Ads

Kamis, 21 Januari 2016

Suling Naga Jilid 082

Istana Gurun Pasir terletak di tengah-tengah gurun pasir, di suatu daerah yang aneh karena di tengah-tengah gurun pasir yang luas itu terdapat sebidang tanah yang subur!

Istana tua itu terpencil jauh dari pedusunan dan biarpun mereka lihai, Sim Houw dan Bi Lan tentu akan mengalami kesukaran menemukan tempat ini sungguhpun Bi Lan pernah mendapat keterangan yang cukup jelas dari subonya, kalau saja mereka tidak memperoleh petunjuk dari suku Bangsa Hui.

Suami isteri sakti yang tinggal di istana tua dan kuno itu kini sudah menjadi seorang kakek dan nenek yang usianya sudah lanjut. Kakek Kao Kok Cu yang namanya pernah menggemparkan dunia persilatan sebagai Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, kini telah menjadi seorang kakek yang usianya hampir delapan puluh tahun. Walaupun dia masih nampak gagah dan sehat, namun dia sudah jarang sekali keluar dari istana tua itu, kecuali untuk keluar ke kebun merawat tanaman sayuran sambil menikmati hawa segar dan sinar matahari yang menyehatkan. Isterinya yang dulu merupakan seorang pendekar wanita yang lihai, kinipun sudah menjadi seorang nenek berusia kurang lebih tujuh puluh lima tahun.

Meteka berdua hidup di tempat terpencil dan sunyi itu. Masa gemilang kehidupan mereka telah lalu. Dulu mereka adalah sepasang suami isteri yang gagah perkasa dan disegani kawan ditakuti lawan, akan tetapi kini mereka hanya sepasang kakek dan nenek yang sudah menjauhkan diri dari keramaian dunia, makin hari semakin lemah dan tua dimakan usia dari dalam.

Yang menemani mereka hanyalah sepasang suami isteri berusia empat puluh tahun lebih, dari suku bangsa Mongol peranakan Han, yang menjadi pelayan dan membantu pekerjaan di kebun dan di rumah. Tanah di daerah itu memang subur, bahkan terdapat sumber airnya sehingga kehidupan empat orang ini cukup makan dari tumbuh-tumbuhan yang mereka tanam sendiri. Untuk keperluan barang lain, mereka dapat memperolehnya dari pedagang-pedagang keliling di balik bukit, atau bertukar barang dengan penghuni dusun di balik bukit.

Agaknya suami isteri tua renta itu memang hanya menanti saat panggilan Tuhan saja dan mereka memilih tempat sunyi ini dari pada kota yang ramai. Berkali-kali putera tunggal mereka, Kao Cin Liong minta agar ayah dan ibu ini suka ikut tinggal bersama keluarganya di kota, namun kakek dan nenek itu tidak mau, sudah terlanjur betah tinggal di tempat yang sunyi itu.

Biarpun keduanya sudah tua, untuk menjaga kesehatan, mereka tidak pernah lupa untuk melatih otot-otot tubuh mereka di samping duduk bersamadhi untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan lain di alam baka.

Ketika mereka tiba di puncak bukit dan melihat istana tua itu di kejauhan, di tengah-tengah gurun pasir, mereka memandang kagum bukan main. Seperti dalam dongeng saja. Sebuah istana yang dari jauh nampak indah sekali, berdiri megah di tengah-tengah padang pasir yang luas dan mati. Dan di sekitar istana itu nampak nyata tumbuh-tumbuhan yang segar dan kehijauan. Benar-benar mentakjubkan.

“Mari kita cepat ke sana!”

Bi Lan berteriak girang, membayangkan bahwa ia akan segera bertemu dengan kakek dan nenek yang telah menjadi guru-gurunya dan yang telah menyelamatkannya dari maut ketika ia keracunan oleh ilmu-ilmu yang sengaja diajarkan secara keliru dan menyeleweng oleh Bi-kwi, sucinya.

Sim Houw tersenyum, maklum akan ketegangan dan kegembiraan hati gadis itu. Dia sendiri merasa tegang, akan tetapi bukan gembira melainkan khawatir. Istana kuno itu demikian megah dan nama besar suami isteri sakti itu membuat dia merasa seolah-olah kedatangannya akan merupakan gangguan terhadap kehidupan mereka yang tenteram seperti kehidupan sepasang dewa. Dia khawatir kalau-kalau Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya akan merasa terganggu oleh kunjungannya dan dia merasa terasing.

Namun dia menghibur diri sendiri. Bagaimanapun juga, kunjungannya ini hanya untuk mengantar Bi Lan, dan bukankah Bi Lan merupakan murid dari mereka?

Saking gembiranya dan besar keinginannya untuk segera dapat bertemu dengan suhu dan subonya. Bi Lan mengerahkan tenaganya dan berlari cepat menuju ke istana itu, menuruni bukit. Kedua kakinya bergerak cepat ketika berlari di atas pasir dan Sim Houw mengikutinya sambil tersenyum, terbawa oleh kegembiraan Bi Lan.

Sebentar saja Bi Lan sudah tiba di depan istana, di dalam pekarangan depan yang penuh dengan tanaman bunga beraneka ragam dan warna. Seorang laki-laki berbangsa Mongol dengan wajah dingin sedang mencangkul, membuangi rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar bunga-bunga itu.

Laki-laki itu adalah pelayan di istana itu dan dia sama sekali tidak menengok ketika Sim Houw dan Bi Lan memasuki pekarangan. Wajahnya tetap dingin seperti arca, sehingga Bi Lan yang tadinya ingin menegurnya dan bertanya, tidak jadi membuka mulut, hanya memandang dengan penuh harapan ke arah pintu depan istana itu yang nampak terbuka sebagian.

Sinar matanya berseri gembira ketika yang diharapkannya muncul. Seorang kakek dan seorang nenek, keduanya sudah sangat tua akan tetapi wajah mereka masih nampak segar dan tubuh mereka masih lurus, muncul dari dalam pintu, melangkah ke luar dan berdiri di serambi.

“Suhu! Subo....!”

Bi Lan berseru dan cepat ia lari naik ke atas serambi dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek dan nenek itu. Sim Houw melihat betapa kakek dan nenek itu berdiri tegak dengan sikap agung dan berwibawa, maka dia pun cepat mengikuti Bi Lan dan menjatuhkan diri berlutut pula di depan mereka.

“Suhu dan subo, teecu datang berkunjung,” kata Bi Lan dengan suara mengandung kegembiraan dan keharuan. “Suhu dan subo selama ini dalam sehat saja, bukan?”

Kakek dan nenek itu diam saja dan sampai beberapa lamanya mereka hanya mengamati Bi Lan dan Sim Houw dengan penuh perhatian. Akhirnya terdengar nenek Wan Ceng berkata, suaranya lembut akan tetapi dingin dan tidak terkandung kegembiraan seperti yang diharapkan Bi Lan.

“Bi Lan, keluarkan Ban-tok-kiam dan berikan kepadaku.”

Diam-diam Bi Lan terkejut bukan main. Dahulu, biasanya sikap subonya terhadap dirinya amat ramah dan manis, bahkan terkandung rasa sayang di dalam kata-katanya kalau bicara kepadanya. Ia masih ingat benar. Akan tetapi kenapa kini di dalam suara subonya terkandung nada yang dingin dan seperti orang marah. Akan tetapi ia tidak membantah.

“Baik, subo.”






Dikeluarkannya Ban-tok-kiam dari dalam buntalan pakaiannya dan dengan kedua tangan, diserahkannya pedang pusaka itu kepada subonya. Ketika melakukan ini, ia menengadah dan memandang wajah subonya penuh perhatian. Kembali ia terkejut.

Wajah subonya itu kelihatan tidak senang! Juga wajah Suhunya yang biasanya penuh kesabaran dan kecerahan agak muram.

Tanpa memandang lagi kepada muridnya, nenek Wan Ceng mencabut Ban-tok-kiam dari sarungnya, lalu mendekatkan pedang itu kepada hidungnya. Ia mengerutkan alisnya dan berkata dengan galak.

“Hemm, Ban-tok-kiam ternoda darah yang masih baru! Can Bi Lan, darah siapa yang menodai Ban-tok-kiam dan kenapa engkau mempergunakannya untuk membunuh orang?”

Gadis itu terkejut dan cepat memberi hormat.
“Harap subo sudi mengampuni teecu. Sesungguhnya, belum lama ini teecu mempergunakan Ban-tok-kiam dalam perkelahian. Teecu terpaksa mempergunakannya karena lawan berjumlah banyak dan cukup kuat.”

“Hemm, masih ingatkah engkau apa pesanku ketika meminjamkan Ban-tok-kiam kepadamu?” kembali suara nenek itu terdengar melengking tinggi tanda kemarahan hatinya.

“Teecu masih ingat, subo,” kata Bi Lan, jantungnya berdebar tegang dan merasa tidak enak, tidak mengira bahwa kunjungannya diterima dengan kemarahan oleh suhu dan subonya, tidak seperti yang dibayangkannya semula, yaitu melihat suhu dan subonya menerimanya dengan gembira. “Subo memesan agar pedang pusaka itu teecu pergunakan untuk menjaga diri dan hanya mempergunakan kalau keadaan terdesak dan teecu berada dalam bahaya.”

“Hemm, bagus kalau kau masih ingat. Apakah ketika engkau mempergunakan Ban-tok-kiam baru-baru ini, engkau juga dalam ancaman bahaya?”

Ditanya demikian, Bi Lan menjadi bingung. Sejenak ia melirik ke arah Sim Houw yang juga menundukkan muka dengan hati merasa tidak enak.

“Maaf, subo. Teecu tidak terancam bahaya, akan tetapi ada orang lain yang terancam bahaya dan teecu harus menolongnya. Dia dikepung banyak anak buah pasukan yang dipimpin oleh perwira-perwira yang lihai. Akan tetapi teecu berani bersumpah bahwa Ban-tok-kiam tidak teecu pergunakan untuk membunuh, hanya melukai ringan saja.”

“Cukup.” Nenek Wan Ceng membentak. “Biar hanya luka sedikit, kalau terkena Ban-tok-kiam, kau kira akan dapat hidup mereka itu tanpa kau beri obat?”

Dengan penuh semangat karena mengharapkan agar sekali ini ia dibenarkan kedua gurunya, Bi Lan berkata,

“Dia adalah seorang pendekar perkasa, seorang pejuang yang gagah berani bernama Lie Tek San. Teecu melihat dia dikeroyok di dekat Tembok Besar, maka teecu turun tangan membantunya.”

“Lie Tek San pemberontak dari Siauw-lim-pai itu?” tanya Kao Kok Cu.

“Benar, suhu!” kata Bi Lan gembira karena gurunya ternyata mengenal nama besar pejuang itu.

“Hemm, kiranya bocah ini malah sudah membantu pemberontak!” Tiba-tiba nenek Wan Ceng berseru marah, mengejutkan Bi Lan dan Sim Houw. “Dan orang muda ini tentulah yang bernama Sim Houw dan berjuluk Pendekar Suling Naga. Benarkah?”

Sim Houw terkejut dan cepat memberi hormat, lalu memandang wajah nenek itu.
“Benar sekali, locianpwe, saya bernama Sim Houw.”

“Dan berjuluk Pendekar Suling Naga?” nenek itu menyambung.

“Hal itu adalah karena saya suka mempergunakan senjata Pedang Suling Naga, maka orang-orang menyebut saya demikian.” Sim Houw mengaku.

“Bi Lan, semenjak kita saling berpisah, kami banyak mendengar hal-hal buruk tentang dirimu! Dan sekarang aku melihat kenyataan sendiri bahwa bukan saja engkau telah meninggalkan kesusilaan, akan tetapi juga engkau telah menggunakan Ban-tok-kiam untuk membunuh banyak orang, dan engkau bahkan telah menjadi seorang pemberontak.”

“Subo.!” Bi Lan berseru kaget.

“Diam!” bentak nenek Wan Ceng, kini tidak lagi menyembunyikan kemarahannya.

“Kami dahulu telah keliru sangka terhadap dirimu, sehingga kami bersusah payah menyembuhkan dan mendidikmu. Kiranya engkau tetap menjadi murid yang baik dari Sam Kwi, tindakanmu memang seperti golongan hitam. Engkau membantu sucimu yang jahat itu, bahkan membantunya berhadapan dengan keluarga Pulau Es yang gagah perkasa! Sungguh kami merasa ikut malu bukan main. Nah, katakan, tidak benarkah engkau dan Pendekar Suling Naga ini membantu sucimu yang berjuluk Bi-kwi itu melakukan kejahatan dan melawan keluarga Pulau Es? Jawab!”

“Teecu memang membantu suci Bi-kwi, subo, akan tetapi.... teecu membantunya hanya karena suci kini sudah sadar dan menjadi orang baik. Teecu bukan membantu ia melakukan kejahatan, melainkan melindunginya dari ancaman. Teecu sama sekali tidak menggunakan Ban-tok-kiam untuk kejahatan itu.”

“Hemmm, karena keteledoranmu menjaga Ban-tok-kiam, pedang pusaka ini terjatuh ke tangan Sai-cu Lama sehingga Teng Siang In menjadi korban Ban-tok-kiam! Bi Lan, sungguh aku kecewa dan menyesal sekali telah mengambilmu sebagai murid. Maka, sekarang engkau sudah datang dan membawa Ban-tok-kiam yang sudah ternoda, aku akan mencabut kepandaian yang pernah kuberikan kepadamu. Bersiaplah engkau!”

Nenek itu lalu menggerakkan tangannya untuk menotok ke arah pundak Bi Lan. Totokan itu mengarah jalan darah pusat dekat leher dan kalau terkena tentu gadis itu akan menjadi lumpuh dan kehilangan semua tenaga dalamnya, bahkan mungkin membahayakan keselamatan nyawanya.

“Dukkk.!”

Totokan nenek itu, yang tidak berani dielakkan atau ditangkis oleh Bi Lan, kini tertangkis oleh tangan Sim Houw. Dia tadi terkejut sekali dan melupakan segalanya, menangkis totokan maut itu untuk melindungi Bi Lan.

Nenek Wan Ceng melangkah mundur, matanya mencorong ditujukan kepada Sim Houw yang masih berlutut. Tangkisan tadi menyadarkan nenek Wan Ceng betapa kuat tenaga sin-kang yang dipergunakan pemuda itu untuk menangkisnya tadi. Ia menjadi marah, merasa ditantang.

“Sim Houw, Pendekar Suling Naga, berani engkau mencampuri urusan antara aku dan muridku sendiri. Apakah engkau menantangku?”

“Maaf, locianpwe, saya masih belum begitu gila untuk berani menantang locianpwe. Akan tetapi, kalau locianpwe berkeras untuk menghukumnya, biarlah saya saja yang mewakilinya. Hukumlah saya, locianpwe, karena selama ini ia hanya mengikuti jejak saya. Sayalah yang bertanggung jawab, sayalah yang bersalah dan locianpwe boleh menghukum atau membunuh saya, akan tetapi mohon bebaskan Lan-moi.”

Sikap dan suara Sim Houw demikian tegas dan mantap sehingga nenek itu terbelalak tidak percaya.

“Engkau menyerahkan diri untuk menggantikan Bi Lan, dan engkau tidak akan melawan?” tanyanya heran.

“Saya bersumpah tidak akan melawan. Hukumlah saya sebagai pengganti adik Bi Lan.”

“Hemm, kalau begitu agaknya memang benar engkau yang menjadi biang keladinya sehingga murid kami menjadi jahat dan menyeleweng. Nah, terimalah hukumannya!”

Akan tetapi sebelum nenek Wan Ceng melancarkan pukulan yang lebih hebat dari pada tadi, tangannya telah disentuh suaminya.

“Perlahan dulu, aku ingin bicara dengannya,” kata kakek Kao Kok Cu yang lengan kirinya buntung itu.

Wan Ceng memandang heran. Biasanya, suaminya sudah tidak mau perduli lagi dengan semua urusan dan kalau sekarang dia mencampuri, itu berarti bahwa suaminya sebenarnya merasa sayang kepada Bi Lan, murid mereka yang hanya setahun berguru kepada mereka itu. Maka ia pun melangkah mundur, membiarkan suaminya yang agaknya akan menghadapi sendiri dua orang muda itu.

Kao Kok Cu melangkah perlahan ke depan.
“Orang muda, bangkitlah, aku ingin bicara denganmu,”

Katanya lirih, namun suaranya penuh wibawa yang memaksa Sim Houw untuk bangkit dan dengan sopan dia mengangkat muka memandang wajah kakek itu. Dia merasa kagum dan tunduk melihat seorang kakek yang biarpun lengan kirinya buntung dan pakaiannya sederhana, namun penuh dengan wibawa yang amat kuat ini. Wajah kakek itu nampak bersih dan terang, sepasang matanya seperti mata naga saja, lembut namun mencorong penuh kekuatan.

“Pendekar Suling Naga Sim Houw, apamukah Can Bi Lan ini?”

Ditanya demikian, Sim Houw menjawab dengan sopan,
“Bukan apa-apa, locianpwe, hanya teman seperjalanan. Saya mengantarnya untuk mencari Istana Gurun Pasir karena ia hendak mengembalikan Ban-tok-kiam.”

“Kalau bukan apa-apa, mengapa engkau hendak berkorban diri, rela dihukum bahkan dibunuh untuk menyelamatkannya?”

Wajah Sim Houw menjadi merah dan beberapa kali dia melirik ke arah Bi Lan yang masih menundukkan mukanya. Menghadapi seorang tokoh seperti Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir ini, tentu saja dia harus berterus terang. Berbohongpun tidak akan ada gunanya, dan dia berpendapat bahwa sekaranglah saatnya dia berterus terang kepada Bi Lan pula, sebelum terlambat, yaitu sebelum seorang di antara mereka atau keduanya tewas di tangan suami isteri yang sakti ini.

“Locianpwe, terus terang saja, saya rela berkorban nyawa untuk melindunginya karena saya amat mencintanya.”

Mendengar ucapan itu, kakek dan nenek itu saling pandang, dan ketika mereka memandang kepada Bi Lan, mereka melihat betapa gadis itu makin menunduk, akan tetapi tetap saja ada dua butir air mata mengalir turun di sepanjang pipi Bi Lan.

Gadis itu merasa terharu bukan main mendengarkan pengakuan Sim Houw. Dia memang sudah dibisiki sucinya, Bi-kwi, bahwa Sim Houw mencintanya, akan tetapi betapapun ia memancing pengakuan Sim Houw, selalu gagal dan orang muda itu tak pernah menyatakan cintanya melalui mulut.

Baru sekarang Sim Houw membuat pengakuan, di depan suhu dan subonya, dengan suara lantang. Hal ini mendatangkan kegembiraan, kelegaan akan tetapi juga keharuan hatinya sehingga walaupun ia sudah menundukkan mukanya, ia tidak dapat menahan beberapa butir air mata mengalir turun.

Kakek itu lalu mundur selangkah dan dengan sepasang mata yang mencorong, dia memperhatikan Sim Houw. Pandang matanya yang tajam dapat melihat bahwa orang muda ini benar-benar “berisi”, mudah saja nampak oleh pandang matanya yang tajam dalam sikap dan pandang mata pemuda itu.

“Demi cinta engkau berani melindungi Bi Lan. Aku sudah pernah mendengar akan nama besarmu. Karena itu, ingin aku melihat apakah benar engkau mencintanya, dan sampai di mana pembelaanmu terhadap Bi Lan. Engkau majulah dan lawan aku, baru aku akan mempertimbangkan nanti apakah engkau cukup berharga untuk melindungi Bi Lan. Nah, bersiaplah untuk melayani aku bertanding, orang muda!”

Sim Houw mengerti. Sikap Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir ini tidaklah mengherankan karena banyak tokoh persilatan yang sakti memiliki kelemahan terhadap ilmu silat. Agaknya kakek inipun ingin menguji kepandaiannya, dan kalau memang merasa bahwa dia memiliki kepandaian cukup, kakek itu tentu akan merasa sayang untuk membunuh atau mencabut kepandaiannya dan mungkin sekali mereka akan dapat mengampuni Bi Lan. Jadi nasib Bi Lan ditentukan oleh perlawanannya terhadap kakek sakti itu.

“Baiklah, locianpwe, saya mentaati perintah!”

Berkata demikian, Sim Houw juga melangkah mundur sampai ke pekarangan yang luas di bawah serambi itu, dan dia sudah mencabut senjatanya, yaitu Liong-siauw-kiam atau Pedang Suling Naga, dipegang dengan tangan kanannya dan dia berdiri dengan sikap hormat menanti lawannya yang melangkah lambat menuruni anak tangga itu ke serambi.

Kini kedua orang itu sudah saling berhadapan, keduanya tidak memasang kuda-kuda, seperti halnya dua orang yang hendak bertanding ilmu silat. Hal ini saja sudah menunjukkan bahwa keduanya bukanlah ahli silat sembarangan dan tidak lagi memerlukan kuda-kuda yang khusus. Setiap posisi merupakan kuda-kuda yang baik bagi mereka, karena dari segala posisi mereka dapat saja melakukan gerakan silat, baik membela diri maupun menyerang.

Sejak tadi, Bi Lan sudah mengangkat muka dan memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak. Ia tahu benar betapa lihainya kakek berlengan buntung sebelah itu. Bagaimanapun juga, Sim Houw pasti bukan lawannya dan timbul perasaan ngeri dan takut dalam hatinya. Maka, melihat betapa keduanya sudah berdiri dan siap untuk saling serang, tiba-tiba ia mengeluarkan suara tertahan dan iapun meloncat turun dari keadaan berlutut tadi tahu-tahu ia sudah berdiri di antara Sim Houw dan Kao Kok Cu, lalu ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suhunya sambil menangis!

“Suhu....ah, suhu.... jangan suhu menyerang Sim-toako. Lebih baik suhu bunuh saja teecu. Dia tentu akan tewas di tangan suhu dan teecu.... teecu tidak mungkin dapat hidup tanpa dia suhu. Teecu.... mencintanya.... ah, teecu mencintanya....”

Bi Lan menangis tersedu-sedu di depan kaki kakek itu. Sim Houw berdiri dengan muka pucat dan kedua kakinya menggigil. Benarkah apa yang didengarnya itu? Benarkah itu Bi Lan yang mengaku cinta padanya di depan kakek itu? Tanpa malu-malu menyatakan cinta kepadanya, bahkan menangis karena khawatir dia akan terbunuh dalam pertandingan ini? Ingin dia merangkul Bi Lan, ingin dia menghiburnya, akan tetapi tentu saja dia tidak berani melakukan hal itu di depan kakek dan nenek yang nampaknya masih marah itu.

“Siapa akan membunuh orang? Anak bodoh, minggirlah dan biarkan aku menguji kepandaian Pendekar Suling Naga. Setelah itu, kalian berdua boleh pergi,” kata Kao Kok Cu.

Mendengar ini, bukan main girangnya hati Bi Lan dan iapun cepat mundur dan berdiri di pinggiran untuk menonton. Ia percaya bahwa suhunya akan memegang teguh janjinya, tidak akan membunuh Sim Houw? Tanpa disengaja, ia berdiri di dekat Wan Ceng yang juga sudah turun dari serambi, dan melihat subonya, Bi Lan berbisik,

“Subo, teecu bersumpah bahwa kami berdua tidak pernah menyeleweng, tidak pernah melakukan kejahatan.”

Nenek Wan Ceng melirik kepadanya dan menjawab lirih, suaranya masih dingin.
“Hemm, akan tetapi apa yang kami dengar tentang dirimu tidak seperti yang kau katakan ini, Bi Lan.”

“Subo, untuk setiap persoalan, teecu dapat menjawab dan memberi penjelasan. Setidaknya teecu berhak untuk membela diri, Subo, dari segala berita yang dijatuhkan kepada teecu.”

“Sudahlah, nanti saja kita bicara lagi,” kata nenek itu yang memperhatikan dua orang yang sudah mulai bergerak saling mendekati.

Bi Lan memandang ke arah Sim Houw dan Kao Kok Cu yang sudah saling mendekati, Sim Hoaw memegang sulingnya, kakek itu seperti biasa, tidak memegang senjata apapun kecuali kedua ujung lengannya.

Melihat betapa gagahnya Sim Houw, dan betapa gurunya itu sudah nampak tua dan lemah, agak berkurang kekhawatiran di hati Bi Lan. Ia tidak khawatir kalau Sim Houw akan melukai gurunya. Ia mengenal benar siapa Sim Houw, tahu benar akan kebaikan hati Sim Houw dan kegagahannya. Jelas bahwa pendekar itu tidak akan mau melukai kakek yang tua renta itu.

“Engkau mulailah, orang muda!” kata Kao Kok Cu.

Tadinya Sim Houw merasa sungkan untuk mendahului, akan tetapi mendengar ucapan kakek itu yang dianggapnya sebagai perintah, diapun lalu menggerakkan sulingnya dan berkata,

“Baik, locianpwe, saya mulai menyerang!” Berkata demikian, suling itu berkelebat dan menotok ke arah pundak kiri yang tak berlengan itu!

Kakek itu tersenyum dan cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan pundaknya. Orang muda ini cerdik sekali, pikirnya, agaknya dapat menduga bahwa justeru lengan baju kiri tanpa isi itulah yang berbahaya, maka dalam serangan pertama itu dia menyerang pundak kiri yang berarti melemahkan bagian yang berbahaya dan kuat! Sambil meloncat ke belakang, kaki kakek itu melayang dengan tendangan yang amat cepat dan tidak terduga datangnya dari samping menyerong ke arah lambung Sim Houw.

Namun pemuda ini sudah dapat mengelak dengan baik, bahkan sulingnya sudah berkelebat lagi menotok ke arah lutut dari kaki yang menendang. Kao Kak Cu sudah menarik kembali kakinya dan kini tangan kanannya menampar dengan amat dahsyatnya dari atas, mengarah ubun-ubun kepala Sim Houw dan hampir berbareng, ujung lengan baju kiri menyambar dari bawah, menotok ke arah ulu hati pemuda itu dengan kecepatan luar biasa.

Sim Houw terkejut, akan tetapi dia tidak menjadi gugup. Sudah diduganya bahwa kakek itu merupakan lawan yang amat lihai, maka sejak tadipun dia sudah tidak berani memandang ringan, selalu waspada dan siap siaga setiap urat syarafnya menghadapi serangan yang aneh dan hebat.

“Takkkk....!”

Sulingnya menangkis tangan yang menampar dari atas, sedangkan totakan ujung lengan baju kiri itupun disampoknya dengan tangan kirinya sambil memutar tubuh.

Kini sulingnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung, mengeluarkan bunyi menderu lalu melengking seperti ditiup, mendatangkan angin keras dan hawa yang panas. Sim Houw mulai mengeluarkan kepandaiannya, memainkan sulingnya dengan ilmu gabungan dari Koai-liong-kiam-sut dan Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman dan Ilmu Pedang Suling Emas).

Kedua ilmu ini telah digabung dan menjadi ilmu yang dinamakan Liong-siauw-kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga) dan cocok sekali dimainkan dengan pedang suling naga itu sebagai pengganti sepasang senjata yang sudah dikembalikannya kepada keluarga Cu di Lembah Naga Siluman, yaitu sebatang suling emas dan sebatang pedang pusaka Koai-liong-kiam.

“Bagus.!”

Nenek Wan Ceng sampai memuji dan memandang kagum sekali ketika ia melihat sinar bergulung-gulung seperti seekor naga mengamuk di sekeliling tubuh suaminya. Belum pernah ia melihat ilmu pedang sehebat itu, apalagi ditambah dengan suara melengking seolah-olah ada orang yang sedang meniup suling dengan amat pandai dan merdunya.

Juga kakek Kao Kok Cu merasa kagum bukan main. Orang ini masih muda, akan tetapi telah menguasai ilmu yang demikian tingginya! Demikian hebatnya ilmu pedang yang dimainkan dengan suling itu. Suaranya merupakan serangan tenaga khi-kang melalui suara, menggetarkan jantung dan membuyarkan pencurahan perhatian lawan, anginnya juga mengandung hawa panas yang dahsyat dan dapat membingungkan lawan, sedangkan suling aneh itu dapat dipergunakan untuk menotok, akan tetapi juga membacok dan menusuk seperti pedang.

Di tangan pemuda itu, suling itu bergerak dengan gulungan sinar seperti seekor naga bermain-main di angkasa. Kakek itu segera terdesak oleh sinar bergulung-gulung itu dan hanya karena dia telah memiliki ilmu yang matang dan mendarah daging maka dia dapat mengenal atau menangkis dengan tepat pada saat terancam bahaya.

Beberapa kali usahanya untuk melilit pedang atau suling itu dengan ujung lengan baju kiri tak pernah berhasil karena begitu terlilit begitu pula terlepas seolah-olah benda berupa suling atau pedang itu licin seperti tubuh ular. Karena terdesak, kakek itu lalu merobah gerakannya dan kini dia mainkan ilmu silatnya yang paling ampuh, yaitu Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Tangan Naga Sakti).

Barulah keadaan mereka seimbang. Sim Houw terkejut bukan main ketika melihat kakek buntung itu memainkan ilmu silat yang luar biasa kuatnya. Dia merasa seperti menghadapi tembok benteng baja yang amat kuat, sukar ditembus oleh sinar senjatanya, bahkan setiap kali sulingnya bertemu dengan lengan atau lengan baju kiri, tangannya terasa panas dan lengannya tergetar. Bergidik dia membayangkan ada kekuatan sin-kang sehebat itu.

Setelah lewat lima puluh jurus, tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara melengking dan tiba-tiba tubuhnya seperti rebah memanjang, seperti seekor naga saja, dan begitu bergerak, tangan kanannya mengeluarkan angin pukulan yang luar biasa dahsyatnya.

Sim Houw berusaha mempertahankan dengan tangkisan putaran sulingnya, namun tenaga itu mendorong terlampau dahsyat. Itulah ilmu sakti Sin-liong-hok-te yang hanya dapat dilakukan dengan sempurna oleh seorang yang berlengan sebelah! Sim Houw yang mempertahankan diri, tetap saja terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung! Kalau kakek itu berniat jahat dan mendesak, agaknya sukar baginya untuk menyelamatkan diri. Dengan demikian, jelaslah bahwa dengan ilmu terakhir itu, kakek Kao Kok Cu masih menang satu dua tingkat dibandingkan Sim Houw yang kalah tenaga dalam dan kalah pengalaman.

“Orang muda, engkau hebat dan tidak mengecewakan berjuluk Pendekar Suling Naga!” kata kakek Kao Kok Cu sambil melangkah mundur tiga langkah, berarti dia mengakhiri pertandingan itu.

Bukan main girang dan lega rasa hati Sim Houw. Diapun cepat menyimpan suling, menjatuhkan diri berlutut dan berkata,

“Terima kasih banyak saya haturkan atas kemurahan hati locianpwe yang telah memberi petunjuk kepada saya.”