Ads

Kamis, 06 Februari 2020

Pendekar Bongkok Jilid 113

Lie Bouw Tek memang seorang pria yang gagah perkasa dan penuh keberanian. Dia berhasil menghadap Dalai Lama bersama Sie Lan Hong dan mendengarkan penjelasan.

Kini tahulah dia bahwa semua peristiwa yang menimpa para tosu dari Himalaya yang mengungsi ke Kun-lun-san, juga yang menimpa Kun-lun-pai sendiri, adalah suatu muslihat belaka dari para pemberontak di Tibet untuk mengelabuhi mata umum dan melakukan fitnah kepada Dalai Lama, agar Dalai Lama dimusuhi banyak pihak!

Akan tetapi dia tidak perduli akan semua itu. Dia tidak hendak mencampuri urusan pemberontakan di Tibet, tidak membela Dalai Lama, juga tidak membantu para pemberontak. Dia hanya ingin mengajak Sie Lan Hong bertemu dengan adiknya yang dicari-carinya, yaitu Sie Liong, dan juga mencari puterinya, Yauw Bi Sian.

Karena tidak bermaksud mencampuri urusan pemberontakan melainkan urusan pribadi, maka Lie Bouw Tek tidak ragu-ragu atau takut-takut untuk mengunjungi sarang Kim-sim-pang yang memberontak terhadap Dalai Lama! Dia terpaksa mengajak Sie Lan Hong yang tidak mau ditinggal dan ingin pula mencari sendiri adik dan puterinya.

Pria perkasa berusia tiga puluh enam tahun itu dan janda muda jelita berusia tiga puluh tiga tahun itu melakukan perjalanan dengan tenang dan tenteram. Mereka sudah yakin akan cinta kasih masing-masing, maka melakukan perjalanan berdua merupakan suatu hal yang selain membahagiakan, juga mendatangkan perasaan tenteram dan penuh damai.

Melakukan perjalanan berdua merupakan suatu kebahagiaan yang membuat sinar matahari lebih cerah, warna-warna lebih terang, suara apapun menjadi lebih merdu. Dunia nampak lebih indah daripada biasanya!

Pada pagi hari yang cerah itu, mereka tiba di lereng sebuah bukit. Dari lereng itu mereka dapat melihat ke bawah dan pemandangan alam di pagi hari itu teramat indahnya. Dari lereng bukit itu mereka dapat melihat telaga Yam-so dengan airnya yang berkilauan tertimpa sinar matahari pagi.

Bukit-bukit di sekitar telaga itu penuh dengan warna kehijauan dengan titik warna beraneka macam. Musim bunga telah tiba dan di bukit-bukit itu ditumbuhi banyak sekali pohon yang berbunga indah.

Dari Kong Ka Lama mereka telah mendengar keterangan jelas tentang letak sarang Kim-sim-pang. Mereka tahu bahwa sarang itu berada di bukit ini. Dan perhitungan mereka memang tidak salah.

Selagi mereka menikmati keindahan pemandangan alam di bukit itu, tiba-tiba terdengar suara banyak orang dan tempat itu sudah terkepung oleh belasan orang pendeta Lama yang memegang bermacam senjata. Wajah para pendeta ini tidak menyeramkan, namun cukup bengis.

Lie Bouw Tek berpura-pura kaget walaupun dia sudah dapat menduga bahwa mereka tentulah anak buah Kim-sim-pang. Dia menjura kepada mereka semua, lalu berkata,

“Maafkan kalau kami menganggu cu-wi suhu (para pendeta sekalian). Kami adalah dua orang yang bermaksud pergi bersembahyang ke kuil Kim-sim-pang. Dapatkah cu-wi menunjukkan jalannya ke kuil itu?”

Dari Kong Ka Lama Lie Bouw Tek sudah mendengar bahwa sarang Kim-sim-pang itu tersembunyi di belakang sebuah kuil Kim-sim-pang yang sesungguhnya hanya merupakan kedok belaka. Oleh karena itu, dia tadi mengajak Lan Hong untuk mengambil jalan memutar, tidak datang dari depan, melainkan hendak mencari jalan dari belakang kuil.

Mendengar ucapan Lie Bouw Tek, belasan orang pendeta Lama itu memandang dengan alis berkerut penuh kecurigaan, lalu seorang di antara mereka yang memimpin rombongan berkata,

“Jalan menuju ke kuil adalah jalan raya yang sudah ada dari kaki bukit. Kenapa ji-wi tidak mengambil jalan itu melainkan berkeliaran di tempat ini? Di sini merupakan wilayah kekuasaan kami, dan tidak seorangpun boleh berkunjung di sini tanpa seijin kami.”

Lie Bouw Tek mengangkat kedua tangan memberi hormat.
“Maafkan kami berdua. Kami tidak sengaja hendak melanggar wilayah kekuasaan cu-wi. Karena tertarik oleh pemandangan yang indah dari sini, maka kami berdua tidak melalui jalan raya dan....”






“Katakan apa keperluan ji-wi yang sesungguhnya, kalau tidak, terpaksa kami harus menangkap Ji-wi dan kami ajak menghadap pimpinan kami yang akan menentukan selanjutnya.”

Lie Bouw Tek sudah hendak marah, mukanya sudah menjadi kemerahan. Melihat ini, Lan Hong menyentuh lengannya dan iapun melangkah maju dan berkata dengan lembut.

“Harap cu-wi suhu memaafkan. Kami sama sekali tidak hendak mengganggu cu-wi (kalian). Kami datang selain untuk bersembahyang, juga untuk mencari seorang adikku. Dia seorang pemuda bongkok bernama Sie Liong dan....”

“Pendekar Bongkok!”

seru seorang diantara mereka karena kaget. Mendengar ini, Lan Hong dan Bouw Tek girang sekali.

“Benar dia! Pendekar Bongkok! Dialah yang kami cari,” kata Lie Bouw Tek. “Dapatkah cuwi memberitahu di mana dia?”

Akan tetapi begitu mendengar bahwa yang datang ini adalah keluarga Pendekar Bongkok, para pendeta itu sudah memandang Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong sebagai musuh yang tentu datang dengan maksud membebaskan Pendekar Bongkok yang pernah menjadi tawanan Kim-sim-pang.

Mereka sudah mengepung dan seorang dari mereka lari menuju ke sarang untuk melapor. Melihat sikap mereka, mengacungkan senjata dan mengepung, Lie Bouw Tek mengerutkan alisnya. Dia berdiri tegak dan berkata dengan suara lantang.

“Cu-wi tentulah orang-orang Kim-sim-pang! Ketahuilah bahwa aku bernama Lie Bouw Tek, seorang murid Kun-lun-pai, dan ini adalah Sie Lan Hong, kakak perempuan Pendekar Bongkok. Kami sama sekali tidak mempunyai urusan dengan Kim-sim-pang, kami hanya mencari adik kami itu!”

Akan tetapi, para pendeta itu mengepung semakin ketat.
“Ji-wi harus menyerah untuk kami tawan dan kami hadapkan kepada pemimpin kami. Hanya beliau yang akan menentukan apakah ji-wi bersalah ataukah tidak. Menyerahlah daripada kami harus menggunakan kekerasan!”

“Hemm, kalian ini orang-orang yang berpakaian pendeta, akan tetapi sikap dan tingkah laku kalian seperti perampok-perampok saja! Kami tidak bersalah apapun, bagaimana harus menyerah menjadi orang tangkapan? Kami tidak mau menyerah!”

Berkata demikian, Lie Bouw Tek sudah mencabut pedangnya yang bersinar merah. Sie Lan Song juga mencabut pedangnya, karena ia tahu pula bahwa menyerah kepada orang-orang ini berarti membiarkan diri terancam bahaya. Mereka adalah pemberontak, kalau sudah menawan orang tentu tidak mudah melepaskannya lagi begitu saja. Iapun siap mengamuk di samping Lie Bouw Tek untuk membela diri.

“Hemm, terpaksa kami menggunakan kekerasan!”

bentak pemimpin rombongan dan empat orang sudah menerjang dengan senjata mereka kepada Lie Bouw Tek, dan dua orang juga menerjang ke arah Sie Lan Hong.

“Trang-trang-tranggg....!”

Bunga api berpijar ketika Lie Bouw Tek menggerakkan pedangnya menangkis. Sinar merah berkelebatan dan empat orang pendeta itu berseru kaget dan berloncatan mundur karena senjata mereka telah buntung ketika bertemu dengan pedang di tangan pendekar Kun-lun-pai itu!

Dua orang yang menyerang Sie Lan Hong juga mendapatkan perlawanan keras. Bukan saja wanita cantik itu mampu mengelak dan menangkis, bahkan membalas dengan hebat dan sebuah tendangan kakinya sempat membuat seorang pengeroyok terhuyung dan mamegangi perutnya.

Para pendeta itu menjadi marah sekali. Akan tetapi sebelum mereka itu menyerang lagi, tiba-tiba terdengar seruan yang amat berwibawa,

“Tahan semua senjata....!”

Para pendeta mengenal suara Kim Sim Lama dan mereka segera berloncatan ke belakang dan menghentikan serangan mereka. Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong cepat berdiri saling mendekati agar dapat saling bantu jika mereka dikeroyok lagi.

Lie Bouw Tek yang amat mengkhawatirkan keselamatan Sie Lan Hong, menggunakan tangan kirinya menyentuh lengan wanita itu, seperti hendak menenangkan hatinya dan meyakinkan bahwa dia berada di situ dan akan selalu melindunginya. Dan kini mereka memandang kepada pendeta Lama yang tinggi kurus dan tua renta itu. Pendeta Lama itu biarpun sudah tua, mukanya kemerahan dan segar seperti muka kanak-kanak, hampir sama merahnya dengan jubahnya yang lebar.

Lie Bouw Tek sudah mendengar pula keterangan dari Kong Ka Lama, pengawal Dalai Lama, maka dia dapat menduga dengan siapa dia kini berhadapan. Dia cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada, memberi hormat dan melihat ini Sie Lan Hong juga mencontohnya. Mereka memberi hormat kepada Kim Sim Lama, dan Lie Bouw Tek berkata dengan suara lantang namun mengandung penghormatan.

“Kalau kami tidak salah duga, locianpwe tentulah yang terhormat Kim Sim Lama. Terimalah hormat kami, locianpwe.”

Kim Sim Lama membungkuk sedikit.
“Omitohud.... orang muda yang gagah sudah mengenal pinceng (aku) dan kalian berdua orang-orang muda secara berani sekali memasuki tempat larangan kami. Siapakah kalian dan ada keperluan apa kalian berkeliaran di sini?”

Tadi dia sudah mendengar pelaporan seorang anak buahnya. Karena mendengar bahwa pendekar yang dikeroyok itu seorang murid Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi, diapun cepat keluar melerai perkelahian itu dan kini Kim Sim Lama ingin mendengar sendiri pengakuan Lie Bouw Tek.

Dengan lantang Lie Bouw Tek memperkenalkan diri.
“Saya bernama Lie Bouw Tek, murid Kun-lun-pai yang menerima perintah para suhu di Kun-lun-pai untuk melakukan penyelidikan mengapa para pendeta Lama telah memusuhi Kun-lun-pai, disamping memusuhi para tosu dan pertapa lain. Dan sahabat saya ini bernama Sie Lan Hong, kakak kandung dari Pendekar Bongkok dan ia datang untuk mencari adiknya itu. Kini kami berhadapan dengan locianpwe Kim Sim Lama dan kami mengharap locianpwe akan sudi membantu kami dengan keterangan tentang kedua hal itu.”

Kim Sim Lama mengangguk-angguk dan mengeluarkan suara ketawa dikulum, lalu berkata,

“Omitohud, tidak keliru kalau Lie-sicu berdua minta keterangan dari pinceng. Akan tetapi, tidak enak bicara di luar begini. Marilah, kalian ikut dengan pinceng, kita bicara di dalam dan pinceng akan memberi keterangan yang selengkapnya tentang kedua hal yang kalian pertanyakan itu.”

Biarpun dia maklum bahwa mereka berdua memasuki sarang harimau dan naga yang penuh bahaya, namun Lie Bouw Tek bersikap tenang. Dia yakin bahwa Kim Sim Lama tentu tidak akan melakukan tindakan yang sembarangan setelah mengetahui bahwa dia adalah utusan Kun-lun-pai. Bagaimanapun juga, dia yakin bahwa nama besar Kun-lun-pai masih memiliki wibawa yang cukup kuat.

Mereka diajak memasuki ruangan di belakang kuil dimana Kim Sim Lama mempersilakan mereka duduk. Kim Sim Lama duduk menghadapi mereka dan di belakang Kim Sim Lama duduk pula Tibet Ngo-houw dan Ki Tok Lama, sedangkan para pendeta lain tidak ada yang ikut mendengarkan. Setelah memperkenalkan enam orang pendeta Lama itu sebagai para pembantunya, Kim Sim Lama lalu berkata dengan suara tenang.

“Sicu (orang gagah), sekarang pinceng ingin lebih dulu menjelaskan tentang sikap bermusuhan yang diperlihatkan oleh para tokoh Lama dari Tibet kepada para tosu, pertapa dan bahkan Kun-lun-pai. Untuk itu, sebagai saksi, biarlah pinceng mengundang seorang pertapa dan tosu untuk hadir di sini. Ki Tok Lama, panggil Thay-yang Suhu kesini.”

Ki Tok Lama, pendeta yang pendek kecil itu keluar dari ruangan dan tak lama kemudian dia sudah datang kembali bersama seorang tosu. Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong memandang kepada tosu itu.

Seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun, kepalanya hampir gundul dengan rambut pendek, berjubah seperti seorang tosu, tubuhnya tinggi besar dan wajahnya tampan. Di punggungnya nampak sepasang pedang. Thai-yang Suhu memberi hormat kepada Kim Sim Lama, lalu dipersilakan duduk di sebelah kanannya oleh pemimpin itu.

“Sicu Lie Bouw Tek dan toanio (nyonya) Sie Lan Hong, ini adalah sahabat kami yang bernama Thai-yang Suhu, dan dia adalah seorang tosu yang dahulu bertapa di Himalaya dan dia mengetahui segala hal yang telah terjadi.”

“Locianpwe, terus terang saja, yang ingin saya ketahui hanyalah mengapa para pendeta Lama memusuhi Kun-lun-pai, yang selamanya tidak pernah mencampuri urusan para pendeta Lama di Tibet. Urusan lain dengan pihak lain, kami dari Kun-lun-pai tidak berhak mencampuri,” kata Lie Bouw Tek.




Pendekar Bongkok Jilid 112
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar