Ads

Kamis, 26 November 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 109 (TAMAT)

Angin kebutan lengan bajunya menyambar dahsyat ke depan dan tahulah Cin Liong bahwa kakek yang menyerangnya ini memiliki kepandaian hebat. Maka diapun sudah bersiap-siap. Akan tetapi pada saat itu terdengar angin menyambar pula dari belakangnya.

“Perlahan dulu!”

Kiranya Kao Kok Cu sudah pula menggerakkan tangan tunggalnya ke depan. Angin pukulan yang amat kuat menyambar dan bertemu dengan angin pukulan yang dilancarkan Cu Han Bu. Akibatnya, tokoh Lembah Naga Siluman itu merasa betapa hawa pukulannya membalik sehingga dia terkejut bukan main. Dipandangnya laki-laki gagah berlengan buntung itu. Dia tahu betapa lihainya orang berlengan satu, ayah Jenderal Kao Cin Liong ini, akan tetapi dia berkata dengan suara lantang, penuh ejekan.

“Ayah membela anak tanpa melihat kebenaran lagi. Apakah itu gagah namanya?”

Dengan sebelah tangannya, Kao Kok Cu memberi hormat.
“Sobat she Cu, perlahan dulu bicara dan pergunakanlah kesadaran dan kewaspadaanmu. Semua cerita tentang muridmu seperti yang kau dengar tadi adalah benar belaka. Perbuatannya atas diri Suma Hui juga benar. Kalau tidak benar, tidak mungkin puteraku mengawininya. Muridmu adalah seorang yang berhati busuk dan licik, banyak orang menjadi korban tipuannya. Apakah engkau juga membiarkan dirimu tertipu dan terbawa-bawa oleh kejahatan dan kebusukannya?”

Wajah Cu Han Bu berobah merah sekali. Memang dia sudah merasa bimbang ragu atas diri muridnya setelah mendengar cerita-cerita tadi, akan tetapi kekecewaan membuat dia masih berusaha untuk menghilangkan keraguan itu dan membela muridnya. Kini dia membalikkan tubuh, melotot memandang muridnya.

“Louw Tek Ciang, demi Tuhan, mengakulah sejujurnya! Benarkah semua cerita yang kudengar tadi?”

Tek Ciang menjadi pucat mukanya, sebentar berobah merah lalu pucat lagi. Dia merasa tersudut. Walaupun dia tidak takut karena mengandalkan pasukannya dan empat orang tokoh sakti yang berada di dalam pasukan itu, namun tentu saja dia amat mengharapkan bantuan dua orang gurunya ini untuk menghadapi keluarga Pulau Es yang demikian tangguhnya, apalagi pihak lawan dibantu oleh Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya.

Selagi Tek Ciang kebingungan dan belum menjawab pertanyaan Cu Han Bu, tiba-tiba terdengar suara gaduh dan di antara para perajurit pengawal terjadilah perkelahian hebat.

Yang berkelahi adalah Kao Cin Liong yang dikeroyok oleh empat orang pembantu Tek Ciang yang menyelundup di antara para pasukan dan menutupi pakaian mereka dengan pakaian seragam pasukan.

Kiranya tadi Cin Liong mempergunakan kesempatan untuk mendekati para perwira pasukan dan minta kepada mereka agar jangan bergerak dan jangan mencampuri urusan pribadinya. Dalam kesempatan itulah sang perwira yang masih kagum dan hormat terhadap bekas jenderal muda ini, membisikkan adanya empat orang aneh yang diselundupkan pembesar baru itu di dalam pasukan. Kao Cin Liong merasa curiga lalu mencarinya.

Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati jenderal muda ini ketika dia melihat empat orang itu. Tentu saja dia mengenal mereka, bekas komplotan pemberontak yang pernah digagalkan pasukan pemerintah. Maka sambil berseru keras diapun maju menerjang dan disambut oleh empat orang itu. Karena empat orang itu memang lihai sekali, dikeroyok empat Cin Liong kewalahan dan mundur terus mendekati kelompok keluarga Pulau Es.

Dia meloncat ke depan Cu Han Bu dan berkata.
“Lihat, locianpwe. Siapa yang bersembunyi di dalam pasukan pengawal itu? Mereka adalah Thai-hong Lama, Pek-bin Tok-ong, Siwananda, dan Tai-lu-cin, empat orang yang pernah bersekongkol dengan pemberontak! Jahanam Louw Tek Ciang ini telah bersekongkol dengan pemberontak-pemberontak yang terdiri dari golongan sesat!”

Tentu saja semua orang terkejut, akan tetapi yang lebih kaget dan marah adalah Cu Han Bu dan Cu Seng Bu. Bagaimanapun juga, mereka adalah pendekar-pendekar yang tentu saja tidak suka kepada golongan hitam dan kini murid mereka, bahkan yang diharapkan menjadi suami Cu Pek In, telah bersekongkol dengan tokoh-tokoh jahat itu! Kenyataan ini melenyapkan keraguan mereka bahwa memang mereka telah tertipu, mereka telah keliru mengambil murid!

“Pasukan pengawal, maju dan serbu mereka ini.!”

Tek Ciang yang sudah terpojok itu memberi aba-aba dengan keras. Akan tetapi, perwira pemimpin pasukan itu diam saja seperti patung dan para perajurit yang melihat komandan mereka diam saja, juga tidak ada yang berani bergerak. Memang hati mereka sudah condong memihak Kao Cin Liong, maka diamnya komandan mereka itu membuat mereka lega. Mereka tidak suka menentang bekas jenderal itu, segan dan takut.

“Louw Tek Ciang, berlututlah engkau di depan kami dan sebagai murid kami, mengakulah terus terang!” Cu Han Bu membentak.

Akan tetapi Tek Ciang yang sudah melihat betapa keadaannya terhimpit dan hanya mengandalkan empat orang pembantunya yang kini sudah berdiri di situ dengan sikap siap berkelahi, tentu saja tidak sudi untuk berlutut dan menyerah begitu saja.

“Ji-wi suhu, kalau tidak mau membantuku, persetan dengan kalian!”

“Louw Tek Ciang, engkau sungguh jahat!”

Terdengar teriakan Cu Pek In dengan suara mengandung isak, dan wanita ini tiba-tiba saja menyerang Tek Ciang dari belakang, menggunakan sulingnya menotok ke arah tengkuk. Akan tetapi, biarpun Pek In merupakan puteri tunggal Cu Han Bu, dalam hal ilmu kepandaian ia masih jauh di bawah tingkat Tek Ciang. Serangan berupa totokan maut dengan suling ke arah tengkuk itu dihadapi Tek Ciang dengan tenang saja. Dia memutar tubuh sambil menggerakkan kedua tangannya, dengan jari-jari terpentang.

Terdengar suara bercuitan dan tiba-tiba saja tubuh Cu Pek In terpelanting dan wanita ini tewas seketika karena ia telah menjadi korban serangan Kiam-ci yang amat hebat, dilakukan dengan kedua tangan dari jarak dekat sekali. Semua orang terkejut dan tidak dapat mencegah karena peristiwa ini begitu tiba-tiba dan tidak terduga-duga.

Sepasang mata Cu Han Bu terbelalak dan wajahnya pucat sekali memandang tubuh puterinya yang menggeletak tak bernyawa, dari lehernya mengucur darah, juga dari dadanya!

“Kau.... kau.... keparat.... kau membunuh puteriku?”

Cu Han Bu mengeluarkan teriakan marah lalu menerjang dan menyerang muridnya itu. Cu Seng Bu yang juga sudah marah sekali sejak tadi, melihat kakaknya maju menyerang bekas murid itu, diapun lalu menyerang dengan sengit. Cu Han Bu terkenal dengan julukan Kim-kong-sian dan dia mempergunakan senjatanya yang berupa sabuk emas. Sabuk itu berubah menjadi segulungan sinar emas yang lihai sekali dan karena inilah dia dijuluki Dewa Sinar Emas.

Sedangkan adiknya, Cu Seng Bu dijuluki Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan) karena memiliki gin-kang yang hebat sehingga ketika dia menyerang maju, tubuhnya lenyap, hanya nampak berkelebatnya bayangannya saja.

Akan tetapi, Tek Ciang sama sekali tidak gentar menghadapi serangan kedua orang gurunya ini. Dia mengelak cepat dari sambaran sabuk emas di tangan Cu Han Bu dan pedang lemas di tangan Cu Seng Bu.

Bagaimanapun juga, dia sudah mengenal dasar-dasar gerakan ilmu silat dua orang tokoh Lembah Naga Siluman itu. Dan ketika dia membalas, dia mempergunakan ilmu-ilmu pukulan dari Pulau Es yang sama sekali tidak dikenal oleh kakak beradik she Cu itu sehingga mereka berdua terdesak!

Karena maklum betapa lihainya dua orang lawan ini, Tek Ciang juga sudah mencabut pedangnya. Pedang di tangan kanan itu bergerak cepat dan lihai sekali karena dia telah menggunakan ilmu silat pedang Siang-mo Kiam-hoat yang dipelajarinya dahulu dari Suma Kian Lee.

Siang-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) ini seharusnya dimainkan dengan sepasang pedang. Akan tetapi karena Tek Ciang hanya memegang sebatang pedang, dia menggunakan tangan kirinya untuk mengimbangi dengan Ilmu Kiam-ci, yaitu Jari Pedang dan tangan kirinya itupun tidak kalah lihainya daripada tangan kanan yang memegang pedang!

Tek Ciang memang amat pandai mengombinasikan ilmu-ilmu yang pernah dipelajarinya dari bermacam aliran. Maka, karena dia sudah mengenal gerakan kedua orang she Cu yang mengeroyoknya sebaliknya dua orang itu tidak mengenal gerakan-gerakannya, biarpun dikeroyok dua, Tek Ciang sebaliknya malah mendesak bekas guru-gurunya itu.

Ketika Cin Liong dan Suma Hui hendak maju, Kao Kok Cu memberi isyarat kepada putera dan mantunya itu untuk menahan diri. Dan Cin Liong mengerti akan isyarat ayahnya. Tentu ayahnya mengingat bahwa Tek Ciang telah diangkat sebagai seorang pejabat tinggi oleh kaisar dan kini ada banyak saksi, yaitu pasukan pengawal yang berada di situ. Biarkanlah pejabat baru itu kini berkelahi, melawan dua orang bekas gurunya sehingga para saksi itu akan melihat sendiri sehingga kelak keluarga Pulau Es tidak akan disalahkan sebagai pemberontak-pemberontak yang membunuh pejabat pemerintah!

Akan tetapi, Suma Hui yang menaruh dendam yang amat besar terhadap Tek Ciang, orang yang nyaris membuat hidupnya berantakan dan rusak, memandang dengan sinar mata berapi-api. Hatinya menjadi semakin panas melihat betapa Tek Ciang menghadapi kedua orang lawannya dengan menggunakan ilmu pedang dari Pulau Es.

Serang-menyerang terjadi dengan amat serunya. Melihat betapa dua orang kakek Cu itu semakin terdesak, bahkan Cu Seng Bu terluka pangkal lengan kirinya, robek bajunya dan berdarah karena sambaran Kiam-ci, hati Suma Hui menjadi semakin marah.

Dua orang kakek itu biarpun lihai tidak mengenal gerakan pedang Tek Ciang. Akan tetapi ia tentu saja mengenal baik Siang-mo Kiam-hoat itu dan bahkan ia dapat melihat kelemahan-kelemahannya. Tiba-tiba ia mengeluarkan bentakan nyaring dan tubuhnya sudah melayang ke udara, dan ketika tubuhnya tiba di atas Tek Ciang, ia membalikkan tubuh meluncur ke bawah dan pedangnya menyambar ke arah ubun-ubun kepala Tek Ciang!

Pada saat itu, Tek Ciang sedang menghadapi serangan lawan dan memang ubun-ubun kepalanya merupakan satu-satunya daerah yang terbuka. Terkejutlah Tek Ciang. Kalau dia berusaha menangkis atau mengelak dari serangan di atas itu, tentu dia akan terancam oleh senjata dua orang she Cu. Dia teringat akan ilmu barunya dan tiba-tiba saja mulutnya mengeluarkan suara melengking yang amat hebat. Menggetarkan jantung semua orang yang hadir. Bahkan Suma Hui yang sedang menyerang itu terkejut dan serangannya menyeleweng, tidak mengenai ubun-ubun kepala melainkan mengenai pundak, itupun hanya menyerempet saja sehingga merobek baju dan melukai kulit.

Akan tetapi lengkingan suara yang mengandung Ilmu Sin-liong Ho-kang itu memang dahsyat sekali, demikian hebatnya terasa oleh dua orang kakek Cu sehingga mereka tertegun dan tubuh mereka seperti dimasuki getaran kuat yang membuat mereka lumpuh selama beberapa detik. Kesempatan ini dipergunakan oleh Tek Ciang sebaik-baiknya.

Dia telah dapat miringkan tubuh sehingga pedang Suma Hui hanya melukai pundaknya, dan melihat dua orang kakek itu masih tertegun, pedang di tangan kanan dan jari-jari tangan kirinya menyambar seperti kilat.

Dua orang kakek Cu mengeluarkan teriakan keras. Pedang di tangan kanan Tek Ciang telah menembus perut Cu Han Bu, sedangkan Cu Seng Bu terkena pukulan Kiam-ci tepat pada dadanya. Keduanya merupakan serangan mematikan dan kalau bukan dua orang kakek Cu itu yang terkena, tentu roboh seketika. Akan tetapi dua orang kakek itu hanya berteriak dan dengan mata melotot keduanya menubruk ke depan, dari kanan kiri Tek Ciang.

Hal ini sama sekali tidak terduga oleh Tek Ciang dan dia tidak memperoleh kesempatan untuk mengelak sama sekali. Tahu-tahu dua pasang tangan dengan jari-jari yang mencengkeram telah menerkam kepalanya dan dua puluh buah jari tangan menancap ke dalam kepala!

Tek Ciang mengeluarkan teriakan mengerikan dan tubuhnya terguling, membawa dua tubuh lain itu dan tubuhnya berkelojotan, dengan kaki dan tangan meregang. Akan tetapi tubuh dua orang kakek itu tidak bergerak, kaku dan kedua tangan mereka masih mencengkeram kepala, dua pasang mata itu masih melotot mengerikan! Akhirnya tubuh Tek Ciang pun diam tak bergerak lagi setelah nyawanya melayang bersama dua orang kakek yang masih terus mencengkeram kepalanya itu.

Suma Hui yang berdiri dekat suaminya berbisik.
“Puas sudah hatiku.!”

Kao Cin Liong menarik napas panjang. Dia tahu akan perasaan hati isterinya. Dan dia merasa girang bahwa isterinya tadi hanya membantu saja robohnya Tek Ciang, tidak langsung menjadi pembunuh Tek Ciang. Betapapun juga, harus diakui bahwa robohnya Tek Ciang diawali dengan serangan Suma Hui tadi.

Melihat Tek Ciang roboh, empat orang pembantunya itu menjadi gentar. Mereka tadi sudah melihat betapa pasukan itu tidak taat lagi kepada Tek Ciang dan tidak berani melawan bekas Jenderal Kao Cin Liong. Kini, melihat Tek Ciang tewas, merekapun merasa tiada gunanya melawan lagi dan mereka saling pandang, lalu membalikkan tubuh hendak pergi dari situ. Akan tetapi tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan Cin Liong sudah menghadang mereka.

“Perlahan dulu, sobat. Kalian tidak boleh pergi dan harus menjadi tawanan pasukan!”

Empat orang itu terkejut dan maklum bahwa mereka takkan mungkin lolos kalau tidak menggunakan kekerasan, maka merekapun segera mencabut senjata masing-masing dan menerjang bekas jenderal itu. Akan tetapi Suma Hui, Suma Kian Lee, Kim Hwee Li, Kao Kok Cu, dan Wan Ceng sudah maju dan menghadapi keluarga yang sakti itu, empat orang tokoh sesat itu tidak dapat berbuat banyak.

Dalam waktu tiga puluh jurus lebih saja, mereka berempat sudah dapat dirobohkan, dibelenggu oleh pasukan dan dibawa kembali ke kota raja. Atas permintaan Kao Cin Liong, komandan pasukan melapor kepada atasannya yang melanjutkan kepada kaisar bahwa Panglima Louw Tek Ciang di tengah jalan bertengkar dengan dua orang gurunya dan dalam perkelahian itu dia tewas, demikian pula kedua orang gurunya. Dan ditambahkan pula bahwa ternyata pembesar baru itu telah bersekongkol dengan empat orang pemberontak yang dapat ditawan.

Suma Ceng Liong bersama Kam Bi Eng pergi ke puncak Bukit Nelayan, menghadap Kam Hong dan Bu Ci Sian. Dengan terus terang dan berani mereka berdua menghadap suami isteri ini dan menceritakan segala hal tentang diri mereka, tentang pertemuan di Hutan Cemara, tentang tewasnya Sim Hong Bu dan juga tentang cinta kasih antara mereka dan tentang pertemuan mereka dengan Sim Houw.

Mula-mula Kam Hong dan isterinya terkejut sekali. Terutama sekali Kam Hong mengerutkan alisnya dan memandang marah. Apalagi setelah kini Sim Hong Bu gugur, dia marah harus memegang teguh perjanjiannya dengan sahabat itu.

“Bi Eng, bagaimana engkau dapat mengharapkan aku melanggar janji terhadap seorang sahabat yang telah meninggal dunia?” katanya dengan nada lebih banyak menegur daripada bertanya.

“Ayah, suhu Sim Hong Bu sendiri yang telah menyetujui seperti yang kami dengar dari Sim Houw suheng.”

“Sudahlah, aku baru mau mempertimbangkannya kalau sudah mendengar sendiri penuturan Sim Houw!”

Biarpun dengan hati yang tidak enak, Suma Ceng Liong tinggal di rumah kekasihnya itu. Sikap tuan dan nyonya rumah yang pendiam membuat dia merasa canggung sekali, akan tetapi demi cintanya terhadap Bi Eng, diapun mempertahankan diri. Apalagi sikap Bi Eng amat manis dan gadis ini selalu membesarkan hatinya.

Akhirnya, saat yang dinanti-nantikanpun tiba. Sim Houw datang berkunjung. Pemuda ini menjatuhkan diri berlutut di depan guru atau juga calon mertuanya dan tak dapat menahan cucuran air matanya.

Kam Hong dan isterinya merasa terharu sekali.
“Kami telah mendengar tentang kematian ayahmu, Sim Houw. Akan tetapi, usaplah air matamu. Ayahmu tewas sebagai seorang pendekar dan patriot sejati yang gugur dalam perjuangan yang patut. Tak perlu ditangisi dan bukan sikap seorang pendekar kalau mudah saja mencucurkan air matanya.”

“Maaf, suhu, maafkan kelemahan teecu,” jawab Sim Houw.

Seperti yang sudah direncanakan dengan isterinya, apalagi di situ tidak terdapat Bi Eng dan Ceng Liong yang sedang berburu di hutan, Kam Hong memancing.

“Sim Houw, setelah ayahmu meninggal dunia, kami merasa perlu untuk mempercepat pelaksanaan pernikahanmu dengan Bi Eng.”

“Tidak, suhu....! Maafkan teecu, suhu, akan tetapi.... ikatan perjodohan antara teecu dan sumoi itu tidak mungkin dilanjutkan.”

Kam Hong pura-pura kaget dan marah.
“Sim Houw! Omongan apa yang kau keluarkan ini? Apa maksudmu?”

“Suhu, sebelum meninggal, ayah berpesan kepada teecu agar teecu menghadap suhu dan menyatakan bahwa ikatan perjodohan itu agar diputuskan.”

Kam Hong mengangguk-angguk. Kalau begitu puterinya tidak berbohong.
“Apa alasannya mendiang ayahmu berpesan seaneh itu?”

“Sederhana saja alasannya, suhu, yaitu bahwa sumoi tidak berjodoh dengan teecu, maksud teecu.... eh, sumoi dan teecu tidak saling mencinta.”

Inilah keterangan yang dikehendaki Kam Hong dan isterinya.
“Sim Houw, katakan sekali lagi, apakah benar-benar engkau tidak mencinta Bi Eng?” tanya Bu Ci Sian.

Sim Houw merasa bingung dan takut menghadapi pertanyaan ini. Dia harus mengaku sejujurnya bahwa dia kagum sekali dan suka kepada Bi Eng. Siapa orangnya tidak akan suka dan kagum kepada gadis yang selain tinggi ilmu silatnya, juga amat manis itu? Akan tetapi dia sendiripun tidak tahu apakah dia mencinta Bi Eng, suatu perasaan yang belum pernah dirasakannya. Yang jelas, mendengar bahwa Bi Eng mencinta pemuda lain, dia tidak merasa duka atau marah.

“Subo, maafkanlah teecu. Tentu saja antara teecu dan sumoi terdapat rasa sayang sebagai saudara seperguruan, akan tetapi tentang cinta.... sumoi telah mencinta seorang pemuda lain. Bagaimana teecu dan ia dapat saling mencinta? Dan menurut ayah, jodoh tanpa cinta hanya akan berakhir dengan duka nestapa.”

Mendengar ucapan pemuda ini, wajah Bu Ci Sian berobah pucat. Dahulu, dahulu sekali, ketika Sim Hong Bu, ayah pemuda ini, masih menjadi seorang pemuda, Hong Bu pernah mati-matian jatuh cinta kepadanya. Akan tetapi ia tidak membalas cintanya dan ia mencinta Kam Hong. Kemudian Sim Hong Bu menikah dengan Cu Pek In. Iapun menarik napas panjang dan tenggelam dalam kenangan.

Kam Hong merasa lega sekali mendengar ucapan muridnya ini. Jadi benar semua keterangan puterinya. Puterinya saling mencinta dengan Suma Ceng Liong, cucu Pendekar Super Sakti dari Pular Es itu. Dan putusnya tali perjodohan puterinya dengan Sim Houw inipun sudah sah, karena disetujui oleh Sim Hong Bu dan oleh Sim Houw sendiri.

“Baiklah, kalau begitu kami menjadi yakin, Sim Houw. Ketahuilah bahwa sebetulnya kami telah mendengar kesemuanya itu dari Bi Eng.”

“Ah, jadi sumoi sudah pulang dan menceritakan semua kepada suhu dan subo? Dan pemuda itu.... eh, maksud teecu, saudara Suma Ceng Liong.”

“Diapun sudah berada di sini. Mereka berdua sudah menceritakan semuanya kepada kami, akan tetapi kami masih merasa penasaran dan ingin mendengar dari engkau sendiri, Sim Houw.”

Wajah pemuda itu berseri gembira.
“Ah, kalau begitu hati teecu menjadi lega dan gembira. Mereka itu betul-betul saling mencinta dan pemuda itu amat gagah dan jujur, menjadi calon jodoh sumoi yang amat baik.”

Sim Houw tidak lama berada di puncak Bukit Nelayan. Setelah bertemu dan beramah tamah dengan Bi Eng dan Ceng Liong dan makan bersama dari hidangan hasil buruan sepasang muda mudi itu, diapun berpamit dan mendapat doa restu dari suhu dan subonya yang merasa terharu dan kasihan, juga kagum terhadap murid itu.

Perjodohan antara Kam Bi Eng dan Suma Ceng Liong tidak mengalami banyak kesulitan. Suma Kian Bu dan Teng Siang In segera datang berkunjung ke puncak Bukit Nelayan setelah mendengar permintaan Ceng Liong untuk mengajukan pinangan dan diterima dengan senang hati dan gembira oleh Kam Hong dan isterinya.

Beberapa bulan kemudian, pernikahan antara kedua orang muda itupun dirayakan dengan amat meriah, dihadiri oleh orang-orang gagah dari segenap penjuru dan di dalam perayaan ini berkumpullah semua keluarga para pendekar Pulau Es dengan lengkap.

Kam Hong dan isterinya merasa bangga dan berbahagia sekali dapat berbesan dengan keluarga Pulau Es apalagi setelah mereka mendengar penuturan mantu mereka tentang riwayatnya sampai dia menjadi murid Hek-i Mo-ong dan diajak menyerbu ke Bukit Nelayan. Mereka yang tadinya merasa tidak senang melihat pemuda itu menjadi murid Hek-i Mo-ong, kini berbalik menjadi kagum.

Demikianlah, cerita ini diakhiri dengan kebahagiaan yang dinikmati oleh keluarga Pulau Es. Suma Hui telah menjadi isteri Kao Cin Liong dan hidup bahagia. Suma Ceng Liong hidup berbahagia pula bersama isterinya, Kam Bi Eng. Dan biarpun Suma Ciang Bun masih merasa kehilangan Gangga, akan tetapi dia semakin matang dan semakin dapat mengenal diri sendiri, perlahan-lahan dia membiarkan dirinya berobah melalui kewaspadaan.

Sebagai akhir tulisan dalam cerita ini, pengarang mengharapkan mudah-mudahan di samping menghibur dan menemani Anda di kala senggang, juga cerita ini mengandung manfaat bagi para pembacanya. Sampai jumpa kembali di lain kisah!

T A M A T