Pekerjaan para jagoan, pengawal atau tukang pukul itu adalah untuk memukul dan menganiaya orang. Hanya dengan cara itulah mereka dapat menyenangkan hati majikan mereka, dan untuk keperluan itu pula mereka dibayar. Kini, mendengar perintah dari pemimpin mereka, belasan orang itu bergerak mengepung dan menyerang, didahului oleh dua orang tukang pukul yang berada paling dekat dengan pemuda itu.
Kun Tek tidak bergerak dari tempat dia berdiri, hanya kedua tangannya bergerak cepat dan dua orang penyerang itu terpelanting dan mengaduh-aduh, tidak mampu bangkit lagi karena tulang pundak mereka telah patah ketika bertemu dengan jari-jari tangan Kun Tek!
Para pengawal lainnya menjadi marah dan terjadilah pergeroyokan yang kacau dan bising. Para pengawal itu berteriak-teriak, dan memang mereka itu sekumpulan orang yang kejam dan ganas. Bi Lan yang nonton perkelahian itu melihat ketepatan makian pemuda itu tadi yang menamakan mereka itu segerombolan srigala. Memang mereka itu mengeroyok seperti srigala-srigala kelaparan, sambil menggonggong membisingkan.
Akan tetapi, pemuda tinggi besar itu sungguh mengagumkan sekali. Sikapnya tenang dan kokoh kuat, gerakannya mantap dan tabah penuh wibawa, seperti seekor naga yang dikeroyok. Dan hebatnya, kalau ada pukulan yang mengenai tubuhnya, pukulan itu seperti tidak dirasakannya dan pemukulnya malah mengaduh menggoyang-goyang tangan yang dipakai memukul, sedangkan setiap kali pemuda itu menampar atau menendang, tentu ada tubuh pengeroyok yang terpental atau terpelanting keras.
Perkelahian itu tidak berlangsung lama. Ketika orang terakhir, yaitu kepala pengawal roboh oleh tendangan kaki Kun Tek, hartawan Phoa sudah cepat melarikan diri. Akan tetapi, Kun Tek yang sejak tadi memperhatikan orang itu, cepat meloncat ke depan dan seperti seekor harimau menerkam kelinci, dia sudah menubruk dan mencengkeram punggung baju orang itu. Ketika dia mengangkat tangan kirinya yang mencengkeram, hartawan itu terangkat keatas. Dengan muka pucat dan mata terbelalak hartawan Phoa memandang kepada pemuda itu.
“Ampun.... ampunkan aku....“
Ratapnya, dan dia sama sekali tidak ingat betapa seringnya ratapan minta ampun itu keluar dari mulut orang-orang yang pernah ditindasnya.
Kun Tek tersenyum mengejek.
“Pernahkah engkau mengampuni orang lain?”
Dan sekali dia membanting, tubuh hartawan itu jatuh ke atas tanah dan dia tetap rebah tanpa berani bangkit lagi, mukanya menjadi semakin pucat. Para pengawal yang sudah mampu bangkit kembali hanya memandang, tidak berani berkutik. Diantara mereka ada yang menderita patah tulang, benjol-benjol dan babak belur. Pada saat itu, Lo Cin, si petani menghampiri Kun Tek dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu.
“Taihiap, harap taihiap sudi melepaskan Phoa Wan-gwe. Sesungguhnya, dia tidak bersalah. Sayalah yang bersalah, harap taihiap tidak menjadi salah mengerti dan suka membebaskan dia.”
Tentu saja Kun Tek tertegun dan memandang heran. Orang ini bersama keluarganya tadi ditindas dan diancam. Dia turun tangan menghajar para penindas, akan tetapi mengapa orang ini malah memintakan ampun terhadap penindasnya?
“Paman, tidak kelirukah engkau? Bukankah hartawan ini menindasmu dan hendak mengganggu puterimu? Memeras dan mengancam, bahkan tukang pukulnya tadi telah memukul mantumu?”
“Semua itu memang benar, akan tetapi sebabnya adalah karena kesalahan kami, taihiap. Phoa Wan-gwe telah banyak menolong keluarga kami, seperti juga keluarga semua petani di sini. Kalau kami kekurangan makan dan pakaian, selalu dialah yang mengulurkan tangan menolong kami. Akan tetapi, saya telah berkali-kali melanggar janji, tidak dapat mengembalikan hutang-hutangku yang banyak seperti yang telah saya janjikan. Karena itulah dia marah-marah melihat kami mengadakan pesta sedangkan hutang-hutang kami belum terbayar. Dan saya berjanji, asal Phoa Wan-gwe suka memberi kelonggaran hati, dalam beberapa bulan ini, dibantu mantuku, kami pasti akan membayar hutang-hutang itu.”
Semua orang yang masih menonton di luar mengangguk-angguk. Tak dapat mereka sangkal bahwa memang Phoa Wan-gwe seorang dermawan bagi mereka. Kalau terjadi keributan tadi, hanya karena kelemahannya, yaitu mudah tergila-gila perempuan cantik! Kini merekapun mengerti akan sikap Lo Cin yang melindungi hartawan itu dari hajaran dan hukuman dari pendekar muda itu.
Orang yang merasa paling terpukul batinnya adalah Phoa Wan-gwe sendiri. Tak disangkanya sama sekali bahwa yang menyelamatkannya atau berusaha menyelamatkannya adalah justeru Lo Cin! Dia merasa terharu sekali dan sadarlah dia akan kelemahannya dan kesalahannya.
“Paman Lo Cin, aku minta maaf kepadamu, kepada keluargamu.... biarlah hutang-hutang itu dihabiskan saja sampai di sini dan semua urusan dihabiskan, aku memang bersalah,” katanya.
Mendengar ini, Kun Tek semakin terheran-heran. Benarkah hartawan ini orang baik-baik, ataukah penindas rakyat miskin? Melihat betapa di luar banyak terdapat orang dusun yang kini nonton keributan itu, dengan suara lantang dia berteriak.
“Saudara-saudara penduduk dusun ini, dengarlah! Karena melihat tindakan sewenang-wenang, aku turun tangan menghajar jagoan-jagoan ini dan menangkap hartawan ini. Akan tetapi, keluarga pengantin malah mintakan ampun. Bagaimana, apakah aku harus melepaskan hartawan ini, ataukah dia harus dihajar sampai tulangnya patah-patah agar dia lain kali tidak akan mengulangi perbuatannya?”
Dan Kun Tek melihat hal yang dianggapnya aneh. Sebagian dari orang-orang itu menjatuhkan diri berlutut pula dan berseru kepadanya dari jauh,
“Taihiap, harap suka melepaskan Phoa Wan-gwe. Dia dermawan penolong kami.” Kun Tek mengerutkan alisnya dan memandang kepada hartawan itu.
Kun Tek tidak bergerak dari tempat dia berdiri, hanya kedua tangannya bergerak cepat dan dua orang penyerang itu terpelanting dan mengaduh-aduh, tidak mampu bangkit lagi karena tulang pundak mereka telah patah ketika bertemu dengan jari-jari tangan Kun Tek!
Para pengawal lainnya menjadi marah dan terjadilah pergeroyokan yang kacau dan bising. Para pengawal itu berteriak-teriak, dan memang mereka itu sekumpulan orang yang kejam dan ganas. Bi Lan yang nonton perkelahian itu melihat ketepatan makian pemuda itu tadi yang menamakan mereka itu segerombolan srigala. Memang mereka itu mengeroyok seperti srigala-srigala kelaparan, sambil menggonggong membisingkan.
Akan tetapi, pemuda tinggi besar itu sungguh mengagumkan sekali. Sikapnya tenang dan kokoh kuat, gerakannya mantap dan tabah penuh wibawa, seperti seekor naga yang dikeroyok. Dan hebatnya, kalau ada pukulan yang mengenai tubuhnya, pukulan itu seperti tidak dirasakannya dan pemukulnya malah mengaduh menggoyang-goyang tangan yang dipakai memukul, sedangkan setiap kali pemuda itu menampar atau menendang, tentu ada tubuh pengeroyok yang terpental atau terpelanting keras.
Perkelahian itu tidak berlangsung lama. Ketika orang terakhir, yaitu kepala pengawal roboh oleh tendangan kaki Kun Tek, hartawan Phoa sudah cepat melarikan diri. Akan tetapi, Kun Tek yang sejak tadi memperhatikan orang itu, cepat meloncat ke depan dan seperti seekor harimau menerkam kelinci, dia sudah menubruk dan mencengkeram punggung baju orang itu. Ketika dia mengangkat tangan kirinya yang mencengkeram, hartawan itu terangkat keatas. Dengan muka pucat dan mata terbelalak hartawan Phoa memandang kepada pemuda itu.
“Ampun.... ampunkan aku....“
Ratapnya, dan dia sama sekali tidak ingat betapa seringnya ratapan minta ampun itu keluar dari mulut orang-orang yang pernah ditindasnya.
Kun Tek tersenyum mengejek.
“Pernahkah engkau mengampuni orang lain?”
Dan sekali dia membanting, tubuh hartawan itu jatuh ke atas tanah dan dia tetap rebah tanpa berani bangkit lagi, mukanya menjadi semakin pucat. Para pengawal yang sudah mampu bangkit kembali hanya memandang, tidak berani berkutik. Diantara mereka ada yang menderita patah tulang, benjol-benjol dan babak belur. Pada saat itu, Lo Cin, si petani menghampiri Kun Tek dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu.
“Taihiap, harap taihiap sudi melepaskan Phoa Wan-gwe. Sesungguhnya, dia tidak bersalah. Sayalah yang bersalah, harap taihiap tidak menjadi salah mengerti dan suka membebaskan dia.”
Tentu saja Kun Tek tertegun dan memandang heran. Orang ini bersama keluarganya tadi ditindas dan diancam. Dia turun tangan menghajar para penindas, akan tetapi mengapa orang ini malah memintakan ampun terhadap penindasnya?
“Paman, tidak kelirukah engkau? Bukankah hartawan ini menindasmu dan hendak mengganggu puterimu? Memeras dan mengancam, bahkan tukang pukulnya tadi telah memukul mantumu?”
“Semua itu memang benar, akan tetapi sebabnya adalah karena kesalahan kami, taihiap. Phoa Wan-gwe telah banyak menolong keluarga kami, seperti juga keluarga semua petani di sini. Kalau kami kekurangan makan dan pakaian, selalu dialah yang mengulurkan tangan menolong kami. Akan tetapi, saya telah berkali-kali melanggar janji, tidak dapat mengembalikan hutang-hutangku yang banyak seperti yang telah saya janjikan. Karena itulah dia marah-marah melihat kami mengadakan pesta sedangkan hutang-hutang kami belum terbayar. Dan saya berjanji, asal Phoa Wan-gwe suka memberi kelonggaran hati, dalam beberapa bulan ini, dibantu mantuku, kami pasti akan membayar hutang-hutang itu.”
Semua orang yang masih menonton di luar mengangguk-angguk. Tak dapat mereka sangkal bahwa memang Phoa Wan-gwe seorang dermawan bagi mereka. Kalau terjadi keributan tadi, hanya karena kelemahannya, yaitu mudah tergila-gila perempuan cantik! Kini merekapun mengerti akan sikap Lo Cin yang melindungi hartawan itu dari hajaran dan hukuman dari pendekar muda itu.
Orang yang merasa paling terpukul batinnya adalah Phoa Wan-gwe sendiri. Tak disangkanya sama sekali bahwa yang menyelamatkannya atau berusaha menyelamatkannya adalah justeru Lo Cin! Dia merasa terharu sekali dan sadarlah dia akan kelemahannya dan kesalahannya.
“Paman Lo Cin, aku minta maaf kepadamu, kepada keluargamu.... biarlah hutang-hutang itu dihabiskan saja sampai di sini dan semua urusan dihabiskan, aku memang bersalah,” katanya.
Mendengar ini, Kun Tek semakin terheran-heran. Benarkah hartawan ini orang baik-baik, ataukah penindas rakyat miskin? Melihat betapa di luar banyak terdapat orang dusun yang kini nonton keributan itu, dengan suara lantang dia berteriak.
“Saudara-saudara penduduk dusun ini, dengarlah! Karena melihat tindakan sewenang-wenang, aku turun tangan menghajar jagoan-jagoan ini dan menangkap hartawan ini. Akan tetapi, keluarga pengantin malah mintakan ampun. Bagaimana, apakah aku harus melepaskan hartawan ini, ataukah dia harus dihajar sampai tulangnya patah-patah agar dia lain kali tidak akan mengulangi perbuatannya?”
Dan Kun Tek melihat hal yang dianggapnya aneh. Sebagian dari orang-orang itu menjatuhkan diri berlutut pula dan berseru kepadanya dari jauh,
“Taihiap, harap suka melepaskan Phoa Wan-gwe. Dia dermawan penolong kami.” Kun Tek mengerutkan alisnya dan memandang kepada hartawan itu.
“Sungguh aku tidak mengerti. Engkau tadi jelas mengerahkan anjing-anjing ini untuk melakukan penganiayaan dan ancaman, akan tetapi mengapa orang-orang dusun ini membelamu? Hayo katakan, sebenarnya apa yang telah kau lakukan untuk menguasai mereka?”
Hartawan Phoa bangkit duduk dan memberi hormat.
“Terus terang saja, taihiap. Selamanya saya bersahabat dengan penduduk dusun, membantu mereka dan kami bekerja sama dengan baik selama puluhan tahun, semenjak saya masih kecil dan ayah yang berkuasa di sini. Akan tetapi terus terang saja, saya telah bersalah, terlalu menurutkan nafsu dan mudah tergiur oleh kecantikan wanita. Pengalaman hari ini akan menjadi peringatan bagi saya dan mudah-mudahan Tuhan akan membantu saya dan memberi kekuatan untuk melawan godaan setan.” Hartawan itu lalu berkata kepada Lo Cin,
“Paman Lo Cin, mari kita lanjutkan pesta ini. Biarlah aku yang membiayai, tambah lagi masakan dan saudara-saudara yang berada di luar, mari kita rayakan pernikahan puteri dari paman Lo Cin!”
Tentu saja sikap dan ucapan hartawan Phoa itu disambut sorakan gembira dari para penduduk dusun karena mereka kini mengenal lagi hartawan itu seperti biasanya kalau sedang memberi pertolongan dan derma kepada para penduduk dusun yang miskin. Para tukang pukul itu disuruh pulang oleh Phoa Wan-gwe untuk berobat dan merawat luka-luka mereka.
Ketika Lo Cin sekeluarga yang merasa gembira sekali itu hendak mengundang pemuda perkasa tadi untuk menjadi tamu kehormatan, ternyata pemuda itu telah lenyap dari situ dan agaknya telah pergi tanpa pamit, menyelinap di antara orang banyak. Hal ini diketahui oleh Bi Lan dan Hong Beng dan mereka kagum bukan main, kemudian merekapun diam-diam pergi dari tempat itu.
Dua orang muda itu melanjutkan perjalanan, meninggalkan dusun itu dan di sepanjang perjalanan, mereka berdua bercakap-cakap, membicarakan peristiwa yang baru mereka lihat di dusun tadi.
“Pemuda itu tadi luar biasa, bagaimana pendapatmu tentang dia, Hong Beng?” Bi Lan bertanya.
Sambil melangkah dengan tegap di samping gadis itu, Hong Beng memandang ke atas, melihat awan bergerak di hari yang cerah itu.
“Dia? Wah, dia memang hebat. Kalau saja ada kesempatan, aku ingin sekali mencoba mengadu kepandaian dengan dia.”
“Ehh....?”
Bi Lan terkejut dan menahan langkahnya sehingga Hong Beng terpaksa berhenti juga. Dengan alis berkerut gadis itu menatap wajah temannya dan bertanya,
“Kenapa engkau mempunyai pikiran seaneh itu, seolah-olah engkau ingin memusuhinya?”
Ditegur demikian, barulah Hong Beng merasa terkejut dan mukanya berubah kemerahan. Tanpa disadarinya, dia tadi telah mengeluarkan ucapan yang nadanya keras dan bermusuh terhadap pemuda perkasa yang tak dikenalnya itu!
“Tidak apa-apa, maksudku.... aku kagum sekali dan ingin berkenalan dengan dia dan di kalangan kita yang suka akan ilmu silat, perkenalan akan lebih akrab kalau diawali dengan adu kepandaian silat.”
“Hemm, dia merupakan lawan yang tidak ringan untuk dilawan, Hong Beng. Aku tidak yakin apakah engkau akan dapat mengalahkan dia,” kata Bi Lan sambil melanjutkan perjalanan itu dengan langkah seenaknya.
Hong Beng melirik ke kiri. Akan tetapi wajah gadis itu tidak membayangkan sesuatu dan pemuda itu menekan perasaannya yang tidak enak. Alisnya berkerut. Gadis ini agaknya sudah tertarik sekali kepada pemuda tinggi besar itu, pikirnya tak senang.
“Akan tetapi aku yakin akan dapat mengatasinya. Biarpun tidak kusangkal bahwa dia lihai, akan tetapi ilmunya masih belum matang. Buktinya tadi dia membiarkan beberapa pukulan mengenai tubuhnya ketika dia menghadapi pengeroyokan itu.”
“Akan tetapi pukulan-pukulan itu sama sekali tidak membuatnya tergoyah, sama sekali tidak dirasakannya!”
“Memang agaknya begitu. Akan tetapi engkau sendiri tentu tahu bahwa membiarkan tubuh terpukul lawan dengan melindungi tubuh menggunakan kekebalan bukanlah cara yang baik untuk membela diri. Mengapa dia tidak menggunakan kelincahan dan kecepatan gerakan untuk menghindarkan pukulan-pukulan itu? Hal itu hanya membuktikan bahwa dalam hal kecepatan gerak tubuh, dia belum berapa hebat. Karena itulah aku merasa yakin akan dapat mengalahkannya.”
“Hong Beng, dia jelas seorang pendekar budiman yang gagah perkasa, bagaimana engkau berani memandang rendah kepadanya, bahkan ingin mencoba kepandaiannya? Apakah engkau ingin bermusuhan dengan seorang pendekar?”
“Akan tetapi dia agak sombong.“
“Kau keliru! Dia sama sekali tidak sombong, bahkan memperkenalkan namapun tidak. Dia tegas dan gagah perkasa.”
Hong Beng merasa betapa perutnya menjadi semakin panas mendengar gadis itu memuji-muji pemuda tinggi besar itu setinggi langit. Akan tetapi dia menekan perasaannya dan berkata,
“Sudahlah, kita tidak perlu membicarakan dia lagi. Kau tahu bahwa aku tidak ingin memusuhi orang. Yang lebih mengagumkan aku adalah sikap sepasang mempelai itu. Mereka berani menentang maut, menghadapi ancaman hartawan dan anak buahnya itu dengan gagah berani, padahal mereka berdua adalah orang-orang biasa yang lemah dan tidak berdaya melawan.”
“Jangan bilang mereka itu lemah Hong Beng. Mereka berdua itu kuat sekali, lebih kuat dari pada maut.“
“Eh maksudmu” Hong Beng terkejut dan heran sampai menghentikan langkahnya, memandang gadis itu dengan mata terbelalak.
Bi Lan tersenyum.
“Jangan pandang aku seperti orang melihat setan!” katanya. “Aku katakan bahwa mereka itu tidak lemah, karena mereka saling memiliki, mereka saling mencinta. Cinta itulah yang membuat mereka kuat dan berani menghadapi ancaman maut.”
Pandang mata Hong Beng menjadi lunak dan sayu ketika dia mendengar ucapan ini, jantungnya berdebar.
“Bi Lan.... bagaimana kau tahu tentang semua itu?”
“Tentu saja. Siapapun dapat melihat bahwa sepasang pengantin itu saling mencinta, dan dengan bersenjatakan cinta kasih, keduanya berani menentang maut. Lihat betapa pengantin pria yang lemah itu berani melindungi calon isterinya, dan lihat betapa pengantin wanita itu menyandarkan keselamatannya kepadanya, nampak dalam pandang mata mereka, sikap mereka.”
“Bukan itu, maksudku, bagaimana engkau tahu tentang cinta kasih? Kau mengatakan bahwa cinta kasih membuat mereka kuat dan berani. Apakah.... pernahkah.... kau mengalaminya sendiri?”
Wajah gadis yang biasanya polos dan tidak pemalu itu kini berubah agak merah dan matanya memandang marah.
“Iihh, prasangkamu buruk! Kau kira aku ini wanita macam apa? Aku tidak pernah jatuh cinta dan takkan pernah!” Kemudian sambungnya lirih, “Laginya, siapa sih yang bisa jatuh cinta kepada orang macam aku ini?”
Hong Beng merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Dengan muka agak pucat kini dia memandang gadis yang berdiri di depannya itu. Sinar matanya seperti hendak menembus dan menjenguk isi hati Bi Lan. Dia merasa betapa kedua kakinya gemetar. Hatinya gentar untuk bicara, akan tetapi ada dorongan kuat sekali yang memaksanya membuka mulut dan suaranya terdengar aneh dan ringan, seperti suara lain datang dari jauh ketika akhirnya dia berkata,
“Bi Lan.... dengarlah aku....“
Bi Lan membelalakkan matanya. Ia melihat wajah pemuda itu menjadi aneh, begitu pucat dan sinar matanya begitu sayu akan tetapi juga ada sinarnya yang tajam penuh selidik, dan yang paling mengherankan hatinya adalah kata-kata itu, dan suaranya yang demikian lembut dan penuh getaran.
“Hong Beng, ada apakah? Sejak tadi aku mendengarkanmu,” katanya mengomel karena ia sendiri merasakan sesuatu yang aneh dan membingungkan dari sikap pemuda itu.
“Bi Lan.... tahukah engkau.... bahwa ada seorang yang jatuh cinta kepadamu sejak pertama kali melihatmu?”
Sepasang mata yang jernih itu terbelalak. Bi Lan benar-benar tidak dapat menangkap apa yang dimaksudkan pemuda itu.
“Hong Beng, engkau ini bicara apakah? Jangan main gila kau, siapa yang kau maksudkan itu?”
“Aku....!” Hong Beng mengaku dan hatinya lega setelah dengan nekat akhirnya dia mampu juga membuat pengakuan yang menggelisahkan dan menegangkan hatinya itu. “Aku telah jatuh cinta padamu sejak pertama kali melihatmu, maka jangan mengira bahwa tidak ada orang yang bisa jatuh cinta padamu.”
Bi Lan merasa betapa jantungnya berdebar dengan kacau. Ia tidak tahu apakah ia harus marah atau bagaimana. Ia merasa canggung, tidak malu, hanya canggung dan tidak enak.
Ia merasa dibawa ke suatu daerah yang sama sekali asing baginya, diseret ke dalam keadaan yang menggelisahkan karena sama sekali tidak dikenal dan diketahuinya. Ia tidak tahu sama sekali tentang cinta kasih, walaupun tadi dengan mudah saja ia dapat bicara tentang cinta yang nampak antara sepasang mempelai di dusun itu. Setelah kini ada orang mengaku cinta kepadanya, ia menjadi bingung! Apalagi yang membuat pengakuan ini adalah Gu Hong Beng, satu-satunya pria yang selama ini dekat dengannya, yang dianggapnya sebagai seorang sahahat baru yang amat baik.
Akhirnya, keadaan yang menegangkan dan membingungkan hatinya itu menimbulkan kemarahan! Terlalu sekali pemuda ini, merusak suasana yang begitu baik! Mendatangkan kecanggungan dan perasaan tidak enak saja. Setelah mendengar pengakuan pemuda itu, mana mungkin ia dapat berada di dekat pemuda ini selanjutnya?
“Bi Lan, maafkan kalau keterus teranganku tadi menyinggung perasaan hatimu,” kata Hong Beng dengan halus ketika dia melihat betapa wajah gadis itu menjadi sebentar pucat dan sebentar merah, dan terbayang kemarahan pada sinar matanya.
“Maaf? Enak saja kau bicara!” Bi Lan mengomel, sengaja bersikap biasa untuk mengusir perasaan tidak enak di hatinya dan membuyarkan suasana tegang yang mencekam di antara mereka. “Kau sudah merusak suasana dan aku tidak mungkin lagi melakukan perjalanan bersamamu.”
“Bi Lan....!”
“Biarlah kita kelak berjumpa lagi kalau ada kesempatan, akan tetapi aku tidak mau lagi melakukan perjalanan bersamamu.” Gadis itu lalu meloncat.
“Bi Lan, tunggu....! “
“Mau apalagi?”
Dengan satu kali loncatan, Hong Beng sudah berada di depan gadis itu, wajahnya pucat dan membayangkan kegelisahan dan kekecewaan.
“Bi Lan, apakah pernyataan cintaku tadi menyakiti hatimu, menyinggung perasaanmu?”
“Tidak menyakiti, akan tetapi tentu saja menyinggung! Aku tidak suka bicara tentang itu!”
“Akan tetapi apakah kau.... menolak cintaku? Bi Lan, berterus teranglah saja agar aku tidak tenggelam ke dalam keraguan dan kegelisahan. Apakah tidak ada cinta di hatimu terhadap diriku? Apakah engkau membenciku?”
Bi Lan membanting kakinya dengan gemas.
“Aku tidak suka bicara dengan itu, engkau malah menghujani aku dengan urusan cinta! Huh, aku tidak mencinta siapa-siapa, dan tidak membenci siapa-siapa. Sudahlah, selamat tinggal!” Dan iapun melarikan diri dengan cepatnya meninggalkan pemuda itu.
Hong Beng berdiri bengong dengan muka pucat. Ingin dia mengejar dan dia yakin akan dapat menyusul gadis itu kalau mengejarnya, akan tetapi dia tidak mau membikin marah gadis itu dengan desakannya. Dia hanya berdiri sambil mengepal tinju, diam-diam merasa menyesal kepada diri sendiri yang telah tergesa-gesa menyatakan cinta kasihnya.
Tadinya memang dia tidak berniat untuk menyatakan cintanya, walaupun sejak pertemuan pertama dia sudah jatuh hati. Bukan hanya perasaan kagum yang terasa olehnya terhadap gadis itu, melainkan perasaan cinta. Hal ini dia rasakan benar walaupun dia juga belum berpengalaman dalam hal itu. Tadinya dia hanya akan merahasiakannya saja sambil menanti kesempatan baik untuk kelak mengakui cintanya.
Akan tetapi, perjumpaan mereka dengan sepasang mempelai yang saling mencinta itu, kemudian membicarakan cinta kasih sepasang mempelai itu, ditambah lagi ucapan Bi Lan yang merasa bahwa tidak ada orang yang bisa jatuh cinta kepadanya, semua itu mendorongnya dan pernyataan cinta itupun meluncur keluar dari mulutnya sebelum dia sempat menahannya lagi.
Dan kini semua itu telah terjadi. Dia sudah terlanjur menyatakan cinta dan gadis itu menolaknya, bahkan kini meninggalkannya! Meninggalkannya begitu saja! Hong Beng merasa betapa keadaan sekelilingnya tiba-tiba saja menjadi amat sunyi, dia merasa ditinggalkan seorang diri, merasa disia-siakan, merasa tidak ada gunanya lagi.
Pemuda itu lalu menjatuhkan diri di atas rumput dan menutupkan kedua tangan di depan mukanya sambil memejamkan kedua matanya. Dia merasa terpukul dan terhimpit batinnya untuk ke dua kalinya selama hidupnya yang delapan belas tahun ini. Pertama kali ketika dia kehilangan ayah bundanya. Dan kedua kalinya sekarang ketika dia ditinggalkan Bi Lan. Perasaannya menjadi terapung, hatinya kosong, kedukaan menyelimutinya, seperti gelombang besar menerkamnya, menenggelamkannya.
Betapa hebatnya cinta asmara antara pria dan wanita, terutama sekali antara muda mudi, mencengkeram dan mempermainkan manusia seperti badai mempermainkan daun-daun kering yang tak berdaya. Kalau hati sudah dilanda asmara, maka hati itu berarti sudah siap untuk timbul atau tenggelam, siap untuk menikmati kesenangan yang sebesar-besarnya atau menderita kesusahan yang sedalam-dalamnya.
Tidak ada kesenangan yang lebih besar dari bersatunya dua hati yang dilanda asmara, akan tetapi juga tidak ada kedukaan yang lebih mendalam dari pada pecahnya dan putusnya pertalian antara dua hati itu. Tidak ada keresahan dan kesepian yang lebih mencekik daripada ditinggal pergi kekasih hati dan tidak ada keputusasaan yang demikian ringkih dari pada orang yang dikasihi tidak membalas cintanya.
Haruskah demikian? Haruskah seseorang yang gagal dalam cintanya menjadi putus asa dan membiarkan diri dibenamkan duka nestapa? Cinta asmara antara pria dan wanita hanya dapat terjadi dan berhasil kalau keduanya menyambutnya. Cinta asmara tidak mungkin terjadi hanya dari satu pihak saja. Bodohlah orang yang membiarkan batin menderita karena orang yang dicintanya tidak menyambut atau membalas cintanya itu. Cinta tidak mungkin dapat dipaksakan pada seseorang. Cinta adalah urusan hati yang amat pribadi.
Cinta kasih yang sejati tidak akan mendatangkan duka. Cinta kasih kepada seseorang berarti rasa belas kasih dan kasih sayang kepada orang itu, dan yang ada hanya keinginan untuk membahagiakan orang itu, atau melihat orang itu berbahagia, baik orang itu menjadi miliknya atau tidak, dekat atau jauh darinya. Cinta kasih tidak mengenal kepuasan diri sendiri. Yang mengharapkan kepuasan diri sendiri, yang mengejar kesenangan hati sendiri, yang ingin memiliki, ingin menguasai, bukanlah cinta kasih, melainkan nafsu berahi.
Bukan berarti bahwa cinta kasih tidak seharusnya mengandung berahi. Cinta kasih mengandung semuanya, kecuali keinginan menyenangkan diri sendiri walaupun cinta kasih dapat mendatangkan kesenangan, kepuasan dan kebahagiaan. Cinta kasih adalah keadaan suatu hati yang penuh dengan sinar Illahi, sedangkan berahi adalah keadaan suatu tubuh yang normal dan wajar, menurutkan naluri badaniah.
Bagi hati yang penuh dengan sinar cinta kasih, berahi merupakan sesuatu yang indah dan suci, suatu kekuasaan Tuhan yang bekerja dalam badan dan batin, suatu gejolak yang digerakkan oleh daya tarik-menarik dari Im dan Yang, suatu sarana untuk penciptaan yang agung karena tanpa itu, tanpa adanya daya tarik Im dan Yang sehingga keduanya saling mendorong, maka alam ini akan berhenti bergerak. Sebaliknya, kalau hati kosong dari cinta, berahi hanya merupakan suatu permainan belaka, kadang-kadang amat kotor dan hanya menjadi sarana untuk memuaskan nafsu di hati.
Hong Beng bukanlah seorang pemuda yang menjadi hamba nafsu-nafsunya. Tidak, bahkan selamanya dia belum pernah berhubungan dengan wanita. Akan tetapi dia belum sadar akan cinta sejati dan sebagai seorang pemuda biasa, dia tunduk kepada keadaan batinnya yang masih dapat menjadi permainan akunya sendiri, di mana nafsu selalu berkuasa dan keadaan hati ditentukan oleh berhasil atau gagalnya nafsu.
Diombang-ambingkan antara puas kecewa, harapan dan keputusasaan, senang dan susah. Biarpun dia memperoleh gemblengan yang keras dari gurunya, namun gemblengan itu hanya memperkuat badannya, belum mampu mendatangkan kesadaran kepada batinnya. Karena itu, badannya mungkin tahan pukulan, namun batinnya masih lemah dan mudah terguncang oleh kegagalan dan kekecewaan yang menimbulkan perasaan sesal dan iba diri yang menyengsarakan.
Hartawan Phoa bangkit duduk dan memberi hormat.
“Terus terang saja, taihiap. Selamanya saya bersahabat dengan penduduk dusun, membantu mereka dan kami bekerja sama dengan baik selama puluhan tahun, semenjak saya masih kecil dan ayah yang berkuasa di sini. Akan tetapi terus terang saja, saya telah bersalah, terlalu menurutkan nafsu dan mudah tergiur oleh kecantikan wanita. Pengalaman hari ini akan menjadi peringatan bagi saya dan mudah-mudahan Tuhan akan membantu saya dan memberi kekuatan untuk melawan godaan setan.” Hartawan itu lalu berkata kepada Lo Cin,
“Paman Lo Cin, mari kita lanjutkan pesta ini. Biarlah aku yang membiayai, tambah lagi masakan dan saudara-saudara yang berada di luar, mari kita rayakan pernikahan puteri dari paman Lo Cin!”
Tentu saja sikap dan ucapan hartawan Phoa itu disambut sorakan gembira dari para penduduk dusun karena mereka kini mengenal lagi hartawan itu seperti biasanya kalau sedang memberi pertolongan dan derma kepada para penduduk dusun yang miskin. Para tukang pukul itu disuruh pulang oleh Phoa Wan-gwe untuk berobat dan merawat luka-luka mereka.
Ketika Lo Cin sekeluarga yang merasa gembira sekali itu hendak mengundang pemuda perkasa tadi untuk menjadi tamu kehormatan, ternyata pemuda itu telah lenyap dari situ dan agaknya telah pergi tanpa pamit, menyelinap di antara orang banyak. Hal ini diketahui oleh Bi Lan dan Hong Beng dan mereka kagum bukan main, kemudian merekapun diam-diam pergi dari tempat itu.
Dua orang muda itu melanjutkan perjalanan, meninggalkan dusun itu dan di sepanjang perjalanan, mereka berdua bercakap-cakap, membicarakan peristiwa yang baru mereka lihat di dusun tadi.
“Pemuda itu tadi luar biasa, bagaimana pendapatmu tentang dia, Hong Beng?” Bi Lan bertanya.
Sambil melangkah dengan tegap di samping gadis itu, Hong Beng memandang ke atas, melihat awan bergerak di hari yang cerah itu.
“Dia? Wah, dia memang hebat. Kalau saja ada kesempatan, aku ingin sekali mencoba mengadu kepandaian dengan dia.”
“Ehh....?”
Bi Lan terkejut dan menahan langkahnya sehingga Hong Beng terpaksa berhenti juga. Dengan alis berkerut gadis itu menatap wajah temannya dan bertanya,
“Kenapa engkau mempunyai pikiran seaneh itu, seolah-olah engkau ingin memusuhinya?”
Ditegur demikian, barulah Hong Beng merasa terkejut dan mukanya berubah kemerahan. Tanpa disadarinya, dia tadi telah mengeluarkan ucapan yang nadanya keras dan bermusuh terhadap pemuda perkasa yang tak dikenalnya itu!
“Tidak apa-apa, maksudku.... aku kagum sekali dan ingin berkenalan dengan dia dan di kalangan kita yang suka akan ilmu silat, perkenalan akan lebih akrab kalau diawali dengan adu kepandaian silat.”
“Hemm, dia merupakan lawan yang tidak ringan untuk dilawan, Hong Beng. Aku tidak yakin apakah engkau akan dapat mengalahkan dia,” kata Bi Lan sambil melanjutkan perjalanan itu dengan langkah seenaknya.
Hong Beng melirik ke kiri. Akan tetapi wajah gadis itu tidak membayangkan sesuatu dan pemuda itu menekan perasaannya yang tidak enak. Alisnya berkerut. Gadis ini agaknya sudah tertarik sekali kepada pemuda tinggi besar itu, pikirnya tak senang.
“Akan tetapi aku yakin akan dapat mengatasinya. Biarpun tidak kusangkal bahwa dia lihai, akan tetapi ilmunya masih belum matang. Buktinya tadi dia membiarkan beberapa pukulan mengenai tubuhnya ketika dia menghadapi pengeroyokan itu.”
“Akan tetapi pukulan-pukulan itu sama sekali tidak membuatnya tergoyah, sama sekali tidak dirasakannya!”
“Memang agaknya begitu. Akan tetapi engkau sendiri tentu tahu bahwa membiarkan tubuh terpukul lawan dengan melindungi tubuh menggunakan kekebalan bukanlah cara yang baik untuk membela diri. Mengapa dia tidak menggunakan kelincahan dan kecepatan gerakan untuk menghindarkan pukulan-pukulan itu? Hal itu hanya membuktikan bahwa dalam hal kecepatan gerak tubuh, dia belum berapa hebat. Karena itulah aku merasa yakin akan dapat mengalahkannya.”
“Hong Beng, dia jelas seorang pendekar budiman yang gagah perkasa, bagaimana engkau berani memandang rendah kepadanya, bahkan ingin mencoba kepandaiannya? Apakah engkau ingin bermusuhan dengan seorang pendekar?”
“Akan tetapi dia agak sombong.“
“Kau keliru! Dia sama sekali tidak sombong, bahkan memperkenalkan namapun tidak. Dia tegas dan gagah perkasa.”
Hong Beng merasa betapa perutnya menjadi semakin panas mendengar gadis itu memuji-muji pemuda tinggi besar itu setinggi langit. Akan tetapi dia menekan perasaannya dan berkata,
“Sudahlah, kita tidak perlu membicarakan dia lagi. Kau tahu bahwa aku tidak ingin memusuhi orang. Yang lebih mengagumkan aku adalah sikap sepasang mempelai itu. Mereka berani menentang maut, menghadapi ancaman hartawan dan anak buahnya itu dengan gagah berani, padahal mereka berdua adalah orang-orang biasa yang lemah dan tidak berdaya melawan.”
“Jangan bilang mereka itu lemah Hong Beng. Mereka berdua itu kuat sekali, lebih kuat dari pada maut.“
“Eh maksudmu” Hong Beng terkejut dan heran sampai menghentikan langkahnya, memandang gadis itu dengan mata terbelalak.
Bi Lan tersenyum.
“Jangan pandang aku seperti orang melihat setan!” katanya. “Aku katakan bahwa mereka itu tidak lemah, karena mereka saling memiliki, mereka saling mencinta. Cinta itulah yang membuat mereka kuat dan berani menghadapi ancaman maut.”
Pandang mata Hong Beng menjadi lunak dan sayu ketika dia mendengar ucapan ini, jantungnya berdebar.
“Bi Lan.... bagaimana kau tahu tentang semua itu?”
“Tentu saja. Siapapun dapat melihat bahwa sepasang pengantin itu saling mencinta, dan dengan bersenjatakan cinta kasih, keduanya berani menentang maut. Lihat betapa pengantin pria yang lemah itu berani melindungi calon isterinya, dan lihat betapa pengantin wanita itu menyandarkan keselamatannya kepadanya, nampak dalam pandang mata mereka, sikap mereka.”
“Bukan itu, maksudku, bagaimana engkau tahu tentang cinta kasih? Kau mengatakan bahwa cinta kasih membuat mereka kuat dan berani. Apakah.... pernahkah.... kau mengalaminya sendiri?”
Wajah gadis yang biasanya polos dan tidak pemalu itu kini berubah agak merah dan matanya memandang marah.
“Iihh, prasangkamu buruk! Kau kira aku ini wanita macam apa? Aku tidak pernah jatuh cinta dan takkan pernah!” Kemudian sambungnya lirih, “Laginya, siapa sih yang bisa jatuh cinta kepada orang macam aku ini?”
Hong Beng merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Dengan muka agak pucat kini dia memandang gadis yang berdiri di depannya itu. Sinar matanya seperti hendak menembus dan menjenguk isi hati Bi Lan. Dia merasa betapa kedua kakinya gemetar. Hatinya gentar untuk bicara, akan tetapi ada dorongan kuat sekali yang memaksanya membuka mulut dan suaranya terdengar aneh dan ringan, seperti suara lain datang dari jauh ketika akhirnya dia berkata,
“Bi Lan.... dengarlah aku....“
Bi Lan membelalakkan matanya. Ia melihat wajah pemuda itu menjadi aneh, begitu pucat dan sinar matanya begitu sayu akan tetapi juga ada sinarnya yang tajam penuh selidik, dan yang paling mengherankan hatinya adalah kata-kata itu, dan suaranya yang demikian lembut dan penuh getaran.
“Hong Beng, ada apakah? Sejak tadi aku mendengarkanmu,” katanya mengomel karena ia sendiri merasakan sesuatu yang aneh dan membingungkan dari sikap pemuda itu.
“Bi Lan.... tahukah engkau.... bahwa ada seorang yang jatuh cinta kepadamu sejak pertama kali melihatmu?”
Sepasang mata yang jernih itu terbelalak. Bi Lan benar-benar tidak dapat menangkap apa yang dimaksudkan pemuda itu.
“Hong Beng, engkau ini bicara apakah? Jangan main gila kau, siapa yang kau maksudkan itu?”
“Aku....!” Hong Beng mengaku dan hatinya lega setelah dengan nekat akhirnya dia mampu juga membuat pengakuan yang menggelisahkan dan menegangkan hatinya itu. “Aku telah jatuh cinta padamu sejak pertama kali melihatmu, maka jangan mengira bahwa tidak ada orang yang bisa jatuh cinta padamu.”
Bi Lan merasa betapa jantungnya berdebar dengan kacau. Ia tidak tahu apakah ia harus marah atau bagaimana. Ia merasa canggung, tidak malu, hanya canggung dan tidak enak.
Ia merasa dibawa ke suatu daerah yang sama sekali asing baginya, diseret ke dalam keadaan yang menggelisahkan karena sama sekali tidak dikenal dan diketahuinya. Ia tidak tahu sama sekali tentang cinta kasih, walaupun tadi dengan mudah saja ia dapat bicara tentang cinta yang nampak antara sepasang mempelai di dusun itu. Setelah kini ada orang mengaku cinta kepadanya, ia menjadi bingung! Apalagi yang membuat pengakuan ini adalah Gu Hong Beng, satu-satunya pria yang selama ini dekat dengannya, yang dianggapnya sebagai seorang sahahat baru yang amat baik.
Akhirnya, keadaan yang menegangkan dan membingungkan hatinya itu menimbulkan kemarahan! Terlalu sekali pemuda ini, merusak suasana yang begitu baik! Mendatangkan kecanggungan dan perasaan tidak enak saja. Setelah mendengar pengakuan pemuda itu, mana mungkin ia dapat berada di dekat pemuda ini selanjutnya?
“Bi Lan, maafkan kalau keterus teranganku tadi menyinggung perasaan hatimu,” kata Hong Beng dengan halus ketika dia melihat betapa wajah gadis itu menjadi sebentar pucat dan sebentar merah, dan terbayang kemarahan pada sinar matanya.
“Maaf? Enak saja kau bicara!” Bi Lan mengomel, sengaja bersikap biasa untuk mengusir perasaan tidak enak di hatinya dan membuyarkan suasana tegang yang mencekam di antara mereka. “Kau sudah merusak suasana dan aku tidak mungkin lagi melakukan perjalanan bersamamu.”
“Bi Lan....!”
“Biarlah kita kelak berjumpa lagi kalau ada kesempatan, akan tetapi aku tidak mau lagi melakukan perjalanan bersamamu.” Gadis itu lalu meloncat.
“Bi Lan, tunggu....! “
“Mau apalagi?”
Dengan satu kali loncatan, Hong Beng sudah berada di depan gadis itu, wajahnya pucat dan membayangkan kegelisahan dan kekecewaan.
“Bi Lan, apakah pernyataan cintaku tadi menyakiti hatimu, menyinggung perasaanmu?”
“Tidak menyakiti, akan tetapi tentu saja menyinggung! Aku tidak suka bicara tentang itu!”
“Akan tetapi apakah kau.... menolak cintaku? Bi Lan, berterus teranglah saja agar aku tidak tenggelam ke dalam keraguan dan kegelisahan. Apakah tidak ada cinta di hatimu terhadap diriku? Apakah engkau membenciku?”
Bi Lan membanting kakinya dengan gemas.
“Aku tidak suka bicara dengan itu, engkau malah menghujani aku dengan urusan cinta! Huh, aku tidak mencinta siapa-siapa, dan tidak membenci siapa-siapa. Sudahlah, selamat tinggal!” Dan iapun melarikan diri dengan cepatnya meninggalkan pemuda itu.
Hong Beng berdiri bengong dengan muka pucat. Ingin dia mengejar dan dia yakin akan dapat menyusul gadis itu kalau mengejarnya, akan tetapi dia tidak mau membikin marah gadis itu dengan desakannya. Dia hanya berdiri sambil mengepal tinju, diam-diam merasa menyesal kepada diri sendiri yang telah tergesa-gesa menyatakan cinta kasihnya.
Tadinya memang dia tidak berniat untuk menyatakan cintanya, walaupun sejak pertemuan pertama dia sudah jatuh hati. Bukan hanya perasaan kagum yang terasa olehnya terhadap gadis itu, melainkan perasaan cinta. Hal ini dia rasakan benar walaupun dia juga belum berpengalaman dalam hal itu. Tadinya dia hanya akan merahasiakannya saja sambil menanti kesempatan baik untuk kelak mengakui cintanya.
Akan tetapi, perjumpaan mereka dengan sepasang mempelai yang saling mencinta itu, kemudian membicarakan cinta kasih sepasang mempelai itu, ditambah lagi ucapan Bi Lan yang merasa bahwa tidak ada orang yang bisa jatuh cinta kepadanya, semua itu mendorongnya dan pernyataan cinta itupun meluncur keluar dari mulutnya sebelum dia sempat menahannya lagi.
Dan kini semua itu telah terjadi. Dia sudah terlanjur menyatakan cinta dan gadis itu menolaknya, bahkan kini meninggalkannya! Meninggalkannya begitu saja! Hong Beng merasa betapa keadaan sekelilingnya tiba-tiba saja menjadi amat sunyi, dia merasa ditinggalkan seorang diri, merasa disia-siakan, merasa tidak ada gunanya lagi.
Pemuda itu lalu menjatuhkan diri di atas rumput dan menutupkan kedua tangan di depan mukanya sambil memejamkan kedua matanya. Dia merasa terpukul dan terhimpit batinnya untuk ke dua kalinya selama hidupnya yang delapan belas tahun ini. Pertama kali ketika dia kehilangan ayah bundanya. Dan kedua kalinya sekarang ketika dia ditinggalkan Bi Lan. Perasaannya menjadi terapung, hatinya kosong, kedukaan menyelimutinya, seperti gelombang besar menerkamnya, menenggelamkannya.
Betapa hebatnya cinta asmara antara pria dan wanita, terutama sekali antara muda mudi, mencengkeram dan mempermainkan manusia seperti badai mempermainkan daun-daun kering yang tak berdaya. Kalau hati sudah dilanda asmara, maka hati itu berarti sudah siap untuk timbul atau tenggelam, siap untuk menikmati kesenangan yang sebesar-besarnya atau menderita kesusahan yang sedalam-dalamnya.
Tidak ada kesenangan yang lebih besar dari bersatunya dua hati yang dilanda asmara, akan tetapi juga tidak ada kedukaan yang lebih mendalam dari pada pecahnya dan putusnya pertalian antara dua hati itu. Tidak ada keresahan dan kesepian yang lebih mencekik daripada ditinggal pergi kekasih hati dan tidak ada keputusasaan yang demikian ringkih dari pada orang yang dikasihi tidak membalas cintanya.
Haruskah demikian? Haruskah seseorang yang gagal dalam cintanya menjadi putus asa dan membiarkan diri dibenamkan duka nestapa? Cinta asmara antara pria dan wanita hanya dapat terjadi dan berhasil kalau keduanya menyambutnya. Cinta asmara tidak mungkin terjadi hanya dari satu pihak saja. Bodohlah orang yang membiarkan batin menderita karena orang yang dicintanya tidak menyambut atau membalas cintanya itu. Cinta tidak mungkin dapat dipaksakan pada seseorang. Cinta adalah urusan hati yang amat pribadi.
Cinta kasih yang sejati tidak akan mendatangkan duka. Cinta kasih kepada seseorang berarti rasa belas kasih dan kasih sayang kepada orang itu, dan yang ada hanya keinginan untuk membahagiakan orang itu, atau melihat orang itu berbahagia, baik orang itu menjadi miliknya atau tidak, dekat atau jauh darinya. Cinta kasih tidak mengenal kepuasan diri sendiri. Yang mengharapkan kepuasan diri sendiri, yang mengejar kesenangan hati sendiri, yang ingin memiliki, ingin menguasai, bukanlah cinta kasih, melainkan nafsu berahi.
Bukan berarti bahwa cinta kasih tidak seharusnya mengandung berahi. Cinta kasih mengandung semuanya, kecuali keinginan menyenangkan diri sendiri walaupun cinta kasih dapat mendatangkan kesenangan, kepuasan dan kebahagiaan. Cinta kasih adalah keadaan suatu hati yang penuh dengan sinar Illahi, sedangkan berahi adalah keadaan suatu tubuh yang normal dan wajar, menurutkan naluri badaniah.
Bagi hati yang penuh dengan sinar cinta kasih, berahi merupakan sesuatu yang indah dan suci, suatu kekuasaan Tuhan yang bekerja dalam badan dan batin, suatu gejolak yang digerakkan oleh daya tarik-menarik dari Im dan Yang, suatu sarana untuk penciptaan yang agung karena tanpa itu, tanpa adanya daya tarik Im dan Yang sehingga keduanya saling mendorong, maka alam ini akan berhenti bergerak. Sebaliknya, kalau hati kosong dari cinta, berahi hanya merupakan suatu permainan belaka, kadang-kadang amat kotor dan hanya menjadi sarana untuk memuaskan nafsu di hati.
Hong Beng bukanlah seorang pemuda yang menjadi hamba nafsu-nafsunya. Tidak, bahkan selamanya dia belum pernah berhubungan dengan wanita. Akan tetapi dia belum sadar akan cinta sejati dan sebagai seorang pemuda biasa, dia tunduk kepada keadaan batinnya yang masih dapat menjadi permainan akunya sendiri, di mana nafsu selalu berkuasa dan keadaan hati ditentukan oleh berhasil atau gagalnya nafsu.
Diombang-ambingkan antara puas kecewa, harapan dan keputusasaan, senang dan susah. Biarpun dia memperoleh gemblengan yang keras dari gurunya, namun gemblengan itu hanya memperkuat badannya, belum mampu mendatangkan kesadaran kepada batinnya. Karena itu, badannya mungkin tahan pukulan, namun batinnya masih lemah dan mudah terguncang oleh kegagalan dan kekecewaan yang menimbulkan perasaan sesal dan iba diri yang menyengsarakan.
**** 032 ****