Ads

Kamis, 30 Januari 2020

Pendekar Bongkok Jilid 106

“Akan tetapi, enci Pek Lan!” seru Bong Gan. “Bagaimana mungkin kami dapat percaya itu? Memberi obat bius dan perangsang kepada kami sehingga kami berdua melakukan pelanggaran? Dan itu merupakan suatu penghormatan? Mustahil....”

“Aku tidak percaya!” Bi Sian juga berseru.

Pek Lan tersenyum.
“Akan tetapi, sesungguhnyalah begitu, Memang lain bangsa lain pula kebiasaannya, lain negara lain pula peraturannya, dua orang adikku yang manis. Ketahuilah bahwa masakan sumsum tulang punggung biruang itu merupakan makanan langka yang luar biasa, dan mengandung daya rangsangan yang kuat. Biasanya hidangan ini diberikan kepada sepasang pengantin keluarga raja saja! Dan anggur merah itupun amat keras, hanya bekerjanya amat halus seperti obat bius. Akan tetapi keduanya merupakan hidangan yang mahal dan langka, hanya diperuntukkan tamu kehormatan.”

“Akan tetapi, kalau pangeran itu tahu akan pengaruh makanan dan minuman itu, mengapa dia menyuguhkan kepada kami? Dan kami diberi satu kamar pula? Apa maksudnya kalau bukan hendak menjerumuskan kami dan menghina kami?”

Pek Lan menggeleng kepalanya.
“Sama sekali dia tidak bermaksud menghina kalian. Karena kalian merupakan dua orang muda yang melakukan perjalanan bersama, maka dia menganggap bahwa tentu kalian memiliki hubungan yang lebih erat. Kalian dianggapnya sebagai suami isteri atau dua orang yang sedang berpacaran, sehingga hidangan itu bahkan dianggapnya membantu dan menyenangkan kalian.”

“Akan tetapi dia sudah tahu bahwa kami adalah kakak dan adik seperguruan!” Bi Sian berseru. “Kami belum menikah....!”

“Itu menurut pendapat dan kebiasaan kalian! Akan tetapi menurut kebiasaan di Nepal, kalau seorang pemuda dan seorang gadis melakukan perjalanan bersama selama berbulan-bulan, maka tidak ada pendapat lain kecuali bahwa mereka adalah suami isteri, baik sudah menikah atau belum. Karena itu, adik-adikku, harap kalian tenang. Pangeran Maranta Sing tidak bermaksud buruk. Pula semua itu telah terjadi, dan kalau kulihat, kalian memang pantas untuk menjadi jodoh masing-masing. Kalau memang kalian saling mencinta, apa salahnya peristiwa yang terjadi semalam?”

“Tidak! Penghinaan ini hanya dapat ditebus dengan nyawa! Noda ini hanya dapat ditebus dengan darah! Pangeran Maranta Sing harus mempertanggung jawabkannya! Aku mau mencarinya!” Bi Sian berteriak dan ia sudah bangkit berdiri dan meraba gagang pedangnya.

“Sabar dan ingatlah, adik Bi Sian! Selain pangeran itu tidak berniat jahat menurut pendapatnya, bahkan ingin berbuat menyenangkan tamu, juga kita berada di sini, di dalam bentengnya! Bagaimana mungkin engkau akan melawan ratusan orang perajurit Nepal! Bukankah itu sama halnya dengan bunuh diri?”

“Aku tidak perduli! Aku tidak takut! Bagiku, kehormatan lebih penting daripada nyawa!”

Bi Sian berkata dengan air mata bercucuran kembali karena ia teringat akan nasibnya yang telah menderita aib.

“Suci.... ah, harap dengarkan apa yang dikatakan enci Pek Lan, suci. Kita berada di tengah benteng mereka, kita tidak mungkin mampu melawan mereka....” Bong Gan berkata.

Tiba-tiba Bi Sian membalik dan menghadapinya dengan mata berapi saking marahnya.
“Sute! Engkau masih berani berkata demikian! Engkau takut mati! Huh, enak saja engkau. Engkau adalah seorang laki-laki, tentu tidak dapat merasakan penderitaan seorang wanita yang telah menderita aib dan noda seperti aku! Kalau engkau takut mati, biarlah aku sendiri yang akan menuntut kepada pangeran itu!”

Melihat sikap suci-nya itu, tiba-tiba saja Bong Gan menjatuhkan diri berlutut di depan suci-nya sambil menangis!

“Suci, semua ini akulah yang bersalah! Aku telah menodaimu, aku mendatangkan aib bagimu. Akulah yang membikin celaka sehingga kini suci menghadapi bahaya maut. Aku telah menghancurkan kehidupanmu, suci. Sungguh aku merasa menyesal sekali. Engkau adalah satu-satunya orang yang kumiliki, satu-satunya orang yang telah menolongku dan baik kepadaku. Engkau satu-satunya orang yang kucinta sepenuh jiwa ragaku dan sekarang.... aku pula yang mencelakakanmu. Aih, suci, kalau begitu, engkau bunuhlah aku lebih dulu agar aku tidak lagi melihat penderitaanmu.”






“Sute, cukup....!”

Bi Sian berseru dan tangisnya semakin menjadi-jadi. Melihat ini, Bong Gan maklum bahwa siasatnya berhasil baik, maka diapun memperkuat tangisnya.

“Suci, bagaimana mungkin aku dapat hidup kalau melihat engkau sengsara karena aku? Sudahlah, kalau engkau tidak mau membunuhku, biar aku sendiri yang akan menghabiskan nyawaku agar rasa penaaaran di hatimu berkurang, suci. Suci, selamat tinggal, suci....!”

Bong Gan menyambar pedang milik Pek Lan di atas meja, mencabutnya dan menggerakkan pedang menggorok leher sendiri! Tentu saja semua ini sudah diatur sebelumnya dan merupakan siasat belaka. Pek Lan diam-siam sudah siap siaga mencegahnya kalau Bi Sian diam saja. Andaikata Bi Sian mendiamkan saja sute-nya membunuh diri, demikian siasat yang mereka atur sebelumnya, maka Pek Lan yang akan turun tangan mencegah sehingga bunuh diri itu nampak sungguh-sungguh.

Akan tetapi, permainan sandiwara itu berhasil mengelabui mata Bi Sian. Melihat kenekatan sute-nya yang dalam hal ini juga sama-sama menjadi korban obat bius dan perangsang, cepat Bi Sian menendang ke arah pergelangan tangan sutenya yang memegang pedang. Pedang itu terlepas dari pegangan dan Bong Gan menutupi mukanya sambil menangis.

“Suci, kalau engkau tidak dapat mengampuni aku, kenapa engkau tidak membiarkan saja aku membunuh diri?” ratapnya.

Bi Sian tidak menjawab, hanya menangis sesenggukan, hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya. Ia memang suka sekali kepada sute-nya ini, bahkan mungkin juga ada peraaaan cinta, karena sute-nya pandai mengambil hati. Iapun tahu bahwa sutenya amat mencintanya dan kini, sutenya telah memperlihatkan perasaan cintanya yang amat mendalam. Ia merasa terharu sekali dan agak meredalah kemarahannya.

Bagaimanapun juga, yang menodainya adalah sutenya sendiri, orang yang amat mencintanya, dan yang besar kemungkinan akan menjadi suaminya kelak. Kini, setelah peristiwa itu, bukan mungkin lagi bahkan sudah pasti pemuda ini akan menjadi suaminya.

“Aih, betapa mengharukan. Sudahlah, adik Bi Sian. Aku ikut terharu melihat besarnya cinta antara kalian, terutama sekali apa yang telah dibuktikan oleh adik Bong Gan. Sungguh, dia mencintamu dan biarpun dia itu sutemu, akan tetapi aku melihat bahwa dia lebih tua darimu dan kalian memang cocok untuk menjadi suami isteri kelak. Sebaiknya kalian berdua ikut bersama kami menghadap Kim Sim Lama. Kalau kalian bekerja sama dengan Kim-sim-pang, aku yang tanggung bahwa dalam waktu singkat kalian akan dapat bertemu dengan Pendekar Bongkok.”

Bong Gan sendiri terkejut mendengar ini. Apakah Pek Lan sudah mendengar dari anak buahnya tentang Pendekar Bongkok? Nada suara Pek Lan demikian meyakinkan seolah-olah Pendekar Bongkok sudah berada dalam kekuasaannya!

“Jangan main-main, enci!” kata Bi Sian sambil mengerutkan alisnya. “Aku baru mau bekerja sama denganmu atau rekan-rekanmu kalau benar kalian dapat menemukan Pendekar Bongkok. Benarkah engkau berani tanggung? Aku tidak mau tertipu!”

Pek Lan tersenyum manis. Tentu saja ia berani bertanggung jawab karena ia telah mendengar dari orang-orangnya bahwa Pendekar Bongkok telah menjadi tawanan Kim Sim Lama!

“Aku tanggung. Bahkan aku berani menanggung bahwa kami akan dapat menawan Pendekar Bongkok untukmu, adik Bi Sian.”

Bi Sian memandang Bong Gan yang masih berlutut sambil menutupi mukanya.
“Sute, bangunlah. Memang benar, semua nasib manusia telah digariskan Tuhan. Aku tidak dapat mengingkari dan tidak ada gunanya menyesali hal yang telah lalu. Baiklah, kini tidak mungkin lagi aku menolak cintamu, menolak pinanganmu. Aku bersedia menjadl isterimu....”

“Suci! Terima kasih....!”

Bong Gan berseru gembira walaupun mukanya masih basah air mata. Dia masih berlutut akan tetapi tidak lagi menutupi mukanya.

“Hemm, sudah sewajarnya kalau kita menjadi suami isteri. Akan tetapi tidak sekarang! Kelak, kalau kita sudah berhasil membunuh Pendekar Bongkok, baru kita malangsungkan pernikahan. Akan tetapi sebelum itu engkau tidak boleh menjamahku. Mengerti?”

“Baik.... baik....” Bong Gan kini bangkit berdiri dan menatap wajah suci-nya itu dengan pandang mesra. “Akan tetapi, setelah kini kita bertunangan, bolehkah aku menyebutmu Sian-moi (dinda Sian)? Dan maukah kau menyebut aku Gan-koko (kanda Gan)?”

Wajah Bi Sian menjadi kemerahan akan tetapi untuk mencegah agar persoalan itu tidak diperpanjang, iapun mengangguk. Melihat ini, Pek Lan girang bukan main dan iapun cepat memberi hormat kepada mereka bergantian sambil berseru,

“Kionghi, kionghi (selamat, selamat)!”

Biarpun wajahnya berubah kemerahan, Bi Sian terpaksa menerima pemberian selamat itu sambil menggumamkan terima kasih. Dan dengan wajah gembira bukan main Bong Gan juga menghaturkan terima kasih, ucapan terima kasih yang bukan sebagai basa-basi belaka karena dia bersungguh-sungguh merasa berterima kasih kepada Pek Lan.

Pek lan yang telah mengatur kesemuanya itu, sehingga dia berhasil memiliki diri Bi Sian, dan dia berjanji di dalam hatinya untuk membalas jasa Pek Lan itu dengan pelayanan semesra mungkin.

“Nah, marilah kita berangkat sekarang juga. Untuk mencegah suasana tidak enak, ji-wi (kalian berdua) tidak perlu berpamit dari Pangeran Maranta Sing, biar kupamitkan nanti. Kalian bersiaplah, kita berangkat sekarang bersama suhu.”

Bi Sian merasa senang bahwa ia tidak perlu berpamit dari Pangeran Maranta Sing, karena biarpun ia dapat mengerti bahwa pangeran itu tidak dapat terlalu dipersalahkan karena memang tidak berniat buruk, namun tetap saja kalau ia bertemu dengan pangeran itu, tentu ia akan sukar menahan kemarahannya. Mereka berdua berkemas dan tak lama kemudian Pek Lan dan Thai-yang Suhu datang menjemput mereka.

Berangkatlah mereka meninggalkan istana dalam benteng di lereng bukit dekat telaga Yam-so. Mereka menunggang empat ekor kuda dan di sepanjang perjalanan, pemandangan alam yang amat indah membuat Bi Sian perlahan-lahan dapat melupakan peristiwa semalam yang dianggapnya sebagai malapetaka.

Ia dapat menerima kenyataan itu dan menganggap bahwa memang sudah menjadi jodohnya untuk bersuamikan Coa Bong Gan maka terjadi peristiwa memalukan itu. Tak sedikit pun terlintas dalam pikirannya bahwa semua peristiwa itu adalah hasil rencana siasat yang telah diatur oleh Pek Lan dan Bong Gan, dibantu oleh Thai-yang Suhu dan Pangeran Maranta Sing!

**** 106 ****




Pendekar Bongkok Jilid 105
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar