Ads

Minggu, 16 Februari 2020

Pendekar Bongkok Jilid 120

Sejenak, ucapannya itu bergema di dalam ruangan dan setelah gema itu menghilang, suasana menjadi sunyi sekali, sunyi yang menegangkan. Akhirnya Kim Sim Lama dapat menguasai kekagetannya dan diapun mengeluarkan suara tertawa untuk mengusir ketegangan dan wibawa Pendekar Bongkok. Ketika tertawa, Kim Sim Lama bukan sembarang tertawa, melainkan mengisinya dengan khi-kang, sehingga suara ketawanya juga bergema dan menggetarkan jantung.

“Ha-ha-ha-ha, Pendekar Bongkok, atau sekarang menjadi Pendekar Buntung atau Pendekar Bongkok Buntung? Bagus sekali, engkau datang menyerahkan nyawamu. Sekarang hatiku akan yakin bahwa engkau akan benar-benar mati, karena sekali ini kami tidak ingin gagal. Engkau akan mati di tanganku sendiri!”

Biarpun menghadapi ancaman dan berhadapan dengan Kim Sim Lama bersama banyak sekali pembantunya, belum lagi anak buahnya yang puluhan orang banyaknya di luar ruangan, namun Sie Liong masih bersikap tenang.

“Kim Sim Lama, engkau telah menculik Ling Ling, menggunakannya sebagai umpan untuk memancing aku datang. Nah, aku sudah datang memenuhi undanganmu. Bersikaplah sebagai laki-laki sejati, keluarkan Ling Ling!”

“Orang she Sie yang sombong!” Tiba-tiba Thay Bo Lama, orang termuda Tibet Ngo-houw yang terkenal berangasan itu sudah moloncat dan memaki. “Tidak perlu engkau menjual lagak. Bukankah engkau datang ke Tibet untuk mencari Tibet Ngo-houw? Nah, kami berlima sudah berada di depanmu. Tidak perlu pemimpin kami yang maju. Hayo kami Tibet Ngo-houw yang mempertanggung jawabkan semua perbuatan kami. Engkau mau apa? Sekali ini engkau tentu akan mati, bahkan tidak kebagian kuburan lagi!”

Empat orang saudaranya sudah pula bangkit. Mereka semua setuju dengan sikap Thay Bo Lama. Biarpun pernah mereka berlima mengeroyok namun tidak dapat memperoleh kemenangan, dan baru setelah Kim Sim Lama yang maju mereka semua berhasil menangkap Sie Liong, akan tetapi kini mereka sama sekali tidak takut. Mereka bahkan memandang rendah pendekar itu dan mereka ingin menebus kekalahan mereka. Kini setelah pendekar itu kehilangan lengan kiri, mereka yakin bahwa mereka akan mampu merobohkan dan membunuh Pendekar Bongkok.

Sie Liong memandang kepada mereka sejenak, kemudian dia menoleh kepada Kim Sim Lama.

“Kim Sim Lama, apakah omongan Tibet Ngo-houw dan engkau sendiri dapat kupercaya? Tibet Ngo-houw hendak mengeroyok aku, apakah engkaupun akan turun tangan lagi membantu mereka? Lebih baik dari sekarang berterus terang apakah engkau ingin maju sendiri dan mengeroyokku dengan semua pembantumu yang berada di sini? Dan mengerahkan pula semua anak buahmu!”

Sie Liong kini menyapa semua orang dengan pandang matanya dan sejenak pandang matanya hinggap di wajah Bi Sian. Wanita itu menundukkan mukanya yang berubah agak pucat. Nyeri rasa hati Sie Liong melihat kehadiran keponakannya sebagai seorang di antara anak buah Kim Sim Lama!

Ucapan ini mengobarkan kemarahan dalam hati Thay Ku Lama, orang pertama dari Tibet Ngo-houw. Memang dia harus mengakui bahwa seorang diri saja, dia pernah dikalahkan Pendekar Bongkok. Akan tetapi sekarang, Pendekar Bongkok kehilangan lengan kirinya! Jangankan dia maju berlima, bahkan seorang diripun agaknya dia akan mampu merobohkan Pendekar Bongkok!

“Pendekar Bongkok, dengarlah! Kami, Tibet Ngo-houw, akan membunuhmu tanpa bantuan siapapun! Biarlah kami berlima mampus di tanganmu kalau sampai ada yang membantu kami. Kau yang sudah hampir mampus ini masih berani bertingkah dan mengeluarkan omongan besar! Nah, terimalah....!”

Thay Ku Lama meloncat ke depan, dan tiba-tiba dia merendahkan tubuhnya sampai hampir berjongkok. Terdengar suara berkokokan dari dalam perutnya yang gendut itu. Kedua lengannya digerakkan menyilang dan selain perutnya yang gendut, juga kedua kakinya mengeluarkan suara berkerotokan kemudian tiba-tiba saja dia meloncat ke depan, kedua lengannya menyerang dengan dorongan kedua telapak tangan ke arah dada Sie Liong!

Sesungguhnya, orang-orang dengan kepandaian setingkat Tibet Ngo-houw ini sudah langka sekali dan sukar dicari tandingan mereka. Tingkat ilmu mereka, baik ilmu silat atau ilmu batin, sudah amat tinggi. Dan ilmu pukulan yang dipergunakan Thay Ku Lama itu adalah Hek-in Tai-hong-ciang (Tangan Awan Hitam dan Badai).

Kekuatan yang luar biasa terkumpul di dalam perutnya yang gendut dan seperti seekor katak beracun, begitu kekuatan dari perut itu dilepaskan, maka terciptalah gerak serangan yang amat dahsyat. Seketika angin menyambar dahsyat dibarengi uap hitam mengepul ketika dua tangan yang terbuka itu meluncur ke arah dada Sie Liong.






Sejak tadi Sie Liong dapat menduga bahwa orang pertama Tibet Ngo-houw itu menyerangnya dengan pengerahan tenaga sakti yang hebat. Dia tidak merasa takut, bahkan tanpa mengelak dia lalu mendorongkan tangan kanannya menyambut.

“Desss....! Plakkk!”

Lengan baju kiri itu menyusul dengan kecepatan kilat ketika tangan kanannya menyambut serangan lawan. Pertemuan tenaga sakti yang amat hebat terjadi ketika tangan kanan Pendekar Bongkok bertemu dengan kedua tangan Thai Ku Lama, dan pada saat itu, Thay Ku Lama terkejut sekali, wajahnya seketika pucat dan mulutnya menyeringai kesakitan. Dia merasa seolah semua tenaganya membalik dan menghantam isi perutnya sendiri.

Pada saat itu, nampak sinar putih menyambar dan mengenai tengkuknya. Itulah sambaran lengan baju yang kosong, dan begitu terkena lecutan ujung lengan baju ini, Thay Ku Lama terjungkal dan muntah darah! Ketika empat orang adiknya memeriksa, ternyata orang pertama Tibet Ngo-houw itu telah tewas!

Dalam segebrakan saja, Thay Ku Lama, orang pertama Tibet Ngo-houw, telah tewas di tangan Pendekar Bongkok yang hanya memiliki tangan tunggal, yaitu yang kanan saja. Empat orang pendeta Lama itu selain terkejut, juga marah bukan main. They Si Lama sudah mencabut cambuknya, Thay Pek Lama mencabut sepasang pedang. Thay Hok Lama melolos rantai bajanya, dan Thay Bo Lama juga menyambar tombaknya. Mereka berempat lalu mengepung dan menerjang dengan ganas.

Sementara itu, Kim Sim Lama memandang dengan wajah agak berubah. Apa yang baru saja terjadi sungguh mengejutkan hatinya bukan main. Dia tahu betapa lihainya Thay Ku Lama, orang pertama Tibet Ngo-houw dengan ilmu pukulan Hek-in Tai-hong-ciang itu.

Akan tetapi dalam segebrakan saja, Thay Ku Lama tewas di tangan Pendekar Bongkok. Padahal, Pendekar Bongkok sudah tidak berlengan kiri lagi. Bagaimana hal ini mungkin terjadi, pikirnya. Sebelum lengan kirinya buntungpun, Pendekar Bongkok tidak mungkin dapat menewaskan Thay Ku Lama seperti itu. Mungkinkah dia mendapatkan ilmu baru? Rasanya hal itu tidak mungkin terjadi. Baru beberapa hari saja lewat sejak Pendekar Bongkok buntung lengan kirinya. Bagaimana mungkin dalam waktu beberapa hari saja sudah memperoleh ilmu yang demikian dahsyatnya!

Akan tetapi, kini sepasang matanya terbelalak penuh kekagetan dan keheranan. Pendekar Bongkok memang jelas bukan Pendekar Bongkok yang tempo hari sebelum lengan kirinya buntung!

Menghadapi hujan serangan empat orang yang sedang marah dan sakit hati itu, Pendekar Bongkok hanya menggerakkan tangan kanan yang mendorong-dorong, dan lengan baju kirinya menyambar-nyambar. Hebatnya, semua senjata empat orang Harimau Tibet itu selalu terdorong membalik sebelum bertemu dengan tangan kanan, dan setiap kali bertemu ujung lengan baju kiri, seolah-olah dari tubuh Pendekar Bongkok keluar semacam tenaga sakti yang dahsyat dan yang merupakan perisai yang melindungi tubuhnya.

Setelah Pendekar Bongkok selalu menangkis pengeroyokan lawan seolah hendak menguji tenaga mereka, tiba-tiba Pendekar Bongkok mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya membungkuk ke depan, kaki kanan ditarik ke belakang dan tubuh atasnya yang bongkok itu lurus ke depan. Tangan kanannya mencengkeram ke depan, dan lengan baju kiri yang tadinya ditarik ke belakang, membentuk garis lurus seperti seekor naga meluncur, tiba-tiba ujung lengan baju kiri yang agaknya membentuk ekor naga itu menyambar ke depan.

Terdengar suara bersiutan dan disusul pekik dan robohnya empat orang pendeta Lama itu susul menyusul. Kim Sim Lama terbelalak ketika melihat betapa empat orang pembantunya itu roboh untuk tidak bangun kembali karena ternyata mereka telah tewas!

Juga para pembantunya yang lain terbelalak, hampir tidak percaya akan apa yang mereka lihat. Betapa mungkin pemuda bongkok yang lengan kirinya sudah buntung itu mampu membunuh lima orang Tibet Ngo-houw yang terkenal sakti itu dalam waktu demikian singkatnya?

Kim Sim Lama sendiri menjadi gentar melihat kesaktian luar biasa yang dimiliki Pendekar Bongkok. Kalau Tibet Ngo-houw roboh dalam waktu demikian singkatnya, dia sendiripun akan sukar untuk dapat menandingi Pendekar Bongkok. Maka tanpa malu-malu lagi dia lalu mengeluarkan aba-aba, memerintahkan para pembantunya untuk maju mengeroyok. Juga dia berseru agar pasukan yang berada di luar bersiap-siap mengepung!

“Kim Sim Lama, bebaskan Ling Ling dan aku tidak akan mencampuri urusanmu!”

Bentak Sie Liong, bukan khawatir akan pengeroyokan terhadap dirinya melainkan khawatir akan nasib Ling Ling yang terjatuh ke dalam tangan para pemberontak Tibet ini.

Akan tetapi tentu saja Kim Sim Lama tidak memperdulikan permintaan ini. Pemuda ini terlalu berbahaya baginya, apalagi sudah membunuh Tibet Ngo-houw, pembantu-pembantu utamanya yang merupakan tangan kanan baginya. Pendekar Bongkok harus dibasmi!

“Bunuh dia!” perintahnya sambil menggerakkan tangan, matanya berkilat marah.

Semua pembantunya sudah menghunus senjata, kecuali Yauw Bi Sian. Ia hanya duduk termenung. Ia terkejut dan kagum bukan main melihat pamannya yang dapat membunuh Tibet Ngo-houw sedemikian mudahnya. Pamannya yang telah buntung lengan kirinya itu ternyata menjadi semakin sakti!

Diam-diam ada perasaan girang menyelinap di hatinya. Ah, kalau saja pamannya itu tidak membunuh ayah kandungnya, ingin rasanya ia mencabut senjata untuk membantu pamannya menghadapi pengeroyokan semua orang itu!

Ia akan rela mengorbankan nyawanya untuk membela pamannya yang dikasihinya itu. Akan tetapi, pamannya telah menjadi musuh besarnya, telah membunuh ayahnya, kini ia termangu. Tidak mau ia ikut mengeroyok. Memang, ia telah bersumpah untuk membunuh Sie Liong, untuk membalaskan dendam ayahnya, akan tetapi ia tidak sudi mengeroyok Pendekar Bongkok bersama orang-orang yang sesat itu.

Akan tetapi pada saat Sie Liong menghadapi pengepung para pembantu Kim Sim Lama yang terdiri dari orang-orang pandai, di antaranya terdapat Coa Bong Gan, Pek Lan, Ki Tok Lama, dan belasan orang pendeta Lama lain, tiba-tiba terdengar sorak sorai gegap gempita di luar sarang gerombolan pemberontak itu, disusul suara pertempuran besar.

Kim Sim Lama terkejut, apalagi ketika seorang perajurit tergopoh-gopoh melapor bahwa sarang mereka diserbu oleh pasukan yang dipimpin oleh para pendeta anak buah Dalai Lama, Kim Sim Lama cepat melompat keluar dari ruangan itu, diikuti oleh para pendeta Lama lainnya!

Keadaan menjadi geger dan orang-orang agaknya demikian bingung dan panik mendengar bahwa tempat itu diserbu pasukan Dalai Lama sehingga mereka seperti telah melupakan Pendekar Bongkok.

Sie Liong juga tidak tahu harus berbuat apa. Orang-orang itu berlompatan pergi, juga Coa Bong Gan dan yang tinggal di situ akhirnya hanya dia dan Yauw Bi Sian! Mereka berdiri saling pandang, dan melihat pandang mata penuh kebencian dari gadis itu, Sie Liong menghela napas panjang.

“Bi Sian....” kata Sie Liong lirih.

Akan tetapi, saat itu, ketika mereka berdiri hanya berdua saja di dalam ruangan yang luas itu, Bi Sian teringat akan nasibnya, teringat betapa ayahnya terbunuh oleh pemuda bongkok ini. Bahkan pemuda bongkok ini yang membuat ia meninggalkan ibunya, merantau sampai bertemu dengan Song Gan dan akhirnya ia ternoda oleh Coa Bong Gan, sutenya sendiri. Semua ini membuat hatinya terasa perih, dan semua ini gara-gara Sie Liong! Kalau saja pamannya itu tidak membunuh ayahnya, tentu tidak akan sampai terjadi semua ini!

“Sie Liong, akhirnya kita dapat berhadapan satu lawan satu. Engkau harus menebus nyawa ayah, Bersiaplah!”

Bi Sian mencabut pedang Pek-lian-kiam. Akan tetapi, Sie Liong mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala dengan sinar mata duka. Dia maklum bahwa Bi Sian masih menuduh dia sebagai pembunuh Yauw Sun Kok, ayah gadis itu, suami encinya. Percuma saja dia menyangkal.

“Bi Sian, tolonglah aku. Katakan di mana Ling Ling. Aku akan membebaskannya kemudian pergi dari sini.”

Pada saat itu, Bong Gan memasuki ruangan sambil berseru,
“Suci, mari kita pergi!”

Melihat betapa pemuda itu memegang lengan Ling Ling, Sie Liong segera menghampirinya.

“Lepaskan Ling Ling....!”




Pendekar Bongkok Jilid 119
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar