Tiba-tiba terdengar teriakan Yo Han,
“Enci Suma Lian, tadi Suhu telah menyelamatkan nyawa Enci, kenapa sekarang Enci menyerangnya mati-matian? Begitukah cara Enci membalas budi kebaikan orang?”
Anak ini sejak tadi memang diam saja untuk menyaksikan pertandingan antara gurunya dan gadis yang oleh ibunya dikatakan amat lihai itu. Akan tetapi dia menjadi pening ketika menonton pertandingan itu, tidak tahu siapa kalah siapa menang atau siapa yang lebih unggul di antara mereka.
Gerakan mereka berdua itu terlalu cepat bagi matanya yang tidak terlatih. Hanya ketika dia melihat Suma Lian mempergunakan senjata suling emas yang mengeluarkan sinar menyilaukan itu, sedangkan gurunya tidak mempergunakan senjata, hatinya merasa khawatir kalau-kalau gurunya sampai celaka. Maka kini dia mengeluarkan seruan itu.
Tentu saja Suma Lian yang sudah siap untuk menyerang lagi, menjadi heran mendengar ucapan dari anak itu. Ia menahan dirinya, dan menoleh kepada Yo Han. Napasnya agak memburu dan baru terasa olehnya betapa lelah tubuhnya dan pakaiannya telah basah oleh keringat.
“Yo Han, apa artinya ucapanmu itu?” tanyanya dengan alis berkerut karena ia tidak pernah merasa diselamatkan nyawanya oleh Tan Sin Hong.
“Enci, ketika Enci tadi terjatuh ke dalam sumur, iblis betina itu menggelindingkan sebuah batu besar ke dalam sumur untuk membunuhmu. Ibu tidak berdaya mencegah dan ibu sudah pucat sekali, akan tetapi pada saat batu hendak menggelinding ke dalam sumur, tiba-tiba muncul suhu Tan Sin Hong yang memukul dan mendorong batu sehingga tidak sampai jatuh ke dalam sumur dan menimpa Enci yang masih berada di dalam sumur itu.”
Tentu saja Suma Lian terkejut bukan main mendengar keterangan Yo Han itu dan ia cepat menoleh, memandang kepada Sin Hong dengan sepasang mata tajam menyelidik, juga mengandung rasa heran.
“Benarkah itu? Kenapa engkau diam saja dan tidak menceritakan hal itu ketika aku menyerangmu?”
Sin Hong tersenyum dan menggeleng kepalanya perlahan.
“Nona, hal yang sekecil itu tidak perlu disebut lagi. Bukankah sudah menjadi kewajiban kita masing-masing untuk mencegah terjadinya kejahatan, menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan?”
“Wah, sungguh aku harus malu sekali! Engkau telah menolongku menghindarkan aku dari kematian mengerikan dalam sumur itu, dan aku masih bersikap buruk, menantangmu, dan engkau masih juga menyebut aku nona! Aih, Toako (Kakak Tua), jangan membuat aku menjadi semakin malu dan berdosa. Maafkan aku, Toako!” katanya tersenyum dan ia pun menjura dengan membungkukkan tubuhnya sampai dalam sekali.
Sin Hong memandang dengan wajah berseri dan dia pun tersenyum geli. Nona ini sungguh gagah perkasa, lincah polos dan juga ugal-ugalan. Melihat sikap Suma Lian, lenyaplah sudah semua rasa penasaran karena gadis ini tadi menyerangnya mati-matian.
Memang gadis ini berwatak aneh, akan tetapi harus diakuinya bahwa ia memiliki kegagahan yang luar biasa, juga demikian ringannya mulut yang manis itu mengakui kesalahannya dan minta maaf.
Sikap mau mengakui kesalahan dan maaf inilah yang amat mengagumkan hati Sin Hong karena pemuda ini maklum bahwa sikap demikian hanya dimiliki oleh orang-orang yang berjiwa pendekar gagah perkasa dan bijaksana, dan merupakan sifat yang amat sukar dilakukan oleh kebanyakan orang. Dia pun cepat membalas penghormatan itu dengan bersoja dan membungkukkan tubuhnya.
“Sudahlah, Nona. Semua kesalah pahaman itu mungkin saja terjadi karena Nona belum mengenalku.”
“Ah, Toako. Engkau masih saja menyebutku nona-nona! Padahal, engkau yang memiliki tenaga sakti Inti Bumi, jelas masih mempunyai hubungan dengan aku, kenapa masih mempergunakan tata cara sungkan-sungkan! Kalau engkau tidak mau menyebut adik kepadaku itu berarti bahwa engkau tidak mau berkenalan denganku dan kuhabisi saja pertemuan kita sampai di sini saja!”
Tentu saja Sin Hong terkejut. Gadis ini sungguh aneh sekali, hatinya keras dan agaknya ia tidak mau mengalah dalam hal apa pun juga! Maka sambil tersenyum dia pun cepat berkata,
“Baiklah, Non.... eh, adik Suma Lian yang baik. Maafkan aku karena sesungguhnya aku merasa kurang pantas kalau aku berkakak adik dengan seorang seperti engkau, keturunan keluarga Pulau Es yang gagah perkasa.”
Wajah yang cemberut itu kini sudah tersenyum kembali, matanya bersinar-sinar dan lesung pipit yang manis muncul kembali di kanan kiri mulutnya.
“Uh, Hong-ko (kakak Hong) engkau hendak mengejekku, ya? Siapa tidak tahu bahwa engkau memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa sekali. Baru sekarang aku bertemu tanding yang demikian lihai, dan aku sungguh mengaku kalah!”
“Ah, jangan merendahkan diri, Lian-moi (adik Lian)! Kepandaianmu lah yang hebat bukan main. Aku sudah lama mendengar akan kehebatan ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es dan baru hari ini aku beruntung sekali merasakan semua kehebatan itu. Akan tetapi yang membuat aku bingung, bagaimana engkau mahir pula menggunakan tenaga sakti Inti Bumi?”
“Marilah kita duduk dan bicara, Hongko. Hei, Yo Han, mari duduk di sini engkau. Kenapa berdiri bengong saja di situ?” teriak Suma Lian sambil menggapai kepada anak itu yang sejak tadi berdiri di pinggir.
“Enci Suma Lian, tadi Suhu telah menyelamatkan nyawa Enci, kenapa sekarang Enci menyerangnya mati-matian? Begitukah cara Enci membalas budi kebaikan orang?”
Anak ini sejak tadi memang diam saja untuk menyaksikan pertandingan antara gurunya dan gadis yang oleh ibunya dikatakan amat lihai itu. Akan tetapi dia menjadi pening ketika menonton pertandingan itu, tidak tahu siapa kalah siapa menang atau siapa yang lebih unggul di antara mereka.
Gerakan mereka berdua itu terlalu cepat bagi matanya yang tidak terlatih. Hanya ketika dia melihat Suma Lian mempergunakan senjata suling emas yang mengeluarkan sinar menyilaukan itu, sedangkan gurunya tidak mempergunakan senjata, hatinya merasa khawatir kalau-kalau gurunya sampai celaka. Maka kini dia mengeluarkan seruan itu.
Tentu saja Suma Lian yang sudah siap untuk menyerang lagi, menjadi heran mendengar ucapan dari anak itu. Ia menahan dirinya, dan menoleh kepada Yo Han. Napasnya agak memburu dan baru terasa olehnya betapa lelah tubuhnya dan pakaiannya telah basah oleh keringat.
“Yo Han, apa artinya ucapanmu itu?” tanyanya dengan alis berkerut karena ia tidak pernah merasa diselamatkan nyawanya oleh Tan Sin Hong.
“Enci, ketika Enci tadi terjatuh ke dalam sumur, iblis betina itu menggelindingkan sebuah batu besar ke dalam sumur untuk membunuhmu. Ibu tidak berdaya mencegah dan ibu sudah pucat sekali, akan tetapi pada saat batu hendak menggelinding ke dalam sumur, tiba-tiba muncul suhu Tan Sin Hong yang memukul dan mendorong batu sehingga tidak sampai jatuh ke dalam sumur dan menimpa Enci yang masih berada di dalam sumur itu.”
Tentu saja Suma Lian terkejut bukan main mendengar keterangan Yo Han itu dan ia cepat menoleh, memandang kepada Sin Hong dengan sepasang mata tajam menyelidik, juga mengandung rasa heran.
“Benarkah itu? Kenapa engkau diam saja dan tidak menceritakan hal itu ketika aku menyerangmu?”
Sin Hong tersenyum dan menggeleng kepalanya perlahan.
“Nona, hal yang sekecil itu tidak perlu disebut lagi. Bukankah sudah menjadi kewajiban kita masing-masing untuk mencegah terjadinya kejahatan, menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan?”
“Wah, sungguh aku harus malu sekali! Engkau telah menolongku menghindarkan aku dari kematian mengerikan dalam sumur itu, dan aku masih bersikap buruk, menantangmu, dan engkau masih juga menyebut aku nona! Aih, Toako (Kakak Tua), jangan membuat aku menjadi semakin malu dan berdosa. Maafkan aku, Toako!” katanya tersenyum dan ia pun menjura dengan membungkukkan tubuhnya sampai dalam sekali.
Sin Hong memandang dengan wajah berseri dan dia pun tersenyum geli. Nona ini sungguh gagah perkasa, lincah polos dan juga ugal-ugalan. Melihat sikap Suma Lian, lenyaplah sudah semua rasa penasaran karena gadis ini tadi menyerangnya mati-matian.
Memang gadis ini berwatak aneh, akan tetapi harus diakuinya bahwa ia memiliki kegagahan yang luar biasa, juga demikian ringannya mulut yang manis itu mengakui kesalahannya dan minta maaf.
Sikap mau mengakui kesalahan dan maaf inilah yang amat mengagumkan hati Sin Hong karena pemuda ini maklum bahwa sikap demikian hanya dimiliki oleh orang-orang yang berjiwa pendekar gagah perkasa dan bijaksana, dan merupakan sifat yang amat sukar dilakukan oleh kebanyakan orang. Dia pun cepat membalas penghormatan itu dengan bersoja dan membungkukkan tubuhnya.
“Sudahlah, Nona. Semua kesalah pahaman itu mungkin saja terjadi karena Nona belum mengenalku.”
“Ah, Toako. Engkau masih saja menyebutku nona-nona! Padahal, engkau yang memiliki tenaga sakti Inti Bumi, jelas masih mempunyai hubungan dengan aku, kenapa masih mempergunakan tata cara sungkan-sungkan! Kalau engkau tidak mau menyebut adik kepadaku itu berarti bahwa engkau tidak mau berkenalan denganku dan kuhabisi saja pertemuan kita sampai di sini saja!”
Tentu saja Sin Hong terkejut. Gadis ini sungguh aneh sekali, hatinya keras dan agaknya ia tidak mau mengalah dalam hal apa pun juga! Maka sambil tersenyum dia pun cepat berkata,
“Baiklah, Non.... eh, adik Suma Lian yang baik. Maafkan aku karena sesungguhnya aku merasa kurang pantas kalau aku berkakak adik dengan seorang seperti engkau, keturunan keluarga Pulau Es yang gagah perkasa.”
Wajah yang cemberut itu kini sudah tersenyum kembali, matanya bersinar-sinar dan lesung pipit yang manis muncul kembali di kanan kiri mulutnya.
“Uh, Hong-ko (kakak Hong) engkau hendak mengejekku, ya? Siapa tidak tahu bahwa engkau memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa sekali. Baru sekarang aku bertemu tanding yang demikian lihai, dan aku sungguh mengaku kalah!”
“Ah, jangan merendahkan diri, Lian-moi (adik Lian)! Kepandaianmu lah yang hebat bukan main. Aku sudah lama mendengar akan kehebatan ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es dan baru hari ini aku beruntung sekali merasakan semua kehebatan itu. Akan tetapi yang membuat aku bingung, bagaimana engkau mahir pula menggunakan tenaga sakti Inti Bumi?”
“Marilah kita duduk dan bicara, Hongko. Hei, Yo Han, mari duduk di sini engkau. Kenapa berdiri bengong saja di situ?” teriak Suma Lian sambil menggapai kepada anak itu yang sejak tadi berdiri di pinggir.
Mendengar panggilan ini, Yo Han lari menghampiri.
“Enci, bagaimana pendapatmu dengan ilmu kesaktian suhuku? Siapakah yang lebih unggul antara Enci dan Suhu tadi?” tanyanya sambil duduk di atas rumput, dekat Suma Lian.
“Tentu saja gurumu yang lebih lihai,” kata Suma Lian tersenyum.
“Yo Han, duduk saja di situ dan tutup mulut, jangan bicara kalau tidak ditanya!” Sin Hong berkata dengan tegas.
“Baik, Suhu” jawab Yo Han, tegas pula walaupun sepasang mata anak itu bersinar-sinar penuh kegembiraan.
Agaknya Yo Han sudah mengenal betul watak gurunya yang lemah lembut dan tahu bahwa kegalakan tadi dibuat-buat saja. Mereka duduk berhadapan dan Yo Han duduk agak mundur. Setelah beberapa lamanya saling pandang, Suma Lian berkata,
“Hong-ko, agaknya engkau sudah tahu bahwa aku adalah keturunan keluarga Pulau Es tentu engkau mendengar dari percakapan ketika aku menghadapi orang-orang sesat tadi. Akan tetapi aku sendiri belum tahu siapakah engkau sebenarnya.”
“Namaku Tan Sin Hong.”
“Itu aku sudah tahu. Akan tetapi, siapakah gurumu, Hong-ko? Aku yakin bahwa ada hubungan antara perguruan kita karena kita berdua sama-sama menguasai tenaga Sakti Inti Bumi, walaupun ilmu-ilmu silatmu aneh dan banyak yang tidak kukenal.”
Sin Hong mengerutkan alisnya. Selama ini, belum pernah dia menceritakan kepada orang lain tentang guru-gurunya tentu saja kecuali kepada keluarga suhengnya, Kao Cin Liong sebagai putera tunggal suami Isteri penghuni Istana Gurun Pasir.
Akan tetapi, dia pun sering mendengar dari para gurunya bahwa keluarga Pulau Es tidak boleh dianggap sebagai “orang luar” karena ada hubungan erat sekali antara keluarga Istana Gurun Pasir dan Pulau Es. Dia tahu bahwa gadis yang wataknya aneh ini akan tersinggung dan marah kembali kalau dia tidak mau mengaku siapa guru-gurunya. Kiranya tidak ada salahnya kalau dia mengaku kepada seorang gadis she Suma, keturunan asli dari Pulau Es.
“Terus terang saja, Lian-moi, tidak pernah aku memperkenalkan nama guru-guruku kepada orang lain. Akan tetapi karena para guruku mengenal baik keluarga Pulau Es, bahkan mempunyai hubungan dekat, dan mengingat pula bahwa antara kita sudah terjadi tali persahabatan yang akrab, maka biarlah aku mengaku kepadamu. Aku mempunyai tiga orang guru, mereka adalah mendiang suami isteri penghuni Istana Gurun Pasir.“
“Ahhh! Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir?” Suma Lian berseru, hampir berteriak.
“Benar, dan yang seorang adalah suhu Tiong Khi Hwesio. Mereka bertiga berada di Gurun Pasir dan aku menjadi murid para guruku itu selama tujuh tahun di sana.”
“Aihhhhh....! Pantas saja engkau demikian lihai! Tapi.... tapi.... engkau tadi berkata mendiang? Apakah.... apakah mereka itu sudah....”
“Mereka sudah meninggal dunia, Lian-moi, tewas ketika belasan orang tokoh sesat menyerbu ke Istana Gurun Pasir. Dan ketahuilah bahwa para penyerbu itu bukan lain adalah Sin-kiam Mo-li tadi bersama kawan-kawannya yang lihai.”
“Iblis betina tadi?” Suma Lian berseru kaget dan matanya terbelalak. “Tapi.... bagaimana mungkin iblis betina itu dan kawan-kawannya mampu menewaskan mereka yang sakti? Padahal di sana ada engkau pula, Hong-ko?”
Suma Lian bertanya dengan nada suara mengandung penasaran. Ia tahu bahwa Sin-kiam Mo-li lihai, akan tetapi ia sendiri mampu menandingi iblis betina itu bahkan Sin Hong sendiri jauh lebih lihai dari Sin-kiam Mo-li. Bagaimana mungkin iblis betina itu bersama kawan-kawannya mampu menewaskan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, juga Tiong Khi Hwesio yang pernah didengarnya pula dari ayah ibunya sebagai seorang yang amat lihai?
Sin Hong menarik napas panjang,
“Agaknya Tuhan telah menakdirkan bahwa tiga orang guruku itu harus gugur dan tewas sebagai orang-orang yang gagah perkasa. Kurang lebih dua tahun yang lalu terjadinya. Tiga orang guruku adalah orang-orang sakti, akan tetapi usia mereka pun sudah amat lanjut rata-rata delapan puluh tahun, bahkan suhu Kao Kok Cu, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, sudah berusia delapan puluh lima tahun. Adapun yang datang menyerbu, bukan orang-orang sembarangan, banyak yang lebih lihai dari Sin-kiam Mo-li. Mereka adalah tokoh-tokoh besar dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw semua berjumlah tujuh belas orang. Tiga orang guruku tewas akan tetapi dari tujuh belas orang penyerbu itu empat belas orang tewas pula, sedangkan yang masih hidup namun terluka parah adalah Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin wakil ketua Pat-kwa-kauw, Thian Kek Sengjin, tokoh besar Pek-lian-kauw.”
“Akan tetapi engkau sendiri bukankah engkau berada di sana, Hong-ko dan bagaimana gurumu tewas?”
Suma Lian memandang dengan alis berkerut agaknya merasa heran dan menyesal mengapa pemuda ini tidak dapat membela guru-gurunya.
Sin Hong menarik napas panjang, jantungnya terasa nyeri seperti ditusuk setiap kali dia teringat akan peristiwa itu.
“Sudah kukatakan tadi Lian-moi, agaknya Tuhan sudah menghendaki demikian dan menakdirkan tiga orang guruku itu sudah tiba saatnya meninggal dunia. Pada waktu itu, aku tidak berdaya. Tiga orang guruku itu mengajarkan sebuah ilmu gabungan ciptaan mereka bertiga dan mengoperkan gabungan tenaga sakti kepada diriku. Ilmu itu harus kupelajari selama satu tahun, dengan syarat bahwa selama setahun itu aku sama sekali tidak boleh melakukan gerakan silat apalagi mengerahkan sinkang karena kalau hal ini kulakukan.... aku akan tewas dengan sendirinya, terpukul sendiri oleh tenaga yang kukerahkan itu.
Nah bayangkan saja, Lian-moi. Aku tidak dapat bergerak, terpaksa melihat tiga orang guruku tewas di tangan mereka, dan aku sendiri tertawan tiga orang yang masih tersisa itu. Mereka mengira aku seorang kacung yang tidak memiliki ilmu silat, mereka memaksaku untuk menunjukkan di mana adanya pusaka-pusaka istana tua itu. Karena memang tidak ada pusaka, mereka menyiksaku. Aku membakar istana tua itu berikut jenazah tiga orang guruku, dan aku disuruh menguburkan jenazah empat belas orang penyerbu yang tewas. Untung bagiku pada malam harinya, aku berhasil melarikan diri dan sembunyi di dalam hutan selama satu tahun untuk menyelesaikan latihanku.”
Suma Lian mendengarkan dan kini senyumnya timbul kembali. Kiranya pemuda ini bukan seorang pengecut, melainkan karena terpaksa maka tidak mampu membela guru-gurunya.
“Tapi kenapa Sin-kiam Mo-li tadi tidak heran melihat engkau muncul sebagai seorang yang berilmu tinggi, Hongko?”
“Semenjak aku keluar dari dalam hutan sudah pernah aku bertemu dengan Sin-kiam Mo-li, yaitu ketika ia hendak membunuh ketua Cin-sa-pang. Aku menyelamatkan ketua itu dan sejak itu Sin-kiam Mo-li sudah tahu bahwa aku mewarisi ilmu dari para guruku.”
“Akan tetapi, Hong-ko, sungguh aku tidak mengerti. Engkau telah bertemu dengan seorang di antara para pembunuh guru-gurumu, yaitu Sin-kiam Mo-li. Kenapa engkau tidak membalas dendam dan membunuh iblis betina itu?”
Sin Hong tersenyum dan menggeleng kepalanya.
“Ketahuilah Lian-moi, guru-guruku pernah memesan dengan amat sangat kepadaku agar jangan membiarkan dendam meracuni hatiku. Kalau aku menentang Sin-kiam Mo-li, yang kutentang adalah perbuatannya yang jahat, bukan karena dendamku kepada pribadinya, karena kematian guru-guruku.”
Suma Lian mengerutkan alisnya. Pernah ia mendengar ayahnya juga berpendapat demikian, namun ia sendiri tidak pernah dapat menerima dan menyetujui pendapat itu.
“Sudahlah, sekarang ceritakan, siapa keluargamu, Hong-ko, dan bagaimana engkau sampai dapat menjadi murid para penghuni Istana Gurun Pasir.”
Terpaksa Sin Hong menceritakan riwayatnya, betapa keluarga ayahnya menjadi hancur karena perbuatan jahat musuh yang sampai kini belum diketahuinya benar siapa orangnya. Betapa ayahnya dibunuh orang, ibunya tewas di gurun pasir, dan dia sendiri tertolong oleh para penghuni Istana Gurun Pasir sehingga menjadi murid mereka. Betapa kemudian dia menyelidiki pembunuh ayahnya sampai sekarang, belum juga berhasil.
“Hemmm, kalau begitu engkau menaruh dendam dan hendak membalas kematian ayahmu?” Suma Lian memancing.
Pemuda itu menggeleng kepalanya.
“Sama sekali tidak, Lian-moi. Aku hanya mencari pemecahan rahasia itu, ingin aku mengetahui siapa pembunuh ayahku dan mengapa pula ayah dibunuh sehingga ibu pun tewas dalam keadaan sengsara. Kalau pembunuh itu memang jahat, tentu saja akan kutentang seperti aku menentang para penjahat lainnya, siapa dan di mana pun juga. Menurut hasil penyelidikanku, rahasianya agaknya terletak pada perkumpulan Tiat-liong-pang dan aku sedang hendak pergi ke sana.”
Suma Lian mengangguk-angguk.
“Dan ilmu sin-kang Inti Bumi itu, kau pelajari dari siapa?”
“Dari suhu Tiong Khi Hwesio.”
“Ahhh! Menurut cerita ayahku, Tiong Khi Hwesio dahulunya bernama Wan Tek Hoat, berjuluk Si Jari Maut, seorang pendekar yang lihai sekali.”
“Benar, dan menurut mendiang Tiong Khi Hwesio guruku itu, sinkang Inti Bumi berasal dari para penghuni Pulau Neraka. Bagaimana engkau sendiri yang menjadi keturunan keluarga Pulau Es, dapat menguasai sinkang itu, Lian-moi?”
“Aku biarpun cucu buyut Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan ayahku merupakan keturunan langsung, namun aku pernah menjadi murid paman kakekku sendiri yang berjuluk Bu Beng Lokai dan sekarang telah meninggal dunia. Dari dialah aku mempelajari sin-kang itu, kemudian tentu saja aku memperdalam ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es dari ayah dan juga ilmu mempergunakan suling emas ini dari ibuku.”
Sin Hong memandang kagum.
“Ah, tidak heran kalau engkau begitu lihai, Lian-moi. Kiranya engkau telah mempelajari banyak ilmu silat tinggi di samping ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es.”
“Sudahlah, Toako, tak perlu memuji lagi. Sudah jelas bahwa dalam hal ilmu silat, bagaimanapun juga aku masih kalah olehmu. Sekarang, engkau hendak pergi ke mana? Aku sendiri akan pergi ke lereng Gunung Tapa-san, menemui seorang paman tua menyampaikan pesan ayahku. Dan engkau?”
“Seperti kuceritakan tadi penyelidikanku membawaku ke sini dan aku akan pergi mengunjungi Tiat-liong-pang, melanjutkan penyelidikanku karena sebelum mati, orang she Lay itu menyebut Tiat-liong-pang, dan menurut penyelidikanku, perkumpulan itu bersarang di luar kota Sang-cia-kou, di lereng sebuah bukit.”
“Sang-cia-kou di selatan? Kalau begitu dapat lewat Tapa-san. Bagaimana kalau kita melakukan perjalanan bersama saja, Hong-ko?”
Sin Hong tersenyum gembira. Gadis ini demikian lincah dan ternyata ramah dan manis sekali kalau tidak marah, dan tentu perjalanan akan menjadi menyenangkan dan tidak sepi kalau dilakukan bersama Suma Lian.
“Baiklah, Lian-moi. Hanya ada satu hal yang membuat aku agak bingung, yaitu anak ini. Aku masih memiliki banyak tugas yang harus kuselesaikan, banyak menempuh perjalanan jauh dan sukar, bahkan mungkin bertemu lawan yang jahat dan tangguh. Bagaimana aku akan dapat leluasa bergerak kalau harus menjaga dia?”
“Akan tetapi dia muridmu dan ibunya sudah menyerahkan kepadamu, Hong-ko. Engkau pun sudah menerimanya!”
Kata Suma Lian dan ia pun tersenyum lebar karena ia merasa gembira bahwa bukan ia yang menerima beban berat itu! Kalau ia yang menerima Yo Han dari ibunya, tentu ia akan menjadi lebih bingung dibandingkan Sin Hong.
“Benar, dan terus terang saja, biarpun aku belum mempunyai niat mengambil murid, merasa masih terlalu muda, bahkan tidak mempunyai tempat tinggal tetap, aku suka melihatnya. Akan tetapi, kalau sekarang dia terus mengikuti aku, bagaimana aku akan dapat berhasil melaksanakan tugasku?”
“Suhu, harap Suhu tidak khawatir!” Tiba-tiba Yo Han berkata dengan penuh semangat, “Suhu tidak perlu mempedulikan teecu, tidak perlu menjaga teecu, karena teecu dapat menjaga diri sendiri.”
Mendengar ucapan itu, Sin Hong dan Suma Lian saling pandang dan keduanya tersenyum, ada rasa kagum membayang pada wajah mereka. Anak itu memang luar biasa. Sedikit pun tidak pernah belajar silat akan tetapi memiliki keberanian dan semangat yang hebat, bahkan sedikit pun tidak gentar menghadapi ancaman maut di tangan Sin-kiam Mo-li. Sungguh sukar dicari keduanya anak dengan nyali seperti ini, nyali seorang calon pendekar sejati.
“Ah, aku mempunyai jalan keluar yang amat baik!” tiba-tiba Suma Lian berkata. Sin Hong memandang kepadanya dengan penuh harapan.
“Ketahuilah, Hong-ko. Paman tua yang akan kukunjungi itu adalah saudara sepupu ayahku, dia bernama Suma Ciang Bun, keturunan langsung pula dari keluarga Pulau Es. Pek-hu (Uwa) Suma Ciang Bun itu hidup seorang diri, hanya berdua dengan muridnya yang sering kali pergi merantau. Dan dia pun tidak berkeluarga, bahkan kini ayah menyuruh aku pergi mengunjunginya dan menyampaikan ajakan ayahku agar pek-hu suka tinggal bersama ayah dan ibu, agar hidupnya di hari tua tidak kesepian. Nah, bagaimana kalau engkau titipkan Yo Han kepadanya lebih dulu selama engkau melaksanakan tugasmu? Aku yang akan bicara dan setelah melihat Yo Han aku yakin pek-hu akan suka pula menerimanya.”
Wajah Sin Hong berseri.
“Ah, itu merupakan jalan keluar yang baik sekali!” Tiba-tiba wajahnya berubah. “Akan tetapi, bagaimana aku berani mengganggu locianpwe itu?” Dia lalu menoleh kepada Yo Han dan berkata, “Dan bukankah itu berarti aku melepaskan pula tanggung jawabku setelah menerima anak ini dari ibunya?”
“Urusan pek-hu akulah yang akan bicara, Hong-ko. Dan kalau pek-hu mau menerimanya, kurasa bukan berarti engkau melepas tanggung jawab, karena bukankah maksud bibi Bi-kwi hanya agar engkau membawa pergi Yo Han dan anak ini dihindarkan dari gangguan Sin-kiam Mo-li?” Akan tetapi Sin Hong masih meragu, memandang kepada Yo Han dengan bingung.
Melihat ini, Yo Han segera berkata,
“Suhu, teecu mengerti bahwa kalau teecu ikut dengan Suhu sekarang, teecu akan menjadi beban dan Suhu akan merasa terhalang dan terganggu. Karena itu, teecu akan mentaati semua perintah Suhu, disuruh tinggal di manapun teecu menurut, asal Suhu tidak melupakan teecu dan kelak pada waktunya Suhu datang menjemput teecu.”
Mendengar ini, Suma Lian bertepuk tangan memuji.
“Murid yang bagus sekali, ah engkau beruntung mempunyai seorang murid seperti dia, Hong-ko!”
Mau tidak mau Sin Hong tersenyum. Bagaimanapun juga, dia memang suka dan kagum kepada Yo Han.
“Kalau begitu, baiklah dan sebelumnya kuhaturkan terima kasih atas bantuanmu, Lian-moi.”
Mereka bertiga lalu melanjutkan perjalanan, menuju ke Tapa-san dan di sepanjang perjalanan Sin Hong merasa gembira selalu karena Suma Lian memang merupakan seorang gadis yang lincah jenaka, sedangkan Yo Han juga merupakan seorang anak yang menyenangkan dan murid yang taat dan cekatan. Setiap kali mereka berhenti di hutan dan terpaksa bermalam di tempat terbuka, tanpa diperintah lagi anak itu mencari kayu bakar, atau air dan sebagainya.
Juga Yo Han pandai membawa diri, pendiam tak pernah bicara kalau tidak ditanya, wajahnya selalu cerah walaupun kadang-kadang, terutama sekali di waktu malam kalau dia sedang duduk menghadapi api unggun, anak itu seringkali termenung.
Sin Hong dan Suma Lian dapat menduga bahwa tentu anak itu teringat dan rindu kepada ayah bundanya. Namun, tak pernah anak itu mau mengatakan hal ini dan dengan keras hati menyembunyikan kesedihannya itu di balik dagu yang mengeras dan mata yang bersinar-sinar.
“Enci, bagaimana pendapatmu dengan ilmu kesaktian suhuku? Siapakah yang lebih unggul antara Enci dan Suhu tadi?” tanyanya sambil duduk di atas rumput, dekat Suma Lian.
“Tentu saja gurumu yang lebih lihai,” kata Suma Lian tersenyum.
“Yo Han, duduk saja di situ dan tutup mulut, jangan bicara kalau tidak ditanya!” Sin Hong berkata dengan tegas.
“Baik, Suhu” jawab Yo Han, tegas pula walaupun sepasang mata anak itu bersinar-sinar penuh kegembiraan.
Agaknya Yo Han sudah mengenal betul watak gurunya yang lemah lembut dan tahu bahwa kegalakan tadi dibuat-buat saja. Mereka duduk berhadapan dan Yo Han duduk agak mundur. Setelah beberapa lamanya saling pandang, Suma Lian berkata,
“Hong-ko, agaknya engkau sudah tahu bahwa aku adalah keturunan keluarga Pulau Es tentu engkau mendengar dari percakapan ketika aku menghadapi orang-orang sesat tadi. Akan tetapi aku sendiri belum tahu siapakah engkau sebenarnya.”
“Namaku Tan Sin Hong.”
“Itu aku sudah tahu. Akan tetapi, siapakah gurumu, Hong-ko? Aku yakin bahwa ada hubungan antara perguruan kita karena kita berdua sama-sama menguasai tenaga Sakti Inti Bumi, walaupun ilmu-ilmu silatmu aneh dan banyak yang tidak kukenal.”
Sin Hong mengerutkan alisnya. Selama ini, belum pernah dia menceritakan kepada orang lain tentang guru-gurunya tentu saja kecuali kepada keluarga suhengnya, Kao Cin Liong sebagai putera tunggal suami Isteri penghuni Istana Gurun Pasir.
Akan tetapi, dia pun sering mendengar dari para gurunya bahwa keluarga Pulau Es tidak boleh dianggap sebagai “orang luar” karena ada hubungan erat sekali antara keluarga Istana Gurun Pasir dan Pulau Es. Dia tahu bahwa gadis yang wataknya aneh ini akan tersinggung dan marah kembali kalau dia tidak mau mengaku siapa guru-gurunya. Kiranya tidak ada salahnya kalau dia mengaku kepada seorang gadis she Suma, keturunan asli dari Pulau Es.
“Terus terang saja, Lian-moi, tidak pernah aku memperkenalkan nama guru-guruku kepada orang lain. Akan tetapi karena para guruku mengenal baik keluarga Pulau Es, bahkan mempunyai hubungan dekat, dan mengingat pula bahwa antara kita sudah terjadi tali persahabatan yang akrab, maka biarlah aku mengaku kepadamu. Aku mempunyai tiga orang guru, mereka adalah mendiang suami isteri penghuni Istana Gurun Pasir.“
“Ahhh! Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir?” Suma Lian berseru, hampir berteriak.
“Benar, dan yang seorang adalah suhu Tiong Khi Hwesio. Mereka bertiga berada di Gurun Pasir dan aku menjadi murid para guruku itu selama tujuh tahun di sana.”
“Aihhhhh....! Pantas saja engkau demikian lihai! Tapi.... tapi.... engkau tadi berkata mendiang? Apakah.... apakah mereka itu sudah....”
“Mereka sudah meninggal dunia, Lian-moi, tewas ketika belasan orang tokoh sesat menyerbu ke Istana Gurun Pasir. Dan ketahuilah bahwa para penyerbu itu bukan lain adalah Sin-kiam Mo-li tadi bersama kawan-kawannya yang lihai.”
“Iblis betina tadi?” Suma Lian berseru kaget dan matanya terbelalak. “Tapi.... bagaimana mungkin iblis betina itu dan kawan-kawannya mampu menewaskan mereka yang sakti? Padahal di sana ada engkau pula, Hong-ko?”
Suma Lian bertanya dengan nada suara mengandung penasaran. Ia tahu bahwa Sin-kiam Mo-li lihai, akan tetapi ia sendiri mampu menandingi iblis betina itu bahkan Sin Hong sendiri jauh lebih lihai dari Sin-kiam Mo-li. Bagaimana mungkin iblis betina itu bersama kawan-kawannya mampu menewaskan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, juga Tiong Khi Hwesio yang pernah didengarnya pula dari ayah ibunya sebagai seorang yang amat lihai?
Sin Hong menarik napas panjang,
“Agaknya Tuhan telah menakdirkan bahwa tiga orang guruku itu harus gugur dan tewas sebagai orang-orang yang gagah perkasa. Kurang lebih dua tahun yang lalu terjadinya. Tiga orang guruku adalah orang-orang sakti, akan tetapi usia mereka pun sudah amat lanjut rata-rata delapan puluh tahun, bahkan suhu Kao Kok Cu, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, sudah berusia delapan puluh lima tahun. Adapun yang datang menyerbu, bukan orang-orang sembarangan, banyak yang lebih lihai dari Sin-kiam Mo-li. Mereka adalah tokoh-tokoh besar dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw semua berjumlah tujuh belas orang. Tiga orang guruku tewas akan tetapi dari tujuh belas orang penyerbu itu empat belas orang tewas pula, sedangkan yang masih hidup namun terluka parah adalah Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin wakil ketua Pat-kwa-kauw, Thian Kek Sengjin, tokoh besar Pek-lian-kauw.”
“Akan tetapi engkau sendiri bukankah engkau berada di sana, Hong-ko dan bagaimana gurumu tewas?”
Suma Lian memandang dengan alis berkerut agaknya merasa heran dan menyesal mengapa pemuda ini tidak dapat membela guru-gurunya.
Sin Hong menarik napas panjang, jantungnya terasa nyeri seperti ditusuk setiap kali dia teringat akan peristiwa itu.
“Sudah kukatakan tadi Lian-moi, agaknya Tuhan sudah menghendaki demikian dan menakdirkan tiga orang guruku itu sudah tiba saatnya meninggal dunia. Pada waktu itu, aku tidak berdaya. Tiga orang guruku itu mengajarkan sebuah ilmu gabungan ciptaan mereka bertiga dan mengoperkan gabungan tenaga sakti kepada diriku. Ilmu itu harus kupelajari selama satu tahun, dengan syarat bahwa selama setahun itu aku sama sekali tidak boleh melakukan gerakan silat apalagi mengerahkan sinkang karena kalau hal ini kulakukan.... aku akan tewas dengan sendirinya, terpukul sendiri oleh tenaga yang kukerahkan itu.
Nah bayangkan saja, Lian-moi. Aku tidak dapat bergerak, terpaksa melihat tiga orang guruku tewas di tangan mereka, dan aku sendiri tertawan tiga orang yang masih tersisa itu. Mereka mengira aku seorang kacung yang tidak memiliki ilmu silat, mereka memaksaku untuk menunjukkan di mana adanya pusaka-pusaka istana tua itu. Karena memang tidak ada pusaka, mereka menyiksaku. Aku membakar istana tua itu berikut jenazah tiga orang guruku, dan aku disuruh menguburkan jenazah empat belas orang penyerbu yang tewas. Untung bagiku pada malam harinya, aku berhasil melarikan diri dan sembunyi di dalam hutan selama satu tahun untuk menyelesaikan latihanku.”
Suma Lian mendengarkan dan kini senyumnya timbul kembali. Kiranya pemuda ini bukan seorang pengecut, melainkan karena terpaksa maka tidak mampu membela guru-gurunya.
“Tapi kenapa Sin-kiam Mo-li tadi tidak heran melihat engkau muncul sebagai seorang yang berilmu tinggi, Hongko?”
“Semenjak aku keluar dari dalam hutan sudah pernah aku bertemu dengan Sin-kiam Mo-li, yaitu ketika ia hendak membunuh ketua Cin-sa-pang. Aku menyelamatkan ketua itu dan sejak itu Sin-kiam Mo-li sudah tahu bahwa aku mewarisi ilmu dari para guruku.”
“Akan tetapi, Hong-ko, sungguh aku tidak mengerti. Engkau telah bertemu dengan seorang di antara para pembunuh guru-gurumu, yaitu Sin-kiam Mo-li. Kenapa engkau tidak membalas dendam dan membunuh iblis betina itu?”
Sin Hong tersenyum dan menggeleng kepalanya.
“Ketahuilah Lian-moi, guru-guruku pernah memesan dengan amat sangat kepadaku agar jangan membiarkan dendam meracuni hatiku. Kalau aku menentang Sin-kiam Mo-li, yang kutentang adalah perbuatannya yang jahat, bukan karena dendamku kepada pribadinya, karena kematian guru-guruku.”
Suma Lian mengerutkan alisnya. Pernah ia mendengar ayahnya juga berpendapat demikian, namun ia sendiri tidak pernah dapat menerima dan menyetujui pendapat itu.
“Sudahlah, sekarang ceritakan, siapa keluargamu, Hong-ko, dan bagaimana engkau sampai dapat menjadi murid para penghuni Istana Gurun Pasir.”
Terpaksa Sin Hong menceritakan riwayatnya, betapa keluarga ayahnya menjadi hancur karena perbuatan jahat musuh yang sampai kini belum diketahuinya benar siapa orangnya. Betapa ayahnya dibunuh orang, ibunya tewas di gurun pasir, dan dia sendiri tertolong oleh para penghuni Istana Gurun Pasir sehingga menjadi murid mereka. Betapa kemudian dia menyelidiki pembunuh ayahnya sampai sekarang, belum juga berhasil.
“Hemmm, kalau begitu engkau menaruh dendam dan hendak membalas kematian ayahmu?” Suma Lian memancing.
Pemuda itu menggeleng kepalanya.
“Sama sekali tidak, Lian-moi. Aku hanya mencari pemecahan rahasia itu, ingin aku mengetahui siapa pembunuh ayahku dan mengapa pula ayah dibunuh sehingga ibu pun tewas dalam keadaan sengsara. Kalau pembunuh itu memang jahat, tentu saja akan kutentang seperti aku menentang para penjahat lainnya, siapa dan di mana pun juga. Menurut hasil penyelidikanku, rahasianya agaknya terletak pada perkumpulan Tiat-liong-pang dan aku sedang hendak pergi ke sana.”
Suma Lian mengangguk-angguk.
“Dan ilmu sin-kang Inti Bumi itu, kau pelajari dari siapa?”
“Dari suhu Tiong Khi Hwesio.”
“Ahhh! Menurut cerita ayahku, Tiong Khi Hwesio dahulunya bernama Wan Tek Hoat, berjuluk Si Jari Maut, seorang pendekar yang lihai sekali.”
“Benar, dan menurut mendiang Tiong Khi Hwesio guruku itu, sinkang Inti Bumi berasal dari para penghuni Pulau Neraka. Bagaimana engkau sendiri yang menjadi keturunan keluarga Pulau Es, dapat menguasai sinkang itu, Lian-moi?”
“Aku biarpun cucu buyut Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan ayahku merupakan keturunan langsung, namun aku pernah menjadi murid paman kakekku sendiri yang berjuluk Bu Beng Lokai dan sekarang telah meninggal dunia. Dari dialah aku mempelajari sin-kang itu, kemudian tentu saja aku memperdalam ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es dari ayah dan juga ilmu mempergunakan suling emas ini dari ibuku.”
Sin Hong memandang kagum.
“Ah, tidak heran kalau engkau begitu lihai, Lian-moi. Kiranya engkau telah mempelajari banyak ilmu silat tinggi di samping ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es.”
“Sudahlah, Toako, tak perlu memuji lagi. Sudah jelas bahwa dalam hal ilmu silat, bagaimanapun juga aku masih kalah olehmu. Sekarang, engkau hendak pergi ke mana? Aku sendiri akan pergi ke lereng Gunung Tapa-san, menemui seorang paman tua menyampaikan pesan ayahku. Dan engkau?”
“Seperti kuceritakan tadi penyelidikanku membawaku ke sini dan aku akan pergi mengunjungi Tiat-liong-pang, melanjutkan penyelidikanku karena sebelum mati, orang she Lay itu menyebut Tiat-liong-pang, dan menurut penyelidikanku, perkumpulan itu bersarang di luar kota Sang-cia-kou, di lereng sebuah bukit.”
“Sang-cia-kou di selatan? Kalau begitu dapat lewat Tapa-san. Bagaimana kalau kita melakukan perjalanan bersama saja, Hong-ko?”
Sin Hong tersenyum gembira. Gadis ini demikian lincah dan ternyata ramah dan manis sekali kalau tidak marah, dan tentu perjalanan akan menjadi menyenangkan dan tidak sepi kalau dilakukan bersama Suma Lian.
“Baiklah, Lian-moi. Hanya ada satu hal yang membuat aku agak bingung, yaitu anak ini. Aku masih memiliki banyak tugas yang harus kuselesaikan, banyak menempuh perjalanan jauh dan sukar, bahkan mungkin bertemu lawan yang jahat dan tangguh. Bagaimana aku akan dapat leluasa bergerak kalau harus menjaga dia?”
“Akan tetapi dia muridmu dan ibunya sudah menyerahkan kepadamu, Hong-ko. Engkau pun sudah menerimanya!”
Kata Suma Lian dan ia pun tersenyum lebar karena ia merasa gembira bahwa bukan ia yang menerima beban berat itu! Kalau ia yang menerima Yo Han dari ibunya, tentu ia akan menjadi lebih bingung dibandingkan Sin Hong.
“Benar, dan terus terang saja, biarpun aku belum mempunyai niat mengambil murid, merasa masih terlalu muda, bahkan tidak mempunyai tempat tinggal tetap, aku suka melihatnya. Akan tetapi, kalau sekarang dia terus mengikuti aku, bagaimana aku akan dapat berhasil melaksanakan tugasku?”
“Suhu, harap Suhu tidak khawatir!” Tiba-tiba Yo Han berkata dengan penuh semangat, “Suhu tidak perlu mempedulikan teecu, tidak perlu menjaga teecu, karena teecu dapat menjaga diri sendiri.”
Mendengar ucapan itu, Sin Hong dan Suma Lian saling pandang dan keduanya tersenyum, ada rasa kagum membayang pada wajah mereka. Anak itu memang luar biasa. Sedikit pun tidak pernah belajar silat akan tetapi memiliki keberanian dan semangat yang hebat, bahkan sedikit pun tidak gentar menghadapi ancaman maut di tangan Sin-kiam Mo-li. Sungguh sukar dicari keduanya anak dengan nyali seperti ini, nyali seorang calon pendekar sejati.
“Ah, aku mempunyai jalan keluar yang amat baik!” tiba-tiba Suma Lian berkata. Sin Hong memandang kepadanya dengan penuh harapan.
“Ketahuilah, Hong-ko. Paman tua yang akan kukunjungi itu adalah saudara sepupu ayahku, dia bernama Suma Ciang Bun, keturunan langsung pula dari keluarga Pulau Es. Pek-hu (Uwa) Suma Ciang Bun itu hidup seorang diri, hanya berdua dengan muridnya yang sering kali pergi merantau. Dan dia pun tidak berkeluarga, bahkan kini ayah menyuruh aku pergi mengunjunginya dan menyampaikan ajakan ayahku agar pek-hu suka tinggal bersama ayah dan ibu, agar hidupnya di hari tua tidak kesepian. Nah, bagaimana kalau engkau titipkan Yo Han kepadanya lebih dulu selama engkau melaksanakan tugasmu? Aku yang akan bicara dan setelah melihat Yo Han aku yakin pek-hu akan suka pula menerimanya.”
Wajah Sin Hong berseri.
“Ah, itu merupakan jalan keluar yang baik sekali!” Tiba-tiba wajahnya berubah. “Akan tetapi, bagaimana aku berani mengganggu locianpwe itu?” Dia lalu menoleh kepada Yo Han dan berkata, “Dan bukankah itu berarti aku melepaskan pula tanggung jawabku setelah menerima anak ini dari ibunya?”
“Urusan pek-hu akulah yang akan bicara, Hong-ko. Dan kalau pek-hu mau menerimanya, kurasa bukan berarti engkau melepas tanggung jawab, karena bukankah maksud bibi Bi-kwi hanya agar engkau membawa pergi Yo Han dan anak ini dihindarkan dari gangguan Sin-kiam Mo-li?” Akan tetapi Sin Hong masih meragu, memandang kepada Yo Han dengan bingung.
Melihat ini, Yo Han segera berkata,
“Suhu, teecu mengerti bahwa kalau teecu ikut dengan Suhu sekarang, teecu akan menjadi beban dan Suhu akan merasa terhalang dan terganggu. Karena itu, teecu akan mentaati semua perintah Suhu, disuruh tinggal di manapun teecu menurut, asal Suhu tidak melupakan teecu dan kelak pada waktunya Suhu datang menjemput teecu.”
Mendengar ini, Suma Lian bertepuk tangan memuji.
“Murid yang bagus sekali, ah engkau beruntung mempunyai seorang murid seperti dia, Hong-ko!”
Mau tidak mau Sin Hong tersenyum. Bagaimanapun juga, dia memang suka dan kagum kepada Yo Han.
“Kalau begitu, baiklah dan sebelumnya kuhaturkan terima kasih atas bantuanmu, Lian-moi.”
Mereka bertiga lalu melanjutkan perjalanan, menuju ke Tapa-san dan di sepanjang perjalanan Sin Hong merasa gembira selalu karena Suma Lian memang merupakan seorang gadis yang lincah jenaka, sedangkan Yo Han juga merupakan seorang anak yang menyenangkan dan murid yang taat dan cekatan. Setiap kali mereka berhenti di hutan dan terpaksa bermalam di tempat terbuka, tanpa diperintah lagi anak itu mencari kayu bakar, atau air dan sebagainya.
Juga Yo Han pandai membawa diri, pendiam tak pernah bicara kalau tidak ditanya, wajahnya selalu cerah walaupun kadang-kadang, terutama sekali di waktu malam kalau dia sedang duduk menghadapi api unggun, anak itu seringkali termenung.
Sin Hong dan Suma Lian dapat menduga bahwa tentu anak itu teringat dan rindu kepada ayah bundanya. Namun, tak pernah anak itu mau mengatakan hal ini dan dengan keras hati menyembunyikan kesedihannya itu di balik dagu yang mengeras dan mata yang bersinar-sinar.
**** 037 ****