Ads

Rabu, 22 Januari 2020

Pendekar Bongkok Jilid 105

Mendengar ucapan kedua orang itu, Bi Sian semakin tertarik dan iapun tidak berkeberatan lagi untuk makan masakan itu cukup banyak. Karena ia dan Bong Gan yang menjadi tamu kehormatan, maka semangkok besar masakan merah itu diperuntukkan mereka berdua dan mereka pun memakannya sampai habis!

Bi Sian mulai merasa bergembira dan merasa mendapatkan teman-teman yang menyenangkan. Maka iapun minum arak lebih banyak dari pada biasanya. Apalagi arak yang disuguhkan itu manis dan harum, terbuat dari anggur Nepal yang baik.

Setelah makan minum sampai kenyang, wajah Bi Sian yang cantik itu telah berubah kemerahan dan mulutnya pun hampir tak pernah hentinya tersenyum manis. Akan tetapi, ketika ia memegang kepalanya dan kepala itu terkulai ke atas meja, Bong Gan cepat bangkit dari tempat duduknya dan menghampirinya.

“Suci, kau kenapakah....?” katanya lembut sambil menyentuh pundak gadis itu.

Bi Sian mengangkat muka, tersenyum dan pandang matanya saja sudah jelas menunjukkan bahwa ia mabok! Dan juga pandang matanya itu aneh, begitu sayu dan penuh gairah.

“Sute.... aku.... ah, agaknya terlalu banyak minum anggur, kepalaku agak pening....”

Pek Lan memberi isyarat dengan pandang matanya kepada Bong Gan, lalu berkata,
“Adik Bong Gan, kasihan itu adik Bi Sian mabok. Ia butuh istirahat. Mari kuantar kalian ke kamar kalian.”

Pek Lan bangkit berdiri dan membantu Bong Gan memapah Bi Sian menuju ke sebelah dalam gedung itu, diikuti pandang mata Pangeran Maranta Sing yang tersenyum lebar dan Thai-yang Suhu mengangguk-angguk puas. Tidak percuma saja ia merupakan seorang ahli sihir dan ahli ramuan obat beracun. Ia telah mencampurkan pembius yang lembut pada anggur yang diminum Bi Sian, dan masakan yang disuguhkan Pangeran Maranta Sing itu mengandung pula obat perangsang yang amat kuat!

Pek Lan membawa mereka ke sebuah kamar yang besar dan mewah, di mana terdapat sebuah tempat tidur yang lebar. Kembali Pek Lan memberi isyarat kedipan mata kepada Bong Gan dan pemuda ini mengerti.

“Nah, inilah kamar kalian, adik Bong Gan. Biarkan adik Bi Sian beristirahat dan tidur, nanti peningnya tentu akan hilang. Dan engkau juga perlu beristirahat, engkaupun sudah minum terlalu banyak, adik Bong Gan. Kalian mengasolah!”

“Tapi, enci Pek Lan!” Bong Gan membantah. “Mengapa hanya satu kamar? Kamar ini untuk suci saja, akan tetapi di mana kamarku?”

“Pangeran hanya memberikan sebuah kamar saja untuk kalian berdua, dan kurasa kamar inipun cukup besar, tempat tidurnyapun cukup luas untuk kalian berdua. Nah, selamat tidur.” Pek Lan menutupkan daun pintu kamar itu dari luar sambil tersenyum kepada Bong Gan.

Bi Sian hanya mendengar sayup-sayup saja apa yang mereka bicarakan. Ia telah terlalu pening sehingga tidak perduli lagi bahwa ia berada sekamar dengan sutenya.

“Aku.... aku pening.... mau tidur....!”

Katanya dan ia hendak melangkah ke arah pembaringan, akan tetapi ia terhuyung dan tentu akan jatuh kalau tidak segera dirangkul oleh Bong Gan.

“Marilah, suci, mari kubantu engkau.... akupun agak pening.... mari kita beristirahat....!”

Bong Gan memapah suci-nya ke tempat tidur, lalu membantu sucinya berbaring. Dengan hati-hati dia lalu meraba kaki suci-nya melepaskan sepasang sepatunya. Bi Sian terbelalak ketika merasa kakinya diraba sutenya dan sepatunya dilepaskan.

“Sute.... kenapa.... kau di sini....? Aku mau tidur, pergilah....”

Akan tetapi Bong Gan tidak mau tidur, bahkan duduk di tepi pembaringan sambil menatap wajah suci-nya yang rebah telentang.

“Suci, kita mendapatkan satu kamar saja. Kamar ini untuk kita berdua.”

Dengan mata sayu Bi Sian menatap wajah pemuda itu. Gairah yang tidak wajar membakar dirinya dan wajah sute-nya itu tampak tampan luar biasa.

“....kenapa begitu.... ah.... sudahlah, aku mau tidur....”






Tiba-tiba Bi Sian membuka matanya lagi karena merasa betapa wajahnya dibelai tangan orang. Ketika ia melihat tangan sute-nya meraba dan membelai kedua pipi dan dagunya, ia tidak meronta hanya menegur lembut.

“Sute.... jangan begitu....”

“Suci, alangkah cantiknya engkau. Aih, suci, aku cinta sekali kepadamu, suci!” Dan Bong Gan sudah memeluk, mendekap dan menciumi muka gadis itu.

Bi Sian dalam keadaan setengah sadar, akan tetapi obat perangsang telah mulai menguasai dirinya.

“Jangan, sute.... jangan....” mulutnya mendesah, akan tetapi kedua lengannya balas merangkul leher pemuda itu.

Dan terjadilah apa yang selalu diharapkan dan dirindukan Bong Gan. Dia berhasil menguasai diri suci-nya, berhasil menggaulinya berkali-kali tanpa gadis itu menolak atau memberontak, bahkan gadis itu di luar kesadarannya, telah membalas semua kemesraanya dengan penuh gairah. Akhirnya, jauh lewat tengah malam, keduanya tidur pulas kelelahan, masih saling rangkul.

Pada keesokan harinya, ketika pengaruh obat bius dan obat perangsang meninggalkan kepala dari tubuh Bi Sian dan ketika gadis itu terbangun dari tidurnya, dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat dirinya dalam keadaan bugil tidur berangkulan dengan sutenya yang juga berbugil!

Dan seketika terasalah olehnya kelainan dalam dirinya, tahulah ia apa yang telah terjadi! Ia telah melakukan hubungan dengan sute-nya, hubungan suami isteri! Dengan muka sebentar merah sebentar pucat, ia segera mengenakan pakaiannya, kemudian meloncat turun dari atas pembaringan.

Sekali tendang, pembaringan itu roboh dan Bong Gan terbangun gelagapan. Dia melihat sucinya sudah berpakaian dan berdiri membelakanginya, dengan pedang Pek-liam-kiam terhunus di tangannya.

“Sute, kenakan pakaianmu. Cepat!” Suara sucinya membentak dan jelas bahwa sucinya marah bukan main.

“Ehh.... kenapa kita.... kenapa aku di sini.... kenapa tidur di sini dan.... eh, apa yang telah kita lakukan ini....?” Bong Gan bersandiwara, bicara dengan gagap dan gelisah.

“Cepat pakai pakaianmu kataku!” Bi Sian membentak lagi.

Bong Gan segera mengenakan pakaiannya dan turun dari atas pembaringan.
“Sudah.... sudah kupakai, suci....”

Bi Sian membalik dan pedangnya menyambar, dan sudah menempel di leher Bong Gan. Pemuda itu terbelalak dan wajahnya pucat.

“Suci.... kenapa.... kau hendak membunuhku....?”

“Coa Bong Gan!” Bi Sian membentak marah. “Apa yang telah kau lakukan terhadap diriku selagi aku mabok? Hayo katakan! Apa yang telah kau lakukan? Keparat engkau!”

“Suci! Apa.... apa yang kulakukan....? Suci, seharusnya suci bertanya apa yang kita lakukan! Aku.... aku sendiri tidak tahu, suci, aku tidak mengerti mengapa hal ini bisa terjadi pada kita....” lalu dengan hati-hati dia menambahkan, “.... suci, sayup-sayup aku teringat.... bukankah engkaupun.... eh, mendukung terjadinya peristiwa itu semalam....?”

Wajah yang cantik itu menjadi merah sekali dan kini dari kedua matanya mengalir beberapa butir air mata. Akan tetapi pedangnya masih menempel di leher Bong Gan.

“Aku.... aku berada dalam pengaruh obat bius dan obat perangsang, hal itu kini aku yakin sekali. Dan kau.... kau menggunakan kesempatan itu untuk.... untuk....”

“Suci, engkau sungguh tidak adil! Kalau aku sejahat itu, tidak perlu menanti kemarahanmu, aku akan membunuh diriku sendiri! Akan tetapi, suci, kalau engkau terbius, mengapa aku tidak? Akupun sama saja seperti keadaanmu, suci. Aku tidak ingat apa-apa lagi, dalam keadaan setengah sadar seperti dalam mimpi saja semua itu terjadi. Suci, kenapa engkau menyalahkan aku kalau keadaan kita sama? Kita berdualah yang bertanggung jawab, dan aku.... eh, cinta padamu, suci....”

“Jangan sentuh aku!”

Bentak Bi Sian ketika tangan Bong Gan hendak menyentuh lengannya dan iapun kini menangis terisak-isak. Ia kini melihat kenyataan itu. Sutenya tidak bersalah. Sutenya juga minum pembius dan obat perangsang yang sama! Pek Lan! Ini semua gara-gara Pek Lan, wanita genit itu!

“Hemm, perempuan jahat itu harus mampus!” katanya dan iapun melompat ke arah pintu, mendorong daun pintu dan berlari keluar.

“Suci....!”

Bong Gan berseru dan mengejar dari belakang. Akan tetapi Bi Sian tidak berhenti, tidak menoleh dan pada saat itu, kebetulan sekali ia melihat Pek Lan melangkah dengan tenangnya menuju kearah mereka. Sepagi itu, Pek Lan sudah nampak rapi dan cantik, sudah mandi dan mengenakan pakaian bersih seperti baru. Ketika melihat Bi Sian dan Bong Gan, Pek Lan tersenyum dan wajahnya berseri.

“Ah, ji-wi (kalian) sudah bangun? Selamat pagi....!” katanya dengan suara merdu dan gembira.

“Manusia jahat, cabut senjatamu dan lawanlah aku!” bentak Bi Sian dengan pedang melintang di depan dada.

Pek Lan terbelalak.
“Adik Bi Sian, ada apakah ini? Apa artinya sikapmu ini?”

Bi Sian menudingkan pedangnya ke arah muka Pek Lan.
“Tidak perlu berpura-pura lagi. Keluarkan senjatamu atau kalau tidak, aku akan membunuhmu begitu saja!”

“Tapi.... tapi kenapa, adik Bi Sian? Adik Bong Gan, kenapa kalian bersikap seperti ini terhadap aku? Bukankah sejak saling berkenalan, aku selalu bersikap baik terhadap kalian?” Pek Lan bertanya lagi, kini mendesak Bong Gan untuk memberi keterangan.

Bong Gan segera berkata,
“Enci Pek Lan. Siapa orangnya tidak akan menjadi marah? Kemarin kami kau undang untuk makan minum. Setelah makan minum, kami berdua.... kehilangan kesadaran, terbius dan terangsang, sehingga.... kami melakukan pelanggaran....”

Bi Sian memandang dengan mata mencorong penuh kemarahan.
“Pek Lan, engkau menipu kami, engkau membius kami, penghinaan ini hanya dapat ditebus dengan nyawa!” Ia sudah siap bergerak mengangkat kedua tangan ke atas.

“Nanti dulu, kedua orang adikku yang baik! Bi Sian, jangan terburu nafsu dan menuduh yang bukan-bukan kepadaku. Ingatlah, bahwa aku dan guruku Thai-yang Suhu juga hanya merupakan dua orang tamu saja di sini! Bagaimana mungkin kami yang melakukan itu? Makanan dan minuman itu bukan dari kami. Dan apa gunanya kami melakukan hal yang membuat kalian berdua melakukan hubungan suami isteri di luar kesadaran kalian ini? Jelas, yang memberi obat bius dan obat perangsang dalam makanan dan minuman kalian bukan kami.”

“Maranta Sing! Dialah yang melakukan itu, suci! Bukan enci Pek Lan. Sekarang aku yakin, Pangeran Nepal itulah yang meracuni kita!” kata Bong Gan kepada suci-nya.

Bi Sian termenung, lalu iapun mengangguk-angguk, dan berkata,
“Maafkan aku, enci Pek Lan. Kalau begitu, pangeran keparat itu yang harus kubunuh! Aku akan mencarinya dan....”

Pek Lan menggeleng kepala.
“Tahan dulu, adikku yang baik. Mari kita bicara di dalam kamarku. Harap jangan terburu nafsu. Ingat, kita berada di dalam benteng di mana terdapat ratusan orang perajurit Nepal! Mari, mari, di kamarku kita dapat bicara dengan leluasa,” kata Pek Lan dan ia mendahului mereka menuju ke kamarnya yang tidak jauh dari situ.

Terpaksa Bi Sian menahan kemarahannya dan bersama Bong Gan iapun mengikuti Pek Lan masuk ke dalam sebuah kamar. Kamar itu tidak seluas kamar mereka, akan tetapi juga mewah dan perabot kamarnya serba indah. Begitu memasuki kamar, Bong Gan dan Bi Sian mencium bau semerbak harum.

Setelah mempersilakan kedua orang itu duduk, Pek Lan lalu duduk di tepi pembaringan, menghadapi mereka.

“Ketahuilah kalian bahwa Pangeran Maranta Sing menyuguhkan makanan yang mengandung obat perangsang itu, bukan suatu kejahatan, bahkan dia sengaja melakukan hal itu untuk menyenangkan kalian yang dianggap sebagai tamu agung yang dihormati.”

Dua orang kakak beradik seperguruan itu terbelalak, lalu mereka saling pandang dengan penuh keheranan.




Pendekar Bongkok Jilid 104
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar