Ads

Rabu, 27 November 2019

Pendekar Bongkok Jilid 027

“Heiii....!”

Bi Sian berteriak kaget akan tetapi tubuhnya sudah masuk ke dalam pohon itu, disambut daun-daun dan ranting-ranting pohon mengeluarkan bunyi berkeresakan keras. Bi Sian dengan ngawur mengulur kedua tangannya dan berhasil menangkap sebatang batang pohon dan memeluknya erat-erat. Pohon itu besar dan tinggi sekali sehingga kalau sampai ia terjatuh ke bawah, tubuhnya tentu akan remuk!

Koay Tojin yang sudah tiba di bawah pohon, menanti dan siap menyambut tubuh muridnya, akan tetapi tubuh itu tak kunjung jatuh! Dia merasa heran dan berteriak ke atas, tanpa dapat melihat Bi Sian karena daun pohon itu memang lebat.

“Heiiiiii! Guruku.... eh, muridku yang tak takut mati! Dimana kau, he?”

“Kakek nakal! Kenapa kau melempar aku ke pohon ini?”

Mendengar suara anak perempuan itu, Koay Tojin tertawa bergelak saking lega dan gembira hatinya.

“Ha-ha-ha, bukankah engkau tadi belajar terbang seperti burung? Kalau menjadi burung harus sekali waktu hinggap di dalam pohon!”

Kakek itu meloncat ke atas dan di lain saat dia sudah duduk di atas sebuah cabang pohon, membantu Bi Sian terlepas dari batang yang dipeluknya dengan erat dan mendudukkan pula murid itu ke atas dahan pohon yang kokoh kuat.

“Suhu nakal.”

“Suhu....? Siapa suhu (guru)?”

Bi Sian memandang wajah kakek itu.
“Hemm, sudah lupa lagikah suhu bahwa aku telah menjadi muridmu? Kalau tidak disebut suhu, apakah harus selalu disebut Pak Tua atau Kakek?”

“O ya benar! Engkau muridku, aku suhumu. Kenapa kau bilang aku nakal?”

“Lihat saja muka dan kulit tanganku ini. Balur-balur dan luka berdarah terkait ranting dan daun pohon.”

Koay Tojin memeriksa kulit muka, leher dan tangan yang baret-baret itu.
“Ah, tidak apa-ana. Engkau harus biasa hidup di atas pohon, karena seringkali kalau berada di hutan, aku tidur di atas pohon. Lebih enak dan aman tidur di atas pohon, selagi pulas tidak dihampiri dan dicium harimau.”

Mau tidak mau Bi Sian bergidik ngeri.
“Dicium harimau? Apakah suhu pernah dicium harimau?”

“Wah, sudah sering!”

“Bagaimana rasanya, suhu?”

“Wah, geli! Kumisnya yang kaku itu menggelitik muka dan leher dan ketika aku terbangun.... wah, di depan mukaku nampak moncong dengan gigi yang runcing dan mata yang menyala, dan napasnya yang berbau amis!”

“Kenapa dia tidak langsung menerkam, pakai cium-cium segala, suhu?”

“Ha-ha-ha, mana harimau mau langsung makan mangsanya sebelum mencium sepuas hatinya? Dia mencium untuk menikmati bau harum dan sedap calon mangsanya. Untung bauku agak tidak enak, apak, sehingga ketika mencium-cium dan hidungnya menyedot bauku yang apak, harimau itu agak ragu-ragu, mungkin takut kalau dagingku beracun, ha-ha-ha! Keraguan itu membuka kesempatan bagiku untuk menghajarnya sampai dia lari terpincang-pincang dan berkaing-kaing!”

Kakek itu tertawa gembira sambil menepuk-nepuk lututnya. Tiba-tiba dia seperti teringat sesuatu.

“Wah, aku lupa! Muridku, engkau harus mulai berlatih mengumpulkan hawa sakti, membangkitkan tenaga sakti di dalam tubuhmu!”






Tentu saja Bi Sian menjadi bingung.
“Apa maksudmu, suhu? Aku tidak mengerti!”

Koay Tojin lalu memegang kedua pundak muridnya itu, mengangkatnya dan menjungkirbalikkan tubuh anak itu sehingga kedua kaki Bi Sian kini tergantung ke dahan pohon, bergantung pada belakang lutut yang ditekuk dan kepalanya berada di bawah.

“Pertahankan keadaan begini sekuatmu, kedua tangan biarkan tergantung saja dan tarikan napas sepanjang mungkin. Kalau matamu berkunang, pejamkan mata.”

“Bagaimana kalau kakiku tidak kuat dan kaitannya pada dahan terlepas, suhu?”

“Bodoh! Jangan boleh terlepas! Kalau terlepas kan ada aku disini! Nah, sambil bergantung begini kita bercakap-cakap!”

Dan dia sendiripun lalu menggantungkan kedua kakinya seperti halnya Bi Sian pada dahan yang lebih tinggi sehingga kepalanya berhadapan persis dengan kepala muridnya itu, dalam jarak dua meter. Bi Sian merasa lucu sekali berhadapan muka dengan kakek itu dalam keadaan terbalik.

“Nah, sekarang katakan siapa namamu!”

“Namaku Yaw Bi Sian, suhu.”

“Bagus, nama yang bagus. Bi Sian, gurumu ini dipanggil Koay Tojin, datang dari Himalaya akan tetapi sekarang menjadi gelandangan tanpa tempat tinggal tertentu.”

“Sekarang aku telah menjadi muridmu, suhu. Seorang murid harus berlutut dan memberi hormat kepada suhunya.”

“Benar, hayo lekas berlutut di depanku!”

“Bagaimana mungkin kalau kita bergantung seperti ini?”

“Ah, benar. Aku lupa, mari kita turun dulu!”

Dan sebelum Bi Sian tahu apa yang terjadi, tubuhnya sudah meluncur turun ditarik oleh kakek itu dan tahu-tahu mereka telah berada di atas rumput lagi.

Bi Sian lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Koay Tojin, memberi hormat sampai delapan kali. Koay Tojin girang bukan main dan tertawa bergelak sambil bertolak pinggang.

“Bagus, sekarang engkau telah menjadi muridku, Bi Sian. Bangkitlah!”

Akan tetapi Bi Sian tidak mau bangkit.
“Tidak, aku tidak mau bangkit dan akan berlutut sampai dunia kiamat kalau suhu tidak meluluskan tuntutanku!”

Kakek itu memandang bengong, lalu terkekeh.
“Heh-heh-heh, engkau ini persis seperti aku tadi, mau berlutut sampai kiamat! Mengapa engkau meniru-niru aku, heh?”

“Engkau lupa bahwa engkau ini guruku. Siapa lagi yang ditiru murid kalau bukan gurunya?”

“Wah, wah, repot dah! Baiklah, katakan apa permintaanmu itu?”

“Ada tiga permintaanku yang harus suhu penuhi, baru aku mau bangkit. Kalau tidak, aku akan berlutut....”

“....sampai dunia kiamat!”

Koay Tojin menyambut sambil terkekeh dan Bi Sian tersenyum juga. Betapa lucunya keadaan itu, pikir Bi Sian. Apakah kegilaan suhunya sudah menular padanya?

“Katakan apa tuntutanmu!”

“Pertama, sebelum aku pergi dengan suhu, aku harus pamit dulu kepada ayah ibuku.”

“Hemm, setuju! Akan tetapi sebentar saja, dari luar jendela. Pokoknya mereka itu tahu bahwa engkau pergi dengan aku.”

“Ke dua, aku akan menjadi murid suhu paling lama tujuh tahun saja. Setelah tujuh tahun aku akan pulang ke rumah orang tuaku.”

“Setuju! Tujuh tahun itu lama, mungkin sebelum tujuh tahun aku sudah mati....! Eh, apa yang kukatakan ini? Mati.... hih, aku takut.... ah, tidak, tidak. Aku tidak takut. Mati itu apa? Jangan dipikirkan, ha-ha-ha!”

“Dan ke tiga....”

“Banyak amat!”

“Cuma tiga, suhu. Yang ke tiga dan terakhir, aku mau berkelana dengan suhu, hidup kekurangan. Akan tetapi aku tidak sudi kalau disuruh mengemis!”

“Waah, heh-heh-heh, akupun memang gelandangan dan jembel, akan tetapi tak pernah mengemis. Kalau ada orang memberi, aku terima, akan tetapi aku tidak pernah minta. Apapun yang kita butuhkan, aku mampu adakan, untuk apa mengemis?”

“Benarkah? Suhu dapat mengadakan apa yang kita butuhkan?”

“Tentu saja?”

“Hem, mana mungkin? Seperti sekarang ini. aku butuh sekali minum karena haus, dapatkah suhu mengadakan semangkuk air jernih?”

“Heh-heh, apa sukarnya? Semangkuk air jernih? Lihat ini, terimalah!”

Bi Sian terbelalak ketika tiba-tiba gurunya itu sudah mengulurkan tangan kirinya yang memegang sebuah mangkuk yang penuh dengan air jernih! Ia menerimanya dan dengan sikap masih kurang percaya dan ragu-ragu ia mendekatkan mangkuk itu ke bibirnya, lalu minum air itu dengan segarnya.

“Suhu, dari mana suhu memperoleh semangkuk air dingin ini?” tanyanya, kini keraguannya lenyap karena air itu terasa segar dan memang benar air jernih asli!

Sambil terkekeh kakek itu menerima mangkuk kosong yang dikembalikan Bi Sian dan bagaikan main sulap saja, tiba-tiba saja mangkok di tangannya itupun dia lontarkan ke udara dan lenyap!

“Kuambil dari udara.... heh-heh-heh!”

Bi Sian terbelalak.
“Wah, enak kalau begitu!” teriaknya. “Kalau kita perlu makan, minum, rumah, pakaian, emas permata, kita tinggal ambil dari udara! Suhu, ajari aku melakukan hal itu, kita akan menjadi kaya raya!”

“Hushhh! Kau sudah gila? Tidak boleh begitu!”

“Mengapa tidak boleh?”

“Tak perlu kuberitahukan, kelak engkau akan mengerti sendiri. Nah, sekarang kuturuti permintaanmu tadi, mari kita kunjungi rumah keluarga orang tuamu agar engkau berpamit dari mereka.”

“Itu kudaku disana, suhu. Kita menunggang kuda!”

“Wah, aku tidak pernah menunggang kuda. Kalau engkau mengikuti aku berkelana, tidak boleh menunggang kuda.”

“Tapi sayang kalau kuda itu ditinggalkan begitu saja. Setidaknya dia harus kubawa pulang. Marilah, kita boncengan, suhu!”

“Engkau naiklah, Bi Sian. Biar kakiku hanya dua buah, tiga dengan tongkatku, kiranya tidak akan kalah melawan kuda yang berkaki empat itu.”

“Mana mungkin, suhu?”

“Sudahlah, jangan cerewet, Bi Sian. Mari kita pergi!”

Mendongkol juga hati Bi Sian dimaki cerewet oleh gurunya. Boleh kau rasakan nanti, pikirnya. Ingin berlumba dengan kudaku yang larinya seperti angin? Bagaimanapun juga, ia tidak percaya suhunya akan mampu menandingi kecepatan kudanya. Iapun lalu meloncat ke atas punggung kuda dan menoleh kepada gurunya yang masih duduk bersila di atas tanah.

“Mari kita berangkat, dan cepat, suhu. Hari sudah mulai sore!”

Berkata demikian, Bi Sian lalu mencambuk kudanya dan membalapkan kuda berlari menuruni bukit dengan cepat. Setelah beberapa lamanya ia berlari, ia menoleh untuk melihat gurunya yang ditinggalkan jauh. Tentu saja ia akan berhenti kalau melihat suhunya tertinggal jauh. Akan tetapi betapa kaget dan heran rasa hatinya melihat bahwa kakek itu tepat berada di belakang kudanya, seolah-olah sedang melenggang seenaknya saja!




Pendekar Bongkok Jilid 026
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar