Ads

Minggu, 03 Januari 2016

Suling Naga Jilid 034

“Dukkk....!”

Dua tenaga besar bertemu dan akibatnya amat mengejutkan hati Bhok Gun karena dia terdorong dan terlempar ke belakang oleh tenaga yang amat dahsyat! Tentu saja dia tidak tahu bahwa lawannya itu telah mewarisi tenaga raksasa dari ayah kandungnya, yaitu Cu Kang Bu yang berjuluk Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati). Pemuda itu adalah Cu Kun Tek, jago muda dari Lembah Naga Siluman itu.

Sebetulnya, kalau diukur ilmu silat di antara mereka, tingkat Bhok Gun masih lebih tinggi dari pada tingkat yang dikuasai Kun Tek. Akan tetapi, tadi Bhok Gun mengadu tenaga dan akibatnya dia kalah kuat sehingga dia merasa gentar, mengira bahwa pemuda tinggi besar ini memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya.

Melihat pemuda tinggi besar itu sudah bertanding melawan Bhok Gun, Bi Lan mempergunakan kesempatan baik ini untuk bergerak menyerang para pengepungnya, yaitu lima orang perwira tadi. Lima orang yang pernah merasakan kehebatan tangan Bi Lan, menjadi gentar dan menjauhkan diri.

“Nona, mari kita pergi!”

Kun Tek berseru nyaring sambil merobohkan dua orang pengepung dengan tendangan-tendangannya. Kegagahan Kun Tek tidak saja membuat gentar hati Bhok Gun, akan tetapi juga para pengepung menjadi ketakutan. Baru menghadapi nona itu saja mereka tadi merasa kewalahan untuk mengalahkannya, apalagi sekarang muncul seorang pemuda tinggi besar yang demikian gagah perkasa.

Karena merasa gentar, mereka tidak banyak bergerak untuk menghalangi ketika Bi Lan dan Kun Tek berlompatan keluar dari pekarangan itu. Bhok Gun serdiri tidak melakukan pengejaran. Pertama adalah karena dia sendiri meragukan apakah dia akan dapat menang menghadapi Bi Lan dan pemuda tinggi besar itu walaupun dia dibantu oleh para perwira dan anggauta Ang-i Mo-pang, dan ke dua karena dia tidak melihat pedang pusaka di tangan Bi Lan, diapun tidak terlalu bernafsu untuk melakukan pengejaran.

Dia memang jatuh hati kepada Bi Lan yang dianggapnya amat manis menggiurkan. Terutama sekali karena gadis itu tidak mau menyerah dan tidak semudah wanita lain untuk ditundukkan, maka justeru sikap inilah yang menambah daya tarik pada diri Bi Lan baginya.

Andaikata Bi Lan mau, agaknya dia akan suka mempunyai seorang kawan hidup tetap, seorang isteri, seperti gadis itu. Wanita-wanita seperti Bi-kwi hanyalah menjadi teman bermain-main dan mencari kepuasan nafsu belaka, bukan untuk menjadi isteri dan ibu anak-anaknya. Akan tetapi Bi Lan menolaknya, bahkan nampak benci kepadanya.

Sementara itu, Bi Lan terus melarikan diri bersama permuda tinggi besar itu. Tidak tahu siapa di antara mereka yang memilih jalan, karena keduanya hanya menurutkan jalan kecil yang menuju ke utara itu saja.

Akan tetapi setelah mereka merasa yakin bahwa pihak musuh tidak melakukan pengejaran, terpaksa mereka mengurangi kecepatan lari mereka dan hanya melanjutkan dengan jalan kaki biasa karena cuaca malam itu cukup gelap. Hanya bintang-bintang saja di langit yang menurunkan sinar penerangan remang-remang.

Keduanya tidak banyak cakap dan melanjutkan perjalanan sampai akhirnya Bi Lan berhenti. Pemuda itupun ikut berhenti. Mereka berada di sebuah jalan kecil yang membelah persawahan yang luas. Sunyi sekali di situ. Tidak nampak dusun di sekitar tempat itu. Kalau ada, tentu nampak lampu-lampu penerangan rumah-rumah mereka.

Sunyi sepi dan tidak ada sedikitpun angin sehingga batang-batang gandum di kanan kiri jalan itu tidak-ada yang bergerak. Tidak ada apapun yang bergerak kecuali berkelap-kelipnya laksaan bintang di langit dan suara yang terdengar hanya jengkerik dan bunyi katak yang saling bersahutan.

“Engkau siapakah?”

Bi Lan bertanya, merasa agak tidak enak karena sejak tadi pemuda itu diam saja membisu, padahal ia tahu benar bahwa pemuda itu tidak gagu.

“Namaku Cu Kun Tek,” jawab Kun Tek sambil menatap wajah yang biarpun hanya nampak remang-remang namun tetap saja mudah dilihat kecantikannya.

Garis-garis dan lengkung lekuk wajah itu jelas membayangkan kemanisan dan sepasang mata yang jeli itu masih nampak memantulkan sinar bintang-bintang yang redup. Jawaban yang singkat inipun membuat Bi Lan mengerutkan alisnya. Sikap pemuda yang pendiam ini seolah-olah menunjukkan rasa tidak suka kepadanya. Sama sekali tidak ramah. Kalau begitu, kalau memang tidak menyukainya, kenapa tadi menolongnya?

“Kenapa kau membantuku?” Pertanyaan dalam hati itu keluar melalui mulutnya, seperti orang menuntut.

“Engkau seorang gadis muda, dikeroyok banyak pria, tentu saja aku membantumu.”

Jawaban inipun singkat saja. Suasana menjadi kaku dan Bi Lan ingin meninggalkan pemuda itu, Akan tetapi bagaimanapun juga, pemuda itu mendatangkan rasa kagum di hatinya dan sudah menolongnya, rasanya tidak pantas kalau ia pergi begitu saja tanpa memperkenalkan diri. Akan tetapi pemuda itu tidak bertanya, agaknya tidak ingin mengenalnya!

“Apa kau tidak tanya namaku?”

Barulah pemuda itu kelihatan bergerak seperti orang gelisah atau orang yang merasa canggung dan malu-malu.

“Eh, siapakah namamu? Engkau masih begini muda akan tetapi ilmu silatmu sudah begitu hebat, sanggup menghadapi pengeroyokan banyak orang lihai.”

“Namaku Can Bi Lan. Eh, kau ini sombong amat, menyebutku gadis yang masih muda sekali. Apakah engkau ini sudah kakek-kakek? Kukira aku lebih tua darimu!” kata Bi Lan yang merasa mendongkol juga mendengar kata-kata pemuda itu.

“Tidak mungkin!” Kun Tek membantah. “Berapakah usiamu? Aku berani bertaruh bahwa aku jauh lebih tua.”

“Hemm, kiranya engkau hanya seorang penjudi! Sampai-sampai urusan usia saja kau pertaruhkan.”

“Aku tidak pernah berjudi selama hidupku!” Kun Tek. membantah, mendongkol juga melihat sikap gadis yang ditolongnya ini demikian galak.






“Memang tak mungkin engkau bisa berjudi, engkau masih seperti kanak-kanak. Kutaksir usiamu paling banyak limabelas tahun, jadi aku masih lebih tua dua tahun.”

Tentu saja Bi Lan hanya sengaja menggoda karena dongkol hatinya, tidak sungguh-sungguh mengira usia pemuda itu limabelas tahun.

Kun Tek balas menggoda.
“Aha, kiranya baru tujuh belas tahun! Masih amat muda, hampir kanak kanak. Aku sendiri sudah berusia sembilan belas tahun.”

Keduanya berdiam kembali dan keadaan menjadi amat sunyi. Suara jengkerik kembali terdengar nyaring diselingi suara katak. Bi Lan tak dapat menahan lagi perasaan tidak enaknya.

“Jadi engkau membantuku hanya karena melihat aku seorang perempuan muda, setengah kanak-kanak, dikeroyok banyak pria?“

“Bukan anak kecil, melainkan masih amat muda akan tetapi sudah amat lihai!” Kun Tek berkata cepat.

“Baiklah, seorang perempuan muda dan perempuan muda ini mengucapkan terima kasih atas bantuanmu, walaupun sesungguhnya aku sama sekali tidak mengharapkan dan tidak membutuhkan bantuanmu. Nah, selamat tinggal!”

Dengan marah Bi Lan lalu meloncat dan lari dari tempat itu. Ia meloncat ke depan, dan terdengarlah suara keras ketika ia terperosok ke dalam lubang yang besar di tepi jalan itu. Lubang itu penuh dengan tanah lumpur, sehingga tentu saja pakaian dan badannya penuh lumpur dan ia terkejut bukan main.

“Aduhh....!“

Dengan sekali loncatan saja Kun Tek telah berada di tepi lubang dan mengulurkan tangan, memegang pergelangan tangan Bi Lan dan menariknya keluar. Melihat betapa seluruh pakaian Bi Lan kotor dan gadis itu menahan rasa nyeri pada tumitnya yang agaknya terkilir, Kun Tek menjadi khawatir sekali.

“Ah, kenapa tidak hati-hati? Gelap begini mana bisa melihat jalan? Apanya yang sakit? Kakimu? Mungkin terkilir mana kubetulkan letak ototnya kembali.”

Tanpa banyak cakap lagi Kun Tek lalu memegang kaki kiri Bi Lan, mengurut bagian pergelangan kaki dan memang jari-jari tangannya cekatan sekali dan penuh tenaga. Pemuda ini telah mempelajari ilmu pengobatan dari ayahnya, terutama sekali penyambungan tulang dan ilmu pijat otot. Biarpun pijatan-pijatan itu menimbulkan rasa nyeri, Bi Lan hanya menggigit bibir dan merintih lirih sampai akhirnya otot-ototnya pulih kembali dan rasa nyeri itupun menghilang.

“Bagaimana? Sudah enakan?”

Bi Lan hanya mengangguk.

“Wah, pakaianmu kotor semua. Mari kita mencari sumber air bersih di mana kau dapat mencuci tubuhmu dan pakaianmu. Lain kali yang hati-hatilah, di tempat gelap yang tidak dikenal lagi.”

Bi Lan bangkit berdiri dibantu oleh Kun Tek yang memegang lengannya.
“Engkau sih!” Bi Lan mengomel. “Sikapmu tadi kaku dan tidak bersahabat, menimbulkan rasa dongkol dalam hatiku.”

“Tidak bersahabat? Aih, bukankah aku telah membantumu? Maafkanlah, sesungguhnya aku bersikap kaku karena aku ingin bersikap sopan kepadamu.“

Biarpun mendongkol karena pakaian dan tubuhnya kotor penuh lumpur, Bi Lan terheran-heran mendengar pengakuan itu.

“Bersikap sopan?” Ia mendesak, menuntut penjelasan.

Kun Tek menundukkan mukanya, merasa canggung dan malu, lalu mengangkatnya kembali memandang wajah gadis itu dalam keremangan malam.

“Kita baru saja berkenalan, kalau aku bersikap terlalu ramah, bukankah engkau akan menyangka yang bukan-bukan, bahwa aku seorang laki-laki yang ceriwis dan kurang ajar? Aku terus terang saja, aku belum pernah berkawan dengan seorang gadis, dan menurut ibuku, sebagai seorang pemuda aku tidak boleh bersikap.... eh, menjilat terhadap wanita.”

Bi Lan ingin tertawa keras, akan tetapi ditahannya dan ia hanya tersenyum. Pemuda ini sungguh seorang yang berwatak aneh dan jujur!

“Siapa ingin kau menjilat dan bermuka-muka? Aku malah akan benci sekali kalau engkau bermuka-muka dan bermanis di mulut saja.”

Cu Kun Tek merasa betapa jantungnya berdebar girang. Gadis ini tidak marah lagi sekarang!
“Adik Bi Lan, mari kita mencari air bersih untuk engkau mencuci tubuhmu dan pakaianmu.”

Dia mendahului mencari-cari dan akhirnya mereka menemukan sebatang anak sungai yang cukup bersih.

Karena malam itu hanya diterangi bintang-bintang yang remang-remang, Bi Lan tidak terasa canggung atau malu untuk membersihkan tubuhnya, menanggalkan semua pakaiannya yang sudah berlumuran lumpur itu dan berganti dengan bakaian bersih.

Untung pakaiannya yang berada dalam buntalan tidak terkena lumpur. Selama ia membersihkan dirinya, Kun Tek menjauhkan diri sampai tidak dapat melihat gadis itu dalam keremangan malam. Dia membuat api unggun agak jauh dari situ, di bawah sebatang pohon.

Tak lama kemudian, Bi Lan datang mendekat dan duduk di dekat api unggun. Rambutnya masih basah, akan tetapi pakaiannya sudah berganti dengan pakaian bersih, sedangkan yang kotor sudah dicucinya, kini dibentangkannya di atas cabang pohon. Mukanya nampak segar kemerahan tertimpa cahaya api unggun dan diam-diam Kun Tek merasa kagum bukan main. Gadis ini memang manis dan gagah perkasa, juga amat sederhana, wajar dan lugu dalam gerak-geriknya.

“Dingin....?” tanya Kun Tek, melihat betapa kini gadis itu berusaha mengeringkan rambutnya yang masih basah. Hawa udara malam itu memang agak dingin.

Bi Lan mengangguk.
“Tadi memang airnya dingin sekali. Akan tetapi sekarang tidak lagi, hangat dan nyaman dekat api unggun ini.”

Mereka berdiam diri agak lama, kadang-kadang saling pandang saja sekilas. Sikap Kun Tek yang canggung dan malu-malu, yang tidak berani menentang pandang mata gadis itu terlalu lama, menularkan perasaan canggung pada hati gadis itu.

Biasanya Bi Lan tidak pernah merasa canggung berhadapan dengan siapapun. Ia polos dan wajar. Akan tetapi melihat betapa pemuda tinggi besar yang gagah perkasa ini agaknya malu-malu kepadanya, hal itu membuatnya sadar bahwa ada sesuatu yang tidak wajar dan diapun menjadi malu-malu pula.

Ia sendiri merasa heran mengapa ada perasaan ini terhadap pemuda yang baru dikenalnya ini, seolah-olah pemuda ini merupakan suatu keistimewaan. Padahal, apakah bedanya pemuda ini dengan orang-orang lain? Mungkin karena sikap Kun Tek itulah! Dan iapun tidak mengerti mengapa seorang pemuda gagah perkasa seperti ini bersikap demikian pemalu dan canggung terhadapnya.

Tiba-tiba pendengaran Bi Lan yang amat tajam terlatih itu mendengar sesuatu yang membuatnya menahan senyum. Heran, mengapa iapun menjadi suka merahasiakan hal yang demikian lucunya? Ia telah mendengar bunyi keruyuk dari perut pemuda itu!

Biasanya, menghadapi peristiwa lucu seperti ini, ia tentu akan tertawa sejadi-jadinya dan tidak merahasiakan kegelian hatinya. Dan suara keruyuk perut pemuda itu mengingatkannya bahwa iapun sebenarnya sudah lapar sekali, apalagi karena tadi berkelahi sehingga ia kehabisan tenaga, juga bekas tendangan Bhok Gun pada pinggangnya masih terasa nyeri. Ketika ia membersihkan tubuhnya tadi, ia meraba pinggangnya dan ternyata kulit di bagian itu matang biru dan memar.

“Aih, perutku lapar sekali,” katanya sambil menekan senyum di hatinya. “Kau.?”

Pemuda itu mengangguk.
“Aku juga lapar.”

“Dan pinggangku terasa nyeri, tadi kena tendang si jahanam Bhok Gun.”

“Bhok Gun? Laki-laki yang lihai itu? Orang apakah dia dan mengapa kau tadi dikeroyok? Siapa pula engkau, adik Bi Lan? Dari perguruan mana dan dari mana hendak ke mana?”

Kini Bi Lan memperoleh kesempatan untuk tertawa, melepas semua kegelian hati tanpa khawatir menyinggung seperti kalau ia mentertawakan keruyuk perut pemuda itu.

“Hi-hi-hik, kau menghujankan pertanyaan seperti itu. Kalau kujawab semua, tentu membuat perutku semakin lapar saja.”

“Ohh, aku mempunyai dua buah bakpao yang kubeli siang tadi.”

Pemuda itu melepaskan buntalan pakaiannya dan memang dia mempunyai dua buah bakpao yang cukup besar, yang dibungkus dalam kertas putih,

“Sayang bakpao ini sudah dingin, akan tetapi masih baik.” Dia menyerahkan bakpao itu kepada Bi Lan.

Tanpa malu-malu lagi Bi Lan mengambil sebuah dan makan dengan lahap. Bakpao itu memang enak, lunak, dan dagingnya gurih. Kun Tek memandang dengan girang melihat betapa gadis itu makan demikian enaknya sehingga dia tidak tega untuk makan bakpao yang ke dua. Setelah bakpao itu habis dimakan Bi Lan, Kun Tek menyerahkan lagi yang ke dua.

“Nih, makanlah ini, nona. Engkau lapar sekali.”

Bi Lan memandang bakpao itu dengan mata masih ingin, karena selain bakpao itu enak, juga ia lapar sekali, belum cukup hanya oleh sebuah bakpao tadi. Akan tetapi ia teringat akan berkeruyuknya perut Kun Tek, maka ia menggeleng kepala.

“Tidak, engkau sendiri juga lapar. Makanlah yang itu.”

“Aku dapat bertahan sampai besok, adik Bi Lan.” Bi Lan tertawa dan pemuda itu memandang khawatir. Apalagi yang ditertawakan, pikirnya.

“Hi-hik, Cu Kun Tek, engkau ini memang orang aneh. Perut lapar berpura-pura lagi, dan bagaimana pula itu caramu memanggil aku. Sebentar adik, sebentar nona. Mengapa susah-susah amat sih? Namaku Bi Lan, panggil saja namaku seperti aku memanggil namamu Kun Tek. Kan lebih santai?”

Kun Tek tersenyum dan baru sekali ini Bi Lan melihat senyumnya. Wajah yang gagah itu tidak berapa menyeramkan kalau tersenyum. Memang tampan walaupun kulit muka itu agak gelap kehitaman.

“Maaf, aku memang canggung menghadapi wanita. Belum pernah punya teman wanita sih. Baiklah, aku memanggilmu Bi Lan saja. Nih, kau makan saja ini, Bi Lan. Aku sudah sering kali menahan lapar, kalau sampai besok saja masih kuat.”

“Tidak, sedikitnya engkau harus makan sebagian, baru aku mau. Aku malu kalau harus menjadi orang yang pelahap dan tamak. Aku tadi mendengar perutmu berkeruyuk, tak perlu berpura-pura lagi.”

Terpaksa Kun Tek mengalah dan membagi bakpao itu menjadi dua. Mereka lalu makan bakpao dan agaknya bukit es yang menghalang di antara mereka kini sudah mencair sehingga mereka dapat bercakap-cakap dengan santai tanpa merasa sungkan-sungkan lagi seperti tadi.

“Bi Lan, sekarang ceritakanlah tentang dirimu, tentang peristiwa pengeroyokan tadi.”

“Nanti dulu,” bantah Bi Lan, kini merasa nyaman setelah perutnya kemasukan bakpao satu setengah potong dan kehangatan api unggun sungguh nikmat rasanya. “Aku ingin mendengar lebih dulu tentang kau, terutama sekali tentang ibumu yang menasihatkan bahwa engkau tidak boleh bermuka-muka kepada wanita. Siapakah ayah ibumu dan siapa gurumu?”

Kun Tek menarik napas panjang. Biasanya, dia tidak suka memperkenalkan namanya karena menurut ayahnya, nama besar di dunia kang-ouw itu hanya memancing datangnya banyak musuh dan lawan saja. Karena itulah dalam peristiwa di dusun itupun dia tidak mau memperkenalkan nama. Dan sebagai putera tunggal majikan Lembah Naga Siluman, tentu saja ada sedikit perasaan manja dalam hati Kun Tek, akibat kemanjaan yang diberikan ibunya, dan ada pula sifat sedikit tinggi hati. Akan tetapi dia sendiri merasa heran mengapa kini berhadapan dengan Bi Lan, dia menjadi lembut dan mau saja mengalah.

“Guruku adalah ayah ibuku sendiri,” dia mulai bercerita. “Ayahku bernama Cu Kang Bu dan tinggal di Lembah Naga Siluman di Pegunungan Himalaya. Aku dalam perjalanan merantau dan kebetulan sekali aku melihat peristiwa di dusun itu dan turun tangan membantumu melihat kau dikeroyok demikian banyak orang lihai. Nah, sekarang giliranmu bercerita.”

“Wah, sedikit amat kau cerita tentang dirimu!”

“Habis, tidak ada apa-apa lagi yang patut diceritakan, Bi Lan.”

Orang ini sungguh tidak ingin menonjolkan diri, pikir Bi Lan yang merasa semakin suka kepada Kun Tek.

“Dan perbuatanmu di dusun ketika menolong sepasang pengantin dusun itu kau anggap tidak patut diceritakan?”

Kun Tek membelalakkan matanya memandang gadis itu.
“Eh? Kau tahu tentang peristiwa itu?”

“Tentu saja, dari awal sampai akhir. Sejak kau memasuki ruangan itu, menghajar Phoa Wan-gwe dan para tukang pukulnya, sampai engkau meninggalkan ruangan tanpa memperkenalkan diri.” Bi Lan tersenyum. “Engkau sungguh gagah, Kun Tek.”

Kun Tek menundukkan mukanya, agak tersipu.
“Ah, perbuatan seperti itu kan sudah seharusnya kita lakukan? Kalau tidak kita lakukan, lalu untuk apa kita bersusah payah mempelajari ilmu dan memiliki kepandaian silat? Nah, aku siap mendengarkan ceritamu, Bi Lan.”

“Pertama-tama, aku sudah tidak punya ayah ibu lagi.”

“Aduh kasihan! Apa yang terjadi dengan mereka?”

“Mereka telah meninggal dunia, tewas terbunuh orang-orang jahat ketika aku masih kecil.”

“Ah! Siapakah orang-orang jahat itu, Bi Lan Aku akan membantumu menghukum mereka itu!”

Bi Lan tersenyum.
“Eh, bagaimana engkau begitu sembrono, Kun Tek? Bagaimana kalau keluargaku yang jahat, lalu mereka yang membunuh ayah ibuku itu yang benar dan baik?”

“Mana mungkin. Bukankah engkau tadi yang mengatakan sendiri bahwa ayah ibumu dibunuh orang jahat?”

“Itu kan aku yang mengatakan karena mereka membunuh orang tuaku. Siapa tahu mereka itu juga mengatakan bahwa kami orang jahat. Bagaimana engkau berani mempercayai aku begitu saja?”

Kun Tek tersenyum.
“Memang benar kata-katamu, Bi Lan. Semua orang, baik atau buruk, tentu akan mengatakan jahat kepada musuhnya. Akan tetapi aku kan sudah berhadapan denganmu dan aku yakin bahwa orang seperti engkau ini tidak mungkin jahat.”

“Kenapa engkau begitu yakin?”

Kun Tek menatap wajah gadis itu.
“Karena sikapmu, karena wajahmu, matamu dan mulutmu.... ah, sudahlah, Bi Lan, kau lanjutkan ceritamu. Kenapa orang tuamu dibunuh orang jahat?”

“Ketika aku masih kecil, berusia sepuluh tahun, bersama ayah ibu aku pergi meninggalkan kampung halaman kami di Yunan Selatan karena di sana dilanda perang. Di tengah jalan, kami dihadang sepasukan orang Birma. Ayah ibu terbunuh oleh mereka dan aku sendiri ditolong oleh tiga orang sakti yang kemudian mengambil aku sebagai murid dan mereka bertiga telah membasmi semua orang yang telah membunuh orang tuaku itu.”

“Ah, syukurlah kalau musuh-musuhmu sudah terbasmi. Siapakah tiga orang sakti yang menjadi gurumu itu?”

“Mereka berjuluk Sam Kwi.”

Kun Tek tidak menyembunyikan kekagetannya mendengar nama itu. Dia pernah mendengar dari ayahnya tentang tokoh-tokoh kaum sesat dan di antaranya yang menonjol adalah nama Sam Kwi.

“Kau maksudkan.... Sam Kwi.... para datuk kaum sesat itu?” tanyanya ragu sambil memandang wajah Bi Lan.

Bi Lan tersenyum mengangguk.
“Benar sekali. Nah, engkau tentu mulai meragukan pendapatmu bahwa aku orang baik-baik sekarang.”

Kun Tek menggeleng kepala.
“Aku tidak percaya! Sungguh tidak mungkin seorang gadis seperti engkau ini menjadi murid tiga orang datuk sesat yang jahat.” Dia berhenti sebentar tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah gadis itu, lalu melanjutkan, “Seorang gadis yang berwatak gagah dan memiliki sifat baik seperti engkau tentu tidak akan mau menjadi murid datuk-datuk sesat yang kabarnya amat jahat seperti iblis itu. Aku tidak percaya.”

Bi Lan tersenyum.
“Kun Tek, coba bayangkan ini. Andaikata engkau sendiri menjadi aku, dalam usia sepuluh tahun, melihat ayah ibu dibunuh orang-orang jahat, kemudian engkau sendiri diselamatkan oleh tiga orang datuk itu, yang juga membalaskan sakit hatimu dengan membasmi semua penjahat itu, dan kemudian tiga orang itu memeliharamu, mendidikmu dengan ilmu silat, apakah engkau akan menolaknya?” Dia memandang tajam. “Boleh jadi Sam Kwi amat jahat terhadap orang-orang lain, akan tetapi terhadap diriku mereka itu baik sekali.”

Bi Lan masih merasa berhutang budi kepada tiga orang kakek itu, maka kepada siapapun juga ia tidak sudi menceritakan usaha mereka untuk memperkosanya.

Kun Tek mengangguk-angguk, dapat membayangkan keadaan gadis itu dan diapun tidak dapat menyalahkannya, bahkan kini dapat mengerti mengapa seorang gadis seperti Bi Lan ini menjadi murid Sam Kwi yang terkenal jahat. Makin heranlah hatinya. Kalau Bi Lan menjadi murid tiga orang datuk sesat, kenapa gadis ini tidak mengikuti jejak guru-gurunya dan bahkan menjadi seorang gadis yang berwatak gagah dan begini baik budi?

“Aku mengerti sekarang Bi Lan dan maafkan kata-kataku tadi. Dan sekarang, ceritakan kenapa engkau dikeroyok oleh orang-orang lihai itu? Siapakah mereka?”

“Laki-laki yang lihai sekali itu, yang telah menendang pinggangku, masih terhitung seorang suhengku sendiri.“

“Ehh....?” Kembali Kun Tek terkejut, akan tetapi dia segera teringat siapa adanya guru-guru gadis ini, maka diapun tidak begitu heran lagi. “Siapa dia?”

“Namanya Bhok Gun, dia cucu murid mendiang Pek-bin Lo-Sian, paman guru dari Sam Kwi. Dia memang memusuhiku dan tadi dia ingin menangkapku, dibantu oleh anak buahnya, yaitu para anggauta Ang-i Mo-pang, dan dibantu lagi oleh para perwira yang aku sendiri tidak tahu siapa dan dari mana datangnya.”

“Sungguh mengherankan keadaanmu, Bi Lan. Engkau, seorang gadis perkasa yang baik budi, bukan saja menjadi murid orang-orang seperti Sam Kwi, akan tetapi juga dimusuhi oleh seorang suheng sendiri! Kenapa dia memusuhimu?”

“Karena dia cinta padaku.”

“Wah? Apalagi ini? Dia cinta padamu maka dia memusuhimu? Aku tidak mengerti.”

“Dia cinta padaku, itu menurut pengakuannya dan dia hendak memaksa aku menjadi isterinya, sekutunya untuk bekerja sama membantu seorang pembesar di kota raja. Aku menolak dan dia lalu memusuhiku.”

“Hemmm, dan itu dia katakan mencinta? Mana ada cinta macam itu?” Kun Tek berseru marah.

Melihat kemarahan pemuda itu, Bi Lan tersenyum dan tertarik untuk membicarakan soal cinta yang juga tidak dimengertinya itu dengan pemuda ini.

“Kun Tek, engkau lebih tua dariku dua tahun, tentu engkau lebih berpengalaman dan tahu tentang cinta. Apa sih sebenarnya cinta itu? Dan bagaimana seharusnya cinta itu?”

Kun Tek seringkali bicara tentang kehidupan, tentang cinta dan sebagainya dengan ibunya. Kini dia mengerutkan alisnya, sikapnya seperti seorang guru besar sedang memikirkan persoalan yang amat rumit, kemudian berkata,

“Cinta itu sesuatu yang suci, mencinta berarti tidak akan memusuhi orang yang dicinta. Mencinta orang berarti ingin melihat yang dicintanya itu hidup berbahagia.”