Ads

Selasa, 05 Januari 2016

Suling Naga Jilid 043

Sambil tertawa-tawa Bi Lan memeras rambutnya yang panjang, yang basah kuyup. Sim Houw juga melakukan hal yang sama. Memang, hal yang paling mengganggu kalau kehujanan kalau rambut panjang basah kuyup. Air akan terus mengalir dan menetes dari kumpulan air hujan yang diserap oleh rambut.

Setelah memeras rambut dan ujung-ujung pakaiannya, Sim Houw lalu mengumpulkan kayu kering yang banyak terdapat di dalam kuil itu, sisa dari mereka yang pernah bermalam di situ dan dibantu oleh Bi Lan, dia membuat api unggun. Buntalan berisi pakaian yang basah lalu diperas dan dipanaskan dekat api unggun agar cepat kering.

Bi Lan sendiri lalu memeriksa tempat itu, selagi Sim Houw sibuk mengeringkan pakaian di dekat api unggun. Kuil itu dahulunya merupakan sebuah kuil yang cukup besar dan agaknya bekas terbakar sehingga sebagian besar bangunan samping dan belakang, tempat dulu merupakan kamar-kamar para pendeta, juga dapur dan lain-lain bagian, sudah runtuh.

Kini yang tinggal hanya ruangan sembahyang di luar dan beberapa ruangan sebelah dalam, yang masih tertutup atap walaupun bocor di sana-sini. Lantainya cukup bersih karena di tempat ini sering ada juga orang-orang yang kemalaman di jalan atau mungkin kehujanan seperti yang mereka alami sore hari ini. Ada pula jerami-jerami kering bertumpuk di sudut, tentu untuk alas tidur di lantai karena lantainya tentu dingin sekali kalau malam, apalagi malam hujan.

Setelah memeriksa tempat itu dan ternyata hanya mereka berdua yang sore hari itu meneduh di tempat itu dari serangan hujan, Bi Lan kembali ke depan dan duduk pula dekat api unggun agar pakaian dan rambutnya lekas kering.

Setelah ada pakaian yang dibentangkan dekat api dan sudah kering lebih dulu, Bi Lan lalu membawa satu stel pakaiannya ke bagian belakang dalam kuil itu yang gelap, terhalang dinding dan iapun berganti pakaian. Setelah ia selesai, lalu Sim Houw juga berganti pakaian, kemudian mereka berdua duduk kembali dekat api. Enak setelah berganti pakaian kering dan terkena hawa panas api unggun, membuat tubuh terasa hangat. Akan tetapi tiba-tiba Bi Lan tertawa.

“Kenapa kau tertawa?”

“Hi-hik, apakah kau tidak mendengar apa yang kudengar?”

“Apa itu?”

“Engkau memang terlalu sopan. Kokok ayam dalam perut kita!”

Sim Houw tersenyum. Gadis ini sungguh polos. Akan tetapi, tidak seharusnyakah kita semua bersikap demikian, pikirnya. Segala peraturan sopan santun yang kita buat sendiri demi “kehormatan” sudah sedemikian berlebih-lebihan sehingga mencetak kita menjadi manusia-manusia palsu, munafik-munafik besar yang selalu berbeda lahir dengan batinnya, kepura-puraan yang hanya menguntungkan perasaan si aku yang menganggap diri agung dan terhormat, akan tetapi kadang-kadang merugikan bagi diri sendiri maupun orang lain.

Betapa seringkali kita lebih mengutamakan si aku yang hanya angan-angan belaka ini, demi nama baik dan demi kehormatan si-aku, biarlah badan ini menderita! Aneh memang, bodoh memang, akan tetapi kenyataannya demikianlah.

Sampai di jaman inipun kita semua menjadi hamba dari pada pengagungan si aku ini. Lihat saja di kanan kiri, lihat saja pada diri kita sendiri. Sepasang kaki kita menjerit dan mengeluh oleh sempitnya sepatu yang menekan demi untuk kehormatan! Peluh kita bercucuran oleh gerah dan panasnya pakaian “sopan” demi untuk kehormatan! Perut kita kalau perlu kita tekan dan kelaparan demi untuk kehormatan.

Mulut kita dipaksa senyum-senyum walau hati sedang berduka demi untuk kehormatan dan masih banyak lagi contoh-contoh yang membuat kita kadang-kadang menjadi heran sendiri karena kelakuan kita, demi kehormatan itu, seperti tidak normal lagi. Si aku yang gila kehormatan ini membuat kita menjadi manusia-manusia yang gila atau tidak normal lagi!






Sopan santun dan tata-susila memang perlu bagi kita manusia yang hidup bermasyarakat, namun tata-susila dan sopan-santun ini kita adakan bersama demi menjaga perasaan orang lain, agar tidak menyinggung dan untuk pelaksanaan dari pengertian kita tentang kesopanan dengan menggunakan akal budi. Akan tetapi kalau sudah menjurus ke arah kecondongan mencari pujian, lalu menjadi berlebih-lebihan bahkan tidak praktis lagi!

“Sayang roti keringku yang tinggal sedikit sudah habis karena terkena air hujan.” kata Sim Houw. “Akan tetapi kalau hujan berhenti, kita dapat pergi ke kota Thian-cin, dan kita membeli makanan di sana.”

Akan tetapi hujan tak juga mau berhenti sampai malam tiba! Sim Houw melihat betapa gadis itu, walaupun tidak bicara lagi tentang lapar dan makanan, namun semakin menderita karena menahan lapar.

Hawa yang nyaman karena dingin dilawan kehangatan api unggun memang membuat perut menjadi lapar sekali, lebih lagi karena baru saja mereka tadi mengeluarkan banyak tenaga untuk berkelahi. Perut mereka membutuhkan isi, akan tetapi dari mana bisa didapatkan makanan? Kuil itu berada di ujung hutan dan tempat itu sunyi, jauh dari rumah orang.

Tiba-tiba Sim Houw bangkit dari tempat duduknya dekat api unggun.
“Kau di sini sebentar, Lan-moi, aku akan pergi mencari bahan makan untuk kita.”

“Tapi, hujan masih begitu lebat di luar dan gelap pula!” Bi Lan membantah. “Kau akan kehujanan dan basah kuyup lagi. Pula, ke mana mencari bahan makanan malam-malam hujan begini?”

Sim Houw tersenyum.
“Kau tunggu sajalah. Pakaianku sudah kering semua, nanti dapat berganti lagi. Pula, bukankah sejak jaman nenek moyang kita dahulu, kaum pria yang bertugas mencari bahan makanan untuk kita yang kelaparan? Nah, aku pergi sebentar!” Sim Houw berkelebat dan lenyap dari situ.

Bi Lan tidak mau menganggur. Ia menambahkan kayu pada api unggun, kemudian dengan teliti ia mencari-cari di sekitar kuil yang bocor di sana-sini itu dan menemukan dua buah panci butut, akan tetapi belum bocor. Lumayan, pikirnya dan dengan dua panci itu, ia menadah air hujan yang langsung turun dari langit sehingga dua panci itu dapat menampung air yang jernih.

Siapa tahu kalau-kalau Sim-toako benar-benar bisa mendapatkan bahan makanan, pikirnya. Tanpa panci tempat masak, lalu bagaimana? Dan mereka juga membutuhkan air minum, dan air hujan itu cukup bersih.

Tak lama kemudian muncullah Sim Houw dari luar kuil, menggendong seekor kijang muda yang sudah mati! Tubuh dan rambutnya basah kuyup, juga pakaiannya kotor terkena lumpur, akan tetapi dia tersenyum lebar dengan wajah gembira sekali. Dia menurunkan kijang itu dari pundaknya dan memeras rambutnya.

“Wah, bagaimana kau bisa mendapatkan.... eh, lekas kau tukar pakaian dulu, toa-ko, kau basah semua dan pakaianmu kotor. Jangan-jangan kau bisa masuk angin!”

Kata Bi Lan dengan girang akan tetapi juga khawatir, lupa bahwa orang yang memliki kepandaian seperti Sim Houw tentu memiliki pula kesehatan yang baik dan daya tahan yang jauh lebih kuat dari pada orang-orang biasa.

Akan tetapi Sim Houw menurut, menyambar satu stel pakaian kering dan berlari ke belakang. Ketika dia kembali dengan pakaian yang kering dan rambutnya sudah diperas dari air hujan, dia melihat bahwa Bi Lan sudah mulai menguliti kijang itu dengan menggunakan kedua tangannya, menarik dan merobeknya begitu saja!

“Lan-moi, kita pergunakan alat, jangan hanya dengan tangan begitu. Bagaimana kau akan memotong-motong dagingnya?”

“Aku tidak punya pisau.”

“Suling ini dapat dipakai sebagai pedang dan....”

“Hushh, jangan pandang rendah benda pusaka, toako. Sudahlah, kita kuliti binatang ini, kita patahkan saja keempat kakinya dan kita panggang pahanya. Kita tidak mungkin dapat memasaknya karena tidak ada bumbu.”

“Wah, sayang, bumbu-bumbuku juga habis dalam buntalan pakaian oleh air hujan. Tapi tunggu, dahulu aku pernah menyimpan sisa garam di ujung sana. Tanpa garam, akan seperti apa rasanya?”

Diapun mencari-cari dan akhirnya dengan girang menemukan garam itu yang berada dalam sebuah poci kecil sehingga masih bersih dan utuh. Sibuklah kedua orang itu kini memanggang empat buah paha kijang yang sudah digarami dan tak lama kemudian, terciumlah bau sedap yang membuat perut mereka terasa semakin lapar!

Habislah daging paha kijang yang empat buah banyaknya itu oleh mereka, ditambah minum air hujan yang sudah dimasak sampai mendidih. Dan perut kenyang mendatangkan kantuk! Mulailah mereka bekerja untuk membuat tempat tidur dengan menumpuk jerami kering di lantai.

“Kau tidurlah, Lan-moi, biar aku duduk di sini. Engkau terlalu lelah dan malam ini kita tidak mungkin dapat mencari tempat bermalam lain lagi. Hujan masih terus turun. Kau tidurlah.”

“Dan kau, Sim-toako?”

“Aku sudah biasa beristirahat sambil duduk, dan aku perlu mengulang kembali pengobatan dalam tubuhku.”

Kepercayaan Bi Lan terhadap Sim Houw sudah demikian mendalam sehingga biarpun mereka hanya berdua saja malam itu di satu ruangan, di tempat yang gelap dan sunyi, namun tidak ada sedikitpun kekhawatiran di dalam hatinya. Bahkan membayangkan yang bukan-bukan saja sama sekali tidak pernah memasuki benaknya, maka segera ia dapat tidur dengan pulasnya, rebah miring meringkuk karena terasa hawa dingin yang dihembus angin dari luar.

Diam-diam Sim Houw yang duduk dekat api unggun memandang kepadanya. Ada rasa haru yang besar sekali dan mendalam di dasar hatinya melihat gadis itu tidur meringkuk dengan bibir tersenyum, begitu pasrah, begitu lemah dan tak berdaya. Seorang gadis yatim piatu, seperti dia, seorang gadis yang secara aneh muncul dalam kehidupannya.

Sama sekali tak pernah dia menyangka bahwa dalam hidupnya, dia akan berduaan dengan seorang gadis seperti pada malam hari ini. Melakukan perjalanan bersama, kehujanan bersama, makan berdua dan kini dia memandangi gadis yang tidur pulas itu.

Timbul rasa kasihan di hatinya melihat Bi Lan meringkuk, menekuk kaki dan menjepit tangan di antara pahanya. Dia mempunyai sebuah baju mantel yang lebar dan yang kini sudah kering. Diambilnya mantelnya itu dan diselimutkannya pada tubuh Bi Lan, menutupi tubuh dari leher sampai ke kaki. Dia melakukannya begitu hati-hati dan perlahan-lahan agar tidak membangunkan Bi Lan dari tidurnya yang nyenyak.

Akan tetapi, tubuh yang terlatih sejak kecil itu amat peka terhadap sentuhan dari luar dan urat syaraf tubuh itu selalu dalam keadaan siap terhadap bahaya dari luar sehingga dalam tidur sekalipun, agaknya syaraf-syaraf itu tetap bersiap siaga. Maka begitu merasa tubuhnya tersentuh kain, walaupun tadinya tidak berprasangka yang bukan-bukan, sentuhan ini cukup membuat Bi Lan sadar dari tidurnya.

Akan tetapi, ia segera memejamkan matanya kembali dan pura-pura masih pulas ketika ia melihat bahwa yang menyentuh tubuhnya itu adalah hamparan baju mantel yang diselimutkan oleh Sim Houw di atas tubuhnya. Diam-diam gadis ini merasa berterima kasih dan senyumnya bertambah manis ketika ia terseret penuh oleh kepulasan.

**** 043 ****







OBJEK WISATA MANCA NEGARA

 Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
 Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
 Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
 Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
 Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
 Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
 Taj Mahal
Taj Mahal India
 Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
 Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
 Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
 Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
 Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
 Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
 Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
 Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
 Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
 Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani

===============================
 Biara Meteora Yunani

 Musium Amir Temur Uzbekistan