“Omitohud, bersabarlah, sicu, semua ini ada hubungannya, dan karena pelaksana utama ketika Dalai Lama memusuhi para tosu, pertapa dan juga Kun-lun-pai hadir di sini, sebaiknya kalau sicu mendengarkan sendiri keterangan mereka. Thay Ku Lama, engkau wakili Tibet Ngo-houw untuk memberi penjelasan tentang tugas kalian yang merupakan perintah Dalai Lama.”
Thay Ku Lama yang berperut gendut, orang pertama dan tertua dari Tibet Ngo-houw, segera berkata dari tempat duduknya.
“Sicu Lie Bouw Tek harap suka mendengarkan dengan sabar. Terus terang saja, sampai sekarang kami Tibet Ngo-houw masih merasa menyesal mengapa dulu itu kami mentaati perintah Dalai Lama yang makin lama menjadi semakin lalim itu. kami sudah mengingatkannya bahwa dahulu, di waktu masih kecil, dan dia ditunjuk sebagai calon Dalai Lama yang baru, dan pertapa Himalaya bermaksud membela penduduk dusun yang hendak mempertahankan dia. Bahwa para pertapa itu bermaksud baik walaupun dalam pertempuran itu akhirnya beberapa orang pendeta Lama tewas.
Akan tetapi, dia tidak perduli dan memaksa kami untuk menuntut balas, menyerang dan membunuhi para pertapa di Himalaya. Bahkan kemudian, makin dewasa, Dalai Lama menjadi semakin buas dan dia memaksa kami untuk melakukan pengejaran terhadap para pertapa dan tosu Himalaya yang melarikan diri mengungsi ke Kun-lun-san. Karena itulah, maka kami sampai bentrok dengan Kun-lun-pai. Dan semua ini adalah gara-gara kelaliman Dalai Lama. Akhirnya kami menyadari hal itu dan kamipun meninggalkan Dalai Lama, bersama-sama membantu suhu Kim Sim Lama untuk menentang Dalai Lama yang lalim itu. Maka, ketahuilah bahwa kami hanyalah pelaksana, dan yang bertanggung jawab terhadap para tosu, pertapa maupun Kun-lun-pai, sepenuhnya adalah Dalai Lama!”
Lie Bouw Tek mengerutkan alisnya. Sungguh keterangan ini merupakan kebalikan dari apa yang didengarnya dari Dalai Lama! Siapakah yang benar? Pada saat itu, Thai-yang Suhu berkata dengan suaranya yang lembut.
“Semua yang diceritakan Thay Ku Lama itu benar, Lie-sicu. Pinto (saya) sendiri dahulu merupakan seorang diantara para tosu pertapa yang pernah melarikan diri mengungsi dan bahkan menjadi musuh Gobi Ngo-houw yang ketika itu menjadi petugas yang melaksanakan perintah Dalai Lama. Setelah mereka itu meninggalkan Dalai Lama, barulah kami bersahabat dan pinto menjadi saksi akan kelaliman Dalai Lama. Karena itulah maka pinto bersedia membantu gerakan Kim Sim Lama yang hendak menentang kelaliman Dalai Lama dan pinto harapkan agar para pertapa dan tosu membantu pula untuk menghadapi Dalai Lama yang jahat.”
Lie Bouw Tek menjadi semakin ragu. Kalau Dalai Lama benar, kiranya tidak mungkin timbul pemberontakan dari para pendeta Lama ini. Apakah dia harus menghadapi lagi Dalai Lama dan bertanya kembali? Selagi dia meragu, Sie Lan Hong yang ingin sekali mendengar tentang adiknya, bertanya.
“Locianpwe tadi mengatakan bahwa locianpwe tahu tentang adik saya, yaitu Pendekar Bongkok Sie Liong. Mohon petunjuk locianpwe, dimana adanya adik saya itu sekarang.”
“Omitohud.... harap toanio menguatkan hati. Ada berita yang menyedihkan tentang Pendekar Bongkok. Dia, sudah tewas oleh Dalai Lama dan kaki tangannya.”
“Ahhhhhh....!” Sepasang mata Lan Hong terbelalak dan wajahnya berubah pucat sekali.
“Tidak mungkin....!”
Lie Bouw Tek juga berseru kaget sekali. Dia mendengar dari Lan Hong bahwa Pendekar Bongkok juga membawa tugas yang sama dengan dia. Kalau dia bertugas menyelidiki mengapa para pendeta Lama memusuhi Kun-lun-pai, pendekar itupun menyelidiki kenapa Dalai Lama memusuhi para tosu dan pertapa.
“Omitohud.... pinceng selamanya tidak pernah berbohong. Pendekar Bongkok datang untuk membalaskan dendam para pertapa dan para tosu kepada Dalai Lama. Dia dikeroyok dan tewas. Kalau ji-wi (kalian) hendak membuktikan, dapat kalian kunjungi makamnya.”
“Ahhh.... Liong-te (adik Liong).... benarkah.... engkau sudah tewas....?” Lan Hong menahan tangisnya, kemudian bertanya kepada Kim Sim Lama, “Di mana kuburan adik saya?”
“Marilah, pinto antarkan kalau ji-wi hendak menyaksikan sendiri. Kuburannya masih baru!” kata Thai-yang Suhu. Mendengar ini, Lan Hong segera bangkit berdiri.
“Lie toako, aku ingin menengok kuburan adikku!”
Lie Bouw Tok merasa iba sekali kepada wanita yang dikasihinya itu. Bersusah payah wanita itu melakukan perjalanan jauh untuk mencari adiknya, dan begitu bertemu hanya melihat kuburannya! Diapun mengangguk kepada Thai-yang Suhu.
“Totiang, terima kasih sebelumnya atas kebaikan totiang yang hendak mengantarkan kami. Mari kita berangkat.”
Keduanya memberi hormat kepada Kim Sim Lama, kemudian bersama Thai-yang Subu, mereka maninggalkan kuil itu lewat pintu samping.
Di sepanjang perjalanan, Lan Hong diam saja, menahan tangisnya. Akan tetapi Lie Bouw Tek yang merasa penasaran, mencoba untuk mencari keterangan dari Thai-yang Suhu bagaimana sampai Pendekar Bongkok tewas di tangan Dalai Lama dan kaki tangannya.
“Siancai.... bagaimana pinto dapat mengetahuinya? Kami semua hanya mendengar saja bahwa Pendekar Bongkok menghadap Dalai Lama dan menuntut kepada Dalai Lama yang memusuhi para pertapa dan tosu Himalaya yang mengungsi ke Kun-lun-san. Dan tahu-tahu, Pendekar Bongkok telah tewas dan pinto melihat sendiri ketika jenazahnya dimakamkan di kuburan itu. Hanya itulah yang pinto ketahui. Dalai Lama yang lebih mengetahui bagaimana matinya Pendekar Bongkok.”
“Liong-te....!” Lan Hong mengeluh dan ia menggunakan ujung lengan baju untuk mengusap air matanya.
Akhirnya, mereka tiba di taman kuburan itu. Sunyi sekali di situ karena taman kuburan itu memang terletak di luar kota, dan pada waktu itu bukan hari bersembahyang, maka tidak ada orang lain kecuali mereka bertiga yang herkunjung ke situ.
Sebelum meninggalkan kuil tadi, Thai-yang Suhu sudah membawa hio-swa (dupa biting) dan beberapa batang lilin. Dia mengeluarkan alat sembahyang sederhana itu dan Lie Bouw Tek bersama Sie Lan Hong melakuknn upacara sembahyang dengan sederhana, namun khidmat diiringi tangis Lan Hong perlahan-lahan.
Melihat kedukaan wanita itu, Lie Bouw Tek berdiri tegak memandang gundukan tanah kuburan itu sambil mengepal kedua tinjunya. Dia merasa penasaran sekali.
“Benarkah ini? Benarkah Pendekar Bongkok yang demikian terkenal itu tewas semudah ini? Benarkah yang berada di bawah gundukan tanah ini jenazah Pendekar Bongkok?”
Mendengar ucapan itu yang merupakan penumpahan rasa penasaran yang tanpa disadarinya telah keluar dari mulut pendekar Kun-lun-pai itu, Thai-yang Suhu mengerutknn alisnya.
“Lie-sicu, apakah sicu masih meragukan kebenaran keterangan kami semua? Kalau sicu masih belum percaya, sekarang juga boleh sicu membongkar kuburan ini dan melihat apakah benar jenazah Pendekar Bongkok yang berada di dalamnya atau bukan!”
Mendengar nada suara yang keras itu, Lie Bouw Tek memandang heran kepada tosu itu. Akan tetapi, Lan Hong sudah hanyut pula dalam keharuan dan penasaran, apalagi mendengar ucapan Lie Bouw Tek tadi. Ia menjatuhken diri berlutut di depan kuburan itu dan berkata dengan suara berduka.
“Adikku Sie Liong, kalau benar engkau telah mati, berilah tanda kepadaku agar hatiku tidak menjadi ragu lagi. Adikku.... ah, adikku Sie Liong....!” Dan sekali ini Lan Hong yang sejak tadi sudah menahan-nahan tangisnya kini terisak-isak.
Sementara itu, di bawah gundukan tanah itupun terjadi peristiwa hebat yang tak diketahui seorangpun di luar. Sudah tujuh hari lamanya Sie Liong “bertapa” di dalam tanah, dikubur hidup-hidup! Dia dapat bernapas melalui lubang yang sengaja dipasang oleh tabib Camundi Lama yang merasa iba kepadanya. Dan selama tujuh hari tujuh malam itu dia pasrah kepada kekuasaan Tuhan!
Kekuasaan Tuhan berada di manapun di dalam yang paling dalam, di luar yang paling luar, di dalam segala benda yang nampak maupun tidak, dan di dalam tanah itupun terdapat pula kekuasaan Tuhan! Bahkan kekuasaan Tuhan amatlah kuatnya di situ. Bukankah segala sesuatu yang berada di atas bumi itu berasal dari tanah! Bukankah kehidupan segala macam tumbuh-tumbuban juga bersumber pada tanah!
Bumi yang nampak lemah dan tak bergerak itu sesungguhnya mengandung gerakan hidup yang dahsyat, maha dahsyat. Bumi mengandung energi, mengandung kekuatan yang menyedot segala apapun kembali kepadanya. Ada Tenaga Inti Bumi yang hebatnya tiada lawan.
Terkenang akan hal-hal yang pernah diajarkan oleh Pek Sim Sian-su kepadanya, tentang Tenaga Inti Bumi, tentang kekuatan dahsyat yang timbul melalui kepasrahan kepada kekuasaan Tuhan, selama tujuh hari itu Sie Liong menghimpun tenaga mujijat itu.
Dia sudah pasrah. Tubuhnya lemah, lengan kirinya buntung, ingatannya hilang, darahnya keracunan. Dia pasrah dalam arti yang sedalam-dalamnya. Bukan pasrah namanya kalau di dalam batin masih mengandung pamrih. Bukan pasrah namanya kalau di dalam batin masih terdapat rasa takut.
Pasrah berarti tidak bekerjanya hati dan pikiran, pasrah berarti tidak adanya nafsu. Yang ada hanya pasrah, penuh kesabaran, penuh ketawakalan, penuh keikhlasan, menyerah kepada kekuasaan Tuhan.
Tuhan Maha Kuasa! Tuhan Maha Kasih! Tanpa diketahuinya sendiri, terjadi keajaiban di dalam tubuh Sie Liong, kemujijatan yang menjadi bukti kekuasaan Tuhan! Tenaga Inti Bumi, di luar kesadarannya, telah merasuk ke dalam tubuhnya.
Tenaga sakti yang dahsyat ini sekaligus mengusir semua hawa beracun, membersihkan darahnya, bukan saja memulihkan tenaga saktinya, bahkan menjadikannya beberapa kali lebih kuat. Mula-mula dia hanya merasa betapa tubuhnya seperti sebuah balon yang ditiup, terus ditiup sehingga rasanya menggembung, makin lama semakin kuat, sehingga rasanya seperti hendak meledak!
Thay Ku Lama yang berperut gendut, orang pertama dan tertua dari Tibet Ngo-houw, segera berkata dari tempat duduknya.
“Sicu Lie Bouw Tek harap suka mendengarkan dengan sabar. Terus terang saja, sampai sekarang kami Tibet Ngo-houw masih merasa menyesal mengapa dulu itu kami mentaati perintah Dalai Lama yang makin lama menjadi semakin lalim itu. kami sudah mengingatkannya bahwa dahulu, di waktu masih kecil, dan dia ditunjuk sebagai calon Dalai Lama yang baru, dan pertapa Himalaya bermaksud membela penduduk dusun yang hendak mempertahankan dia. Bahwa para pertapa itu bermaksud baik walaupun dalam pertempuran itu akhirnya beberapa orang pendeta Lama tewas.
Akan tetapi, dia tidak perduli dan memaksa kami untuk menuntut balas, menyerang dan membunuhi para pertapa di Himalaya. Bahkan kemudian, makin dewasa, Dalai Lama menjadi semakin buas dan dia memaksa kami untuk melakukan pengejaran terhadap para pertapa dan tosu Himalaya yang melarikan diri mengungsi ke Kun-lun-san. Karena itulah, maka kami sampai bentrok dengan Kun-lun-pai. Dan semua ini adalah gara-gara kelaliman Dalai Lama. Akhirnya kami menyadari hal itu dan kamipun meninggalkan Dalai Lama, bersama-sama membantu suhu Kim Sim Lama untuk menentang Dalai Lama yang lalim itu. Maka, ketahuilah bahwa kami hanyalah pelaksana, dan yang bertanggung jawab terhadap para tosu, pertapa maupun Kun-lun-pai, sepenuhnya adalah Dalai Lama!”
Lie Bouw Tek mengerutkan alisnya. Sungguh keterangan ini merupakan kebalikan dari apa yang didengarnya dari Dalai Lama! Siapakah yang benar? Pada saat itu, Thai-yang Suhu berkata dengan suaranya yang lembut.
“Semua yang diceritakan Thay Ku Lama itu benar, Lie-sicu. Pinto (saya) sendiri dahulu merupakan seorang diantara para tosu pertapa yang pernah melarikan diri mengungsi dan bahkan menjadi musuh Gobi Ngo-houw yang ketika itu menjadi petugas yang melaksanakan perintah Dalai Lama. Setelah mereka itu meninggalkan Dalai Lama, barulah kami bersahabat dan pinto menjadi saksi akan kelaliman Dalai Lama. Karena itulah maka pinto bersedia membantu gerakan Kim Sim Lama yang hendak menentang kelaliman Dalai Lama dan pinto harapkan agar para pertapa dan tosu membantu pula untuk menghadapi Dalai Lama yang jahat.”
Lie Bouw Tek menjadi semakin ragu. Kalau Dalai Lama benar, kiranya tidak mungkin timbul pemberontakan dari para pendeta Lama ini. Apakah dia harus menghadapi lagi Dalai Lama dan bertanya kembali? Selagi dia meragu, Sie Lan Hong yang ingin sekali mendengar tentang adiknya, bertanya.
“Locianpwe tadi mengatakan bahwa locianpwe tahu tentang adik saya, yaitu Pendekar Bongkok Sie Liong. Mohon petunjuk locianpwe, dimana adanya adik saya itu sekarang.”
“Omitohud.... harap toanio menguatkan hati. Ada berita yang menyedihkan tentang Pendekar Bongkok. Dia, sudah tewas oleh Dalai Lama dan kaki tangannya.”
“Ahhhhhh....!” Sepasang mata Lan Hong terbelalak dan wajahnya berubah pucat sekali.
“Tidak mungkin....!”
Lie Bouw Tek juga berseru kaget sekali. Dia mendengar dari Lan Hong bahwa Pendekar Bongkok juga membawa tugas yang sama dengan dia. Kalau dia bertugas menyelidiki mengapa para pendeta Lama memusuhi Kun-lun-pai, pendekar itupun menyelidiki kenapa Dalai Lama memusuhi para tosu dan pertapa.
“Omitohud.... pinceng selamanya tidak pernah berbohong. Pendekar Bongkok datang untuk membalaskan dendam para pertapa dan para tosu kepada Dalai Lama. Dia dikeroyok dan tewas. Kalau ji-wi (kalian) hendak membuktikan, dapat kalian kunjungi makamnya.”
“Ahhh.... Liong-te (adik Liong).... benarkah.... engkau sudah tewas....?” Lan Hong menahan tangisnya, kemudian bertanya kepada Kim Sim Lama, “Di mana kuburan adik saya?”
“Marilah, pinto antarkan kalau ji-wi hendak menyaksikan sendiri. Kuburannya masih baru!” kata Thai-yang Suhu. Mendengar ini, Lan Hong segera bangkit berdiri.
“Lie toako, aku ingin menengok kuburan adikku!”
Lie Bouw Tok merasa iba sekali kepada wanita yang dikasihinya itu. Bersusah payah wanita itu melakukan perjalanan jauh untuk mencari adiknya, dan begitu bertemu hanya melihat kuburannya! Diapun mengangguk kepada Thai-yang Suhu.
“Totiang, terima kasih sebelumnya atas kebaikan totiang yang hendak mengantarkan kami. Mari kita berangkat.”
Keduanya memberi hormat kepada Kim Sim Lama, kemudian bersama Thai-yang Subu, mereka maninggalkan kuil itu lewat pintu samping.
Di sepanjang perjalanan, Lan Hong diam saja, menahan tangisnya. Akan tetapi Lie Bouw Tek yang merasa penasaran, mencoba untuk mencari keterangan dari Thai-yang Suhu bagaimana sampai Pendekar Bongkok tewas di tangan Dalai Lama dan kaki tangannya.
“Siancai.... bagaimana pinto dapat mengetahuinya? Kami semua hanya mendengar saja bahwa Pendekar Bongkok menghadap Dalai Lama dan menuntut kepada Dalai Lama yang memusuhi para pertapa dan tosu Himalaya yang mengungsi ke Kun-lun-san. Dan tahu-tahu, Pendekar Bongkok telah tewas dan pinto melihat sendiri ketika jenazahnya dimakamkan di kuburan itu. Hanya itulah yang pinto ketahui. Dalai Lama yang lebih mengetahui bagaimana matinya Pendekar Bongkok.”
“Liong-te....!” Lan Hong mengeluh dan ia menggunakan ujung lengan baju untuk mengusap air matanya.
Akhirnya, mereka tiba di taman kuburan itu. Sunyi sekali di situ karena taman kuburan itu memang terletak di luar kota, dan pada waktu itu bukan hari bersembahyang, maka tidak ada orang lain kecuali mereka bertiga yang herkunjung ke situ.
Sebelum meninggalkan kuil tadi, Thai-yang Suhu sudah membawa hio-swa (dupa biting) dan beberapa batang lilin. Dia mengeluarkan alat sembahyang sederhana itu dan Lie Bouw Tek bersama Sie Lan Hong melakuknn upacara sembahyang dengan sederhana, namun khidmat diiringi tangis Lan Hong perlahan-lahan.
Melihat kedukaan wanita itu, Lie Bouw Tek berdiri tegak memandang gundukan tanah kuburan itu sambil mengepal kedua tinjunya. Dia merasa penasaran sekali.
“Benarkah ini? Benarkah Pendekar Bongkok yang demikian terkenal itu tewas semudah ini? Benarkah yang berada di bawah gundukan tanah ini jenazah Pendekar Bongkok?”
Mendengar ucapan itu yang merupakan penumpahan rasa penasaran yang tanpa disadarinya telah keluar dari mulut pendekar Kun-lun-pai itu, Thai-yang Suhu mengerutknn alisnya.
“Lie-sicu, apakah sicu masih meragukan kebenaran keterangan kami semua? Kalau sicu masih belum percaya, sekarang juga boleh sicu membongkar kuburan ini dan melihat apakah benar jenazah Pendekar Bongkok yang berada di dalamnya atau bukan!”
Mendengar nada suara yang keras itu, Lie Bouw Tek memandang heran kepada tosu itu. Akan tetapi, Lan Hong sudah hanyut pula dalam keharuan dan penasaran, apalagi mendengar ucapan Lie Bouw Tek tadi. Ia menjatuhken diri berlutut di depan kuburan itu dan berkata dengan suara berduka.
“Adikku Sie Liong, kalau benar engkau telah mati, berilah tanda kepadaku agar hatiku tidak menjadi ragu lagi. Adikku.... ah, adikku Sie Liong....!” Dan sekali ini Lan Hong yang sejak tadi sudah menahan-nahan tangisnya kini terisak-isak.
Sementara itu, di bawah gundukan tanah itupun terjadi peristiwa hebat yang tak diketahui seorangpun di luar. Sudah tujuh hari lamanya Sie Liong “bertapa” di dalam tanah, dikubur hidup-hidup! Dia dapat bernapas melalui lubang yang sengaja dipasang oleh tabib Camundi Lama yang merasa iba kepadanya. Dan selama tujuh hari tujuh malam itu dia pasrah kepada kekuasaan Tuhan!
Kekuasaan Tuhan berada di manapun di dalam yang paling dalam, di luar yang paling luar, di dalam segala benda yang nampak maupun tidak, dan di dalam tanah itupun terdapat pula kekuasaan Tuhan! Bahkan kekuasaan Tuhan amatlah kuatnya di situ. Bukankah segala sesuatu yang berada di atas bumi itu berasal dari tanah! Bukankah kehidupan segala macam tumbuh-tumbuban juga bersumber pada tanah!
Bumi yang nampak lemah dan tak bergerak itu sesungguhnya mengandung gerakan hidup yang dahsyat, maha dahsyat. Bumi mengandung energi, mengandung kekuatan yang menyedot segala apapun kembali kepadanya. Ada Tenaga Inti Bumi yang hebatnya tiada lawan.
Terkenang akan hal-hal yang pernah diajarkan oleh Pek Sim Sian-su kepadanya, tentang Tenaga Inti Bumi, tentang kekuatan dahsyat yang timbul melalui kepasrahan kepada kekuasaan Tuhan, selama tujuh hari itu Sie Liong menghimpun tenaga mujijat itu.
Dia sudah pasrah. Tubuhnya lemah, lengan kirinya buntung, ingatannya hilang, darahnya keracunan. Dia pasrah dalam arti yang sedalam-dalamnya. Bukan pasrah namanya kalau di dalam batin masih mengandung pamrih. Bukan pasrah namanya kalau di dalam batin masih terdapat rasa takut.
Pasrah berarti tidak bekerjanya hati dan pikiran, pasrah berarti tidak adanya nafsu. Yang ada hanya pasrah, penuh kesabaran, penuh ketawakalan, penuh keikhlasan, menyerah kepada kekuasaan Tuhan.
Tuhan Maha Kuasa! Tuhan Maha Kasih! Tanpa diketahuinya sendiri, terjadi keajaiban di dalam tubuh Sie Liong, kemujijatan yang menjadi bukti kekuasaan Tuhan! Tenaga Inti Bumi, di luar kesadarannya, telah merasuk ke dalam tubuhnya.
Tenaga sakti yang dahsyat ini sekaligus mengusir semua hawa beracun, membersihkan darahnya, bukan saja memulihkan tenaga saktinya, bahkan menjadikannya beberapa kali lebih kuat. Mula-mula dia hanya merasa betapa tubuhnya seperti sebuah balon yang ditiup, terus ditiup sehingga rasanya menggembung, makin lama semakin kuat, sehingga rasanya seperti hendak meledak!
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar