Ads

Kamis, 30 Januari 2020

Pendekar Bongkok Jilid 107

Sie Liong duduk bersila di dalam ruangan tahanan itu. Dia duduk bersila hanya karena naluri saja, atau karena tubuhnya sudah terbiasa dengan sikap duduk seperti itu. Dia duduk bersila seperti sebuah arca mati, tidak bergerak-gerak.

Sudah hampir satu bulan lamanya dia menjadi seorang tawanan yang sama sekali tidak berdaya. Bukan hanya ingatannya hilang dan dia lupa segala, akan tetapi juga tubuhnya menjadi lemah dan dia kehilangan tenaga sin-kangnya, atau kalau dia mencoba untuk mengerahkan tenaga, dadanya seperti ditusuk rasanya. Pernah dia mancoba untuk keluar dari kamar tahanan itu, akan tetapi setibanya di pintu, seorang penjaga menghadangnya.

“Hei, engkau tidak boleh keluar dari kamar ini tanpa ijin,” kata si penjaga. “Hayo masuk kembali. Makanan dan minuman akan diantar dari luar, dan kalau engkau hendak kencing atau berak, baru boleh keluar dari sini, akan tetapi juga kami kawal!”

Sie Liong tidak ingat mengapa dia berada di situ, bahkan dia tidak ingat siapa dirinya dan bagaimana asal mulanya! Dia banya tahu bahwa dia berada di sebuah kamar yang asing, dan dijaga oleh penjaga yang jumlahnya sampai belasan orang, menjaga di luar pintu kamar itu. Dia sudah mencoba mengerahkan ingatannya, namun gagal. Yang diingatnya sejak dia sadar, seperti orang bangun tidur dan tahu-tahu sudah berada dalam kamar itu.

“Aku mau keluar. Aku tidak suka di sini. Biarkan aku keluar dari sini,” katanya kepada penjaga.

“Tidak boleh! Hayo kau kembali, atau harus kupaksa?”

Sie Liong tidak ingat lagi bahwa dia adalah Pendekar Bongkok. Tidak ingat bahwa dia seorang yang berilmu tinggi. Dan memang pada dasarnya dia berwatak lembut dan tidak suka berkelahi, maka biarpun dia merasa tidak senang dengan cegahan itu, dia tetap bersikap lembut.

“Sobat, aku tidak mengenal engkau dan kawan-kawanmu itu. Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian, maka kuharap engkau tidak menahanku lagi. Biarkan aku keluar,” katanya dan dia nekat melangkah hendak keluar dari kamar tahanan itu.

“Tidak boleh keluar! Kembali ke dalam kamar!” bentak penjaga itu dan melihat Sie Liong nekat hendak melangkah keluar, dia lalu mendorong dada Sie Liong.

Biarpun Sie Liong lupa bahwa dia pandai ilmu silat, namun naluri tubuhnya bergerak dan otomatis tenaga sin-kang dari pusar menerjang ke atas, ke arah dada. Akan tetapi, begitu tenaga sin-kang itu bergerak, dia mengeluh karena dadanya terasa nyeri dan otomatis dia membiarkan dirinya lemas lagi.

Dorongan itu mengenai dadanya dan dalam keadaan tidak bertenaga itu, diapun terjengkang dan jatuh telentang ke dalam kamar tahanan kembali! Penjaga itu tertawa.

“Ha-ha-ha, jangan harap engkau dapat keluar tanpa ijin. Sekali lagi, aku bukan hanya mendorong melainkan memukulmu!”

Sie Liong tidak menjawab. Ada kenyataan baru yang diketahuinya, yaitu bahwa dia berada dalam tahanan, dijaga oleh orang-orang yang kasar dan galak, dan bahwa tidak mungkin dia melawan karena begitu mengerahkan tenaga, dadanya terasa nyeri. Maka, diapun tidak begitu bodoh untuk mencari penyakit dan menyabarkan hatinya, lalu duduk bersila kembali di atas pembaringannya.

Obat penghilang ingatan yang dipaksakan masuk ke dalam perutnya oleh Thay Hok Lama mempunyai kekuatan selama satu bulan. Dalam beberapa hari lagi Sie Liong akan memperoleh kembali ingatannya. Akan tetapi apa gunanya? Selain racun penghilang ingatan, juga Thay Hok Lama telah memberinya minum racun yang membuat dia akan merasa nyeri di dada setiap kali mengerahkan sin-kang, dan kalau dipaksanya, berarti dia membunuh diri sendiri. Darahnya telah keracunan.

Sambil duduk bersila, pengaruh racun penghilang ingatan itu sudah agak menipis sehingga samar-samar Sie Liong mulai teringat akan dirinya sendiri. Dia mulai teringat bahwa namanya Sie Liong, bahwa dia ditangkap oleh para pendeta Lama. Hanya itu yang baru dapat diingatnya. Mungkin besok atau lusa, kalau pengaruh racun penghilang ingatan itu sudah hilang, baru dia akan dapat mengingat seluruhnya atau sebagian besar dari hal-hal yang lalu.

Akan tetapi, pada hari itu, datanglah Thai-yang Suhu, Pek Lan dan kedua orang muda yang hendak bekerja sama dengan Kim-sim-pang itu. Bi Sian dan Bong Gan melihat betapa tempat itu dari luar hanya seperti sebuah kuil biasa, kuil Kim-sim-pang yang dikunjungi banyak orang yang bersembahyang.

Ketika mereka diajak masuk ke belakang kuil, melalui pintu yang terjaga oleh para pendeta Lama, barulah mereka tahu bahwa pusat Kim-sim-pang berada di belakang kuil, merupakan perkampungan yang dihuni para pendeta Lama.






Kim Sim Lama gembira sekali menerima dua orang tamunya, apalagi ketika mendengar laporan Pek Lan bahwa Bong Gan dan Bi Sian adalah dua orang muda yang memiliki kepandaian tinggi. Pek Lan sendiri sudah lebih dulu menggabungkan diri dengan Kim-sim-pang, dibawa oleh Thai-yang Suhu.

“Omitohud....! Kami sungguh merasa beruntung sekali dapat bekerja sama dengan ji-wi (kalian), dua orang muda yang lihai. Kalau perjuangan kami berhasil, tentu kami tidak akan melupakan jasa ji-wi dan akan memberi imbalan yang pantas,”

Kata Kim Sim Lama yang mengira bahwa mereka berdua itu, seperti halnya Pek Lan dan Thai-yang Suhu, adalah dua orang petualang yang mengharapkan imbalan jasa yang besar.

Mendengar ini, Bi Sian mengerutkan alisnya.
“Maaf, lo-suhu. Kami berdua datang dan menerima penawaran enci Pek Lan untuk bekerja sama bukan untuk mendapatkan imbalan. Kami tidak mencari imbalan jasa!”

Pek Lan cepat memberi penjelasan kepada Kim Sim Lama.
“Hendaknya lo-suhu ketahui bahwa adik Bi Sian dan adik Bong Gan ini mengajak bekerja sama untuk menghadapi musuh besar mereka, yaitu Pendekar Bongkok! Sudah kujanjikan kepada mereka bahwa kita akan membantu mereka menangkap Pendekar Bongkok dan sebagai gantinya, mereka akan membantu perjuangan kita.”

Kim Sim Lama tertawa girang.
“Ha-ha-ha, kiranya begitu? Bagus sekali! Ji-wi tidak datang di tempat yang keliru. Pinceng (saya) mempunyai berita yang amat baik bagi ji-wi. Apakah nona Pek Lan belum memberitakan kepada ji-wi tentang Pendekar Bongkok?”

Bi Sian menoleh kepada Pek Lan dan ia menggeleng kepala. Pek Lan tersenyum.
“Adik Bi Sian, lupakah engkau ketika aku berkata bahwa aku yang tanggung akan tertangkapnya Pendekar Bongkok? Nah, ketahuilah bahwa Pendekar Bongkok sudah tertawan oleh lo-suhu Kim Sim Lama dan kini berada dalam tahanan.”

Mendengar ini, Bong Gan menjadi girang bukan main.
“Ah, benarkah itu? Kalau begitu, mari kita menemuinya, Sian-moi!

“Nanti dulu, aku masih belum percaya benar bahwa dia telah tertawan di sini. Bagaimana demikian mudahnya?”

Bi Sian meragu, khawatir kalau tertipu. Ia masih belum percaya benar kepada orang-orang yang baru dikenalnya.

“Omitohud.... nona itu terlalu bercuriga dan berprasangka. Nona Yauw, kalau ingin bertemu dengan Pendekar Bongkok Sie Liong, mari pinceng ikut mengantarkan.”

Bi Sian dan Bong Gan mengikuti Kim Sim Lama, Pek Lan dan Thai-yang Suhu menuju ke bagian belakang sarang Kim-sim-pang itu. Setelah tiba di luar kamar tahanan, Kim Sim Lama tersenyum.

“Nah, kalian berdua lihat baik-baik siapa yang berada di dalam kamar tahanan itu!”

Bong Gan dan Bi Sian memandang ke dalam kamar yang daun pintunya terbuka dan dijaga oleh beberapa orang pendeta Lama itu. Di atas pembaringan duduk seorang laki-laki bongkok yang bukan lain adalah Sie Liong!

“Tidak mungkin....” Bi Sian barkata lirih melihat Sie Liong yang katanya ditahan itu, ditahan begitu saja di dalam sebuah kamar yang dijaga beberapa orang pendeta Lama. “Bagaimana dia begitu.... begitu.... jinak?”

“Ha-ha-ha, tidak perlu heran, nona. Dia kehilangan ingatannya, dan juga kehilangan tenaganya. Dia menjadi seorang yang lemah, ha-ha!” Kim Sim Lama tertawa.

Mendengar ini, Bong Gan memandang dengan mata mencorong. Dia amat takut dan benci kepada Sie Liong karena dia dapat merasakan bahaya mengancam dari orang bongkok itu. Kalau sampai rahasianya terbongkar, tentu dia akan celaka.

Akan tetapi kalau Sie Liong sudah tewas, tentu akan aman rahasianya bahwa dia yang membunuh Yauw Sun Kok, bukan Sie Liong. Kini, mendengar bahwa pendekar itu kehilangan ingatan dan kehilangan tenaga dia melihat kesempatan yang baik sekali untuk membunuhnya. Dilihatnya sebatang golok besar di atas meja depan kamar tahanan, agaknya itu adalah senjata milik seorang diantara para pendeta penjaga.

“Keparat Sie Liong, engkau tidak layak dibiarkan hidup!”

Bentaknya dan sebelum semua orang dapat mencegah, dia sudah menyambar golok itu, menerobos masuk ke dalam kamar tahanan melalui pintu terbuka.

Mendengar teriakan yang memanggil namanya ini, Sie Liong mumbuka mata. Dia terkejut melihat seorang laki-laki muda yang tidak dikenalnya, atau yang tidak diingatnya siapa, meloncat ke arah pembaringan dan mengayun golok menyerangnya! Gerakan orang itu sedemikian cepatnya sehingga Sie Liong tidak mempunyai kesempatan untuk menyingkir lagi. Hanya dengan gerakan naluri Sie Liong mengangkat lengan kirinya untuk menangkis.

“Jangan bunuh dia!” terdengar seruan Kim Sim Lama yang merasa terkejut sekali.

Namun terlambat, golok di tangan Bong Gan itu sudah meluncur dengan cepatnya dan bertemu dengnn lengan kiri Sie Liong yang menangkisnya.

“Crokkkk!”

Lengan kiri yang menangkis itu, lengan yang tidak mengandung tenaga sin-kang, mana mungkin kuat menahan golok besar yang amat tajam itu? Lengan itu terbabat buntung di atas siku, dan buntungan lengan terlempar ke atas lantai.

Sie Liong terbelalak, tidak mengeluarkan keluhan, hanya memandang ke arah lengan kirinya yang buntung dan darah muncrat-muncrat dan diapun roboh pingsan di atas pembaringan!

Bong Gan hendak menyusulkan serangan maut ke arah tubuh yang sudah tidak mampu berkutik itu, akan tetapi nampak bayangan merah dan Kim Sim Lama telah memukul ke arah lengan kanan Bong Gan.

“Tranggg....!”

Golok yang berlumur darah itu terlepas dari pegangan tangan Bong Gan yang merasa nyeri lengannya dan terkejut sekali.

“Aih, adik Bong Gan, kenapa engkau lancang menyerangnya? Losuhu Kim Sim Lama membutuhkan dia hidup!”

Tegur Pek Lan, sementara itu Bi Sian memandang dengan mata terbelalak ke arah Sie Liong yang rebah pingsan di atas pembaringan, kini sedang diperiksa oleh Kim Sim Lama.

Ia tidak melihat betapa Pek Lan memberi isyarat teguran kepada Bong Gan dan pemuda ini nampak gelisah. Di dalam hatinya, ada perasaan iba kepada pamannya itu, dan kemarahan kepada Bong Gan yang secara curang menyerang Sie Liong yang sedang kehilangan ingatan dan tenaga itu. Akan tetapi, ingatan bahwa Sie Liong membunuh ayahnya membuat perasaan iba itu menipis karena ia berkeras mengusirnya.

Kim Sim Lama menotok jalan darah di ketiak Sie Liong untuk menghentikan darah yang bercucuran keluar melalui lengan yang buntung, kemudian terdengar dia memanggil seorang penjaga dan menyuruhnya memanggil Camundi Lama dengan cepat.

Setelah petugas itu pergi, Kim Sim Lama bangkit dan memandang kepada Bong Gan, sinar matanya penuh penyesalan.

“Orang muda, sungguh engkau lancang sekali. Bagaimanapun juga, Pendekar Bongkok ini adalah tawanan kami, dan engkau tidak berhak menyerangnya tanpa persetujuan kami. Sudah pinceng katakan bahwa dia kehilangan ingatan dan tenaga, kenapa engkau masih hendak membunuhnya?”

“Maafkan saya, Losuhu. Saya amat membencinya dan menjadi naik darah ketika melihatnya. Maafkan, saya mengaku salah. Akan tetapi, Losuhu, kalau dia tidak dibunuh, lalu untuk apa? Dia berbahaya sekali.”

Kim Sim Lama menyeringai.
“Untung pinceng masih sempat menghalangi kelancanganmu sehingga dia tidak sampai terbunuh. Karena lukanya, terpaksa rencana kami harus dipercepat. Kami hendak mempergunakan dia, maka sampai sekarang kami menahannya dan sedang mencari kesempatan baik untuk mempergunakan dia.”

Karena Pendeta Lama yang tua itu jelas nampak tidak senang, Bong Gan tidak berani lagi banyak bertanya. Apalagi ketika pendeta itu menggumam kepada Pek Lan.

“Untung bahwa dia bermaksud membantu gerakan kita, kalau tidak, sukar bagi pinceng untuk memaafkannya.”




Pendekar Bongkok Jilid 106
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar