Ads

Selasa, 05 Januari 2016

Suling Naga Jilid 046

Sementara itu, Suma Lian yang tadi mengikuti keributan yang terjadi di rumah itu karena penyerbuan enam orang musuh Hou Taijin yang menyamar sebagai seniman-seniman, mempergunakan kesempatan selagi terjadi keributan dan tak seorang pun memperhatikan dirinya, untuk menyelinap keluar dari rumah.

Para pengawal dan penjaga yang mengerahkan seluruh perhatiannya terhadap enam orang yang sedang digempur oleh Sai-cu Lama, tentu saja tidak menaruh perhatian terhadap Suma Lian, apalagi tidak ada perintah apapun dari Kim Hwa Nio-nio.

Suma Lian lari ke dalam kegelapan malam, berlindung dari bagian-bagian gelap, menyelinap di antara rumah-rumah orang dan ia merasa agak lega bahwa tidak terdengar ada orang mengejarnya. Akan tetapi setelah berjalan berputar-putar di kota raja yang besar itu, tidak tahu kemana harus melarikan diri, tahu-tahu malam mulai berganti pagi dan kegelapan mulai terusir oleh sinar matahari. Hatinyapun mulai gelisah.

Kegelisahannya berubah kekhawatiran dan ketakutan ketika tiba-tiba, dari balik sebuah rumah, ia melihat Kim Hwa Nio-nio dan lima orang pengawal di depan dan berhenti di simpang empat. Ia cepat menyelinap dan bersembunyi di balik rumah itu, jantungnya berdebar penuh ketegangan.

Kalau mereka itu berpencar mencarinya, tentu ia akan terpegang! Ia menoleh ke belakang. Ada sebuah jembatan besar di jalan itu. Kalau saja ia dapat melewati jembatan itu tanpa terlihat, tentu ia akan dapat lari menjauh, dan mencari tempat sembunyi yang aman! Di seberang jembatan nampak banyak pohon-pohon dan semak-semak, ia dapat bersembunyi di balik pohon-pohon atau di balik semak-semak itu!

Dengan nekat Suma Lian lalu lari, agak membongkok-bongkok, melalui bagian gelap dari jembatan itu. Akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya seperti diangkat ke atas dan tahu-tahu tubuh itu sudah terlempar keluar dari jembatan!

Kalau saja bukan Suma Lian, gadis cilik yang memiliki ketabahan luar biasa, tentu sudah menjerit. Akan tetapi Suma Lian menahan rasa ngerinya dan tidak menjerit, bahkan tidak sempat menjerit karena tiba-tiba saja tubuhnya menjadi lemas dan tidak lagi mampu mengeluarkan suara karena ia sudah tertotok!

Suma Lian mengejap-ngejapkan matanya untuk membiasakan mata itu dalam cuaca yang agak gelap itu. Ternyata ia sudah berada di bawah jembatan dan ketika ia dapat melihat lebih jelas, ia telah terduduk dan tak mampu bergerak, sedangkan di dekatnya duduk seorang kakek tua yang berpakaian jembel butut!

Wajah kakek itu penuh rambut yang sudah putih semua, rambutnya awut-awutan menutupi muka, bercampur dengan jenggot dan kumisnya yang juga sudah putih semua. Seorang kakek tua renta yang berpakaian jembel, seorang pengemis yang kotor! Dan apa yang selanjutnya dilakukan oleh kakek itu membuat Suma Lian demikian kaget dan takutnya sehingga ia merasa jantungnya hampir copot.

Kakek itu merenggut semua pakaiannya, merobek-robek pakaian itu dan melemparnya ke bawah, setelah membuntal sepotong batu dengan pakaian itu. Tentu saja pakaian itu tenggelam ke dalam air sungai! Dan kini, kakek itu tanpa banyak cakap lagi, memercik-mercikkan air kotor berlumpur ke seluruh tubuh Suma Lian. Air berlumpur itu dicampur dengan bungkusan obat yang dikeluarkan dari saku jubahnya yang butut.

Seluruh tubuh anak itu berlumur campuran ini yang membuat seluruh kulitnya, dari tumit sampai ke kulit kepala bawah rambut, menjadi kecoklatan. Dan rambut anak itu diawut-awut secara kasar! Kemudian, dia mengeluarkan sehelai kain yang butut dan penuh tambalan, dan memaksa Suma Lian mengenakan pakaian ini dan berubahlah Suma Lian menjadi seorang anak pengemis yang amat buruk, kotor dan berbau busuk pula!

“Hemmm, sudah agak patut, akan tetapi rambutmu terlalu bersih, tidak ada kutunya seekorpun. Ini tidak mungkin bukan?”

Entah kepada siapa dia bicara, kepada diri sendiri atau kepada Suma Lian atau kepada seseorang yang tidak nampak. Kemudian, dengan hati-hati, di dalam cuaca yang masih agak gelap di bawah jembatan itu, dia mulai mencari kutu-kutu dari rambutnya yang putih awut-awutan dan setiap kali mendapatkan seekor, lalu kutu rambut itu dia letakkan ke dalam rambut Suma Lian.

Tentu saja anak ini merasa jijik, takut dan ngeri sehingga kalau saja ia mampu mengeluarkan suara, tentu ia akan menjerit-jerit! Diam-diam ia memperhatikan kakek itu dan memandang dengan sepasang mata terbelalak penuh kemarahan dan kebencian.

Celaka, pikir Suma Lian. Ini namanya dari sumur terjerumus ke dalam lubang! Terlepas dari tangan orang-orang macam Sai-cu Lama, kini terjatuh ke tangan seorang kakek yang selain lebih sadis, lebih jahat, juga masih ditambah kenyataan yang mengerikan, yaitu gila!

Sepuluh kali lebih baik menjadi tawanan Sai-cu Lama atau nenek yang bernama Kim Hwa Nio-nio itu dari pada ditawan oleh kakek gila ini. Ia tidak mampu bergerak dan tidak mampu bersuara karena ditotok, juga tidak tahu nasib apa yang akan dihadapinya. Akan tetapi jelas amat mengerikan karena kakek ini memang orang gila. Baru mencium bau pakaian kakek itu dari pakaian yang dipaksakan menutupi tubuhnya saja, ia sudah muak dan hampir muntah.

Tiba-tiba terdengar suara panggilan lembut, suara lembut akan tetapi nyaring menusuk telinga, suara Kim Hwa Nio-nio!

“Anak baik, keluarlah dari tempat sembunyimu! Jangan membikin marahku, nanti kujewer telingamu!”

Beberapa kali suara itu terdengar dan Suma Lian mengerahkan tenaga untuk membebaskan totokan yang membuat suaranya tak dapat dikeluarkan. Agaknya kakek tadi menotok sembarangan sehingga dengan pengerahan tenaga sin-kangnya, akhirnya ia mampu mengeluarkan suara,

”.... aku....!”

Akan tetapi baru mengeluarkan kata itu yang dimaksudkan untuk memberi tahu Kim Hwa Nio-nio bahwa ia berada di bawah jembatan, kakek jembel itu nampak terkejut dan sudah menotoknya lagi!

“Sialan kau anak gila!” bisik kakek itu.

Huh, kakek jembel, engkau yang gila, malah memaki aku gila, balas Suma Lian memaki dalam hatinya.

“Kalau mereka mendengar dan minta kita keluar, engkau harus keluar dengan kaki terpincang-pincang. Mengerti?”

Suma Lian nenentang pandang mata kakek itu dengan penuh kemarahan dan sengaja menggeleng kepala tanda bahwa ia tidak mau menurut!

“Kau harus terpincang-pincang!” kakek itu berbisik lagi, nada suaranya memaksa.






Akan tetapi tetap saja Suma Lian menggeleng kepala dan tersenyum mengejek. Ada rasa girang di hatinya bahwa ia mampu melawan dan membuat kakek itu kecewa, walaupun hanya dengan tidak mentaati perintah gila dan aneh itu!

Pada saat itu, terdengar derap kaki banyak orang di atas jembatan! Lalu terdengar bentakan suara Kim Hwa Nio-nio dengan nyaring,

“Siapa berada di bawah jembatan? Hayo keluar!”

Kakek itu tidak menjawab. Tiba-tiba nampak kepala Kim Hwa Nio-nio menjenguk ke bawah jembatan.

“Heiii, kalian! Hayo keluar, cepat!” bentaknya.

Kakek itu kini membebaskan totokan pada kaki tangan Suma Lian, akan tetapi tetap tidak membebaskan totokan yang membuatnya tak mampu bersuara, lalu dia menggerakkan jari telunjuknya mengetuk tulang kering kaki kiri Suma Lian.

“Tukk....!”

Bukan main nyeri rasa kaki yang diketuk itu. Suma Lian tentu menjerit kesakitan kalau saja ia tidak tertotok dan ia hanya mampu memegangi dan mengurut-urut kaki itu yang rasanya seperti patah-patah tulang keringnya. Akan tetapi kakek itu menariknya keluar dari jembatan itu.

Tanpa diperintah lagi, Suma Lian yang ditarik itu terpicang-pincang. Tangannya tak pernah terlepas dari pegangan si kakek, begitu kerasnya pegangan itu, seolah-olah merupakan ancaman bahwa kalau ia memberi tanda-tanda, tentu tangannya itu akan dicengkeram sampai hancur!

Kim Hwa Nio-nio dan lima orang temannya menghampiri kakek jembel itu.
“Siapa anak ini?” bentak Kim Hwa Nio-nio.

“Heh-heh, anak sialan ini? Ia cucuku, akan tetapi ia timpang dan gagu. Huh, tidak ada harapan untuk menampung hari tuaku. Eh, kalian mau membelinya? Akan kujual murah, asal kalian mempunyai seguci arak saja dan beberapa keping uang untukku, kuberikan anak ini, heh-heh-heh!”

Bukan main marahnya Suma Lian! Ia dikatakan timpang dan gagu, dan mau dijual, bukan malah hanya ditukar dengan seguci arak! Kakek gila ini benar-benar jahat sekali, lebih jahat dari pada Sai-cu Lama! Akan tetapi karena genggaman pada tangannya itu keras sekali dan ia tidak mau tangannya remuk, apalagi ia tahu bahwa kakek ini amat lihai dan belum tentu kalah oleh Kim Hwa Nio-nio, iapun diam saja hanya menundukkan mukanya.

Kim Hwa Nio-nio sudah putus harapan melihat anak perempuan jembel itu. Sama sekali bukan Suma Lian, bumi dan langit jauh bedanya. Anak ini hitam, kotor, berbau, timpang dan gagu lagi. Tiba-tiba ia menggunakan kebutannya untuk menyingkap pakaian yang membungkus tubuh anak itu.

Nampak kulit tubuhnya yang kotor kecoklatan, maka ditutupnya lagi dengan menarik kembali kebutannya. Nenek ini memang cerdik. Kalau tadi nampak tubuh itu putih mulus, tentu akan timbul kecurigaannya. Akan tetapi anak perempuan itu memang kotor luar dalam!

“Maukah kalian beli? Mau? Murah saja.“

“Huh, mampuslah kau tua bangka pemabuk gila. Mari kita pergi!”

Kim Hwa Nio-nio mendengus dan mengajak anak buahnya pergi dari situ. Kakek itu menggerutu panjang pendek.

“Sialan! Terkutuk! Dijual murahpun tidak laku.... hayaaaa....!”

Dan diapun menyeret tubuh Suma Lian dan gadis cilik ini terpaksa mengikutinya dengan kaki terpincang-pincang karena rasa nyeri di kakinya belum juga sembuh.

Kakek itu terus menyeret tubuh Suma Lian sampai ke pintu gerbang. Pintu gerbang itu sudah dibuka dan orang-orang mulai keluar masuk. Para penjaga pintu gerbang tentu saja tidak mencurigai kakek jembel itu, walaupun pada pagi hari itu terjadi geger dan penjagaan di situ amat ketat dan pengawasan terhadap orang-orang yang keluar masuk lebih teliti.

Berita tentang peristiwa pembunuhan yang hebat di rumah pelesir Pintu Merah itu sudah tersiar dan terdengar oleh mereka pula. Dikabarkan orang betapa Pangeran Cui Muda telah tewas di tempat itu dan kepalanya hilang entah ke mana.

Semua pengawal dan penghuni rumah itupun tewas, dan ada pula sebuah kepala yang dikenal sebagai kepala orang yang bernama Ban Leng, seorang jagoan di kota raja. Tentu saja hal ini mengejutkan dan menggegerkan, karena tak seorangpun dapat menduga siapa pembunuh semua orang itu.

Baru setelah tiba di luar kota, jauh dari tembok kota raja, di tempat yang sunyi, kakek tua renta itu mengajak Suma Lian berhenti, lalu sekali saja dia mengurut kaki yang diketuk tadi, rasa nyeripun lenyap. Setelah itu, dia membebaskan totokan yang membuat Suma Lian tadi gagu. Begitu bisa bicara dan dilepaskan pegangan tangannya, Suma Lian memaki-maki.

“Kau kakek gila, kakek jembel busuk yang bau! Hemm, kalau aku ada kemampuan, tentu akan kubunuh kau! Aku benci padamu! Kau telah menghinaku, menyakiti aku, ahhh.... betapa jahat engkau kakek gila!“

Kakek itu memandang kepadanya dan tersenyum, agaknya dia senang menyaksikan keberanian anak perempuan itu.

“Ha-ha-ha, engkau memang pemberani dan tabah, akan tetapi kurang panjang akal. Tidak tahukah bahwa semua yang kulakukan itu hanya sandiwara saja? Kau kuajak bermain untuk menipu nenek galak itu dan ternyata aku berhasil. Ha-ha, nenek galak itu berhasil kutipu. Kita menjadi pemain-pemain sandiwara yang baik sekali.”

“Bohong!” Suma Lian berteriak marah, suaranya nyaring dan keras karena sejak tadi ia menahan-nahan kemarahannya dan baru sekarang ada kesempatan untuk mengeluarkan semua kemarahan itu. “Engkau sengaja menipuku! Engkau jahat, tentu engkau mempunyai niat buruk dan terkutuk! Engkau gila dan jahat, kakek jembel bau busuk! Kau buang pakaianku, kau....“

“Sssttt apa kau hendak menghancurkan segala keberhasilan kita dengan teriak-teriak begitu dan mengundang datangnya musuh? Aku hanya ingin menyelamatkanmu dari pengejaran mereka tadi. Sekarang engkau telah terbebas, engkau boleh pergi ke mana engkau suka.”

Suma Lian tercengang. Kakek ini tidak berbohong! Dan ia telah memaki-makinya, memaki-maki kakek yang sudah menolongnya bebas dari tangan Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nio-nio. Ah, benar, ia yang bodoh. Kalau saja ia tidak penuh kecurigaan tadi, sehingga kakek itu tidak terpaksa mengetuk kakinya sampai terpaksa ia terpincang-pincang tentu ia mengikuti permainan sandiwara itu dan kini dapat tertawa-tawa bersama kakek itu!

“Hemm, kiranya benar engkau!” Tiba-tiba terdengar suara halus dan tahu-tahu Kim Hwa Nio-nio telah muncul di situ! “Kau tua bangka telah berhasil menipuku di sana, akan tetapi tetap saja aku dapat menemukanmu dan kau harus menebus dosamu dengan nyawa!“

Suma Lian merasa menyesal bukan main. Kakek itu menolongnya, malah kini terancam nyawanya karena kesalahannya! Kalau ia tidak marah-marah dan memaki-maki, belum tentu Kim Hwa Nio-nio dapat menemukan mereka! Maka, iapun lalu melangkah maju menghadapi Kim Hwa Nio-nio dan berkata lantang.

“Nenek, aku Suma Lian tidak mau menimpakan kesalahan kepada orang lain. Bawalah aku kembali akan tetapi jangan ganggu kakek jembel tua itu. Kalau engkau mengganggunya, aku akan mengadu kepada Hou Taijin dan minta agar dia menghukummu. Hayo bawa aku kembali kepada Hou Taijin!”

Tentu saja Suma Lian tidak tahu betapa ketika ia menyebutkan nama marganya, kakek jembel itu nampak terkejut bukan main. Kakek itu kini malah memegang lengan Suma Lian dan memutar tubuh anak itu menahadapinya sambil bertanya,

“Anak baik, apakah benar kau she (nama marga) Suma? Hayo katakan, siapa ayahmu?”

Suma Lian merasa heran, akan tetapi lalu menjawab,
“Ayahku bernama Suma Ceng Liong. Jangan khawatir, kek. Aku akan menanggung bahwa kau takkan diganggu oleh nenek itu.”

Akan tetapi kakek itu sudah tertawa bergelak,
“Ha-ha-ha-ha, engkau bernama Suma Lian, puteri dari Suma Ceng Liong? Ha-ha-ha-ha-ha, heiii, Kim Hwa Nio-nio. Berani benar engkau menculik puteri keturunan keluarga para pendekar Pulau Es? Apakah engkau sudah bosan hidup? Hayo, mari kita yang sudah sama tuanya ini mengadu kepandaian, dan jangan ganggu seorang anak kecil!”

Berkata demikian, kakek jembel itu lalu melangkah lebar menghadapi Kim Hwa Nio-nio dengan sikap memandang rendah sekali.

Kim Hwa Nio-nio mengerutkan alisnya, bulu-bulu kebutan di tangannya tergetar. Akan tetapi nenek ini tidak mau ceroboh. Ia tahu bahwa biarpun orang ini nampaknya tua renta dan jembel berbau busuk yang seperti orang gila, namun mungkin saja dia menyembunyikan kesaktian di balik kegilaan dan kemiskinannya itu. Hampir semua tokoh dunia persilatan pernah didengarnya walaupun belum semua dijumpainya, maka ia segera bertanya, suaranya berwibawa,

“Tua bangka bosan hidup, siapakah namamu?”

“Ha-ha-ha, namaku? Aku seorang pengemis tua tanpa nama. Hayo majulah, kecuali kalau takut atau kasihan melawan aku, pergilah dan jangan ganggu lagi anak perempuan ini!“

“Wirrrrr.... singgg....!”

Kebutan itu menyambar dan demikian kuatnya tenaga yang mendorongnya sehingga tidak hanya mengeluarkan angin berdesir keras, akan tetapi juga menimbulkan suara berdesing seperti kalau senjata tajam digerakkan dengan amat kuatnya! Kebutan itu menyambar kedepan, bulu-bulunya saja terpecah menjadi beberapa gumpalan dan masing-masing gumpalan itu seperti ular-ular hidup mematuk ke arah jalan-jalan darah di sekitar pundak dan leher kakek jembel itu.

“Hayaaaa....! Kiranya engkau lihai sekali....!”

Kakek itu berseru dan biarpun nampaknya terkejut dan mengagumi kehebatan nenek itu, namun tanpa banyak kesukaran dia sudah dapat menghindarkan diri dari sambaran kebutan dengan melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik tiga kali.

Kembali kebutan sudah menyambar, akan tetapi kedua tangan kakek itu membuat dorongan-dorongan aneh, kemudian setelah dari kedua tangannya itu keluar angin yang menolak bulu-bulu kebutan dan membuyarkan gumpalan-gumpalan bulu itu menjadi mawut seperti rambut kepala wanita tertiup angin, dia membuat coretan-coretan di udara dan tahu-tahu kedua jari telunjuknya telah melakukan totokan-totokan bertubi-tubi sampai sembilan kali ke arah jalan-jalan darah terpenting di tubuh nenek Kim Hwa Nio-nio!

“Ahhh....!”

Nenek itu terpaksa mengeluarkan teriakan kaget dan cepat ia memutar kebutannya melindungi diri. Akan tetapi masih saja jari-jari tangan itu sempat menerobos gulungan sinar kebutan sehingga terpaksa nenek itu yang kini melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik untuk menyelamatkan dirinya.

Suma Lian yang tadinya hanya memandang bengong, tiba-tiba berteriak,
“Hong-in Bun-hoat!“

“Ha-ha-ha, anak baik, ternyata engkau cukup cerdas!“ kakek jembel itu berseru sambil menoleh dan tersenyum kepada Suma Lian.

Akan tetapi nenek Kim Hwa Nio-nio yang merasa penasaran sudah menerjangnya lagi, membuat kakek itu tidak sempat lagi untuk senyum-senyum. Nenek itu terlampau berbahaya untuk tidak dihadapi dengan sungguh-sungguh dan kini terjadilah perkelahian yang hebat yang membuat pandang mata Suma Lian menjadi kabur saking cepatnya gerakan kedua orang tua itu.

Memang perkelahian itu hebat sekali, terjadi antara dua orang tua yang masing-masing memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Kim Hwa Nio-nio diam-diam terkejut bukan main. Ia adalah seorang ahli yang memiliki kesaktian, karena ia adalah murid dari Pek-bin Lo-sian yang sudah mewarisi ilmu dari kakek itu.

Pek-bin Lo-sian selain gurunya, juga menjadi kekasihnya dan hanya karena pada akhir-akhir itu ia melakukan penyelewengan, suka bermain gila dengan laki-laki lain yang jauh lebih muda dari gurunya itu, maka di antara mereka terdapat suatu jurang pemisah. Dan itulah sebabnya mengapa Pek bin Lo-sian tidak memberikan Pedang Suling Naga kepadanya!

Akan tetapi, ilmu kepandaian Pek-bin Lo-sian telah diwarisinya semua dan kalau dibandingkan dengan Sam Kwi yang menjadi saudara-saudara misan seperguruan, tingkat ilmu kepandaian Kim Hwa Nio-nio ini tidak kalah tinggi, bahkan mungkin lebih matang dan lebih tangguh setelah ia memiliki ilmu memainkan kebutannya yang amat lihai itu.

Akan tetapi sekarang, dan baru sekarang, ia menemui tandingan yang demikian tangguhnya dalam diri kakek jembel tua ini! Ia merasa penasaran sekali dan nenek itu segera mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua ilmu simpanannya untuk mengalahkan lawan.

Namun, ia selalu kecelik. Semua ilmunya dapat disambut dengan amat baiknya oleh kakek itu dan suatu kali, bahkan tangan kiri Kim Hwa Nio-nio beradu dengan tangan kanan si kakek jembel dengan kuat sekali.

“Dukkk....!”

Kim Hwa Nio-nio mengerahkan tenaganya yang sudah diperkuat dengan latihan ilmu hitam ketika ia bertapa di Pegunungan Himalaya, maka ketika kedua tangan bertemu, tenaga yang keluar dari tangan kirinya itu dahsyat bukan main.

Akan tetapi, pertemuan tenaga itu hanya membuat kakek itu mundur dua langkah sedangkan ia sendiri terhuyung ke belakang, tanda bahwa ia masih kalah kuat dalam tenaga sin-kang melawan kakek tua renta itu. Akan tetapi hal itu tidaklah begitu mengejutkan hatinya. Yang membuat ia terkejut adalah ketika ia merasa betapa tangan kirinya itu ketika bertemu dengan tangan kanan kakek itu, dijalari oleh hawa panas seperti bara api yang terus menyusup ke seluruh lengannya! Ia terkejut dan cepat ia mengerahkan tenaga dari dalam untuk menolak hawa panas itu, karena kalau dibiarkan terus menyusup ke dalam dadanya dapat membuat ia terluka dalam!

Setelah ia berhasil menolak keluar hawa panas itu, Kim Hwa Nio-nio yang menjadi semakin penasaran dan marah itu kembali menubruk dan melancarkan serangan bertubi, suatu kombinasi antara serangan kebutan yang sudah lihai itu dengan tamparan-tamparan tangan kiri yang mengeluarkan bunyi berkerotokan, masih diselingi oleh tendangan-tendangan kedua kakinya.

“Lihat.... ha-ha, selama ini tak pernah bertemu lawan, sekali bertanding menghadapi siluman perempuan yang lihai. Haiiiiitt....!”

Tiba-tiba saja kakek tua renta itu nampak gembira sekali dan diapun menyambut semua serangan lawan itu dengan tangkisan, elakan, dan juga membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah ampuhnya. Biarpun dia hanya bertangan kosong, akan tetapi setiap kali kaki atau tangannya bergerak, maka angin pukulan dahsyat sekali menyambar dan pakaian nenek itu berkibar-kibar keras!

Sekali waktu, dengan tiba-tiba nenek itu menyatukan bulu kebutannya yang berubah kaku oleh tenaga sin-kangnya dan seperti sebatang pedang saja, kebutan yang bulunya bersatu dan kaku itu menusuk ke arah tenggorokan kakek itu!

“Wahhhh....!”

Kakek itu terbelalak kagum dan kini tangan kirinya dengan jari tangan terbuka lalu menangkis ke arah pedang aneh itu.

“Takkkk....!”

Ujung kebutan yang menjadi kaku itu bertemu dengan telapak tangan, seperti pedang bertemu perisai yang kuat, akan tetapi nenek itu terbelalak dan meloncat kaget bukan main. Ketika kebutannya tadi bertemu dengan tangan itu, ada hawa dingin seperti es. menjalar ke dalam lengan kanannya dan hal inilah yang amat mengejutkan hatinya.

“Kiranya engkau seorang dari Pulau Es! Siapa engkau?” bentaknya dengan muka agak pucat karena diam-diam ia merasa bahwa isi dadanya terguncang dan ia menderita luka walaupun tidak parah.

Hal ini adalah karena tadi ia bersiap siaga untuk serangan dengan hawa panas. Siapa tahu tiba-tiba saja sin-kang kakek itu berubah dingin seperti es. Dan tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang ahli dari Pulau Es!

“Ha-ha-ha, orang seperti engkau ini mana ada harganya untuk mengenal orang-orang bersih dari keluarga para pendekar Pulau Es? Hayo, masih hendak kau lanjutkan lagi?” tantang kakek itu.

Kim Hwa Nio-nio tahu diri. Kalau di situ ada Sai-cu Lama, tentu ia akan minta kepada kawannya itu untuk melakukan pengeroyokan. Akan tetapi, ia hanya seorang diri saja dan ia tahu bahwa kakek jembel tua renta itu masih terlampau kuat untuknya. Maka ia lalu menjura.

“Baiklah, sekali ini aku mengalah, akan tetapi lain kali aku tidak akan mengampuni nyawamu, jembel tua bangka!”

Setelah berkata demikian, ia lalu meloncat dan lari kembali ke kota raja, diiringi suara ketawa dari kakek jembel itu.

Sejak tadi Suma Lian nonton dengan penuh perhatian akan tetapi juga penuh kekaguman. Ketika ia mendengar ucapan Kim Hwa Nio-nio bahwa kakek itu adalah orang dari Pulau Es, ia terkejut, akan tetapi juga terheran-heran di samping kegirangannya. Ia girang bahwa kalau memang benar kakek ini dari Pulau Es, berarti masih kerabat. Akan tetapi ia terheran-heran karena kalau benar dia seorang keluarga Pulau Es, kenapa begitu jorok dan tingkah lakunya seperti oranq yang miring otaknya?

“Ha-ha-ha!“ kini kakek itu tertawa-tawa memandang kepada Suma Lian. “Iblis betina seperti itu saja berani mengganggu kita, keluarga dari para pendekar Pulau Es, sungguh tak tahu diri, ya?”

Suma Lian ikut tersenyum pula. Biarpun kakek ini tertawa tanpa disertai matanya yang nampak sayu seperti orang menderita duka, namun kata-katanya lucu.

“Kek, engkau sungguh hebat sekali!”

“Kelak engkau harus lebih hebat daripada aku, anak yang baik. Namamu Suma Lian dan kau puteri Suma Ceng Liong? Ha, sungguh hebat, engkau memang pantas menjadi keturunan keluarga Suma!”

“Bu-beng Lo-kai, jelaskan padaku....“

“Nanti dulu! Siapa yang kau ajak bicara itu? Siapa itu Bu-beng Lo-kai?”

Suma Lian tersenyum.
“Siapa lagi kalau bukan engkau. Bukankah tadi nenek Kim Hwa Nio-nio bertanya namamu dan kau menjawab bahwa engkau adalah seorang Pengemis Tua Tanpa Nama (Bu-beng Lo-kai). Nah, engkau adalah Bu-beng Lo-kai.”

Kakek itu nampak girang dengan julukan baru ini. Selama ini dia tidak pernah memperkenalkan nama kepada siapapun juga sehingga dia sendiri seperti sudah lupa kepada nama sendiri, akan tetapi sekarang dia seperti mendapatkan sebuah sebutan nama baru yang cocok dengan keadaan dirinya. Bu-beng Lo-kai (Pengemis Tua Tanpa Nama)!

“Ha-ha, Bu-beng Lo-kai? Bagus, bagus.... engkau memang anak pandai.”

“Bu-beng Lo-kai, sekarang jelaskan siapa dirimu dan bagaimana engkau pandai memainkan Hong-in Bun-hoat! Dan agaknya engkau mengenal pula nama ayahku.”

“Kenapa tidak? Ayahmu bernama Suma Ceng Liong itu adalah putera tunggal dari Suma Kian Bu dan Teng Siang In, bukan?”

“Benar sekali! Ah, bagaimana engkau dapat mengenal keluarga kami?”

“Karena Suma Kian Bu, kakekmu itu, adalah adik kandung dari mendiang isteriku yang tercinta.”

“Ah....!” Sepasang mata yang jernih itu terbelalak. “Jadi engkau.... engkau adalah suami nenek Milana? Engkau adalah kakek Gak Bun Beng.?“

Kakek itu merangkul Suma Lian dan anak inipun merasa terharu, akan tetapi ia harus menahan kemuakan karena hidungnya mencium bau apak, tanda bahwa kakek itu agaknya memang benar-benar telah terlantar dan tak pernah mandi, entah sejak berapa lamanya!

“Sudah lama aku mengubur nama sial itu, biarlah mulai sekarang sampai mati, aku adalah Bu-beng Lo-kai saja,” kata kakek itu dan Suma Lian semakin terharu mendengar betapa ada isak tertahan di dalam suara yang seperti keluhan itu.

Kakek ini menderita batin dan kelihatan berduka sekali, pikirnya. Iapun merangkul dan memandang wajah yang tertutup rambut, kumis dan jenggot putih lebat itu, memandang sepasang mata yang masih bersinar tajam akan tetapi seperti tertutup awan gelap itu.