini seperti telah dihinggapi penyakit. Biarpun ia melakukan perjalanan bersama Thai-yang Suhu yang menganggapnya sebagai kekasih, namun setiap kali bertemu seorang pria yang menarik hatinya, Pek Lan tentu akan berusaha untuk menundukkannya.
Thai-yang Suhu mengenal baik watak Pek Lan dan diapun tidak mampu mencegah, bahkan tosu ini acuh saja karena dia sendiripun menganggap Pek Lan hanya sebagai hiburan dan selingan saja! Maka, melihat betapa Pek Lan memperlihatkan kekagumannya kepada pemuda yang duduk di meja sebelah Thai-yang Suhu mengambil sikap tidak perduli.
Setelah selesai makan, Bong Gan manggapai pelayan rumah makan untuk membayar harga makanan dan minuman. Sejak tadi, dia sudah main mata dengan gadis cantik itu dan dia melihat betapa gadis jelita itu memberi tanda-tanda dengan kerling mata dan senyumnya bahwa iapun menanggapi perasaan hati Bong Gan!
Tentu saja Bong Gan menjadi semakin terpikat dan dia mengambil keputusan untuk malam nanti mancari kesempatan, meninggalkan Bi Sian kalau gadis itu sudah tidur di kamar lain dalam penginapan, untuk mencari gadis peranakan Kirgiz yang amat mempesona ini.
Ketika pelayan menerima uang pembayaran dari Bong Gan, pemuda ini yang ingin mempercepat penyelidikan yang dilakukan Bi Sian, segera bertanya,
“Kami mencari seorang pemuda yang pungungnya bongkok. Apakah engkau barangkali mengetahuinya? Mungkin dia pernah datang ke rumah makan ini, atau engkau melihatnya di jalan?”
Bi Sign tidak sempat mencegah Bong Gan mengajukan pertanyaan itu, dan iapun memperhatikan dan menanti jawaban si pelayan. Bagaimanapun juga, pertanyaan itu tidak akan mandatangkan kecurigaan kepada orang lain. Tidak ada anehnya kalau mereka bertanya-tanya tentang seorang pemuda bongkok.
Akan tetapi, mereka melihat betapa wajah pelayan itu tampak terkejut bukan main. Matanya terbelalak dan sejenak dia memandang bengong kepada Bong Gan. Lalu dia menjawab agak gugup.
“Kongcu.... eh, apakah dia.... eh, dia seorang pemuda bongkok yang sakti?”
Tentu saja Bong Gan dan Bi Sian merasa girang bukan main mendengar pertanyaan itu. Tak salah lagi. Sie Liong yang dimaksudkan pelayan ini. Di dunia ini mana lagi ada orang bongkok yang sakti? Bong Gan mengangguk-angguk.
“Benar dia! Di manakah dia?”
Bangunan raksasa yang berderet-deret itu adalah tempat tinggal Dalai Lama dan para pendeta Lama yang merupakan golongan yang paling berkuasa dan kuat di Tibet. Ia tidak tahu betapa kemunculannya menarik perhatian banyak orang, terutama kaum prianya karena ia adalah seorang gadis yang selain cantik manis, juga pakaiannya yang tambal-tambalan itu sungguh aneh sekali. Tambal-tambal akan tetapi tidak butut, bahkan baru dan bersih!
Bukan hanya mata para pria yang berada di jalan raya kota Lasha saja yang memandang kagum, bahkan juga Bong Gan mencuri pandang dari samping dan diapun kagum dan bangga.
Melihat gadis itu berwajah demikian cerah dan gembira, sepasang matanya yang indah itu bersinar dan mulutnya tersenyum-senyum, dengan lenggang perlahan bagaikan menari, sungguh Bi Sian merupakan seorang wanita yang memiliki daya tarik amat besar. Dan dia berbangga hati karena dialah pria yang mendampingi gadis ini. Bahkan pandang mata iri dari para pria di situ menambah kebanggaan hatinya!
Dia jatuh cinta kepada gadis ini dan biarpun Bi Sian belum menjawab secara meyakinkan, namun gadis itu tidak marah mendengar dia mengaku cinta. Gadis itu sudah tahu bahwa dia mencintanya dan ia tidak marah. Itu sudah lebih dari cukup untuk sementara ini.
Hanya, kadang dia merasa tersiksa sekali, apalagi kalau mereka terpaksa bermalam di hutan atau kuil tua, melihat gadis itu tidur pulas demikian dekatnya! Nafsu berahinya membakar dirinya, dan dia tidak berani apa-apa, menyentuhpun tidak berani. Sama halnya dengan seorang kelaparan melihat dan mencium makanan lezat di depan hidung dan mulut, akan tetapi tidak boleh menjamahnya!
Akan tetapi, melihat betapa gadis yang dicintanya itu menjadi perhatian banyak orang begitu memasuki kota Lasha, Bong Gan mengerutkan alisnya, teringat akan kemungkinan adanya Sie Liong di kota ini. Dia lalu menyentuh lengan Bi Sian dan ketika gadis itu memandang kepadanya, dia memberi isyarat agar dia itu mengikutinya, menyelinap diantara rumah penduduk dan berada di balik sebuah rumah, tidak nampak dari jalan raya.
“Ada apakah, sute?” tanya Bi Sian ketika mereka berada di balik rumah itu dan tidak nampak oleh orang lain.
“Aku baru saja teringat, suci. Kita mencari Pendekar Bongkok dan mungkin saja dia sudah lebih dahulu berada di sini, maka sungguh tidak baik kalau kini kemunculanmu di sini menarik perhatian orang.”
Bi Sian menatap wajah pemuda itu dengan alis berkerut karena ia mengira bahwa ucapan pemuda itu keluar dari hati yang dibakar iri dan cemburu. Ia tadipun melihat betapa pandang mata para pria di kota itu ditujukan kepada dirinya penuh kagum dan heran, dan agaknya ini yang membuat Bong Gan berkata seperti itu.
“Hemm, mengapa tidak baik, sute?” tanyanya, suaranya mengandung teguran.
Bong Gan tersenyum. Dia dapat menduga mengapa suci-nya itu bersikap tak senang,
“Aih, suci. Aku sama sekali tidak merasa kurang senang melihat sikap orang-orang yang kagum kepadamu, bahkan aku merasa bangga! Akan tetapi, seperti yang pernah kau ceritakan kepadaku, Pendekar Bongkok itu melarikan diri ketika kau serang dan agaknya dia tidak suka berkelahi denganmu. Hal ini berarti dia ingin menghindarkan diri darimu. Nah, andaikata dia sudah tiba di sini lalu dia mendengar akan kemunculanmu, seorang gadis yang mudah dikenal dan memiliki ciri khas, yaitu cantik manis dengan pakaian tambal-tambalan yang aneh, tentu dia akan lebih dahulu melarikan diri sebelum sempat kita temui.”
Bi Sian menarik napas panjang.
“Ah, engkau benar, sute. Betapa cerobohnya aku! Benar sekali, kita masuk tanpa diketahui orang, dan lebih dahulu mencari keterangan tentang dirinya. Kiranya tidak akan sukar mencari orang dengan cacat bongkok seperti dia. Nah, kita masuk di rumah makan sana itu, sute, kita makan dan kita sekalian mencari keterangan di sana.”
Kembali Bi Sian yang memimpin seperti biasanya setelah ia disadarkan oleh sutenya. Dengan berindap kini, tidak menyolok, mereka lalu menuju ke rumah makan, masuk dan memilih tempat di sudut yang agak gelap dan tidak menyolok, juga tidak nampak dari pintu depan karena terhalang tihang. Tanpa banyak cakap mereka memesan makanan, dan minuman, lalu makan sambil diam-diam memperhatikan ruangan rumah makan itu.
Siang hari itu, tidak banyak orang makan di situ. Karena Bi Sian sengaja duduk membelakangi ruangan menghadap dinding, maka Bong Gan yang bertugas sebagai mata-mata dan menyelidiki keadaan ruangan itu, juga beberapa orang tamu yang makan minum di situ.
Hanya ada tiga meja yang terisi tamu, masing-masing empat orang sehingga selain mereka berdua, ada dua belas orang tamu pria yang sedang makan minum. Karena Bi Sian sengaja memalingkan muka dan duduk menghadap dinding, maka ia tidak menarik banyak perhatian.
Bong Gan tadinya menyapu para tamu dengan pandang matanya yang acuh dan tidak tertarik, akan tetapi tiba-tiba sepasang mata pemuda itu bersinar-sinar, kemudian pandang matanya melekat pada seseorang yang baru saja melangkah masuk.
Jantungnya seperti berhenti berdetak untuk beberapa saat lamanya, kemudian berdebar keras sekali. Apa yang dilihatnya membuat api gairah dalam dirinya seperti berkobar seketika, akan tetapi dia masih teringat bahwa Bi Sian duduk di depannya. Maka dia pun dapat menguasai perasaannya, agar jangan sampai nampak oleh suci-nya. Hanya ada satu yang dapat menarik perhatian dan membangkitkan gairah dalam hati pemuda ini, yalah wanita cantik. Dan wanita yang kini melenggang masuk ke dalam rumah makan itu lebih daripada cantik!
Gadis itu usianya sudah dewasa dan matang, setidaknya tentu ada dua puluh empat tahun usianya. Wajahnya berbentuk bulat telur, kulitnya putih mulus agak kemerahan dan sebagian lengannya yang nampak karena lengan bajunya tergulung sebagian, juga berkulit putih halus, dengan bulu lembut.
Wajah itu manis sekali, cantik jelita dengan daya tarik yang amat kuat. Kecantikan wajah seorang peranakan Kirgiz dan Han. Bentuk tubuhnya padat dan lemah gemulai, pinggangnya yang ramping itu seperti pohon yang-liu tertiup angin, lenggangnya mempesona, seperti lenggang seekor harimau kelaparan, dengan buah pinggul menari-nari, setiap kali melangkah, tepi lutut sebelah dalam saling bersentuhan. Pakaiannya ketat sekali, membuat lekuk lengkung tubuhnya yang padat berisi dan denok itu membayang jelas. Yang membuatnya lebih menarik lagi adalah punggungnya yang terhias sebatang pedang beronce merah!
Ketika memasuki restoran itu bersama seorang berpakaian pendeta tosu yang usianya sudah enam puluh tahun, pria yang bertubuh tinggi besar dan biarpun usianya sudah enam puluh tahun masih nampak tampan dan gagah, dengan jubah yang lebar membungkus tubuhnya, wanita itu segera menjadi perhatian para tamu pria yang duduk di rumah makan itu.
Gadis itupun melayangkan pandang matanya ke dalam ruangan rumah makan, dan ketika ia melihat Bong Gan yang memandang kepadanya dengan kagum, wanita itupun balas menatap dan sinar matanya memancarkan cahaya aneh, wajahnya yang berkulit putih mulus itu menjadi kemerahan, bibirnya yang merah dan berbentuk indah itu mekar dalam senyum memikat, sepasang matanya lalu melepas kerling yang menyambar bagaikan kilat!
Kemudian, gadis itu duduk menghadapi sebuah meja tak jauh dari tempat duduk Bong Gan dan sengaja ia duduk menghadap ke arah Bong Gan. Temannya, pendeta tinggi besar itu dengan sikap acuh saja lalu duduk di depannya, membelakangi meja Bong Gan.
Pelayan yang tadi juga menyambut Bong Gan dan Bi Sian dan yang menerima pesanan makanan, kini menghampiri dua orang tamu baru itu dan Bong Gan dapat melihat dengan jelas bahwa pelayan itu sudah mengenal mereka, nampak amat menghormat pendeta itu ketika menerima pesanan yang diucapkan oleh si gadis jelita dengan suara merdu.
Bi Sian dapat melihat betapa tadi sute-nya seperti tertarik oleh sesuatu, dan mendengar suara wanita yang merdu memesan makanan, iapun tertarik dan memutar sedikit tubuhnya agar miring dan iapun mengerling ke arah meja itu.
Melihat wanita yang amat cantik dengan sikap ramah terbuka, dengan pedang di punggung, tentu saja iapun amat tertarik, menduga bahwa tentu wanita itu seorang ahli silat, seorang wanita kang-ouw yang sudah biasa melakukan perantauan. Apalagi ditemani seorang pendeta tosu yang tinggi besar, maka tentu saja kehadiran dua orang itu memang amat menarik perhatian.
Melihat betapa Bi Sian melirik ke arah wanita itu, Bong Gan bersikap alim dan diapun menundukkan muka, tidak lagi menatap wanita itu.
Wanita cantik manis itu tentu saja amat menarik dan memiliki daya tarik yang amat kuat karena ia bukan lain adalah Pek Lan, gadis peranakan Kirgiz Han yang memang memiliki kecantikan istimewa. Yang berada di sampingnya adalah Thai-yang Suhu, tokoh Pek-lian-kauw yang tadinya adalah sahabat gurunya, Hek-in Kui-bo dan kini telah menjadi sahabat dan juga gurunya pula mengajarkan ilmu sihir dan sebagai imbalannya, Pek Lan menyerahkan dirinya untuk menjadi kekasih tokoh Pek-lian-kauw yang masih nampak muda dan tampan gagah itu.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Thai-yang Suhu mendapat tugas dari Pek-lian-kauw untuk mengumpulkan gadis-gadis dusun yang muda dan cantik untuk dijadikan pelayan di perkumpulan agama sesat itu.
Dalam pekerjaan ini, dia dibantu oleh Pek Lan yang menyamar sebagai “siluman merah” dan menculiki gadis-gadis dusun yang cantik. Juga tokoh Pek-lian-kauw itu dibantu oleh Tibet Sam Sinto.
Akan tetapi, ketika gerombolan ini yang bersembunyi di Bukit Onta sedang mengumpulkan gadis-gadis itu, muncul Pendekar Bongkok yang bukan saja menggagalkan usaha mereka, bahkan membuat Pek Lan dan Thai-yang Suhu terpaksa harus melarikan diri, sedangkan dua orang diantara Tibet Sam Sinto tewas di tangan Pendekar Bongkok.
Thai-yang Suhu dan Pek Lan lalu melarikan diri dengan hati gentar menghadapi Pendekar Bongkok yang terlalu kuat bagi mereka. Akan tetapi kemudian mereka berdua melanjutkan perjalanan ke Lasha karena Thai-yang Subu hendak mengabarkan tentang kemunculan Pendekar Bongkok itu kepada Kim Sim Lama, yaitu pimpinan pemberontak di Tibet yang bekerja sama pula dengan Pek-lian-kauw.
Dan dalam rumah makan ini, dimana Thai-yang Suhu sudah dikenal oleh pelayannya, mereka melihat Bong Gan dan Bi Sian. Tentu saja Pek Lan segera tertarik bukan main melihat Bong Gan, seorang pemuda yang memang tampan dan gagah! Gairahnya segera bangkit, dan Pek Lan sudah menentukan pilihannya untuk bersenang-senang malam nanti!
Gadis ini seperti telah dihinggapi penyakit. Biarpun ia melakukan perjalanan bersama Thai-yang Suhu yang menganggapnya sebagai kekasih, namun setiap kali bertemu seorang pria yang menarik hatinya, Pek Lan tentu akan berusaha untuk menundukkannya.
Thai-yang Suhu mengenal baik watak Pek Lan dan diapun tidak mampu mencegah, bahkan tosu ini acuh saja karena dia sendiripun menganggap Pek Lan hanya sebagai hiburan dan selingan saja! Maka, melihat betapa Pek Lan memperlihatkan kekagumannya kepada pemuda yang duduk di meja sebelah Thai-yang Suhu mengambil sikap tidak perduli.
Setelah selesai makan, Bong Gan manggapai pelayan rumah makan untuk membayar harga makanan dan minuman. Sejak tadi, dia sudah main mata dengan gadis cantik itu dan dia melihat betapa gadis jelita itu memberi tanda-tanda dengan kerling mata dan senyumnya bahwa iapun menanggapi perasaan hati Bong Gan!
Tentu saja Bong Gan menjadi semakin terpikat dan dia mengambil keputusan untuk malam nanti mancari kesempatan, meninggalkan Bi Sian kalau gadis itu sudah tidur di kamar lain dalam penginapan, untuk mencari gadis peranakan Kirgiz yang amat mempesona ini.
Ketika pelayan menerima uang pembayaran dari Bong Gan, pemuda ini yang ingin mempercepat penyelidikan yang dilakukan Bi Sian, segera bertanya,
“Kami mencari seorang pemuda yang pungungnya bongkok. Apakah engkau barangkali mengetahuinya? Mungkin dia pernah datang ke rumah makan ini, atau engkau melihatnya di jalan?”
Bi Sign tidak sempat mencegah Bong Gan mengajukan pertanyaan itu, dan iapun memperhatikan dan menanti jawaban si pelayan. Bagaimanapun juga, pertanyaan itu tidak akan mandatangkan kecurigaan kepada orang lain. Tidak ada anehnya kalau mereka bertanya-tanya tentang seorang pemuda bongkok.
Akan tetapi, mereka melihat betapa wajah pelayan itu tampak terkejut bukan main. Matanya terbelalak dan sejenak dia memandang bengong kepada Bong Gan. Lalu dia menjawab agak gugup.
“Kongcu.... eh, apakah dia.... eh, dia seorang pemuda bongkok yang sakti?”
Tentu saja Bong Gan dan Bi Sian merasa girang bukan main mendengar pertanyaan itu. Tak salah lagi. Sie Liong yang dimaksudkan pelayan ini. Di dunia ini mana lagi ada orang bongkok yang sakti? Bong Gan mengangguk-angguk.
“Benar dia! Di manakah dia?”
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar