Ads

Jumat, 25 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 069

Han Ki memandang kedua arca Maya dan Siauw Bwee dengan mata bersinar-sinar, penuh kegembiraan. Kedua arca yang berdiri di dekat arcanya sendiri itu amat memuaskan dirinya. Arca-arca itu sudah jadi, persis seperti kedua orang sumoinya yang amat dikasihinya dan ia kagum akan hasil seni yang diciptakan tangannya, melainkan kagum akan kecantikan kedua orang sumoinya.

Baru sekarang ia dapat memandangi kecantikan kedua orang gadis remaja itu sepuas hatinya. Memang hebat! Sukarlah menentukan siapa di antara keduanya yang lebih cantik. Kadang-kadang tampak Maya lebih cantik, akan tetapi kadang-kadang Siauw Bwee lebih manis dan jelita. Hanya diam-diam ia harus mengakui bahwa sepasang mata Maya amat hebat, luar biasa hebatnya dan menyinarkan kehangatan yang membuat ia kadang-kadang merasa jantungnya berdebar, apalagi ditambah bibir yang seolah-olah mengandung senyum penuh arti itu.

Gerakan halus di belakangnya pada saat itu amat dikenalnya. Berkat latihan yang tekun, tanpa menengok pun Han Ki maklum bahwa Maya telah berada dalam kamar kerjanya membuat arca. Dia mengenal benar gerakan halus kedua orang sumoinya, malah dapat membedakannya. Apalagi, ada keharuman yang khas pada diri masing-masing dara itu karena keduanya suka memakai bunga yang berlainan, bunga-bunga yang sering kali dipetiknya dari pulau-pulau lain, yang dia cari untuk kedua orang sumoinya karena dia tahu bahwa semua wanita menyukai bunga dan bau-bau harum.

“Suheng....”

Han Ki menoleh tersenyum.
“Sudah hampir jadi arca-arca kita, Sumoi. Hanya tinggal menghaluskannya saja, dalam sehari saja tentu selesai.”

Maya berlutut di dekat suhengnya.
“Suheng, arca siapakah yang terindah di antara tiga buah arca ini?”

Pertanyaan kanak-kanak, pikir Han Ki sambil tersenyum dan dia menjawab, suaranya menggoda,

“Tentu saja arcaku sendiri!”

“Ah, Suheng sombong!” Han Ki hanya tertawa.

“Suheng, kalau dua yang lain ini, mana lebih cantik?”

Han Ki mengerutkan alisnya, sejenak tak dapat menjawab. Akan tetapi kemudian terdengar suaranya menggoda karena dia terpaksa melayani pertanyaan yang manja itu,

“Wah, tentu saja arcamu lebih cantik.”

Wajah itu berseri, manis pandang mata yang biasanya hangat itu lebih panas lagi, senyumnya manis memikat.

“Suheng....” Maya menyentuh lengan suhengnya, “Benarkah engkau anggap aku paling cantik?”

Han Ki menatap wajah sumoinya dan memang dia harus mengakui bahwa wajah itu luar biasa cantiknya, kecantikan khas, yang sukar dilukiskan karena memiliki ciri tersendiri dan mempunyai daya pikat yang amat kuat. Terpaksa ia mengangguk dan menjawab sungguh-sungguh

“Engkau memang cantik jelita, Sumoi.”

“Tidak ada wanita di dunia ini yang melebihi kecantikanku?”

Pertanyaan ini makin manja dan Maya mendekatkan mukanya. Tampak garis-garis muka yang amat indah itu, bulu matanya panjang lentik melengkung, agak merapat karena mata itu memandang setengah terpejam, bibir itu terbuka sedikit, tampak sederetan gigi putih dan napas dara itu seperti agak terengah.

Han Ki hanyalah seorang laki-laki yang masih muda pula. Jantungnya berdebar dan jakunnya bergerak ketika ia menelan ludah,

“Engkau cantik sukar dicari bandingnya di dunia ini, Maya.”

Maya memandang dengan sinar mata penuh arti, tangannya memegang lengan Han Ki, suaranya menggetar berbisik,

“Suheng, engkau pun bagiku merupakan pria yang paling hebat di dunia ini”






“Maya....!” Han Ki membantah kaget.

Akan tetapi Maya yang sudah mabok oleh perasaannya sendiri itu melanjutkan.
“Suheng, bukankah aku lebih cantik pula dibandingkan dengan Sung Hong Kwi?”

“Maya-sumoi....!”

Maya sudah menjatuhkan diri ke dalam pelukan suhengnya dan berbisik,
“Suheng, aku bersedia menjadi pengganti Hong Kwi...., aku...., Suheng, bukankah engkau mencintaku seperti aku cinta padamu....?”

Kali ini benar-benar Han Ki terkejut karena di luar kesadarannya ia telah memeluk tubuh itu penuh dendam rindu terhadap Sung Hong Kwi yang selama lima tahun ditahan-tahannya, bahkan muka Maya yang tengadah itu dekat sekali dengan mukanya sehingga napas yang keluar dari hidung dara itu menyentuh pipinya.

Bagaikan sinar kilat tampak wajah gurunya dan Han Ki melepaskannya, bangkit berdiri dan membalikkan tubuh membelakangi Maya, memejamkan mata mengheningkan hati dan pikirannya mengusir gairah nafsu yang menyesakkan dada.

“Suheng....!” Maya juga bangkit berdiri dan memeluk pinggangnya.

“Maya-sumoi, jangan....!”

Han Ki berkata dan melepas kedua lengan yang merangkul pinggang itu, melangkah maju dua langkah sambil membalikkan tubuh menghadapi sumoinya. Kini ia telah menguasai nafsunya dan matanya memancarkan pandang mata penuh teguran.

“Sumoi, mulai detik ini jangan engkau ulangi semua sikap dan kata-katamu tadi!”

“Suheng....! Aku.... cinta padamu, Suheng....”

“Diam! Keluarlah engkau sebelum kutampar!”

Maya memandang dengan mata terbelalak lebar, seperti mata kelinci yang ketakutan, napasnya terengah dan naiklah sedu-sedan dari dadanya, kemudian membalik dan lari keluar sambil terisak.

Han Ki memejamkan mata, menarik napas panjang dan kedua kaki yang lemas itu berlutut dan kemudian ia memandangi arca-arca itu. Maya mencintainya! Dan biarpun Siauw Bwee tidak pernah memperlihatkan sikap dengan terang-terangan, namun ia dapat menduga bahwa Siauw Bwee juga mencintanya! Dan dia? Ah, cintanya sudah habis, sudah terbang pergi bersama Hong Kwi. Betapa mungkin ia jatuh cinta lagi?

Namun ahhh...., dia bergidik kalau teringat tadi betapa nafsu berahi menguasainya, membuat ia ingin memeluk ketat tubuh itu, ingin mencium bibir dan mata itu, ingin membelai merayu. Ah, betapa mudahnya ia jatuh cinta kepada Maya, dan.... ketika ia memandang arca Siauw Bwee, dia pun tahu bahwa akan amat mudah pula, semudah tadi, ia jatuh hati kepada Khu Siauw Bwee yang halus wataknya. Celaka!

“Kau...., kau mata keranjang!”

Han Ki menampar kepalanya sendiri, terbayanglah wajah Hong Kwi dan dua titik air mata meloncat ke atas pipinya. Sampai lama ia termenung seperti itu, berjam-jam dan hanya dengan kekuatan batinnya yang hebat saja akhirnya ia dapat menindas perasaannya. Kemudian, seperti orang mabok ia melanjutkan pekerjaannya memperhalus tiga buah arca itu, tidak mempedulikan apa-apa. Bahkan ketika dua kali Siauw Bwee menjenguknya, mengajaknya makan kemudian setelah bertanya mengapa dia tidak tidur, dia hanya menjawab tanpa menoleh,

“Aku tidak lapar dan tidak mengantuk. Aku ingin menyelesaikan ini, Khu-siauw-moi, tinggalkan aku sendiri.”

Pada jengukannya yang ke dua, Siauw Bwee ragu-ragu dan memandang suhengnya, kemudian berkata,

“Ini tentu kesalahan suci entah apa sebabnya!”

Han Ki terkejut, akan tetapi menindas perasaannya dan menoleh.
“Mengapa engkau, berpendapat demikian?”

“Kulihat Suci menangis, dia pun tidak mau makan, tidak mau tidur. Ketika aku bertanya dan menghiburnya dia malah membentakku agar aku tidak mencampuri urusannya. Suheng, apakah yang terjadi?”

“Tidak apa-apa. Aku pun tidak tahu dia mengapa? Sudahlah, tinggalkan aku sendiri,Sumoi!”

Sejenak Siauw Bwee berdiri di belakangnya, ragu-ragu. Kemudian terdengar ucapannya lirih,

“Engkau kelihatan berduka, Suheng. Kenapakah?”

“Tidak apa-apa! Tidak apa-apa!”

“Suheng, selama lima tahun kita tinggal di sini, baru sekarang kulihat engkau berduka dan Suci menangis, Suheng, engkau...., engkau satu-satunya orang yang kumiliki di dunia ini, disamping ibuku yang entah berada di mana. Suheng, kalau engkau berduka, aku ikut berduka....”

Han Ki memejamkan mata, jantungnya seperti ditusuk rasanya. Akan tetapi hanya sebentar ia telah dapat menguasai dirinya. Ia menoleh, memaksa diri tersenyum dan berkata,

“Engkau ini aneh-aneh saja, Sumoi. Aku tidak apa-apa, hanya tekun menyelesaikan arca-arca ini. Eh, bagaimana dengan perahu yang kau buat? Telah selesaikah?” Dia sengaja membelokkan percakapan untuk mengalihkan perhatian sumoinya itu.

“Sudah, Suheng. Layar yang kau beri sudah kujahit dan kupasang. Besok pagi akan kucoba. Aku ingin mengunjungi pulau yang kulihat di sebelah selatan itu”

Han Ki tersenyum.
“Itu Pulau Kijang. Pulau kosong akan tetapi banyak binatang kijang disana.”

“Aku ingin menagkap kijang.“

“Boleh, akan tetapi kalau memburu kijang, cari yang sudah tua agar pembiakannya tidak terganggu.”

“Aku ingin menangkap seekor anak kijang, tidak membunuhnya. Aku ingin memeliharanya, untuk teman disini.”

Han Ki berdiri, membalikkan tubuh dan memandang sumoinya.
“Apa? di sini ada aku dan sucimu, dan engkau hendak mencari kijang untuk teman?”

Siauw Bwee menunduk dan terdengar suaranya lemah seperti berbisik,
“Aku...., aku kadang-kadang merasa kesepian Suheng terutama sekali.... sekarang ini....” Setelah berkata demikian Siauw Bwee membalikkan tubuhnya dan lari pergi.

“Hei....! Khu-sumoi....?”

Han Ki memanggil akan tetapi dara itu tidak menoleh dan lapat-lapat Han Ki mendengar sumoinya itu terisak! Han Ki berdiri termangu-mangu kemudian menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

“Perempuan....!” gumamnya dengan hati terheran-heran dan tidak mengerti.

Hatinya makin bingung dan makin berduka karena perasaannya membisikkan bahwa mulai saat itu ia hanya akan menjumpai kesulitan-kesulitan dengan kedua sumoinya itu. Untuk melupakan pekerjaannya. Semalam suntuk dia tidak tidur dan memperhalus ukiran tiga buah arcanya.

Pada keesokan harinya, barulah pekerjaannya selesai dan selagi ia hendak beristirahat, tiba-tiba ia terlonjak bangun karena mendengar suara desir angin yang aneh dan yang dikenalnya baik-baik. Itulah suara pukulan-pukulan dengan tenaga sin-kang yang kuat. Biasanya, desir angin pukulan itu terdengar di waktu kedua sumoinya berlatih akan tetapi sekali ini, desir angin hebat itu diseling suara bentakan-bentakan nyaring orang bertempur. Ia merasa heran dan khawatir sekali cepat meloncat bangun dan melesat keluar dari Istana Pulau Es.

Ketika ia tiba di luar, ia berdiri kaget melihat betapa kedua orang sumoinya sudah saling serang dengan hebatnya! Pohon tumbang batu berhamburan dilanggar angin pukulan kedua sumoinya yang berkelahi dengan sungguh-sungguh, mengeluarkan semua ilmu yang selama ini mereka latih.

Sekali ini mereka bukan sedang berlatih, melainkan sedang saling serang sungguh-sungguh, setiap serangan mendatangkan maut. Sekelebatan saja ia dapat mengerti bahwa dalam perkelahian itu, Siauw Bwee masih bersikap mengalah dan lebih banyak mengelak, akan tetapi Maya menyerang seperti seekor singa betina kehilangan anaknya.

“Maya....! Siauw Bwee....! Berhenti....!” Han Ki berteriak sambil lari menghampiri.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar