Telaga Yam-so merupakan sebuah telaga yang besar dan luas di sebelah selatan. Orang Tibet menyebutnya dalam Bahasa Tibet sebagai Yamzho Yumco (Telaga Yamso). Letaknya di sebelah selatan sungai besar Brahmaputra yang amat panjang. Sungai itu mengalir di sepanjang negara Tibet sampai membelok ke selatan dan berakhir di selatan negara Bangladesh sebelah timur India. Daerah inilah, dari Sungai Brahmaputra sampai ke Telaga Yamso, menjadi daerah yang dikuasai Kim-sim-pai!
Daerah ini amat sunyi, penuh dengan hutan belantara yang liar, yang sambung menyambung sampai ke selatan, sampai ke Pegunungan Himalaya. Dusun-dusun hanya dihuni orang-orang pribumi Tibet, dan ada pula peranakan Tibet Bhutan dan beberapa orang peranakan India.
Namun mereka adalah orang-orang gunung yang sederhana, dan agaknya Kim-sim-pai tidak mengusik mereka yang hidup tenang dan damai karena setiap harinya mereka hanya mengurus mencari makan dengan jalan berburu, beternak kecil-kecilan, dan ada pula yang menjadi penangkap ikan di sepanjang Sungai Brahmaputra atau Telaga Yamso.
Akan tetapi, akhir-akhir ini bermunculan banyak orang Nepal di daerah itu dan mulailah terdapat gangguan-gangguan yang mengusik kehidupan yang tadinya aman damai dari para penghuni dusun di daerah itu.
Orang-orang Nepal ini adalah anak buah dari pangeran Nepal pelarian yang kini telah bersekutu dengan Kim-sim-pai. Pangeran itu, Janghar Singh, telah bersekutu dengan Kim Sim Lama dan dia berjanji untuk membantu gerakan para pendeta Lama yang memberontak terhadap Dalai Lama itu, sedangkan pihak Kim-sim-pai juga berjanji bahwa kelak, kalau mereka telah menguasai Tibet, mereka akan membantu Pangeran Janghar Singh yang hendak memberontak terhadap Kerajaan Nepal.
Gangguan para orang Nepal itu kadang amat menggelisahkan penduduk. Kalau mereka itu kadang hanya minta dengan paksa beberapa ekor hewan ternak, hal itu masih dapat diberikan dengan hati sabar oleh para penghuni dusun. Akan tetapi ada kalanya, orang-orang Nepal itu mengganggu wanita! Karena itu, maka banyaklah wanita muda yang cantik atau bersih, diungsikan keluarga mereka ke tempat yang jauh dari daerah itu, terutama mereka yang tinggal di lereng Pegunungan Himalaya yang menjadi perbatasan antara Tibet dengan Nepal.
Pada suatu pagi yang cerah, seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik yang menunggang kuda tiba di lereng bukit dekat Telaga Yam-so.
“Sute, berhenti dulu!”
Kata Bi Sian menahan kendali kudanya. Bong Gan juga menahan kudanya dan menoleh lalu menghampiri suci-nya.
“Ada apakah, suci?” tanyanya, sambil memandang ke sekeliling dengan khawatir.
“Lihat, sute, betapa indahnya pemandangan di sini. Lihat telaga di bawah itu, airnya seperti permadani biru dikelilingi bukit menghijau. Indah sekali!”
Bong Gan menarik napas lega. Dia sudah mengatur rencana bersama Pek Lan dan menurut rencana itulah pada pagi ini ia dan Bi Sian tiba di lareng bukit itu. Tadinya, ketika Bi Sian minta berhenti, dia khawatir kalau-kalau sucinya itu mencurigai sesuatu. Kiranya gadis itu hanya mengagumi alam yang memang amat indah itu.
“Memang indah sekali tempat ini, suci. Hawanya nyaman dan sejuk sekali. Aahh, alangkah senangnya kalau kita dapat tinggal beberapa lamanya di tempat seindah ini!”
Bi Sian menoleh dan memandang pemuda itu yang mengembangkan kedua lengannya sambil menghirup udara yang amat menyegarkan itu. Ia tersenyum.
“Ih, sute. Lupakah engkau bahwa kita datang ke tempat ini bukan untuk pesiar melainkan untuk mencari musuh besarku?”
“Wah, memang kadang-kadang aku lupa, suci. Perjalanan ini demikian menyenangkan bagiku. Siapa tahu, kita dapat cepat menemukan musuhmu dan membereskan perhitungan, agar kita mempunyai banyak waktu untuk menikmati tempat indah ini.”
Tiba-tiba sepasang mata Bi Sian terbelalak. Bukan hanya matanya yang menangkap berkelebatnya banyak bayangan orang, akan tetapi juga pendengaran telinganya menangkap gerakan banyak orang di sekitar tempat itu.
“Ada orang....!” bisiknya.
“Mereka mengepung kita!”
Bong Gan juga berbisik dan pemuda ini kelihatan terkejut. Padahal, di dalam hatinya dia bersukur karena dia tahu bahwa ini merupakan siasat yang dijalankan oleh Pek Lan. Maka, diapun hanya berpura-pura ketika kelihatan terkejut, tidak seperti Bi Sian yang merasa benar-benar kaget karena melihat bahwa mereka telah dikepung oleh sedikitnya tiga puluh orang.
Bukan orang Han, bukan pula orang Tibet, melainkan orang-orang yang aneh, rata-rata berkulit kehitaman dan gelap, bentuk tubuh mereka tinggi dan sebagian besar dari mereka menggunakan penutup kepala berupa sorban putih yang tebal.
“Mereka orang-orang asing....” kata pula Bong Gan.
Padahal dia sudah mendengar dari Pek Lan yang mengatur siasat itu bahwa yang akan mengepung mereka adalah orang-orang Nepal.
Melihat banyak orang mengepung dan maju mendekat, dua ekor kuda yang mereka tunggangi menjadi panik. Bi Sian lalu melompat turun dari atas punggung kudanya dan berkata kepada Bong Gan,
“Sute, turun saja dari atas kuda, agar kita dapat membela diri lebih leluasa!”
Keduanya sudah melompat turun dari atas punggung kuda dan dengan sikap tenang namun penuh kesiap siagaan, kakak adik seperguruan ini berdiri dengan saling membelakangi.
“Sute, biarkan aku yang bicara dengan mereka,” Bisik Bi Sian dan diam-diam Bong Gan tersenyum. Memang sebaiknya begitu agar tidak akan terdengar suaranya yang sumbang.
Kini, tiga puluh orang lebih perajurit Nepal itu sudah datang dekat dan seorang diantara mereka, yang melihat pakaiannya tentu merupakan komandannya berdiri di depan Bi Sian. Dia seorang pria berusia empat puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus, matanya cekung ke dalam dan hidungnya yang panjang itu agak bengkok ke kiri sehingga mulutnya kelihatan seperti mengejek selalu.
“Hei, kalian dengarlah baik-baik!” Bi Sian berseru dengan suara lantang. “Kami dua orang pelancong dari timur, tidak ingin bermusuhan dengan penduduk pribumi. Kenapa kalian menghadang dan mengepung kami yang tidak bersalah?”
Orang tinggi kurus itu memandang tajam, lalu menjawab. Dia dapat bicara dalam Bahasa Han, walaupun logatnya aneh dan lucu.
“Kami biasa menghormati tamu yang datang diundang. Akan tetapi kalian berdua tidak diundang, telah melanggar wilayah kami. Sudah sepatutnya kalau kami membunuh kalian, akan tetapi mengingat kalian dua orang muda, dan seorang di antaranya bahkan wanita, kami tidak akan bersikap keras. Orang-orang muda, menyerahlah kalian dengan baik, agar kami tawan dan kami hadapkan kepada pemimpin kami!”
Bi Sian menatap orang itu. Sikap mereka cukup gagah, pikirnya, tidak seperti gerombolan perampok atau penjahat yang kejam. Maka, iapun berkata lantang.
“Maafkan kalau tanpa disengaja kami melanggar wilayah kalian. Akan tetapi kami tidak bersalah, harap biarkan kami melanjutkan perjalanan. Kami tidak suka untuk ditawan.”
Pemimpin tinggi kurus itu mengerutkan alisnya yang tebal, kemudian mencabut sebatang golok yang bentuknya melengkung panjang, dan dia berkata dengan tegas,
“Di wilayah ini, kami yang berkuasa! Mau atau tidak mau, kalian harus menyerah untuk menjadi tawanan kami. Harap kalian menyerah dengan damai!”
“Kalau kami tidak mau menyerah?” tanya Bi Sian yang sudah mulai marah dan penasaran.
“Terpaksa kami menggunakan kekerasan untuk menangkap kalian!”
“Singg....!” Nampak sinar putih berkilauan ketika ia mencabut pedang Pek-lian-kiam (Pedang Teratai Putih). “Bagus! Andaikata aku mau menyerahpun, pedang ini yang tidak membolehkannya. Karena tidak merasa bersalah, tentu saja aku tidak mau menyerah dan kalau kalian hendak memaksaku dan menggunakan kekerasan, jangan salahkan aku kalau kalian menjadi korban pedangku!”
Bong Gan juga sudah menyambar sebatang dahan pohon di atasnya, membuangi ranting dan daunnya dan kini dia sudah memegang sebatang tongkat.
“Kalau kalian memaksa, kami akan melawan!”
Diapun membentak dan sambil berdiri saling membelakangi dengan sucinya, dia melintangkan tongkatnya dan siap melakukan perlawanan.
“Kami tidak akan membunuh kalian, akan tetapi terpaksa harus menangkap kalian!” bentak pemimpin rombongan itu dan diapun mengeluarkan aba-aba dalam Bahasa Nepal.
Tiga puluh orang lebih itu, dengan senjata tombak atau golok dan perisai, kini mengepung ketat dan kepungan itu makin mendesak.
“Sute, sedapat mungkin robohkan mereka akan tetapi jangan bunuh!” kata Bi Sian.
Dara itu menganggap mereka itu bukan orang jahat, hanya akan menangkap dan tidak membunuh, oleh karena itu iapun tidak ingin sutenya melakukan pembunuhan sehingga menanam permusuhan yang semakin dalam.
“Baik, suci,” kata Bong Gan.
Pada saat kepungan itu sudah makin dekat dan dua orang murid Koay Tojin itu siap bergerak menyerang pengeroyok terdekat, tiba-tiba terdengar seruan nyaring suara seorang wanita.
“Tahan....! Jangan bertempur!”
Para pengepung itu menahan senjata mereka dan mundur. Bi Sian dan Bong Gan menoleh ke arah suara wanita itu dan mereka melihat seorang wanita yang berusia dua puluh empat tahun lebih, cantik manis dengan muka lonjong dan kulit putih mulus berambut keemasan, muncul bersama seorang kakek berusia enam puluh tahunan yang berkepala gundul, berjubah pendeta dengan gambar Teratai Putih di dadanya. Kakek itu masih nampak muda dan tampan, dengan tubuh tinggi besar. Begitu dua orang ini mendekat, semerbak bau keharuman bunga mawar.
Tentu saja Bong Gan mengenal wanita itu, wanita yang beberapa hari yang lalu, semalam suntuk berada dalam pelukannya. Wanita itu adalah Pek Lan dan kakek yang nampak muda itu adalah Thai-yang Suhu, tokoh Pek-lian-kauw.
Akan tetapi Bi Sian tidak mengenalnya. Melihat para pengepung itu mundur, Bi Sian mengerti bahwa ia berhadapan dengan pemimpin gerombolan orang asing yang menghadangnya. Tentu saja ia tidak tahu bahwa dua orang itu telah bersekutu dengan Kim Sim Lama dan kini menjalankan siasat untuk menjebaknya! Dan para pengepung itu adalah orang-orang Nepal yang dipergunakan untuk membantu siasat itu, yang juga sudah diketahui oleh Bong Gan.
Sambil memandang tajam wanita cantik yang sikapnya genit itu, Bi Sian berkata, pedang Pek-lian-kiam masih melintang di depan dadanya.
“Hemm, kiranya kalian berdua, seorang gadis cantik dan seorang pendeta yang memimpin gerombolan ini. Apa alasan kalian menghadang perjalanan kami dan orang-orangmu yang mengepung kami ini hendak menawan kami?” Suara Bi Sian penuh wibawa, tanda bahwa ia sama sekali tidak merasa gentar.
Diam-diam Pek Lan kagum. Pantas Bong Gan tergila-gila kepada suci-nya sendiri dan ingin memperisterinya. Memang manis dan jelita sekali! Dan diam-diam Thai-yang Suhu mengamati pedang di tangan gadis itu. Pedang itu bersinar putih dan ada ukiran bunga teratai. Pedang Teratai Putih! Sungguh merupakan pedang yang cocok sekali kalau menjadi miliknya, bahkan kalau menjadi pusaka dari perkumpulannya, yaitu Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), sekiranya pedang itu memang sebuah pusaka yang ampuh, bukan pedang biasa saja.
Pek Lan tersenyum dan nemang ia memiliki deretan gigi yang rapi dan putih sehingga nampak menarik sekali ketika tersenyum, dan kerling matanya ke arah Bong Gan penuh daya pikat.
Diam-diam Bong Gan membandingkan dua orang wanita itu. Memang, biarpun Bi Sian amat manis, namun ia tidak mampu bergaya seperti Pek Lan sehingga daya tariknya tidak sekuat Pek Lan. Bagaimanapun juga, kalau harus memilih keduanya untuk menjadi isterinya, tanpa ragu-ragu dia akan memilih Bi Sian.
Bi Sian seorang gadis yang masih perawan dan hatinya juga bersih, sebaliknya Pek Lan adalah seorang wanita yang matang dan juga genit sehingga sukar diharapkan dapat menjadi seorang isteri yang setia. Akan tetapi kalau untuk bersenang-senang, tentu Pek Lan akan lebih memuaskan dan menyenangkan.
Daerah ini amat sunyi, penuh dengan hutan belantara yang liar, yang sambung menyambung sampai ke selatan, sampai ke Pegunungan Himalaya. Dusun-dusun hanya dihuni orang-orang pribumi Tibet, dan ada pula peranakan Tibet Bhutan dan beberapa orang peranakan India.
Namun mereka adalah orang-orang gunung yang sederhana, dan agaknya Kim-sim-pai tidak mengusik mereka yang hidup tenang dan damai karena setiap harinya mereka hanya mengurus mencari makan dengan jalan berburu, beternak kecil-kecilan, dan ada pula yang menjadi penangkap ikan di sepanjang Sungai Brahmaputra atau Telaga Yamso.
Akan tetapi, akhir-akhir ini bermunculan banyak orang Nepal di daerah itu dan mulailah terdapat gangguan-gangguan yang mengusik kehidupan yang tadinya aman damai dari para penghuni dusun di daerah itu.
Orang-orang Nepal ini adalah anak buah dari pangeran Nepal pelarian yang kini telah bersekutu dengan Kim-sim-pai. Pangeran itu, Janghar Singh, telah bersekutu dengan Kim Sim Lama dan dia berjanji untuk membantu gerakan para pendeta Lama yang memberontak terhadap Dalai Lama itu, sedangkan pihak Kim-sim-pai juga berjanji bahwa kelak, kalau mereka telah menguasai Tibet, mereka akan membantu Pangeran Janghar Singh yang hendak memberontak terhadap Kerajaan Nepal.
Gangguan para orang Nepal itu kadang amat menggelisahkan penduduk. Kalau mereka itu kadang hanya minta dengan paksa beberapa ekor hewan ternak, hal itu masih dapat diberikan dengan hati sabar oleh para penghuni dusun. Akan tetapi ada kalanya, orang-orang Nepal itu mengganggu wanita! Karena itu, maka banyaklah wanita muda yang cantik atau bersih, diungsikan keluarga mereka ke tempat yang jauh dari daerah itu, terutama mereka yang tinggal di lereng Pegunungan Himalaya yang menjadi perbatasan antara Tibet dengan Nepal.
Pada suatu pagi yang cerah, seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik yang menunggang kuda tiba di lereng bukit dekat Telaga Yam-so.
“Sute, berhenti dulu!”
Kata Bi Sian menahan kendali kudanya. Bong Gan juga menahan kudanya dan menoleh lalu menghampiri suci-nya.
“Ada apakah, suci?” tanyanya, sambil memandang ke sekeliling dengan khawatir.
“Lihat, sute, betapa indahnya pemandangan di sini. Lihat telaga di bawah itu, airnya seperti permadani biru dikelilingi bukit menghijau. Indah sekali!”
Bong Gan menarik napas lega. Dia sudah mengatur rencana bersama Pek Lan dan menurut rencana itulah pada pagi ini ia dan Bi Sian tiba di lareng bukit itu. Tadinya, ketika Bi Sian minta berhenti, dia khawatir kalau-kalau sucinya itu mencurigai sesuatu. Kiranya gadis itu hanya mengagumi alam yang memang amat indah itu.
“Memang indah sekali tempat ini, suci. Hawanya nyaman dan sejuk sekali. Aahh, alangkah senangnya kalau kita dapat tinggal beberapa lamanya di tempat seindah ini!”
Bi Sian menoleh dan memandang pemuda itu yang mengembangkan kedua lengannya sambil menghirup udara yang amat menyegarkan itu. Ia tersenyum.
“Ih, sute. Lupakah engkau bahwa kita datang ke tempat ini bukan untuk pesiar melainkan untuk mencari musuh besarku?”
“Wah, memang kadang-kadang aku lupa, suci. Perjalanan ini demikian menyenangkan bagiku. Siapa tahu, kita dapat cepat menemukan musuhmu dan membereskan perhitungan, agar kita mempunyai banyak waktu untuk menikmati tempat indah ini.”
Tiba-tiba sepasang mata Bi Sian terbelalak. Bukan hanya matanya yang menangkap berkelebatnya banyak bayangan orang, akan tetapi juga pendengaran telinganya menangkap gerakan banyak orang di sekitar tempat itu.
“Ada orang....!” bisiknya.
“Mereka mengepung kita!”
Bong Gan juga berbisik dan pemuda ini kelihatan terkejut. Padahal, di dalam hatinya dia bersukur karena dia tahu bahwa ini merupakan siasat yang dijalankan oleh Pek Lan. Maka, diapun hanya berpura-pura ketika kelihatan terkejut, tidak seperti Bi Sian yang merasa benar-benar kaget karena melihat bahwa mereka telah dikepung oleh sedikitnya tiga puluh orang.
Bukan orang Han, bukan pula orang Tibet, melainkan orang-orang yang aneh, rata-rata berkulit kehitaman dan gelap, bentuk tubuh mereka tinggi dan sebagian besar dari mereka menggunakan penutup kepala berupa sorban putih yang tebal.
“Mereka orang-orang asing....” kata pula Bong Gan.
Padahal dia sudah mendengar dari Pek Lan yang mengatur siasat itu bahwa yang akan mengepung mereka adalah orang-orang Nepal.
Melihat banyak orang mengepung dan maju mendekat, dua ekor kuda yang mereka tunggangi menjadi panik. Bi Sian lalu melompat turun dari atas punggung kudanya dan berkata kepada Bong Gan,
“Sute, turun saja dari atas kuda, agar kita dapat membela diri lebih leluasa!”
Keduanya sudah melompat turun dari atas punggung kuda dan dengan sikap tenang namun penuh kesiap siagaan, kakak adik seperguruan ini berdiri dengan saling membelakangi.
“Sute, biarkan aku yang bicara dengan mereka,” Bisik Bi Sian dan diam-diam Bong Gan tersenyum. Memang sebaiknya begitu agar tidak akan terdengar suaranya yang sumbang.
Kini, tiga puluh orang lebih perajurit Nepal itu sudah datang dekat dan seorang diantara mereka, yang melihat pakaiannya tentu merupakan komandannya berdiri di depan Bi Sian. Dia seorang pria berusia empat puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus, matanya cekung ke dalam dan hidungnya yang panjang itu agak bengkok ke kiri sehingga mulutnya kelihatan seperti mengejek selalu.
“Hei, kalian dengarlah baik-baik!” Bi Sian berseru dengan suara lantang. “Kami dua orang pelancong dari timur, tidak ingin bermusuhan dengan penduduk pribumi. Kenapa kalian menghadang dan mengepung kami yang tidak bersalah?”
Orang tinggi kurus itu memandang tajam, lalu menjawab. Dia dapat bicara dalam Bahasa Han, walaupun logatnya aneh dan lucu.
“Kami biasa menghormati tamu yang datang diundang. Akan tetapi kalian berdua tidak diundang, telah melanggar wilayah kami. Sudah sepatutnya kalau kami membunuh kalian, akan tetapi mengingat kalian dua orang muda, dan seorang di antaranya bahkan wanita, kami tidak akan bersikap keras. Orang-orang muda, menyerahlah kalian dengan baik, agar kami tawan dan kami hadapkan kepada pemimpin kami!”
Bi Sian menatap orang itu. Sikap mereka cukup gagah, pikirnya, tidak seperti gerombolan perampok atau penjahat yang kejam. Maka, iapun berkata lantang.
“Maafkan kalau tanpa disengaja kami melanggar wilayah kalian. Akan tetapi kami tidak bersalah, harap biarkan kami melanjutkan perjalanan. Kami tidak suka untuk ditawan.”
Pemimpin tinggi kurus itu mengerutkan alisnya yang tebal, kemudian mencabut sebatang golok yang bentuknya melengkung panjang, dan dia berkata dengan tegas,
“Di wilayah ini, kami yang berkuasa! Mau atau tidak mau, kalian harus menyerah untuk menjadi tawanan kami. Harap kalian menyerah dengan damai!”
“Kalau kami tidak mau menyerah?” tanya Bi Sian yang sudah mulai marah dan penasaran.
“Terpaksa kami menggunakan kekerasan untuk menangkap kalian!”
“Singg....!” Nampak sinar putih berkilauan ketika ia mencabut pedang Pek-lian-kiam (Pedang Teratai Putih). “Bagus! Andaikata aku mau menyerahpun, pedang ini yang tidak membolehkannya. Karena tidak merasa bersalah, tentu saja aku tidak mau menyerah dan kalau kalian hendak memaksaku dan menggunakan kekerasan, jangan salahkan aku kalau kalian menjadi korban pedangku!”
Bong Gan juga sudah menyambar sebatang dahan pohon di atasnya, membuangi ranting dan daunnya dan kini dia sudah memegang sebatang tongkat.
“Kalau kalian memaksa, kami akan melawan!”
Diapun membentak dan sambil berdiri saling membelakangi dengan sucinya, dia melintangkan tongkatnya dan siap melakukan perlawanan.
“Kami tidak akan membunuh kalian, akan tetapi terpaksa harus menangkap kalian!” bentak pemimpin rombongan itu dan diapun mengeluarkan aba-aba dalam Bahasa Nepal.
Tiga puluh orang lebih itu, dengan senjata tombak atau golok dan perisai, kini mengepung ketat dan kepungan itu makin mendesak.
“Sute, sedapat mungkin robohkan mereka akan tetapi jangan bunuh!” kata Bi Sian.
Dara itu menganggap mereka itu bukan orang jahat, hanya akan menangkap dan tidak membunuh, oleh karena itu iapun tidak ingin sutenya melakukan pembunuhan sehingga menanam permusuhan yang semakin dalam.
“Baik, suci,” kata Bong Gan.
Pada saat kepungan itu sudah makin dekat dan dua orang murid Koay Tojin itu siap bergerak menyerang pengeroyok terdekat, tiba-tiba terdengar seruan nyaring suara seorang wanita.
“Tahan....! Jangan bertempur!”
Para pengepung itu menahan senjata mereka dan mundur. Bi Sian dan Bong Gan menoleh ke arah suara wanita itu dan mereka melihat seorang wanita yang berusia dua puluh empat tahun lebih, cantik manis dengan muka lonjong dan kulit putih mulus berambut keemasan, muncul bersama seorang kakek berusia enam puluh tahunan yang berkepala gundul, berjubah pendeta dengan gambar Teratai Putih di dadanya. Kakek itu masih nampak muda dan tampan, dengan tubuh tinggi besar. Begitu dua orang ini mendekat, semerbak bau keharuman bunga mawar.
Tentu saja Bong Gan mengenal wanita itu, wanita yang beberapa hari yang lalu, semalam suntuk berada dalam pelukannya. Wanita itu adalah Pek Lan dan kakek yang nampak muda itu adalah Thai-yang Suhu, tokoh Pek-lian-kauw.
Akan tetapi Bi Sian tidak mengenalnya. Melihat para pengepung itu mundur, Bi Sian mengerti bahwa ia berhadapan dengan pemimpin gerombolan orang asing yang menghadangnya. Tentu saja ia tidak tahu bahwa dua orang itu telah bersekutu dengan Kim Sim Lama dan kini menjalankan siasat untuk menjebaknya! Dan para pengepung itu adalah orang-orang Nepal yang dipergunakan untuk membantu siasat itu, yang juga sudah diketahui oleh Bong Gan.
Sambil memandang tajam wanita cantik yang sikapnya genit itu, Bi Sian berkata, pedang Pek-lian-kiam masih melintang di depan dadanya.
“Hemm, kiranya kalian berdua, seorang gadis cantik dan seorang pendeta yang memimpin gerombolan ini. Apa alasan kalian menghadang perjalanan kami dan orang-orangmu yang mengepung kami ini hendak menawan kami?” Suara Bi Sian penuh wibawa, tanda bahwa ia sama sekali tidak merasa gentar.
Diam-diam Pek Lan kagum. Pantas Bong Gan tergila-gila kepada suci-nya sendiri dan ingin memperisterinya. Memang manis dan jelita sekali! Dan diam-diam Thai-yang Suhu mengamati pedang di tangan gadis itu. Pedang itu bersinar putih dan ada ukiran bunga teratai. Pedang Teratai Putih! Sungguh merupakan pedang yang cocok sekali kalau menjadi miliknya, bahkan kalau menjadi pusaka dari perkumpulannya, yaitu Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), sekiranya pedang itu memang sebuah pusaka yang ampuh, bukan pedang biasa saja.
Pek Lan tersenyum dan nemang ia memiliki deretan gigi yang rapi dan putih sehingga nampak menarik sekali ketika tersenyum, dan kerling matanya ke arah Bong Gan penuh daya pikat.
Diam-diam Bong Gan membandingkan dua orang wanita itu. Memang, biarpun Bi Sian amat manis, namun ia tidak mampu bergaya seperti Pek Lan sehingga daya tariknya tidak sekuat Pek Lan. Bagaimanapun juga, kalau harus memilih keduanya untuk menjadi isterinya, tanpa ragu-ragu dia akan memilih Bi Sian.
Bi Sian seorang gadis yang masih perawan dan hatinya juga bersih, sebaliknya Pek Lan adalah seorang wanita yang matang dan juga genit sehingga sukar diharapkan dapat menjadi seorang isteri yang setia. Akan tetapi kalau untuk bersenang-senang, tentu Pek Lan akan lebih memuaskan dan menyenangkan.
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar