Ads

Jumat, 25 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 070

Akan tetapi ia tertegun dan menghentikan larinya ketika melihat kini kedua orang dara itu saling serang dari jarak dekat, tidak hanya mengandalkan sin-kang seperti tadi, melainkan menggunakan jari-jari tangan mereka yang lihai dan yang merupakan cengkeraman-cengkeraman maut, totokan-totokan yang membawa nyawa! Akan tetapi yang membuat Han Ki tertegun adalah jeritan mereka yang saling menuduh.

“Engkaulah yang membuat suheng berduka! Engkau sungguh seorang adik yang tidak mengenal budi!”

“Dan engkau....! Engkau yang menjadi biang keladinya sehingga dia tidak dapat menerima cintaku!” Maya membalas dengan teriakan marah.

“Begitukah? Kalau benar dia mencintaku, sepatutnya kau tahu diri!” balas Siauw Bwee.

“Kau perempuan tak bermalu!”

“Engkau yang tidak tahu malu!”

“Sumoi.... ! Jangan berkelahi!”

Han Ki berteriak keras dan tubuhnya mencelat menangkis sambil mengerahkan tenaga. Akibatnya, tubuh Maya dan Siauw Bwee terlempar ke belakang, terpental dan terhuyung-huyung.

“Kau.... membelanya....!” Siauw Bwee berkata sambil menangis.

“Kau.... kau.... melemparku, kau.... benar-benar mencinta bocah kurang ajar ini!” Maya juga menangis.

“Ahh, Maya-sumoi dan Khu-sumoi, apakah kalian berdua telah menjadi gila? Hentikan permusuhan gila ini! Aku.... aku.... ahhh.... !” Han Ki menjambak rambutnya sendiri dan ingin pula dia menangis!

“Suheng! Berterus teranglah, apakah engkau mencinta Maya-suci?” Siauw Bwee bertanya.

“Suheng, engkau bilang aku paling cantik di dunia ini! Bukankah engkau mencintaku? Ataukah.... engkau cinta kepada Sumoi?” Maya juga menuntut jawaban pasti.

Wajah Han Ki menjadi pucat. Kemudian ia menggunakan kedua tangan menutupi mukanya karena pandang matanya terasa berkunang-kunang, dan sambil menggelengkan kepalanya ia berkata,

“Aku tidak tahu..., aku tidak tahu kalian adalah kedua orang sumoiku, seperti adik-adikku sendiri...., aku tidak cinta siapa-siapa....!”

Ia hanya mendengar isak tertahan dan mendengar berkelebatnya gerakan tubuh mereka pergi dari situ. Dia tidak peduli, bagi dia asalkan kedua orang dara itu tidak saling serang pada saat itu, cukuplah.

Akan tetapi ketika sampai lama dia tidak mendengar gerakan mereka, ia membuka kedua tangannya dan memandang. Kedua orang dara itu tidak tampak lagi dan keadaan di sekelilingnya sunyi. Sunyi dan dingin karena angin yang bertiup membawa datang salju-salju tipis. Ia mulai merasa khawatir, lalu melangkahkan kaki mencari kedua orang sumoinya, khawatir kalau-kalau mereka itu pergi untuk melanjutkan pertandingan mati-matian di bagian lain dari pulau itu.

Akan tetapi, mereka tidak ada di pulau dan betapa kaget hatinya ketika melihat dua buah perahu berlayar, jauh dari pantai, yang sebuah ke barat, yang sebuah lagi ke selatan. Ia mengenal perahu lama dengan layar hitam itu membawa Maya menuju ke barat, sedangkan yang sebuah lagi adalah perahu buatan Siauw Bwee, dengan layar kuning meluncur pergi membawa dara itu ke selatan!






Han Ki berlari ke pantai, berteriak nyaring,
“Sumoiiii....!”

Akan tetapi, samar-samar dia hanya melihat kedua orang sumoinya itu menoleh dan melambaikan tangan kemudian tangan yang melambai itu menyentuh muka, seperti menghapus air mata!

Tak terasa lagi kedua mata Han Ki menjadi basah dan dia memandang sampai kedua buah perahu itu lenyap dari pandang matanya. Di dalam hatinya, semenjak tinggal di situ, dia sudah mengambil keputusan untuk tidak kembali ke dunia ramai. Akan tetapi, kini kedua orang sumoinya, dua orang yang paling dicintainya di dunia ini, meninggalkan Pulau Es, menempuh hidup menghadapi dunia ramai yang penuh bahaya.

Teringat dia akan cita-cita kedua orang sumoinya membalas dendam, dan terbayanglah dia betapa sumoi-sumoinya itu akan menghadapi bahaya-bahaya besar. Betapa mungkin ia mendiamkan saja kedua orang yang dikasihinya itu terancam bahaya di sana? Tidak, dia harus pergi menyusul, membantu mereka dan kalau mungkin mengakurkan mereka. Akan tetapi mungkinkah ini? Betapapun juga, dia harus menyusul mereka dan berusaha.

Setelah dua buah perahu itu tidak tampak lagi, Han Ki mengalami perasaan yang selama hidupnya belum pernah dirasainya, yaitu perasaan hati kosong dan nelangsa, seolah-olah semangat dan segala gairah hidupnya terbang melayang dibawa pergi bayangan dua buah perahu yang ditumpangi Maya dan Siauw Bwee, lenyaplah semua gairah dan kegembiraan hidup, seolah-olah kegembiraan hidupnya selama ini berada di tangan kedua sumoinya itu.

Han Ki menjatuhkan diri duduk di pantai, termenung, hatinya kosong, pikirannya melayang-layang jauh mencari-cari dan terkenanglah ia akan keadaan hidupnya selama ini.

Semenjak kecil ia sudah sebatang kara, seorang diri di dunia ini dan selama itu ia dahulu selalu gembira, tidak pernah merasa kehilangan sesuatu. Kemudian, pengikatan cinta kasihnya dengan Sung Hong Kwi membuat ia merasa sengsara dan menderita kehilangan karena dipisahkan dari orang yang dicintanya itu. Namun, rasa sengsara itu terobati ketika ia tinggal di pulau ini bersama kedua orang sumoinya. Semua rasa sayangnya ia curahkan kepada kedua orang sumoinya itu.

Dan sekarang timbul pula keruwetan karena cinta, dan akhirnya dia menderita lebih hebat lagi setelah kedua orang itu pergi meninggalkan Pulau Es, meninggalkan dia! Maka teringatlah ia akan petuah-petuah Bu Kek Siansu, gurunya yang bijaksana,

“Han Ki, segala hal yang menimpa dirimu kelak, jangan kau persalahkan keadaan di luar dirimu, karena sesungguhnya yang menjadi sebab daripada akibat yang menimpa diri berada di dalam diri sendiri. Carilah sebab-sebabnya pada dirimu sendiri dan dengan jalan itu engkau akan dapat memperbaiki diri dan mengenal kekotoran diri sendiri. Mengenal cacat diri pribadi jauh lebih penting dan berharga daripada mengenal cacat selaksa orang lain.”

Teringat akan petuah ini, Han Ki mengangguk-angguk, kemudian termenung lagi karena dalam menderita kekosongan hati dan kehilangan ini, lapat-lapat terngiang di telinganya petuah gurunya mengenai hal ini.

“Segala peristiwa merupakan mata rantai yang tak dapat dipisah-pisahkan, karena saling menyambung, saling mengikat dan saling menjadi sebab. Segala macam perasaan suka-duka, gembira, marah, puas, kecewa dan lain-lain hanyalah permainan daripada rasa sayang diri dan iba diri. Yang mau bersuka tentu akan bertemu dengan duka. Ingatlah, Han Ki, bahwa senang bergandeng tangan dengan susah. Hanya dia yang MEMILIKI saja yang akan KEHILANGAN! Memiliki itu bersifat senang, akan tetapi memiliki membawa datang kewajiban paksa yaitu MENJAGA karena di depannya terbentang mengerikan jurang KEHILANGAN. Karena ada dan tiada itu saling mengait, yang ada tentu akan tiada, sebaliknya yang tiada tentu akan ada, maka yang memiliki tentu akan kehilangan! Dan dia yang merasa suka di waktu memiliki, sudah tentu saja akan menderita duka di waktu kehilangan. Oleh karena itu, Han Ki, berbahagialah si bijaksana yang TIDAK MEMILIKI APA-APA, karena dia akan bebas daripada suka maupun duka!”

Han Ki termenung mengerutkan alisnya. Betapa tepat petuah gurunya itu, betapa cocok dengan keadaan hidupnya. Bahkan ia yakin bahwa wejangan itu cocok pula dengan kehidupan semua manusia. Orang yang tidak mempunyai apa-apa takkan khawatir kehilangan. Si pembesar khawatir kehilangan kedudukannya, si hartawan khawatir kehilangan hartanya, si terkenal khawatir kehilangan kesohorannya, dan kalau sampai kemudian terjadi kehilangan, itu akan menimbulkan duka.

Seperti dia sekarang, karena dia memiliki kedua orang sumoinya, mencintainya, maka kini kehilangan dan menimbulkan duka nestapa di hatinya, menyesal kecewa dan suka! Dahulu pun, karena dia memiliki Sung Hong Kwi, mencintainya, dia menjadi berduka ketika kehilangan. Andaikata dia tidak memiliki kesemuanya itu, pasti sekarang dia akan tetap hidup tenang gembira!

“Janganlah kita sampai dikuasai nafsu, Han Ki. Sebaliknya kita harus menguasai nafsu perasaan sehingga kita mempunyai tanpa memiliki, pada lahirnya kita mempunyai namun batin kita tidak terikat sehingga batin kita tidak tergoncang sewaktu yang kita punyai itu hilang, karena hal itu sudah wajar. Mata batin yang sadar sudah menjadi waspada, melihat sesuatu berlandaskan kewajaran sehingga tidak lagi menjadi kaget, tidak menjadi duka karenanya. Menang dan kalah sudah menjadi rangkaian maka wajarlah. Berkumpul dan berpisah wajar pula. Tidak ada hal aneh di dunia ini yang patut disesalkan.”

Han Ki menghela napas panjang. Melamun dan mengenangkan kembali semua wejangan gurunya dan yang merupakan obat yang amat mujarab karena dia merasa hatinya ringan kini, tidak seberat tadi, sungguhpun ia tidak mungkin dapat lenyap gundah gulana yang menyesak dada.

Bukan hanya karena kehilangan dua orang yang dicintainya, melainkan karena kedua orang sumoinya itu membawa ganjalan hati yang rumit, membawa dendam dan permusuhan karena cinta, cinta dua orang dara remaja terhadap dirinya!

Mulai saat itu bangkitlah semangat Han Ki dan lalu dia membuat sebuah perahu dan beberapa pekan kemudian berangkatlah Han Ki menaiki perahunya yang kecil sederhana, meninggalkan Pulau Es, meninggalkan tiga buah arca mereka yang seolah-olah mereka menjadi penghuni Istana Pulau Es yang mereka tinggalkan.

**** 070 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar