Ads

Selasa, 05 Januari 2016

Suling Naga Jilid 044

Di jaman para kaisar masih berkuasa, para pembesar yang bertugas mencatat sejarah, selalu hanya mencatat yang baik-baik saja tentang kaisar dan keluarganya. Kalau ada catatan sejarah yang memburukkan seorang penguasa, maka catatan itu sudah pasti dilakukan oleh pihak yang membencinya. Oleh karena itu, maka sukarlah dipercaya kebenaran catatan sejarah di dunia ini.

Seperti catatan sejarah tentang pembangunan dan tentang kebesaran kerajaan Mancu yang semakin berkembang. Akan tetapi sejarah tidak mencatat betapa banyaknya korban jatuh dari pihak mereka yang menentang kaisar, baik karena urusan pribadi maupun karena kebangkitan mereka yang merasa dijajah dan hendak menumbangkan kekuasaan Mancu.

Setiap orang manusia, baik dia kaisar sekalipun, tentu memiliki dua macam sifat yang bertentangan kalau dia sudah dinilai, yaitu baik dan buruk, kelebihan dan kekurangannya, tentu saja bergantung kepada pendapat si penilai berdasarkan rasa suka atau tidak suka dari si penilai sendiri.

Demikian pula Kaisar Kian Liong. Pada masa itu, dialah orang yang paling tinggi kedudukannya, yang paling berkuasa sehingga memburukkan namanya merupakan suatu pemberontakan dan dosa besar, dan orang yang berani melakukannya dapat saja dipenggal lehernya sebagai hukumannya. Oleh karena itu, catatan riwayat dan sejarahnya hanya yang baik-baik saja.

Betapapun juga, orang tak mungkin menyimpan rahasia untuk selamanya. Akhirnya membocor keluar juga dari istana segala perilaku kaisar itu yang dianggap tidak patut. Di antaranya adalah hubungan kaisar di masa tuanya itu dengan Hou Seng yang tampan, yang kini semakin tinggi saja kedudukannya dan semakin besar kekuasaannya. Bahkan di luar sudah terdengar bisik-bisik bahwa Hou Seng inilah orangnya yang akan diangkat menjadi Perdana Menteri dalam waktu dekat. Dan bisik bisik atau desas-desus ini memang tidak merupakan kabar bohong begitu saja.

Bukan saja Hou Seng menjadi “kekasih” kaisar. akan tetapi bahkan dia telah dapat mempengaruhi kaisar sehingga semua urusan dalam istana sudah dipercayakan kepadanya. Dialah yang menjadi orang ke dua setelah kaisar di istana itu, bahkan semua pelaksanaan peraturan dan lain-lain berada di tangannya dan kaisar hanya mendengar dan percaya akan laporan kekasih ini saja.

Ambisi merupakan racun yang sekali mencengkeram batin kita, tidak mudah untuk dilepaskan lagi. Ambisi merupakan kemurkaan, seperti binatang babi, makin diberi makan, semakin kelaparan saja. Makin banyak yang didapat, semakin bertambah keinginan hati yang dicengkeram ambisi.

Demikian pula dengan Hou Seng. Dia tadinya hanya seorang tukang pikul tandu kaisar, setelah dia diangkat menjadi kekasih kaisar dan menjadi “penasihat” kaisar, berarti dia sudah memperoleh kemajuan yang luar biasa. Namun, dia masih jauh dari pada puas karena dia melihat kemungkinan-kemungkinan bahwa dia akan lebih besar lagi. Dan untuk mencapai ambisi atau cita-citanya itu, dia tidak hanya dapat mengandalkan kepercayaan kaisar kepadanya.

Terlalu banyak musuhnya yang ingin melihat dia jatuh kembali ke bawah. Banyak menteri-menteri yang tidak suka kepadanya, bahkan ada yang secara halus berani memperingatkan kaisar tentang bahayanya kalau terlalu percaya kepada seseorang dan menyerahkan segala kekuasaan di tangan Hou Seng mengenai urusan dalam istana.

Hou Seng semakin cerdik dan mulai memperkuat diri. Bukan hanya dengan cara makin menempel kaisar, akan tetapi juga diam-diam dia mengumpulkan tenaga-tenaga yang boleh diandalkan, selain untuk mengawal dan melindungi dirinya, juga untuk melaksanakan perintah-perintah dalam menghadapi musuh-musuhnya. Beberapa orang musuhnya sudah dilenyapkan, tewas secara aneh. Tentu saja tidak aneh bagi Hou Seng.

Dia telah memelihara orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan kekejaman seperti iblis. Tentu saja dengan bayaran yang amat tinggi, memberi kemewahan dan memenuhi permintaan apa saja dari orang-orang sakti itu, juga memberi janji bahwa kalau dia dapat menjadi Perdana Menteri, apalagi kalau kelak dapat menjadi kaisar, dia tidak akan melupakan para pembantu itu dan tentu akan memberi kedudukan tinggi kepada mereka!

Pada suatu malam, dengan pengawalan ketat, Hou Seng keluar dari istana menuju ke sebuah rumah tak jauh dari kompleks istana. Rumah ini merupakan sebuah gedung yang dikelilingi pagar tembok tinggi dan nampak terjaga oleh penjaga-penjaga yang berpakaian seragam. Rumah ini adalah milik Hou Seng, merupakan rumah peristirahatan, satu di antara banyak rumah yang dimilikinya. Dia sendiri tinggal di sebuah gedung seperti istana saja mewahnya, bersama isterinya!

Benar, Hou Seng telah beristeri. Hal ini adalah karena Kaisar Kian Liong merasa risi juga karena banyaknya menteri yang menyindirkan hubungannya dengan Hou Seng dan untuk menutupi atau sekedar mengurangi santernya desas-desus, dia memerintahkan kepada Hou Seng untuk menikah dengan seorang wanita dayang pilihan dari istana.

Tentu saja Huo Seng menerima perintah ini dengan hati senang. Bayangkan saja, selain memperoleh kekayaan dan kehormatan, juga dia memperoleh seorang isteri yang cantik “hadiah” dari kaisar sendiri. Dengan adanya isteri, tentu dia dapat memelihara banyak selir dan kini tak perlu lagi dia bersembunyi-sembunyi kalau dia menginginkan seorang wanita. Pernikahannya itu telah berlangsung tiga tahun yang lalu dan kini dia telah mendapatkan beberapa orang anak dari isterinya dan selir-selirnya.

Kereta yang ditumpangi Hou Seng itu memasuki halaman rumah setelah pintu gerbangnya dibuka oleh para penjaga. Pintu gerbang lalu ditutup kembali dan nampak seorang laki-laki berusia kurang lebih tigapuluh lima tahun, berwajah tampan dan cerdik, bermuka halus seperti muka perempuan. Itulah Hou Seng, dengan pakaiannya yang gemerlapan. Dia seorang laki-laki pesolek, mukanya dirias dan pakaiannya mewah!

Kiranya di dalam keretanya itu bersembunyi dua orang wanita berusia kurang lebih tiga puluhan tahun, cantik dan bertubuh ramping dan gesit. Mereka ini adalah dua orang pengawal pribadi yang dapat menjadi apanyapun juga. Menjadi selir, juga pelayan atau pengawal yang melindungi keselamatannya. Dua orang wanita ini adalah ahli-ahli silat yang pandai dan sengaja dipilih oleh Hou Seng, bukan hanya karena kecantikan mereka, akan tetapi terutama sekali karena ketangguhan mereka melindungi keselamatannya.

Karena itu, dua orang pengawal pribadi ini tidak pernah meninggalkannya, ke manapun dia pergi. Ketika Hou Seng turun dari kereta, dua orang wanita ini turun sebelum dan sesudahnya, menjaga dari depan belakang atau kanan kiri penuh kewaspadaan.

Dari pintu depan yang terbuka dari rumah gedung itu muncullah seorang nenek yang kalau orang melihatnya di tempat yang tidak begitu terang tentu akan mengiranya seorang wanita yang masih belum tua benar. Padahal nenek ini usianya sudah kurang lebih tujuh puluh tahun! Selain gerak-geriknya masih gesit dan sikapnya yang genit, juga mukanya memakai lapisan bedak tebal dan pemerah bibir dan pipi, di samping penghitam alisnya yang sudah habis bulunya itu. Pakaiannya juga mewah dan nenek pesolek ini memegang sebatang kebutan yang gagangnya terbuat dari emas dan bulunya yang putih lemas itu tidak boleh dipandang ringan.






Itu bukan kebutan biasa pengusir lalat, melainkan sebuah senjata yang amat ampuh karena bulu-bulu kebutan itu terbuat dari bulu seekor monyet putih yang hanya terdapat di daerah Himalaya bagian barat. Menurut dongeng, monyet putih di daerah itu memiliki bulu yang amat kuat sehingga tahan bacokan, membuat monyet itu kebal! Entah benar tidaknya dongeng itu, akan tetapi yang jelas, kebutan di tangan nenek inipun selain mampu untuk membunuh orang, juga dapat menangkis segala macam senjata tajam yang bagaimana ampuhpun tanpa putus sedikitpun.

Begitu bertemu dengan nenek yang masih nampak ramping tubuhnya dan cantik wajahnya karena dirias itu, Hou Seng memberi hormat berbareng dengan nenek itu yang juga menjura dengan merangkap kedua tangan di depan dada sambil memegangi kebutannya yang bulunya menjuntai ke bawah dengan lemasnya. Nampaknya seorang nenek-nenek yang tidak berdaya saja.

Akan tetapi, Hou Seng yang merupakan orang kedua setelah kaisar di dalam istana, kelihatan begitu menghormatnya, apalagi dua orang pengawal pribadinya itu jelas memperlihatkan sikap jerih sekali ketika mereka memandang kepada nenek itu dan mengerling ke arah kebutan berbulu putih bergagang emas itu. Dalam hati mereka selalu timbul pertanyaan berapa ribu nyawa sudah yang dipaksa meninggalkan badannya oleh kebutan nenek itu, setiap kali mereka bertemu dengan Kim Hwa Nio-nio, demikian nama nenek itu.

Kim Hwa Nio-nio telah menjadi pembantu utama dari Hou Taijin (Pembesar Hou) dan memperoleh kepercayaan dari kekasih kaisar ini karena Kim Hwa Nio-nio telah berulang kali membuktikan kesetiaannya. Sudah ada enam orang pembesar rendahan dan dua orang pembesar tingkat menteri yang tiba-tiba saja tewas begitu saja, pada kemarin harinya Kim Hwa Nio-nio yang menerima perintah dari Hou Taijin untuk melenyapkannya!.

Selain itu, juga Kim Hwa Nio-nio yang mengatur penjagaan atau pengawal-pengawal rahasia dari Hou Taijin. Pengawal-pengawal ini adalah orang-orang yang dipimpin oleh Kim Hwa Nio-nio untuk melakukan penjagaan secara rahasia. Dan kini Kim Hwa Nio-nio menerima tugas yang lebih penting lagi, yalah mengumpulkan dan mengundang tenaga-tenaga yang tangguh dari para tokoh dunia hitam untuk memperkuat kedudukan Hou Taijin.

Siapakah Kim Hwa Nio-nio? Nenek yang sudah tua akan tetapi masih suka mengejar kesenangan melalui kekuasaan di kota raja ini adalah guru dari Bhok Gun! Nenek ini pernah menjadi murid merangkap kekasih dari mendiang Pek-bin Lo-sian. Akan tetapi setelah ia berhasil menguras semua ilmu dari Pek-bin Lo-sian, Kim Hwa Nio-nio lalu meninggalkan gurunya yang suka bertapa itu untuk bertualang di kota-kota besar dan mengumbar nafsunya dengan pria-pria yang lebih muda dan tampan, yang dipilih dan disukainya.

Dengan kepandaiannya yang hebat, ia dapat memaksa setiap pria yang dipilihnya untuk melayaninya. Setiap penolakan tentu mengakibatkan pria itu tewas oleh menyambarnya bulu-bulu kebutan itu. Bahkan setiap kekecewaan dari pria yang melayaninya juga ditebus dengan nyawanya.

Dalam hal kejahatan dan kekejamannya, Kim Hwa Nio-nio tidak kalah oleh tiga orang datuk sesat yang masih bersumber dari satu perguruan dengannya, yaitu Sam Kwi. Setelah usianya mulai tua, Kim Hwa Nio-nio memilih Bhok Gun untuk menjadi muridnya, dan hanya pemuda inilah yang mewarisi sebagian besar dari ilmu-ilmunya.

Akan tetapi, setelah usianya kurang lebih tujuh puluh tahun, ia sudah kehilangan kesenangan-kesenangan masa mudanya dan kini satu-satunya kesenangan yang dikejarnya adalah kedudukan dan kekuasaan. Karena itulah ia pergi ke kota raja dan mendengar akan kelihaian Hou Taijin yang berhasil menguasai kaisar, ia lalu melakukan pendekatan dan akhirnya, melihat kehebatan ilmu nenek ini, ia berhasil menjadi pembantu utama Hou Seng atau Hou Taijin.

“Selamat malam, Taijin,” nenek itu berkata dan suaranya terdengar halus, “dan silahkan masuk.”

Pembesar yang mempunyai sepasang mata lincah membayangkan kecerdikannya itu mengangguk dan langsung bertanya,

“Benarkah yang datang Lama itu?” Dia mencari-cari dengan pandang matanya.

“Begitu mendengar berita yang dikirim oleh locianpwe, aku langsung saja ke sini, ingin bertemu dan berkenalan sendiri.”

Kim Hwa Nio-nio mengangguk.
“Bijaksana sekali tindakan Taijin, karena memang akan menimbulkan kecurigaan kalau dia yang belum dikenal ini yang menghadap kepada Taijin. Sekarangpun dia sudah siap menghadap kalau menerima perintah Taijin.”

“Baik, locianpwe, minta kepada lo-suhu itu untuk menemui aku di ruangan tamu.”

Hou Taijin lalu diiringkan dua orang pengawalnya menuju ke ruang tamu, sedangkan Kim Hwa Nio-nio lalu mengundurkan diri untuk memberi tahu kepada tamunya. Ketika Kim Hwa Nio-nio bersama tamunya pergi ke ruangan, di situ telah menanti Hou Taijin bersama dua orang pengawal pribadi yang tak pernah berpisah darinya, dua orang wanita cantik itu kini berdiri seperti patung di kanan kirinya, agak di belakang tubuh pembesar itu.

Para pengawal, tidak kurang dari dua belas orang, berjaga di dalam ruangan itu pula, berdiri dengan sikap hormat, sedangkan beberapa orang pengawal lagi mondar-mandir di luar ruangan ini, mereka adalah pengawal-pengawal yang tidak mengenakan pakaian seragam dan yang selalu membayangi kemanapun Hou Seng pergi.

Pengawal-pengawal inilah anak buah Kim Hwa Nio-nio dan karena mereka semua yang berpakaian preman itu mempunyai kartu pengenal yang dibubuhi cap dari Hou Taijin sendiri, maka para penjaga tempat-tempat yang dikunjungi Hou Taijin selalu membiarkan mereka menyelinap masuk. Pendeknya, pengawalan yang dilakukan untuk menjaga keselamatan Hoa Taijin ini tidak kalah ketatnya dengan pengawalan atas diri kaisar sendiri.

Hou Taijin adalah seorang yang cerdik dan pandai menggunakan orang. Melihat bahwa tamu yang datang bersama Kim Hwa Nio-nio itu seorang kakek yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar dengan perut gendut, kepalanya gundul dan jubahnya lebar dengan kotak-kotak berwarna kuning, mukanya begitu menyeramkan seperti muka seekor singa, dengan cambang bauk yang warnanya kekuning-kuningan, matanya terbelalak mengandung sinar mata tajam, dia tahu bahwa tamu ini memang bukan orang sembarangan, seperti yang telah dikatakan oleh Kim Hwa Nio-nio kepadanya.

Dia tahu siapa kakek ini, yalah seorang pendeta Lama dari Tibet yang juga mempunyai niat memberontak terhadap penguasa-penguasa lama di Tibet. Cocok sekali kalau orang ini bisa menjadi pembantunya, bersama Kim Hwa Nio-nio, pikirnya. Dan agaknya makin mudah pula memasukkan seorang pendeta ke dalam istana, dengan alasan sebagai penasihat kebatinan, pengusir roh jahat, pengajar agama dan sebagainya, seperti yang dilakukan terhadap Kim Hwa Nio-nio yang juga olehnya diperkenalkan kepada kaisar sebagai seorang pertapa wanita dari Pegunungan Himalaya yang sakti.

Setelah pendeta Lama dan Kim Hwa Nio-nio itu tiba di dekat meja, Hou Taijin bangkit berdiri untuk menyambut dan pendeta yang bukan lain adalah Sai-cu Lama itu segera memberi hormat, merangkapkan kedua tangan depan dada sambil berkata dengan suara seperti berdoa,

“Omitohud semoga Hou Taijin mendapat berkah usia panjang dan rejeki yang berlimpah-limpah!”

Hou Seng tersenyum.
“Selamat datang, lo-suhu dan silahkan duduk. Silahkan, locianpwe.”

Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nio-nio mengambil tempat duduk setelah nenek itu dengan isarat tangannya menyuruh anak buahnya untuk keluar dari ruangan itu. Para pengawal segera pergi dan hanya berjaga di luar ruangan tamu itu dengan ketatnya. Yang berada diruang tamu kini hanyalah Hou Taijin bersama dua orang selir yang mengawalnya, Kim Hwa Nio-nio dan Sai-cu Lama.

“Hou Taijin, pinceng (saya) adalah Sai-cu Lama dari Tibet dan saya memenuhi undangan Kim Hwa Nio-nio yang sudah pinceng kenal baik untuk menghadap taijin. Harap maafkan kelancangan pinceng.”

Hou Seng tertawa bergelak, hatinya senang sekali mendengar seorang kakek yang menurut Kim Hwa Nio-nio amat sakti ini merendahkan diri.

“Ah, tidak ada yang perlu dimaafkan karena memang saya yang minta kepada locianpwe Kim hwa Nio-nio untuk mengundang losuhu. Losuhu telah melakukan perjalanan yang amat jauh dan melelahkan. Untuk menyambut kedatangan losuhu, saya akan mengadakan perjamuan kecil sebagai ucapan selamat datang.”

Hou Taijin mengangguk kepada Kim Hwa Nio-nio untuk memberi tanda bahwa perjamuan itu boleh dimulai.

“Kita dapat bercakap-cakap setelah makan minum.”

“Maafkan pinceng, taijin. Sebelum itu, pinceng juga ingin mempersembahkan sesuatu kepada taijin. Seorang gadis remaja berusia dua belas tahun yang cantik jelita sekali, yang kebetulan pinceng temukan di dalam perjalanan pinceng.”

Hou Seng mengerutkan alisnya. Betapapun juga pernyataan pendeta Lama itu agak menyinggung kehormatannya. Pendeta ini berani mengatakan akan mempersembahkan seorang gadis remaja yang ditemukannya begitu saja di tengah perjalanan? Persembahan seperti itu merendahkan martabatnya, betapa cantikpun gadis itu, dan tidak patut untuk di ketengahkan dalam pertemuan dan perkenalan pertama sebagai suatu persembahan kehormatan.

Agaknya Kim Hwa Nio-nio melihat ketidak senangan hati majikannya. Iapun cepat-cepat berkata,

“Hendaknya paduka maklumi bahwa gadis remaja yang dibawa oleh rekan saya Sai-cu Lama itu bukan gadis biasa, melainkan derajatnya jauh lebih tinggi dari pada seluruh wanita yang telah paduka miliki. Ia itu adalah keturunan keluarga para pendekar Pulau Es yang terkenal itu!”

“Ahh....!” Wajah pembesar itu berseri bangga dan matanya terbelalak. “Bukan main kalau begitu! Lekas bawa ke sini, saya ingin melihatnya!”

Kim Hwa Nio-nio memberi isyarat dengan tepuk tangan lima kali. Tak lama kemudian pintu sebelah kanan ruangan tamu itu terbuka dan masuklah dua orang pengawal bertubuh tinggi besar. Di antara mereka terdapat Suma Lian, yang mereka pegang pada pangkal lengannya dari kanan kiri dan mereka jinjing. Kaki dan tangan gadis cilik itu terbelenggu!

Jelaslah bahwa Suma Lian tak mampu menggerakkan kaki tangannya, akan tetapi sepasang matanya hidup, bersinar penuh keangkuhan dan kemarahan, berdiri tegak ia ketika dilepas oleh kedua orang yang segera memberi hormat lalu meninggalkan lagi ruangan itu dan menutupkan pintunya dari luar. Pandang mata gadis cilik itu ditujukan kepada Sai-cu Lama dengan sinar mata penuh kemarahan dan kebencian.

Seperti kita ketahui, ketika Sai-cu Lama kewalahan juga karena sambil menggendong gadis cilik itu dia menghadapi pengeroyokan nenek Teng Siang In yang masih nekat walaupun sudah terluka dan Hong Beng, pemuda ini berhasil membebaskan totokan dari tubuh Suma Lian dengan sambitan kerikil.

Dan setelah terbebas dari totokan, diam-diam Suma Lian mengambil tusuk konde atau hiasan rambutnya yang runcing dan menancapkan benda kecil itu di tengkuk Sai-cu Lama. Kalau saja ia tidak merasa ngeri melihat muncratnya darah dari tengkuk itu sehingga mengakibatkan tangannya lemas, tentu tusukannya itu akan lebih dalam lagi dan andaikata tidak sampai menewaskan kakek itupun tentu akan mengakibatkan luka yang cukup berat.

Sai-cu Lama terkejut, kesakitan dan berhasil menampar gadis itu pingsan, lalu melarikan diri sambil tetap membawa tubuh Suma Lian dan tengkuk yang bercucuran darah! Dia tahu bahwa kalau sampai keluarga Suma mengetahui tentu dia akan dikejar dan beratlah rasanya menghadapi mereka tanpa bantuan. Dia berlari terus dengan cepatnya, akan tetapi dia cerdik. Setelah keluar dari pintu gerbang utama, dia lalu mengitari tembok dusun menuju ke selatan, kemudian-membelok ke timur memasuki hutan lebat.

Jejaknya hilang dan suami isteri Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng melakukan pengejaran ke utara terus karena ada yang melihat pendeta itu lari keluar dari pintu gerbang utara.

Luka di tengkuknya hanya mengeluarkan darah, namun tidak berbahaya. Ketika dia memeriksa benda yang menancap di tengkuknya, dia terkejut. Benda itu tentu akan dapat menancap lebih dalam lagi, pikirnya. Akan tetapi kenapa tidak? Padahal, seorang gadis biarpun baru berusia duabelas tahun seperti anak ini, tentu mampu menusuk lebih kuat. Mengapa gadis cilik ini tidak menusuknya lebih kuat? Pikiran ini membuat kemarahannya berkurang terhadap Suma Lian.

Dia menurunkan tubuh Suma Lian, lalu demi keamanan, membelenggu kaki tangan gadis itu dengan tali pengikat yang kuat. Baru dia menotoknya beberapa kali dan membuatnya sadar kembali. Begitu sadar, Suma Lian meronta, akan tetapi tak mampu melepaskan ikatan kaki tangannya dan ia hanya memandang dengan mata melotot.

“Kau manusia busuk, manusia jahat!” bentaknya.

Sai-cu Lama tertawa.
“Ha-ha-ha, anak baik. Kalau aku manusia busuk dan jahat, kenapa engkau tidak jadi membunuhku? Kenapa tusukanmu kepada tengkukku itu hanya setengah tenaga saja, tidak sungguh-sungguh?” katanya sambil mengeluarkan obat bubuk dan menempelkan obat itu kepada luka kecil di tengkuknya yang segera mengering. “Padahal, benda ini runcing dan keras, dengan sedikit tenaga saja tengkukku dapat ditembus!” katanya dan sekali menggerakkan tangan, perlahan-lahan dia menusukkan tusuk sanggul itu ke dalam sebatang pohon. Benda kecil itu amblas sampai tidak nampak lagi!

“Huh, sayang aku menjadi tidak sampai hati melihat darah muncrat, dan aku merasa malu harus berbuat curang. Kalau tidak, engkau tentu sudah mati dan aku terbebas!” kata Suma Lian, kini baru merasa menyesal mengapa ia tadi tidak menggunakan seluruh tenaganya dan mengeraskan hatinya saja.

“Ha-ha, sudah kuduga! Engkau seorang gadis manis yang baik hati. Ha-ha-ha, dan karena itulah engkau sampai sekarang masih hidup. Kalau engkau menusuk lebih keras, sebelum mati tentu tamparanku akan meremukkan kepalamu tadi. Dan sekarangpun, karena kebaikan hatimu itu, aku tidak akan membunuhmu, tidak, aku malah membuat engkau hidup mulia. Mari....!”

Dengan tangan kirinya dia menyambar tubuh gadis cilik itu dan dipanggulnya lalu dibawa lari.

“Lepaskan aku! Lepaskan....!”

Suma Lian meronta dan menjerit, akan tetapi pendeta Lama itu menggunakan jari tangan menekan tengkuknya dan iapun tidak mampu mengeluarkan suara lagi.

Demikianlah, Sai-cu Lama membawa Suma Lian ke kota raja. Di dalam perjalanan itu, dia menyembunyikan tubuh yang sudah dibelenggu dan ditotoknya itu ke dalam sebuah kantung kain yang diberi lubang-lubang untuk pernapasan gadis itu, dan sekali-sekali, dia harus memaksa gadis itu untuk makan, dengan membuka mulut gadis itu dan menuangkan bubur ke dalam perutnya. Tanpa paksaan, Suma Lian yang keras hati itu tidak mau makan atau minum!

Setelah tiba di gedung tempat tinggal Hou Taijin yang menjadi sarang Kim Hwa Nio-nio yang menghubunginya, Sai-cu Lama disambut dengan girang oleh Kim Hwa Nio-nio, apalagi ketika temannya itu memberitahukan bahwa gadis cilik yang ditawannya adalah keturunan para pendekar Pulau Es.

Para datuk sesat memang selalu memusuhi para pendekar, terutama sekali keturunan keluarga Pulau Es sejak dahulu, sejak nenek moyang mereka, telah menjadi musuh besar yang harus selalu ditentang.

“Bagus, tentu Hou Taijin akan suka sekali!” serunya. “Atau kalau tidak, hemmm.... anak ini bertulang baik, bagaimana kalau ia menjadi muridku saja?”

“Ha-ha-ha, sungguh serupa benar jalan pikiran kita,” kata Sai-cu Lama. “Akupun mempunyai pikiran demikian. Amat bangga kalau kita dapat mempunyai murid keturunan para pendekar Pulau Es, kita didik sedemikian rupa sehingga kelak ia menjadi tokoh dari golongan kita yang memusuhi para pendekar. Ha-ha-ha!”

“Bagus! Akupun ingin terbawa namaku dalam jasa itu. Bagaimana kalau kita didik anak itu bersama-sama?”

“Omitohud, usia tuamu tidak menghilangkan kecerdikanmu, seperti tidak pula melenyapkan kecantikanmu, Kim Hwa Nio-nio!”

Sai-cu Lama memuji dan keduanya lalu membuat persiapan untuk memberi laporan kepada Hou Taijin bahwa tamu dari Tibet yang diundang telah tiba. Dan seperti kita ketahui, Hou Taijin demikian girang mendengar ini sehingga dia datang sendiri untuk menemui tamu itu dan mengenalnya sendiri karena oleh Kim Hwa Nio-nio sudah diceritakan bahwa tamu yang berjuluk Sai-cu Lama dari Tibet ini memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, bahkan tidak kalah oleh Kim Hwa Nio-nio sendiri, demikian kata nenek itu.

“Omitohud...., anak baik, engkau menghadap Hou Taijin, harus berlutut memberi hormat!” kata Sai-cu Lama.

Akan tetapi Suma Lian tetap berdiri dengan mata melotot, sedikitpun tidak takut dan ketika ia memandang kepada orang berpakaian mewah yang duduk di depan pendeta Lama itu, matanya memandang penuh selidik. Mata anak ini demikian tajam sehingga hati pembesar itu merasa kecut juga. Akan tetapi pada saat itu, seorang di antara dua orang selir yang menjadi pengawalnya itu berbisik dekat telinganya.

“Taijin harus bersikap baik kepadanya, dan suruh membebaskan ikatan kaki tanganya, agar mudah ia dijinakkan.”

Hou Taijin mengangguk-angguk, lalu sambil memandang kepada gadis cilik itu, dia berkata,
“Losuhu, kasihan sekali puteri kecil ini dibelenggu. Harap lepaskan belenggu kaki tangannya!”

“Taijin, biarpun masih kecil, ia sudah lihai dan berbahaya, juga liar seperti seekor kuda binal!”

“Sai-cu Lama, perintah Taijin harus kita laksanakan tanpa membantah.”

Tiba-tiba Kim Hwa Nio-nio memperingatkan temannya yang belum tahu akan watak Hou Taijin yang tidak mau dibantah.

Mendengar ini, Sai-cu Lama mengangguk dan cepat dia menghampiri Suma Lian yang berdiri tegak. Untuk mendemonstrasikan kelihaiannya, dengan jari-jari tangan ringan sekali gerakannya, dia membikin putus semua tali, seolah-olah tali-tali itu hanya sehelai benang saja!

“Adik yang baik, ke sinilah dan jangan takut. Kami tidak akan menyusahkanmu lagi,” berkata Hou Seng.

Memang orang ini pandai sekali bersandiwara dan mendengar suaranya yang lemah lembut, melihat wajahnya yang kini memperlihatkan kesungguhan dan keramahan, Suma Lian mulai percaya bahwa orang itu tentu memiliki niat yang baik terhadap dirinya. Ia memang tidak mendengarkan apa yang dipercakapkan oleh Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nio-nio bahwa dirinya akan diberikan kepada pembesar Hou Seng untuk dijadikan selir!

Maka, mengingat bahwa ia berhadapan dengan seorang pembesar di kota raja, seperti yang didengarnya tadi dari para pengawal bahwa ia akan dihadapkan kepada seorang pembesar istana kota raja, ia lalu menjatuhkan diri berlutut.

Memang selain ilmu silat tinggi, Suma Lian diajar tentang ilmu baca tulis, juga tentang kesopanan sehingga ia mampu bersikap semestinya ketika berhadapan dengan seorang pembesar, apalagi kalau mengingat bahwa pembesar ini bersikap baik, bahkan telah menolongnya dari belenggu.

“Taijin, harap paduka suka mengirim saya kembali ke rumah orang tua saya, atau membiarkan saya pergi dari sini. Untuk budi ini saya Suma Lian tidak akan melupakanmu.”

Kembali terdengar bisik-bisik dari seorang selir di belakangnya itu. Hou Seng mengangguk-angguk lagi.

“Nona Suma Lian, membiarkan engkau pergi seorang diri sungguh amat berbahaya. bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa atas dirimu? Berarti aku ikut bertanggung jawab. Sai-cu Lama telah menyerahkan engkau kepadaku, berarti akulah yang kini melindungimu. Jangan khawatir, sekali waktu pasti aku akan mengantar engkau kembali ke tempat tinggalmu, akan tetapi sementara ini, selagi aku masih sibuk, biarlah engkau tinggal di sini bersama Kim Hwa Nio-nio. Akan tetapi engkau harus berjanji tidak akan memberontak atau mencoba untuk melarikan diri.”

Suma Lian adalah seorang anak yang cerdik. Kalau tadi ia memperlihatkan sikap marah, itu adalah karena Sai-cu Lama selalu bersikap keras kepadanya dan ia membenci pendeta yang menculiknya itu. Kini ia melihat bahwa tidak ada pilihan lain baginya kecuali mentaati perintah pembesar ini, kalau ia tidak ingin diperlakukan kasar lagi. Ia mengerti bahwa ia menjadi semacam tahanan, akan tetapi jauh lebih baik tertahan dalam keadaan bebas dari pada dibelenggu terus atau disekap terus dalam kamar tahanan. Dalam keadaan bebas, tentu banyak kesempatan terbuka baginya untuk melarikan diri!

“Baiklah Taijin, saya berjanji takkan memberontak dan terima kasih atas kebaikan Taijin”

“Locianpwe,” kata Hou Taijin dengan suara halus kepada Kim Hwa Nio-nio, “Harap locianpwe atur dan serahkan adik ini kepada para pengasuh lebih dulu, sediakan kamar yang baik, pakaian yang cukup dan makan yang enak, setelah itu kami masih menanti locianpwe di sini untuk mengadakan perundingan lebih lanjut.”

“Baik, Taijin.” Kim Hwa Nio-nio lalu menggandeng tangan Suma Lian. “Nah, kalau sejak kemarin engkau tidak memberontak, tentu kami sudah memperlakukan engkau dengan baik. Marilah, anak manis.”

Kalau saja Sai-cu Lama yang menggandengnya, biarpun kini ia tidak memberontak lagi, Suma Lian tentu tidak akan mau. Akan tetapi ia tidak membenci nenek ini walaupun ia juga tidak menyukainya, dan iapun menurut saja ketika digandeng dan hendak diajak keluar dari ruangan itu.

Setelah menyerahkan Suma Lian kepada para pembantunya agar anak itu memperoleh rawatan yang baik dan sekali-kali tidak boleh diperlakukan kasar, akan tetapi diam-diam Kim Hwa Nio-nio memerintahkan anak buahnya untuk mengamati anak itu baik-baik dan menjaganya agar ia tidak sampai melarikan diri dari situ, nenek itu lalu kembali ke ruangan tamu.