Ads

Rabu, 13 Januari 2016

Suling Naga Jilid 074

Kao Hong Li membuka kedua matanya dan ia merasa seperti dalam mimpi. Ia terbangun dan tidak menggerakkan badan terlebih dahulu. Setelah membuka kedua matanya, anak yang cerdik ini memutar otaknya, mengingat-ingat. Ia lalu teringat akan peristiwa aneh yang dialaminya.

Mula-mula yang teringat olehnya adalah ketika ia bermain silat pedang di antara kawan-kawannya, di dalam kebun, disambut pujian para kawannya. Lalu munculnya kakek gundul berjubah merah yang lalu melawannya. Tiba-tiba terdengar ledakan itu, dan nampak asap tebal, dan tubuhnya melayang-layang di antara asap yang membuat ia merasa seperti terbang di angkasa, di antara awan-awan. Lalu iapun lemas tak ingat apa-apa lagi. Ia diculik!

Ingatan ini mengejutkannya. Ia telah dilarikan oleh kakek aneh itu! Kini Hong Li, masih belum menggerakkan tubuhnya, mulai memperhatikan keadaan sekelilingnya. Ia rebah terlentang di atas sebuah dipan kayu yang keras dan kasar dan dipan itu terletak di sudut ruangan ini. Sebuah kamar dari empat dinding yang berlumut dan kotor, dengan daun pintu rusak terbuka di sebelah kanan. Tidak kecil juga tidak berdaun di sebelah kanan.

Tidak nampak ada orang di situ, hanya ia sendiri saja di atas dipan. Ia telah dilarikan oleh kakek itu ke sini, pikirnya. Entah di mana ini. Kakek yang aneh dan sakti itu tidak ada. Inilah kesempatan baik baginya untuk melarikan diri. Hong Li mulai menggerakkan kaki tangannya. Lega rasa hatinya karena kaki tangannya dapat digerakkan dengan mudah dan ketika ia bangkit duduk, kepalanyapun tidak terasa pening. Ia dalam sehat.

Dicarinya pedangnya. Tidak nampak di situ. Ia lalu dengan hati-hati turun dari pembaringan itu, perlahan-lahan agar jangan mengeluarkan suara, lalu berindap-indap melangkah menuju ke pintu yang daunnya terbuka lebar karena memang sudah bobrok itu. Agaknya di luar, senja telah mendatang, namun matahari masih meninggalkan sisa cahayanya sehelum dia menghilang sama sekali.

Dengan hati-hati Hong Li mengintai ke luar. Tidak ada orang. Dan di luar sana nampak pohon-pohon lebat. Sebuah hutan! Ia berada di dalam sebuah rumah tua, agaknya bekas kuil, di dalam sebuah hutan lebat. Ia harus cepat melarikan diri!

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara orang, suara yang halus dan sudah pernah didengar, suara Ang I Lama yang menculiknya!

“Aha, anak baik, engkau sudah bangun?”

Hong Li cepat membalikkan tubuhnya dan ternyata kakek itu berada di dalam kamar itu! Padahal tadi tidak nampak seorangpun di situ. Ah, tentu kakek ini telah mempergunakan ilmu sihirnya pula, pikirnya. Hong Li menjadi marah dan ia meraba-raba pinggangnya, lupa bahwa tadi sia-sia saja ia mencari pedangnya, pedang barunya yang indah.

“Aha, mencari pedangmu? Inilah pedangmu, terimalah!”

Dia mengeluarkan sebatang pedang dari balik jubah merahnya dan menyerahkan kepada Hong Li. Gadis cilik itu cepat menyambar pedangnya, pedang barunya, lalu mengambil sikap untuk menyerang.

“Anak baik, untuk apa engkau mencari pedangmu?”

“Untuk membunuhmu, kakek jahat!” bentak Hong Li dan iapun menggerakkan pedangnya, menyerang dengan marah dan dengan pengerahan seluruh tenaganya.

“Ha-ha, pedang itu tidak ada gunanya, sudah kukatakan ini kepadamu. Lihat, kau boleh tusuk perutku ini, aku takkan menangkis atau mengelak.”

Hong Li menerjang maju, menggerakkan pedangnya untuk menusuk ke arah perut. Ia melihat kakek itu berdiri tegak saja, membiarkan perutnya ditusuk! Ketika ujung pedangnya hampir menyentuh jubah merah, Hong Li menahan tenaganya dan bahkan menghentikan tusukannya. Tidak bisa ia menusuk begitu saja perut orang yang tidak melawan! Tidak mungkin ia melakukan pembunuhan dengan hati dingin seperti itu.

“Oho, kenapa tidak kau lanjutkan tusukanmu?” kakek itu tertawa.

“Lawanlah, jangan diam saja!” bentak Hong Li.

Kakek itu terbelalak, memandang heran, lalu tertawa.
“Ha-ha, keturunan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir memang aneh luar biasa. Nah, aku melawan sekarang, hendak kutangkap kepalamu dan akan kubuktikan betapa pedangmu itu tidak ada gunanya!“

Kakek itu kini menggerakkan kedua tangannya, hendak mencengkeram kepala Hong Li dari kanan kiri. Melihat ini, gadis cilik itu menyuruk ke depan, mendahului dengan tusukan pedangnya ke arah perut. Kini ia tidak ragu-ragu lagi menusuk karena bukankah musuh menyerangnya dengan hebat pula. Kalau ia tidak mendahului, tentu kepalanya akan remuk oleh kedua tangan yang kuat itu.

“Wuuutt.... krekkk....!”

Kao Hong Li terkejut bukan main. Pedangnya telah menusuk perut, akan tetapi rasanya seperti menusuk segumpal baja saja dan pedangnya kini patah-patah menjadi tiga potong!

Ia membuang gagangnya dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak, dan melihat betapa kakek itu tersenyum-senyum dan memandang sambil mengejek, ia marah sekali dan dengan nekat kini ia menyerang dengan kedua tangannya yang terkepal.

“Heh-heh-heh, engkau setan cilik yang nakal!”

Dan kini Hong Li mengalami hal yang membuatnya semakin terkejut dan heran. Tubuhnya terhalang sesuatu yang tidak nampak, seolah-olah ada tenaga yang menahannya dari depan sehingga gerakannya terhalang dan ia tidak dapat mendekati kakek itu!

Betapa kuatnya ia menerjang, selalu ia bertemu dengan tenaga itu dan tubuhnya bahkan terdorong ke belakang. Setelah beberapa kali mencoba dan tidak berhasil, akhirnya Hong Li berdiri diam dan hanya menatap kakek itu dengan sinar mata tajam dan penuh kemarahan. Ia tahu bahwa kakek itu sakti sekali dan ia tidak berdaya, namun Hong Li tidak merasa takut sedikitpun juga.

“Kakek jahat, engkau pengecut besar!” tiba-tiba ia membentak.

Kakek itu yang sedang tersenyum, tiba-tiba menghentikan senyumnya dan memandang kepadanya dengan alis berkerut dan ada kemarahan membayang pada mata yang tajam mencorong itu.

“Hemm. setan cilik, kenapa engkau berani memaki aku pengecut besar?”






“Kalau engkau bukan pengecut, tentu engkau tidak akan memusuhi aku, seorang anak kecil! Kalau engkau memang gagah dan memiliki kepandaian, tentu engkau akan menantang ayahku atau ibuku, bukan menculik dan melarikan diriku. Beranimu hanya mengganggu anak kecil, akan tetapi terhadap ayah dan ibuku, engkau melarikan diri sampai terkencing-kencing. Huh, pengecut besar tak tahu malu!”

Akan tetapi kini kakek itu tertawa bergelak.
“Haha-ha, dan engkau setan cilik amat gagah berani, sungguh mengagumkan sekali. Engkau memang berjodoh dengan pinceng, anak baik. Namamu Kao Hong Li, bukan? Heh-heh, dan aku bernama Ang I Lama. Engkau lihat sendiri, kepandaianku setinggi langit dan engkau beruntung sekali dapat ikut bersamaku!"

“Huh, kepandaianmu tidak ada artinya kalau engkau berani melawan ayah dan ibuku!”

Hong Li berseru mengejek, padahal di dalam hatinya ia meragu apakah ayah dan ibunya akan mampu menandingi kakek yang selain lihai ilmu silatnya, juga lihai ilmu sihirnya ini.

Menurut penuturan ibunya, kakek buyutnya yang bernama Suma Han berjuluk Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, selain sakti juga memiliki ilmu sihir yang amat hebat. Juga nenek Teng Siang In, isteri dari paman kakeknya yang bernama Suma Kian Bu dijuluki Pendekar Siluman Kecil, memiliki juga kekuatan sihir. Sayang ibunya sendiri tidak pernah mempelajari ilmu sihir dan hanya ahli dalam hal ilmu pawang ular yang pernah ia pelajari sedikit itu.

Karena kakek itu hanya tertawa saja dan tidak menjawab, Hong Li lalu bertanya, suaranya masih terdengar ketus akan tetapi sedikitpun ia tidak memperlihatkan perasaan takut,

“Kakek jahat, engkau bernama Ang I Lama, seorang pendeta yang mestinya melakukan kebaikan di dunia ini. Akan tetapi kenapa engkau menculik aku tanpa sebab?”

“Ha-ha, sebabnya karena aku suka kepadamu, Kao Hong Li. Engkau akan menjadi muridku dan menemani hidupku yang sunyi.”

“Hemm, kakek jahat, ke mana engkau hendak membawaku?”

Hong Li mulai merasa ngeri, membayangkan bahwa ia selanjutnya harus hidup bersama kakek mengerikan ini.

“Ke mana lagi kalau tidak ke Tibet?”

“Tidak, aku tidak mau!” kata Hong Li. “Biar engkau akan membunuhku sekalipun, aku tidak sudi menjadi muridmu, tidak sudi ikut bersamamu!”

Setelah berkata demikian, Hong Li lalu meloncat keluar dari ruangan itu melalui pintu yang terbuka. Ia bermaksud melarikan diri dengan nekat.

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara kakek itu berkata di depannya,
“Hong Li, aku di sini!”

Dan tahu-tahu kakek itu telah menghadang di depannya. Hong Li menengok dan dengan mata terbelalak melihat bahwa kakek tadi masih berada di dalam ruangan itu. Bagaimana mungkin kakek itu berubah menjadi dua orang? Ia lalu memutar tubuh ke kiri untuk melarikan diri melalui lorong di depan kamar, akan tetapi kembali terdengar suara kakek itu.

“Hong Li, aku berada di sini!” Dan di depannya kembali sudah menghadang kakek itu.

Ketika ia menengok, ternyata kakek yang berada di dalam kamar maupun yang pertama kali menghadangnya masih berada di tempat masing-masing. Dengan demikian, kini ada dua orang kakek yang sama! Ia memutar tubuh lagi dan kembali melihat munculnya seorang kakek lain yang sama sehingga sebentar saja ia sudah dikepung oleh banyak orang kakek yang sama! Hong Li dapat menduga bahwa ini tentu permainan sihir, maka dengan nekat ia menerjang ke depan.

“Ha-ha-ha, anak keras kepala berhati baja. Engkau memang nakal!”

Dan tiba-tiba Hong Li merasa banyak tangan menangkapnya sehingga ia tidak mampu bergerak lagi. Kemudian, kakek itu mengikat kaki tangannya dengan ikat pinggang, lalu memondong tubuhnya dan melemparkannya pula ke atas dipan yang tadi dan sama sekali tidak mampu bergerak karena ikatan kaki tangannya itu kuat sekali. Dan kini ia melihat bahwa kakek yang tadinya banyak itu kembali menjadi seorang saja.

Kakek itu berdiri di dekat dipan, menyeringai.
“Heh-heh, bagaimana, anak nakal. Apakah engkau sekarang sudah menyerah dan mau ikut bersamaku dengan suka rela?”

“Tidak sudi!” Hong Li membentak, masih galak walaupun kaki tangannya tidak mampu bergerak lagi.

“Engkau memilih mati?”

“Ya! Aku tidak takut mati!” kata Hong Li dengan gagah.

Kakek itu memandang kepada Hong Li dengan sinar mata-penuh kagum.
“Bagaimana kalau sebelum mati kusiksa dulu? Engkau berani menghadapi siksaan?”

“Tak perlu cerewet lagi! Mau bunuh, mau siksa, terserah, akan tetapi aku tidak sudi menyerah!”

“Huh, bocah tak tahu disayang! Biar kuberi engkau waktu semalam lagi untuk berpikir panjang. Besok aku datang lagi dan kalau engkau tetap menolak, aku akan menyiksamu sampai engkau merasa menyesal telah dilahirkan di dunia ini!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat kakek itupun lenyap dari situ.

Hong Li rebah seorang diri dan setelah kakek itu pergi, barulah ia merasa ngeri membayangkan betapa ia akan disiksa sampai mati pada besok hari kalau ia tidak mau menyerah. Tidak, ia harus dapat melarikan diri, pikirnya. Ia tidak sudi menyerah, juga tidak ingin mati konyol.

Mulailah ia berusaha menggerakkan kaki tangannya untuk melepaskan ikatan, namun sia-sia saja. Ikatan itu terlalu kuat sehingga kedua kaki tangannya sama sekali tidak mampu berkutik. Ia teringat kepada ayah ibunya dan tak terasa lagi, dua titik air mata membasahi pelupuk matanya. Sekarang, setelah ditinggalkan kakek itu, ia mulai merasa ketakutan.

Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya kalau ia membayangkan siksaan yang tak dapat ia perkirakan. Kakek itu terlalu kejam, terlalu jahat. Entah siksaan apa yang akan diterimanya. Kalau ia dibunuh seketika, hal itu tidak ditakutinya, akan tetapi kalau ia disiksa perlahan-lahan, sungguh hal ini amat menakutkan.

Akan tetapi menyerah menjadi murid kakek itu? Tidak, ia tidak sudi! Kakek itu terlalu jahat. Dan kalau ia menolak, ia akan di siksa sampai mati. Tidak, ia belum ingin mati, tidak mau mengalami derita siksaan.

Sampai lewat tengah malam, Hong Li diombang-ambingkan oleh perasaan takut dan benci kepada kakek itu. Menyerah salah, menolak juga salah. Ia bingung sekali dan kalau saja sejak kecil ia tidak digembleng sehingga memiliki semangat dan kegagahan, tentu anak yang baru berusia tiga belas tahun ini sudah menangis atau menjerit-jerit. Akan tetapi tidak, Hong Li hanya diam saja, hanya ada beberapa butir air mata membasahi pipinya dan ia menggigit bibirnya untuk mencegah tangis dan jeritannya.

Tiba-tiba ada gerakan di pintu. Jantung di dalam dada Hong Li berdebar penuh ketegangan. Apakah kakek jahat itu sudah akan memulai dengan siksaannya padahal malam belum lewat? Hong Li merasa betapa seluruh bulu di tubuhnya meremang saking ngerinya, Akan tetapi, yang muncul bukanlah kakek Ang I Lama yang dibencinya, melainkan seorang wanita cantik! Usia wanita itu sebaya dengan ibunya akan tetapi pakaiannya mewah sekali.

Tubuhnya tinggi ramping dan rambutnya digelung ke atas dengan dihias permata dan emas yang indah. Pakaiannya dari sutera tipis berwarna merah muda dan biru. Biarpun usianya tentu ada empat puluh tahun, namun wanita itu masih nampak muda, dengan sepasang mata yang lebar dan tajam.

Begitu memasuki kamar dan melihat Hong Li memandangnya, wanita itu menaruh telunjuk di depan mulutnya sebagai tanda agar Hong Li tidak mengeluarkan suara berisik. Hong Li diam saja, memandang dengan heran, akan tetapi juga dengan penuh harapan. Mudah diduga dari sikapnya bahwa kedatangan wanita asing ini tentu bermaksud baik terhadap dirinya.

Ketika wanita itu menghampiri pembaringan. Hong Li mencium bau yang harum seperti bunga mawar dan begitu wanita itu tersenyum kepadanya, ia merasa suka sekali. Seorang wanita cantik dan ramah, dan tentu datang untuk menolongnya, pikirnya.

“Bibi, engkau siapakah?”

“Sstttt....!” Wanita itu mendesis lirih. “Aku datang untuk menolongmu, akan tetapi aku harus dapat mengalahkan dulu Ang I Lama.”

Hong Li memandang terbelalak, kagum.
“Dapatkah engkau mengalahkan dia, bibi?” tanyanya, penuh keraguan mengingat akan kesaktian pendeta Lama yang menculiknya itu. “Tidakkah lebih baik bibi membebaskan aku, lalu kita melarikan diri selagi dia tidak berada di sini?”

Wanita itu menggeleng kepalanya.
“Engkau tidak tahu siapa Ang I Lama. Dia akan mengejar dan akhirnya aku harus berhadapan dengan dia pula. Tidak, aku harus lebih dulu mengalahkan dia, baru aku akan dapat membebaskanmu. Engkau bernama Kao Hong Li, ayahmu Kao Cin Liong putera Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan ibumu cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, bukan?”

Hong Li mengangguk, tidak merasa heran kalau wanita ini mengenal ayah ibunya, karena ia tahu bahwa nama ayah dan ibunya terkenal sekali di dunia kang-ouw.

“Aku suka dan kagum kepadamu. Engkau tabah dan berani, engkau keturunan para pendekar dan keluarga yang amat terkenal. Dan aku akan menghadapi Ang I Lama dengan taruhan nyawa untuk menolongmu. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kalau aku minta engkau ingat akan pertolonganku dan membalas budi, bukan?”

Kembali Hong Li mengangguk. Kalau wanita ini menandingi Ang I Lama dengan mempertaruhkan nyawa untuk menolongnya, tentu saja ia berhutang budi dan nyawa kepadanya.

“Aku akan berterima kasih sekali, bibi.”

Wanita itu tersenyum. Manis sekali kalau tersenyum.
“Apa gunanya terima kasih untukku? Dengar, Hong Li. Aku akan menandingi Ang I Lama dan kalau berhasil mengalahkannya, aku akan membebaskanmu. Akan tetapi, untuk itu aku minta engkau berjanji bahwa engkau akan mengangkat aku sebagai ibu dan guru.”

“Eh, mengapa sebagai ibu?” Hong Li terheran.

“Aku.... aku merindukan seorang anak dan engkau pantas menjadi anak angkatku, Hong Li. Nah, maukah engkau?”

“Menjadi anak angkat dan murid?”

“Bukan itu saja. Engkau harus berjanji mengangkat aku sebagai ibu dan guru, kemudian juga bahwa selama lima tahun engkau akan hidup bersamaku, mempelajari ilmu dan menemani aku sebagai ibu angkatmu.”

Hong Li merasa bimbang. Permintaan yang aneh-aneh. Akan tetapi wanita ini hendak mempertaruhkan nyawa menolongnya dan kalau benar dapat mengalahkan Ang I Lama, memang wanita ini patut menjadi gurunya. Juga apa salahnya mengangkat seorang wanita baik yang menyelamatkannya sebagai ibu?

“Hanya itu?” ia bertanya lagi.

“Hanya itu, juga engkau harus berjanji bahwa selamanya, melindungi aku dari gangguan dan serangan siapapun juga.”

Tentu saja permintaan terakhir ini tidak berat, bahkan tanpa diminta sekalipun, siapa yang tidak akan melindungi dan membela ibu angkatnya dari serangan orang lain? Kembali ia mengangguk.

“Baiklah, aku berjanji.”

“Hong Li, urusan ini bukan main-main, melainkan persoalan hidup atau mati bagiku, juga menyangkut kebahagiaan hidupku selanjutnya, karena itu, tidak cukup engkau berjanji. Bersumpahlah!”

Kembali Hong Li terkejut. Selamanya belum pernah ia bersumpah dan permintaan wanita ini agar ia bersumpah mengejutkannya dan membuatnya bimbang. Akan tetapi hanya untuk sebentar saja. Janji dan sumpahnya untuk sesuatu yang baik, apa salahnya kalau ia akan diselamatkan dan ditolong oleh wanita ini.

“Baiklah, subo (ibu guru). Saya bersumpah kalau subo dapat membebaskan aku dari tangan Ang I Lama, aku akan mengangkatmu sebagai ibu dan juga sebagai guru, dan aku akan membela dan melindungimu dari gangguan siapapun juga!”

Wanita itu nampak girang bukan main, membungkuk dan mencium pipi Hong Li dengan bibirnya.

“Anakku sayang, muridku yang hebat! Kau tunggu saja, agar jangan mendatangkan curiga, sementara engkau rebah dalam keadaan terikat dulu. Aku akan menghadang Ang I Lama di luar dan aku akan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaianku untuk mengalahkannya.” Setelah berkata demikian, wanita itu meloncat dan lenyap dari dalam kamar itu.

Hong Li termenung. Hatinya diliputi kebimbangan. Memang, dari gerakannya ketika meloncat atau menghilang tadi, ia dapat mengetahui bahwa wanita yang belum diketahui namanya itu memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, mampukah wanita itu mengalahkan Ang I Lama yang demikian saktinya? Apalagi kalau diingat bahwa Ang I Lama memiliki ilmu sihir, ia bergidik.

Andaikata wanita cantik itu memiliki ilmu silat tinggi seperti ibunya dan mampu menandingi Ang I Lama dalam perkelahian, akan tetapi bagaimana kalau kakek Tibet itu mempergunakan ilmu sihir? Kalau wanita itu sampai kalah dan tertawan, terluka atau bahkan terbunuh, ia akan merasa semakin menyesal karena berarti bahwa kematian wanita itu adalah karena membelanya!

Waktu terasa merayap lambat sekali bagi Hong Li yang tenggelam dalam ketegangan sejak munculnya wanita cantik itu. Ia bahkan terkejut ketika muncul Ang I Lama dari pintu. Kakek itu menjenguknya lalu tertawa melihat betapa ia masih rebah terlentang dengan kaki tangan terikat.

“Ha-ha-ha, sudah cukupkah engkau merenungkan nasibmu? Nanti kalau matahari mulai memasukkan sinarnya melalui jendela itu, aku akan datang dan minta keputusanmu, apakah engkau mau menyerah ataukah memilih mati tersiksa. Ha-ha-ha!” Ang I Lama lalu keluar lagi sambil tertawa.

Tiba-tiba perhatian Hong Li tertarik oleh suara yang terdengar dari luar kamar itu. Terdengar suara gedebugan dan gerakan orang berloncatan, disusul bentakan Ang I Lama,

“Sin-kiam Mo-li, berani engkau menyerangku?”

Lalu terdengar jawaban yang mendebarkan hati Hong Li karena ia mengenal suara wanita cantik tadi

“Ang I Lama, tinggalkan tempat ini dan biarkan aku yang mengurus Kao Hong Li karena ia berjodoh untuk menjadi anak angkatku!”

“Ha-ha-ha, Sin-kiam Mo-li, apakah engkau hendak mengantar kematianmu maka berani mencampuri urusanku? Nah, terimalah kematianmu!”

Kembali terdengar suara gedebugan dan Hong Li dengan mata terbelalak dan hati berdebar penuh ketegangan dan kekhawatiran mendengar gerakan orang yang sangat ringan dan cepat. Juga terdengar suara berdesing-desing.

Ia menduga bahwa yang bersenjata pedang itu tentulah Sin-kiam Mo-li karena bukankah julukannya itu sudah menunjukkan bahwa wanita itu merupakan seorang ahli pedang. Sin-kiam Mo-li (Iblis Betina Berpedang Sakti), julukan yang mengerikan. Kenapa wanita secantik dan sebaik itu dijuluki Iblis Betina, pikir Hong Li dengan penasaran. Diam-diam ia berdoa agar wanita itu memperoleh kemenangan dalam perkelahian yang terjadi di luar kamar itu.

Tak lama kemudian, di antara suara gerakan orang bersilat itu, terdengar seruan Ang I Lama,
“Kiam-sutmu hebat juga. Akan tetapi lihat, apakah ini?”

Dan terdengarlah suara ledakan-ledakan yang mengejutkan hati Hong Li karena anak itu maklum bahwa tentu pendeta Lama itu telah mempergunakan ilmu sihirnya. Ia memandang khawatir sekali ke arah pintu dan melihat asap putih mengepul di luar pintu itu. Celaka, pikirnya, mampuskah Sin-kiam Mo-li menghadapi ilmu sihir yang aneh itu?

Akan tetapi, terdengar suara ketawa lembut wanita itu.
“Hemm, Ang I Lama, permainan sihirmu ini merupakan permainan kanak-kanak bagiku.”

Kembali terdengar suara gedebugan, disusul suara Ang I Lama berteriak seperti orang kesakitan.
“Ahhhh…. engkau benar lihai.!”

Dan suara perkelahian itupun terhenti, tanda bahwa di luar kamar tidak ada lagi orang berkelahi. Hong Li sampai merasa pedas pada matanya karena sejak tadi ia memandang ke arah pintu dengan mata terbelalak, tak pernah berkedip, dengan hati tegang. Ia tidak tahu bagaimana kesudahan perkelahian itu, akan tetapi mendengar suara-suara mereka tadi, ia merasa yakin bahwa penolongnya tidak kalah walaupun pendeta Tibet itu mempergunakan ilmu sihir.

Dugaannya terbukti kebenarannya ketika ia mendengar langkah kaki halus dan muncullah Sin-kiam Mo-li di ambang pintu. Sinar lampu yang tidak begitu cerah menimpa wajah yang nampak cantik itu dan wanita itu tersenyum.

“Subo, kau menang.!”

Hong Li berseru dan wanita itu semakin girang. Sejak bersumpah, anak ini telah menyebutnya subo! Ia lalu melangkah menghampiri dipan.

“Subo, bagaimana engkau bisa melawan ilmu sihirnya?”

Wanita itu memperlebar senyumnya.
“Sihir merupakan permainan kanak-kanak bagiku, Hong Li. Lihat ini!”

Ia menggerakkan kedua tangannya ke arah tangan dan kaki Hong Li dan.... ikatan pada pergelangan tangan dan kaki anak itupun putus-putus dan Hong Li bebas seketika!

Dengan girang dan kagum sekali Hong Li bangkit dari pembaringan, kemudian, sebagai seorang anak angkat dan murid yang tahu diri, ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki wanita itu.

“Subo, terima kasih atas pertolonganmu!”

Sin-kiam Mo-li merangkul Hong Li dan mengangkatnya bangun. Hong Li memandang wanita itu dengan wajah berseri.

“Ah, subo tentu lihai sekali mempergunakan pedang-pedang itu.” ia menudingkan ke arah sepasang pedang yang berada di punggung Sin-kiam Mo-li. Sebatang pedang pendek dan sebatang pedang panjang. “Mengingat akan julukan subo, Sin-kiam Mo-li, tentu subo merupakan ahli pedang yang hebat!”

Wanita itu mengangguk-angguk.
“Hong Li, engkau takkan kecewa menjadi anak angkat dan muridku.”

Tiba-tiba teringatlah Hong Li bahwa ia sudah bersumpah mengangkat guru dan ibu kepada wanita ini, dan selama lima tahun ia akan ikut dengan wanita ini, bahkan berjanji akan membela dan melindunginya kelak selama hidupnya. Teringatlah ia akan orang tuanya sendiri dan tiba-tiba saja ia menjadi bingung.

Sin-kiam Mo-li memiliki pandang mata yang tajam. Ia melihat kebimbangan menyelimuti wajah anak itu, maka iapun bertanya sambil mengerutkan alisnya,

“Ada apakah, Hong Li?”

Hong Li adalah seorang anak yang berwatak jujur. Ia memandang wajah gurunya dan berkata,
“Subo, tiba-tiba saja aku teringat kepada ayah ibuku. Memang benar bahwa aku telah berjanji dan bersumpah kepadamu, dan aku juga akan memenuhi janjiku, selain mengangkatmu sebagai ibu dan guru, juga ikut bersamamu selama lima tahun dan kelak aku akan membela dan melindungimu. Akan tetapi, subo harus tahu bahwa orang tuaku tentu kehilangan aku dan kini mencari-cariku. Bagaimana kalau subo membawa aku lebih dulu pulang untuk berpamit kepada orang tuaku? Aku pasti akan memenuhi janjiku, aku hanya tidak ingin membuat mereka berkhawatir dan berduka.”

Akan tetapi Sin-kiam Mo-li menggeleng kepalanya.
“Hong Li, permintaanmu ini tentu saja tidak mungkin dapat kupenuhi. Bayangkan saja. Kalau kita bertemu dengan ayah ibumu, apakah engkau kira mereka akan mengijinkan aku pergi membawamu? Dan aku tidak ingin bentrok dengan mereka karena memperebutkan engkau, Hong Li.”

Hong Li dapat mengerti akan alasan subonya.
“Akan tetapi, bagaimana kalau pada suatu hari ayah ibuku dapat menemukan kita, subo?”

“Mungkin saja, karena mereka orang-orang yang lihai. Dan kalau terjadi hal itu, tentu mereka akan memaksa untuk membawamu pergi, dan aku akan mempertahankan. Kalau sudah begitu, aku hanya mengharapkan kebijaksanaanmu dan kejujuranmu juga kesetiaanmu akan janji dan sumpahmu.”

“Jangan khawatir, subo“ kata anak perempuan itu dengan sikap gagah. “Aku sudah berjanji dan bagiku, janji adalah kehormatan. Seorang gagah lebih mengutamakan kehormatan daripada nyawa. Dan aku yakin bahwa ayah dan ibu juga tidak ingin melihat anak mereka menjadi seorang pengkhianat yang melanggar sumpahnya sendiri!”

“Bagus, anakku yang baik, muridku yang hebat kelak engkau akan amat berguna bagiku. Aku girang sekali telah menolongmu, Hong Li. Mari ikutlah aku, kita pulang.”

“Pulang?”

“Ya, pulang.” Sin-kiam Mo-li tersenyum. “Kau kira aku tidak mempunyai tempat tinggal? Marilah, dan engkau akan merasa senang sekali tinggal di rumahku, eh, sekarang menjadi rumah kita.”

Akan tetapi, ternyata bahwa mereka harus melakukan perjalanan sampai puluhan hari untuk dapat tiba di tempat tinggal Sin-kiam Mo-li, karena tempat itu berada di tepi Sungai Cin-sa di kaki Pegunungan Heng-tuan, di tapal batas sebelah barat dari Propinsi Secuan!

**** 074 ****