Ads

Selasa, 29 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 081

Kiranya laki-laki itu mempunyai gerak langkah yang amat luar biasa dan tiba-tiba saja kaki kiri laki-laki itu menyambar amat dahsyat dan cepatnya! Siauw Bwee makin terkejut dan hanya dengan loncatan ke samping secara cepat ia dapat menghindar. Namun, dengan langkah-langkah yang aneh dan berputar, laki-laki itu telah berada di belakangnya dan lengannya mencengkeram kepala disusul tendangan lagi yang akan melontarkan tubuh seekor kerbau bunting saking kuatnya!

"Ayaaaa....!”

Siauw Bwee berteriak dan tubuhnya mencelat ke atas tinggi sekali kemudian dari atas, ketika tubuhnya meluncur turun, dia telah menggerakkan kedua tangannya melakukan gerakan mendorong.

Laki-laki itu kagum sekali menyaksikan gin-kang yang begitu sempurna, akan tetapi ia juga girang karena kalau tubuh itu turun ia akan dapat menyambut dengan serangan dahsyat. Siapa kira, dari telapak kedua tangan dara itu menyambar hawa yang kuat dan ketika ia berusaha menangkis, hawa dingin yang luar biasa membuat tubuhnya menggigil dan dia terhuyung-huyung.

"Aihhh....!"

Laki-laki itu berseru keras dan kini kedua orang saudara seperguruannya sudah menerjang maju mengeroyok Siauw Bwee.

"Bagus, majulah semua kalian orang-orang tak tahu malu!"

Siauw Bwee mengejek, akan tetapi segera ia mendapat kenyataan bahwa dikeroyok tiga oleh orang-orang itu benar-benar merupakan lawan amat berat! Tingkat sin-kang dan gin-kang mereka tidaklah seberapa hebat, akan tetapi dia dibikin bingung oleh gerak langkah mereka yang amat luar biasa itu.

Teringatlah ia akan penuturan Cia Cen Thok bahwa kaum lengan buntung ini telah mencipta semacam ilmu silat yang disebut gerak kaki kilat. Siauw Bwee harus mengerahkan seluruh kepandaiannya dan kini dia terdesak terus. Sungguhpun dengan ilmu silatnya yang tinggi, sin-kangnya yang kuat dan gin-kangnya yang sempurna dia dapat selalu mengelak atau menangkis namun dia tidak diberi kesempatan membalas sama sekali. Terkejutlah dara perkasa itu karena mendapat kenyataan bahwa kaum lengan buntung ini benar-benar memiliki keistimewaan seperti yang dimiliki kaum kaki buntung dengan gerak tangan kilat mereka!

Tiba-tiba terdengar kelepak sayap yang riuh-rendah dan tiba-tiba udara di situ menjadi gelap tertutup bayangan dari atas. Tiga orang lengan buntung itu memandang ke atas dan seketika wajah mereka menjadi pucat sekali. Kini kelepak sayap itu ternyata bukanlah sayap melainkan suara cecowetan seperti suara kera yang banyak sekali dan dari mulut tiga orang lengan buntung itu terdengar jerit ketakutan.

"Celaka....! Kelelawar siang!"

Siauw Bwee menjadi heran sekali melihat tiga orang itu menjatuhkan diri berlutut dan menutupi kepala mereka dengan tubuh menggigil ketakutan. Dia mendongak dan apa yang dilihatnya membuat ia hampir menjerit. Yang disebut kelelawar siang itu memang sesungguhnya kelelawar, akan tetapi banyaknya bukan main, sama banyaknya dengan burung-burung yang menyerangnya kemarin!

Dan yang hebat, kelelawar-kelelawar itu agaknya berbeda dengan kelelawar biasa, tidak takut sinar matahari dan tubuh mereka hitam seperti arang! Biarpun merasa ngeri sekali, akan tetapi Siauw Bwee tidak mau bersikap penakut seperti tiga orang bekas lawan itu, maka ia masih berdiri tegak dan siap melakukan perlawanan.

"Nona, lekas berlutut, serendah mungkin. Kelelawar-kelelawar itu tidak akan menyerang lebih tinggi dari satu meter di atas tanah, dan gigitannya seekor saja cukup membuat manusia menjadi gila!"

Mendengar suara lirih di dekat telinganya yang sama dengan suara ketika dia dikeroyok burung, Siauw Bwee terkejut. Pada saat itu beberapa ekor kelelawar sudah menyambar turun mengarah kepalanya! Menjadi gila kalau digigit? Dia makin ngeri dan tanpa ragu-ragu lagi ia lalu menjatuhkan diri berlutut seperti yang dilakukan tiga orang lengan buntung, hanya dia tidak menutup kepalanya melainkan memandang ke atas penuh perhatian.






Tiba-tiba terdengar bunyi melengking tinggi dan nyaring. Siauw Bwee menoleh dan melihat bahwa suara itu keluar dari mulut Si Kakek Tua, suara yang dikeluarkan dengan pengerahan sin-kang yang tinggi. Aneh sekali, ketika terdengar suara melengking tinggi penuh getaran ini, kelelawar-kelelawar itu menjadi kacau-balau terbangnya, menabrak sana sini dan kelihatan panik. Akan tetapi, sebelum suara itu cukup kuat untuk mengusir semua kelelawar, suara itu makin melemah dan Siauw Bwee melihat kakek itu terengah-engah kehabisan tenaga.

Siauw Bwee adalah seorang dara yang cerdik. Melihat ini, maklumlah bahwa cara mengeluarkan lengkingan itu adalah cara untuk mengusir binatang-binatang mengerikan itu dan bahwa pada saat itu Si Kakek yang lihai sedang menderita sakit maka pengerahan sin-kang yang kuat membuatnya kehabisan tenaga. Maka dia lalu mengerahkan sin-kang dan keluarlah suara melengking tinggi dengan getaran kuat dari dalam dada Siauw Bwee.

Dia hampir menari kegirangan ketika melihat hasil tiruannya. Binatang-binatang itu menjadi makin panik dan kacau, beterbangan membubung setinggi mungkin, agaknya untuk menghindari getaran lengkingan maut itu dan tak lama kemudian mereka sudah terbang tinggi dan jauh, lenyap dari pandangan mata. Barulah Siauw Bwee menghentikan lengkingannya dan ia meloncat berdiri memandang tiga orang lengan buntung yang juga sudah berdiri dengan muka pucat.

"Mau dilanjutkan?" Siauw Bwee menantang berani.

"Kalian bertiga tidak lekas pergi? Melawan Nona ini berarti mencari mati sia-sia!" kata Si Kakek Tua.

Tiga orang itu sudah melihat bukti kelihaian Siauw Bwee. Selain merasa gentar, juga mereka tahu bahwa berkat pertolongan gadis itulah maka mereka lolos dari bahaya yang lebih mengerikan daripada maut, maka tanpa berkata-kata mereka lalu berlari pergi.

Siauw Bwee membalikkan tubuh memandang kakek tua itu.
"Locianpwe, kau sedang menderita sakit."

Kakek itu mengangguk, tersenyum dan lengan tunggalnya melambai.
"Ke sinilah, anak baik. Siapa namamu?"

"Nama saya Khu Siauw Bwee, Locianpwe."

"Ha-ha-ha, jangan menyebut locianpwe. Kepandaianmu lebih hebat daripada sedikit ilmu yang kumiliki. Sungguh sukar dipercaya bahwa seorang dara semuda engkau telah memiliki sin-kang yang sedemikian hebat. Siapakah gurumu?"

Siauw Bwee sudah mendapat pesan suhengnya bahwa mereka bertiga tidak boleh menyebut-nyebut nama Bu Kek Siansu, sesuai dengan pesan kakek manusia dewa itu. Maka dia menjawab menyimpang,

"Guruku tidak boleh disebut namanya, aku hanya belajar dari suhengku yang bernama Kam Han Ki. Locianpwe jangan terlalu memuji dan membuatku menjadi bangga dan sombong."

Kembali kakek itu tertawa.
"Engkau benar-benar masih bocah. Eh, Nona yang baik, engkau selain lihai juga rendah hati, dan hatimu amat baik penuh budi dan welas asih. Engkau belum mengenal aku akan tetapi engkau berani mempertaruhkan nyawa untuk membelaku mati-matian."

Siauw Bwee tertawa manis dan dia berkata,
"Aihhh, Locianpwe membikin aku merasa malu saja. Aku tidaklah sebaik yang Locianpwe katakan. Tentu saja aku membela mati-matian kepada Locianpwe yang telah menolongku kemarin."

Mata kakek itu terbelalak.
"Menolongmu? Apa maksudmu, Nona?"

"Waah, Locianpwe pandai berpura-pura lagi. Siapakah yang kemarin menggunakan Ilmu Coan-im-jip-bit menyelamatkan aku dari serangan burung-buruhg gila? Kalau tidak ada pertolongan Locianpwe, agaknya aku akan mati di tengah rawa!"

"Ah, engkaukah orangnya? Aku tidak mengenal siapa orangnya karena dari jauh. Aku kebetulan berjalan-jalan di dekat rawa dan melihat orang dikeroyok burung elang. Kiranya engkaukah orangnya?"

Hati Siauw Bwee menjadi geli. Orang tidak mempunyai sebuah kaki pun, bagaimana bisa berjalan-jalan? Ingin dia menyaksikan bagaimana orang tak berkaki bisa berjalan.

"Akulah orangnya, Locianpwe. Dan aku mengucapkan banyak terima kasih atas pertolonganmu itu," Siauw Bwee menjura dengan hormat.

Kakek itu tertawa bergelak dan sejenak wajahnya yang muram itu berseri gembira.
"Wah, pengakuanmu ini meningkatkan pandanganku terhadap dirimu, Nona. Di samping segala kebaikanmu, engkau jujur dan ingat budi pula! Engkaulah orangnya. Ya, engkaulah orangnya yang akan dapat menolong kedua kaum yang saling bermusuhan sehingga setiap tahun mengorbankan banyak nyawa manusia tidak berdosa. Aku mohon kepadamu, Nona, sukakah engkau mewakili aku menyelamatkan mereka!"

Siauw Bwee mengerutkan alisnya. Sikap kakek itu benar-benar patut dikasihani. Dalam keadaan seperti itu masih mementingkan keselamatan orang lain, keselamatan kaum buntung kaki dan buntung lengan yang memperlakukannya dengan buruk.

"Apakah maksudmu, Locianpwe? Mereka itu saling bermusuhan dan kedua pihak amat lihai. Bagaimana aku dapat mencampuri dan betapa mungkin aku dapat menolong dua pihak yang saling bermusuhan?"

"Duduklah, Nona, dan dengarkan ceritaku."

Siauw Bwee memang tertarik sekali akan permusuhan kedua kaum yang cacat itu, yang sebagian sudah ia dengar dari Cia Cen Thok, maka ia lalu duduk di atas dipan bambu di sebelah kakek itu.

"Tahukah engkau mengapa kedua kaum yang bercacat itu saling bermusuhan, Nona?"

Siauw Bwee mengangguk.
"Permusuhan mereka ditanam oleh kedua orang saudara seperguruan yang bermusuhan dan dalam pertandingan, seorang kehilangan kaki kanan dan yang seorang lagi kehilangan lengan kiri."

"Benar, dan aku tadinya adalah seorang di antara kaum lengan buntung itu. Akan tetapi, sejak dahulu aku tidak menyetujui permusuhan antara saudara sendiri, karena kaum kaki buntung dan kaum lengan buntung sebenarnya adalah saudara-saudara seperguruan. Apalagi cara mereka menerima murid-murid yang harus dibuntungi kaki atau lengannya seperti kaum mereka, benar-benar merupakan perbuatan yang amat keji.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar