Di benteng pasukan-pasukan pemerintah Ceng yang berada di perbatasan utara terjadilah peristiwa yang menggegerkan. Selama beberapa minggu sudah ada belasan orang perwira menengah dan perwira tinggi secara tiba-tiba saja hilang tanpa meninggalkan jejak!
Mereka yang hilang itu semua adalah para perwira yang setia kepada pemerintah. Karena tidak mungkin pasukan tanpa pimpinan, maka beberapa pasukan yang kehilangan pimpinan lalu dikuasai oleh Coa Tai-ciangkun, seorang di antara panglima yang bertugas di perbatasan utara. Perwira-perwira baru diangkat oleh Coa Tai-ciangkun.
Keadaan seperti itu mencemaskan hati para perwira yang setia kepada pemerintah dan yang masih hidup. Ada beberapa orang di antara mereka nyaris diculik oleh orang-orang berkedok yang berkepandaian tinggi. Mereka ini merasa cemas melihat betapa rekan-rekan mereka lenyap dan kini kekuasaan Coa Tai-ciangkun atas pasukan-pasukan di utara semakin besar. Padahal, mereka sudah mendengar desas-desus bahwa Coa Tai-ciangkun disangsikan kesetiaannya karena kabarnya mengadakan hubungan dengan kekuatan-kekuatan di luar pasukan. Maka, diam-diam di antara para perwira itu mengirim utusan dengan cepat ke selatan, ke kota raja untuk melaporkan peristiwa yang mencemaskan itu.
Pada suatu pagi yang cerah, di atas puncak sebuah bukit tak jauh dari Tembok Besar nampak dua orang menuruni bukit itu perlahan-lahan sambil menikmati pemandangan alam yang amat indah dari puncak bukit. Memang indah bukan main pemandangan dari situ. Tembok Besar buatan manusia yang sudah mengorbankan mungkin jutaan orang manusia dalam pembuatannya dan perbaikan-perbaikannya itu, nampak seperti seekor naga di antara bukit-bukit, naik turun dan berkelok-kelok, membuat dua orang itu kadang-kadang berhenti melangkah untuk lebih menikmati pemandangan itu.
Mereka adalah seorang nenek dan seorang kakek. Kakek itu usianya sudah kurang lebih tujuh puluh tahun, berpakaian sastrawan yang sederhana, bertubuh tinggi agak kurus, namun wajahnya masih membayangkan ketampanan dan tubuh itu masih tegak. Gerak-geriknya halus, dan pandang matanya lembut, walaupun kadang-kadang mencorong penuh wibawa.
Adapun nenek itu belasan tahun lebih muda, baru lima puluh tahun lebih, gerak-geriknya masih lincah dan bentuk tubuhnya masih ramping dan cekatan. Keduanya menggendong sebuah buntalan pakaian di punggung dan keduanya nampak gembira, mungkin karena hawa udara yang sejuk nyaman dan pemandangan alam yang amat indahnya itu menyeret mereka ke dalam suasana gembira.
Manusia adalah sebagian dari alam, merupakan bagian tak terpisahkan dari alam, oleh karena itu, betapapun manusia mabuk oleh nafsu duniawi yang membuat mereka selalu tenggelam ke dalam kesibukan mencari uang, mengejar kesenangan, hiburan atau urusan rumah tangga, keluarga, atau juga masyarakat dan negara sekali waktu akan timbul rindunya kepada alam.
Dan setelah manusia jenuh daripada segala keduniawian dengan tata kehidupan yang serba mengejar kesenangan ini, misalnya dia berada di puncak bukit atau di tepi samudera, dia akan tenggelam ke dalam kesyahduan alam, ke dalam keheningan yang menghanyutkan, yang mendatangkan ketenangan dan kedamaian di dalam batin.
Timbul suatu pertanyaan masing-masing, dalam batin masing-masing, yaitu : Dapatkah kita bebas daripada segala kebisingan pikiran sewaktu kita berada di dalam masyarakat ramai sehingga kita memperoleh keheningan ketenangan dan kedamaian seperti kalau kita berada seorang diri di puncak gunung atau di tepi samudera?
Biarpun kakek dan nenek itu kelihatan seperti orang-orang biasa saja, namun kalau ada yang mengenal mereka, tentu si pengenal akan terkejut sekali mendapatkan mereka berdua di situ. Mereka bukanlah orang biasa, melainkan pasangan pendekar sakti yang pernah menggemparkan dunia persilatan dengan ilmu mereka yang tinggi!
Kakek itu bernama Kam Hong. Puluhan tahun yang lalu dia pernah menggegerkan dunia persilatan dengan ilmunya yang tinggi dan dijuluki Pendekar Suling Emas karena ilmunya mengingatkan dunia persilatan akan kehebatan ilmu pedang yang dimainkan dengan suling dari seorang pendekar ratusan tahun yang lalu yang Juga berjuluk Suling Emas (baca kisah Suling Emas Naga Siluman ).
Adapun nenek itu adalah isterinya yang juga merupakan seorang pendekar wanita yang tinggi ilmunya, bernama Bu Ci Sian. Isterinya ini, yang belasan tahun lebih muda dari sang suami, juga masih sumoi dari suami itu, karena mereka berdualah yang telah menemukan kitab ilmu yang amat tinggi dan keduanya mempelajari ilmu itu. Disamping ilmu memainkan suling emas, juga nenek Bu Ci Sian ini memiliki ilmu menaklukkan ular, dan di samping itu, juga pernah menerima gemblengan ilmu gabungan sin-kang Im dan Yang dari pendekar Suma Kian Bu, putera Pendekar Super Sakti Pulau Es.
Sudah puluhan tahun kedua suami isteri ini tidak pernah terjun ke dunia persilatan, hidup aman tenteram di istana kuno yang pernah menjadi pusat perkumpulan Khong-sim Kai-pang, yaitu di puncak bukit Nelayan di Pegunungan Tai-hang-san, sebelah selatan kota Pao-teng. Bagaimana kini mendadak suami isteri tua yang sakti itu berada di pegunungan utara dekat Tembok Besar?
Sebulan yang lalu, nenek Bu Ci Sian merasa rindu sekali kepada puterinya, yaitu Kam Bi Eng yang telah menjadi isteri Suma Ceng Liong, juga ia ingin sekali melihat dunia luar setelah bertahun-tahun berdiam di rumah saja. Ia mengajak suaminya untuk meninggalkan istana tua itu dan berkunjung ke tempat kediaman puteri mereka di dusun Hong-cun.
Akan tetapi, setelah tiba di tempat itu, ternyata Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng tidak berada di rumah dan menurut keterangan para pembantu rumah tangga, suami isteri itu meninggalkan rumah untuk pergi mencari nona Suma Lian yang telah pergi lebih dahulu dari rumah. Para pembantu rumah tangga itu tidak dapat memberi keterangan ke mana majikan mereka pergi.
Kakek dan nenek itu tentu saja merasa kecewa dan mereka hanya tinggal semalam saja di rumah puteri mereka yang kosong. Mereka telah mendengar berita tentang gerakan Tiat-liong-pang yang dibantu oleh banyak tokoh sesat, maka kakek Kam Hong menduga bahwa tentu puteri, mantu dan cucu mereka itu pergi ke sana untuk menentang gerakan kaum sesat.
Maka, mereka berdua lalu pergi ke utara untuk melihat-lihat keadaan dan mencari puteri dan mantu mereka. Di sepanjang perjalanan mereka mencari keterangan dan makin kuat dugaan mereka bahwa puteri mereka tentu pergi ke utara setelah mendengar bahwa memang banyak pendekar yang melakukan perjalanan ke utara sehubungan dengan berita gerakan kaum sesat di utara yang dipimpin oleh Tiat-liong-pang itu.
Demikianlah, pada pagi hari itu, kakek Kam Hong dan nenek Bu Ci Sian tiba di puncak bukit, menuruni bukit sambil menikmati pemandangan alam yang amat indah, kadang-kadang berhenti dan memandang ke empat penjuru dengan penuh kagum.
“Eh, lihat di sana itu!” Tiba-tiba nenek itu berseru sambil menuding ke arah selatan, ke bawah. “Bukankah itu sebuah kereta?”
Kakek Kam Hong cepat memandang ke arah yang ditunjuk isterinya dan mengamati.
“Benar, sebuah kereta dikawal oleh belasan orang.”
Mereka yang hilang itu semua adalah para perwira yang setia kepada pemerintah. Karena tidak mungkin pasukan tanpa pimpinan, maka beberapa pasukan yang kehilangan pimpinan lalu dikuasai oleh Coa Tai-ciangkun, seorang di antara panglima yang bertugas di perbatasan utara. Perwira-perwira baru diangkat oleh Coa Tai-ciangkun.
Keadaan seperti itu mencemaskan hati para perwira yang setia kepada pemerintah dan yang masih hidup. Ada beberapa orang di antara mereka nyaris diculik oleh orang-orang berkedok yang berkepandaian tinggi. Mereka ini merasa cemas melihat betapa rekan-rekan mereka lenyap dan kini kekuasaan Coa Tai-ciangkun atas pasukan-pasukan di utara semakin besar. Padahal, mereka sudah mendengar desas-desus bahwa Coa Tai-ciangkun disangsikan kesetiaannya karena kabarnya mengadakan hubungan dengan kekuatan-kekuatan di luar pasukan. Maka, diam-diam di antara para perwira itu mengirim utusan dengan cepat ke selatan, ke kota raja untuk melaporkan peristiwa yang mencemaskan itu.
Pada suatu pagi yang cerah, di atas puncak sebuah bukit tak jauh dari Tembok Besar nampak dua orang menuruni bukit itu perlahan-lahan sambil menikmati pemandangan alam yang amat indah dari puncak bukit. Memang indah bukan main pemandangan dari situ. Tembok Besar buatan manusia yang sudah mengorbankan mungkin jutaan orang manusia dalam pembuatannya dan perbaikan-perbaikannya itu, nampak seperti seekor naga di antara bukit-bukit, naik turun dan berkelok-kelok, membuat dua orang itu kadang-kadang berhenti melangkah untuk lebih menikmati pemandangan itu.
Mereka adalah seorang nenek dan seorang kakek. Kakek itu usianya sudah kurang lebih tujuh puluh tahun, berpakaian sastrawan yang sederhana, bertubuh tinggi agak kurus, namun wajahnya masih membayangkan ketampanan dan tubuh itu masih tegak. Gerak-geriknya halus, dan pandang matanya lembut, walaupun kadang-kadang mencorong penuh wibawa.
Adapun nenek itu belasan tahun lebih muda, baru lima puluh tahun lebih, gerak-geriknya masih lincah dan bentuk tubuhnya masih ramping dan cekatan. Keduanya menggendong sebuah buntalan pakaian di punggung dan keduanya nampak gembira, mungkin karena hawa udara yang sejuk nyaman dan pemandangan alam yang amat indahnya itu menyeret mereka ke dalam suasana gembira.
Manusia adalah sebagian dari alam, merupakan bagian tak terpisahkan dari alam, oleh karena itu, betapapun manusia mabuk oleh nafsu duniawi yang membuat mereka selalu tenggelam ke dalam kesibukan mencari uang, mengejar kesenangan, hiburan atau urusan rumah tangga, keluarga, atau juga masyarakat dan negara sekali waktu akan timbul rindunya kepada alam.
Dan setelah manusia jenuh daripada segala keduniawian dengan tata kehidupan yang serba mengejar kesenangan ini, misalnya dia berada di puncak bukit atau di tepi samudera, dia akan tenggelam ke dalam kesyahduan alam, ke dalam keheningan yang menghanyutkan, yang mendatangkan ketenangan dan kedamaian di dalam batin.
Timbul suatu pertanyaan masing-masing, dalam batin masing-masing, yaitu : Dapatkah kita bebas daripada segala kebisingan pikiran sewaktu kita berada di dalam masyarakat ramai sehingga kita memperoleh keheningan ketenangan dan kedamaian seperti kalau kita berada seorang diri di puncak gunung atau di tepi samudera?
Biarpun kakek dan nenek itu kelihatan seperti orang-orang biasa saja, namun kalau ada yang mengenal mereka, tentu si pengenal akan terkejut sekali mendapatkan mereka berdua di situ. Mereka bukanlah orang biasa, melainkan pasangan pendekar sakti yang pernah menggemparkan dunia persilatan dengan ilmu mereka yang tinggi!
Kakek itu bernama Kam Hong. Puluhan tahun yang lalu dia pernah menggegerkan dunia persilatan dengan ilmunya yang tinggi dan dijuluki Pendekar Suling Emas karena ilmunya mengingatkan dunia persilatan akan kehebatan ilmu pedang yang dimainkan dengan suling dari seorang pendekar ratusan tahun yang lalu yang Juga berjuluk Suling Emas (baca kisah Suling Emas Naga Siluman ).
Adapun nenek itu adalah isterinya yang juga merupakan seorang pendekar wanita yang tinggi ilmunya, bernama Bu Ci Sian. Isterinya ini, yang belasan tahun lebih muda dari sang suami, juga masih sumoi dari suami itu, karena mereka berdualah yang telah menemukan kitab ilmu yang amat tinggi dan keduanya mempelajari ilmu itu. Disamping ilmu memainkan suling emas, juga nenek Bu Ci Sian ini memiliki ilmu menaklukkan ular, dan di samping itu, juga pernah menerima gemblengan ilmu gabungan sin-kang Im dan Yang dari pendekar Suma Kian Bu, putera Pendekar Super Sakti Pulau Es.
Sudah puluhan tahun kedua suami isteri ini tidak pernah terjun ke dunia persilatan, hidup aman tenteram di istana kuno yang pernah menjadi pusat perkumpulan Khong-sim Kai-pang, yaitu di puncak bukit Nelayan di Pegunungan Tai-hang-san, sebelah selatan kota Pao-teng. Bagaimana kini mendadak suami isteri tua yang sakti itu berada di pegunungan utara dekat Tembok Besar?
Sebulan yang lalu, nenek Bu Ci Sian merasa rindu sekali kepada puterinya, yaitu Kam Bi Eng yang telah menjadi isteri Suma Ceng Liong, juga ia ingin sekali melihat dunia luar setelah bertahun-tahun berdiam di rumah saja. Ia mengajak suaminya untuk meninggalkan istana tua itu dan berkunjung ke tempat kediaman puteri mereka di dusun Hong-cun.
Akan tetapi, setelah tiba di tempat itu, ternyata Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng tidak berada di rumah dan menurut keterangan para pembantu rumah tangga, suami isteri itu meninggalkan rumah untuk pergi mencari nona Suma Lian yang telah pergi lebih dahulu dari rumah. Para pembantu rumah tangga itu tidak dapat memberi keterangan ke mana majikan mereka pergi.
Kakek dan nenek itu tentu saja merasa kecewa dan mereka hanya tinggal semalam saja di rumah puteri mereka yang kosong. Mereka telah mendengar berita tentang gerakan Tiat-liong-pang yang dibantu oleh banyak tokoh sesat, maka kakek Kam Hong menduga bahwa tentu puteri, mantu dan cucu mereka itu pergi ke sana untuk menentang gerakan kaum sesat.
Maka, mereka berdua lalu pergi ke utara untuk melihat-lihat keadaan dan mencari puteri dan mantu mereka. Di sepanjang perjalanan mereka mencari keterangan dan makin kuat dugaan mereka bahwa puteri mereka tentu pergi ke utara setelah mendengar bahwa memang banyak pendekar yang melakukan perjalanan ke utara sehubungan dengan berita gerakan kaum sesat di utara yang dipimpin oleh Tiat-liong-pang itu.
Demikianlah, pada pagi hari itu, kakek Kam Hong dan nenek Bu Ci Sian tiba di puncak bukit, menuruni bukit sambil menikmati pemandangan alam yang amat indah, kadang-kadang berhenti dan memandang ke empat penjuru dengan penuh kagum.
“Eh, lihat di sana itu!” Tiba-tiba nenek itu berseru sambil menuding ke arah selatan, ke bawah. “Bukankah itu sebuah kereta?”
Kakek Kam Hong cepat memandang ke arah yang ditunjuk isterinya dan mengamati.
“Benar, sebuah kereta dikawal oleh belasan orang.”
“Dan para pengawal itu mengenakan pakaian seragam!” Sambung Bu Ci Sian.
“Juga di kereta itu ada benderanya, tidak jelas dari sini, akan tetapi seperti bendera tanda pangkat. Agaknya orang berpangkat yang duduk di dalam kereta itu.”
“He, lihat! Dari sebelah kanan itu! Dua orang itu seperti hendak menghadang kereta!”
“Siancai....! Benar katamu, dan lihat, mereka sudah bertempur!” kata kakek Kam Hong.
“Ah, dua orang itu bukanlah lawan para pengawal, mari kita cepat ke sana untuk melihat apa yang telah terjadi!”
Kakek dan nenek itu bagaikan terbang cepatnya menuruni bukit dan berkat ilmu berlari cepat mereka yang tinggi, tak lama kemudian mereka tiba di tempat pertempuran.
Ketika mereka tiba di tempat itu, belasan orang berpakaian seragam telah rebah malang melintang tanpa nyawa lagi! Hanya tinggal empat orang berpakaian perwira yang masih melindungi kereta itu.
Dengan pedang di tangan, empat orang itu repot sekali melindungi dirinya di depan kereta, menahan serangan seorang pemuda yang juga memainkan pedang akan tetapi permainan pedangnya sedemikian hebatnya sehingga empat orang perwira itu terdesak hebat dan agaknya takkan lama lagi mereka dapat bertahan.
Sementara itu, orang ke dua yang menghadang kereta, seorang kakek yang usianya sudah mendekati tujuh puluh tahun, berpakaian seperti seorang sastrawan, tinggi kurus, dengan gerakan ringan sekali meloncat ke dekat kereta dan sekali tangan kanannya bergerak, terdengar suara keras dan kereta itu pecah berantakan, dua ekor kudanya yang terkejut meronta lepas dan melarikan diri.
Dari dalam kereta meloncat ke luar seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan, berpakaian sebagai seorang panglima besar dengan tanda pangkat di pundak dan dada. Dengan gerakan cukup sigap panglima ini meloncat turun sehingga tidak ikut terbanting dengan pecahnya kereta. Melihat panglima itu, sastrawan tua tersenyum mengejek sambil mengeluarkan sebuah kipas dan mengipasi tubuhnya.
“Hemmm, kiranya engkau yang disebut Panglima Besar Liu, yang datang dari kota raja untuk menyelidiki keadaan di benteng utara? Jangan harap akan dapat menyelidiki apa pun, karena engkau akan mati di sini seperti yang dialami anak buahmu. Nah bersiaplah untuk mati!”
Panglima Besar yang bertubuh tinggi besar itu tidak kelihatan takut, bahkan mencabut pedangnya, siap untuk membela diri sedapat mungkin walaupun dia tahu bahwa bela dirinya takkan ada gunanya, melihat betapa para pengawalnya yang lihai saja kini nampak repot menghadapi penyerang muda itu.
“Bagus, kini aku mengerti mengapa terjadi geger di benteng utara dan banyak perwira kami yang kabarnya lenyap diculik orang. Kiranya ada musuh yang sengaja bersekutu dengan pengkhianat dan kalau aku tidak keliru, tentu engkau ini yang disebut Ouwyang Sianseng atau Nam San Sianjin seperti yang dikabarkan oleh orang-orang kami. Engkau bersekutu dengan Tiat-liong-pang untuk mengadakan pemberontakan, dan membujuk beberapa orang panglima dan perwira kami untuk berkhianat.”
Ouwyang Sianseng menudingkan kipasnya.
“Tidak keliru, Liu Tai-ciangkun, dan sekarang tiba giliranmu untuk mati di tanganku!”
“Tahan.!”
Tiba-tiba nampak dua bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di depan Ouwyang Sianseng telah berdiri seorang kakek tua yang bukan lain adalah Kam Hong sedangkan Bu Ci Sian berkelebat ke arah pemuda yang mendesak empat orang pengawal itu, mengelebatkan suling emasnya. Nampak sinar terang sekali dan disusul suara berdentang nyaring ketika pedang yang dipergunakan oleh Siangkoan Liong untuk mendesak empat orang lawannya itu bertemu dengan sinar kuning emas.
Siangkoan Liong terkejut dan meloncat mundur ketika merasa betapa benturan senjata itu membuat tangan kanannya tergetar hebat. Maklum bahwa ada lawan tangguh yang muncul, Siangkoan Liong cepat menghampiri gurunya. Bu Ci Sian juga menghampiri suaminya dan kini suami isteri tua itu berdiri berhadapan dengan Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Liong.
Ouwyang Sianseng mengamati kakek dan nenek di depannya itu, mengerutkan alisnya dan bertanya kepada muridnya,
“Tahukah engkau siapa mereka ini?”
Siangkoan Liong juga memandang penuh perhatian, lalu dia menggeleng kepala sebagai jawaban.
Ouwyang Sianseng kini menatap wajah Kam Hong dengan penuh perhatian dan diam-diam hatinya diliputi kekaguman. Kakek di depannya ini sebaya dengan dia, dan memiliki sikap yang halus berwibawa. Mengertilah dia bahwa kakek yang pakaiannya juga seperti sastrawan amat sederhana ini adalah seorang yang berilmu tinggi dan merupakan lawan yang tangguh. Ouwyang Sianseng lalu menjura dengan sikap hormat.
“Selamat berjumpa, Sobat,” katanya dengan suara yang halus, “boleh aku mengetahui, siapakah Ji-wi dan apa pula alasan Ji-wi hendak mencampuri urusan kami yang sedang menentang penjajah Mancu?”
Kam Hong mengerutkan alisnya. Harus diakuinya bahwa sikap ramah dan halus dari orang ini membuat dia waspada karena sikap itu hanya menunjukkan bahwa dia berhadapan dengan orang yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Apalagi orang ini dengan cerdiknya menempatkan dia di posisi yang buruk, seolah-olah orang itu adalah pejuang dan patriot, sedangkan dia dan isterinya merupakan orang-orang yang membela kaum penjajah!
Dengan tenang dia pun tersenyum dan balas menjura dengan hormat, diikuti pula oleh isterinya karena tadi ketika Ouwyang Sianseng menjura, pemuda tampan itu pun ikut pula memberi hormat.
“Maaf, Sobat,” jawabnya halus pula. “Memang di antara kita tidak pernah saling mengenal, juga tidak ada hubungan apa pun. Penjajah Mancu sudah menguasai tanah air sejak hampir seratus tahun dan kami kira panglima ini bukanlah biang keladi penjajahan, melainkan hanya seorang petugas! Kami melihat betapa Ji-wi membunuhi para pengawal dan menyerang kereta, maka hal ini sudah merupakan urusan pribadi, bukan lagi pertempuran dalam perjuangan melawan penjajah! Dan kami tidak biasa membiarkan saja manusia saling bunuh, apalagi melihat yang lebih kuat membunuh yang lemah tanpa sebab.”
Ouwyang Sianseng masih bersikap sabar.
“Kami adalah pejuang-pejuang yang berjiwa patriot. Kami hendak menumbangkan kekuasaan penjajah Mancu, dan kami mulai dari utara ini dengan cara melenyapkan para perwira dan panglima. Barulah kami akan bergerak ke selatan, menyerang ke kota raja dan merampas tahta kerajaan!”
Ketika berkata demikian, sinar mata Ouwyang Sianseng mencorong penuh nafsu dan dendam, juga pemuda di sampingnya yang bukan lain adalah Siangkoan Liong, memandang dengan muka berseri penuh semangat.
“Kami percaya bahwa Locianpwe berdua tentulah dua orang berilmu tinggi yang berjiwa patriot pula, oleh karena itu kami akan merasa gembira sekali kalau Ji-wi sudi membantu perjuangan kami untuk menentang pemerintah penjajah Mancu!” kata Siangkoan Liong.
Ketika berkata demikian, sinar mata Ouwyang Sianseng mencorong penuh nafsu dan dendam, juga pemuda di sampingnya yang bukan lain adalah Siangkoan Liong, memandang dengan muka berseri penuh semangat.
“Kami percaya bahwa Locianpwe berdua tentulah dua orang berilmu tinggi yang berjiwa patriot pula, oleh karena itu kami akan merasa gembira sekali kalau Ji-wi sudi membantu perjuangan kami untuk menentang pemerintah penjajah Mancu!” kata Siangkoan Liong.
Kam Hong tersenyum, diam-diam memuji kecerdikan pemuda itu, dan dia menjawab dengan cerdik,
“Kami mendengar akan gerakan pemberontakan yang dipelopori oleh Tiat-liong-pang, tidak tahu apakah Ji-wi ada hubungannya dengan Tiat-liong-pang?” Kemudian disambungnya, “Kami pernah mendengar bahwa Siangkoan Tek, ketua Tiat-liong-pang, adalah seorang yang gagah.”
“Dia adalah ayah saya!” kata Siangkoan Liong dengan cepat, girang bahwa kakek itu mengenal ayahnya dan menyebut ayahnya orang gagah.
Kam Hong mengangguk-angguk dan memandang kepada isterinya, lalu berkata, seolah-olah kepada isterinya,
“Sungguh aneh sekali. Sepanjang pendengaran kita, sekarang Tiat-liong-pang bersekutu dengan orang-orang golongan sesat, bagaimana bisa begitu?”
Bu Ci Sian mendengus.
“Huh, kalau perjuangan sudah dikotori dengan masuknya kaum sesat, jelas bahwa perjuangan itu tidak bersih lagi, hanya merupakan pemberontakan yang berpamrih demi kepentingan pribadi atau golongan. Aku tidak bisa percaya gerakan macam itu!”
“Maaf, maaf....!” kata Ouwyang Sianseng. “Dalam gerakan perjuangan tidak terdapat istilah golongan jahat atau golongan baik, kaum hitam atau kaum putih. Yang penting kita haruslah mengumpulkan seluruh kekuatan dari rakyat jelata untuk menentang pemerintah penjajah. Yang penting, tujuan kita adalah baik, yaitu menumbangkan penjajahan, adapun caranya dapat mempergunakan cara apa saja agar berhasil.”
Kam Hong tertawa, merasa bahwa lawannya terjebak.
“Ha, sobat baik, bagaimana mungkin cara yang kotor dapat menghasilkan tujuan yang bersih? Yang penting bukanlah tujuannya, melainkan caranya itulah! Kalau caranya kotor, maka kami tidak ingin mengotorkan tangan membantunya, bahkan sudah menjadi kewajiban kami untuk menentangnya. Kalau kalian bersekutu dengan kaum sesat untuk membunuhi para perwira dan panglima, maka terpaksa kami akan menentang kalian!”
Habislah kesabaran Ouwyang Sianseng. Kalau tadi dia bersikap sabar hanya karena dia menghargai kakek dan nenek itu dan kalau mungkin menarik orang-orang pandai sebanyak mungkin untuk membantu gerakannya. Kini, mendengar ucapan Kam Hong, dia pun maklum bahwa akan percuma saja membujuk kakek dan nenek itu untuk bekerja sama kalau pendiriannya seperti itu.
“Bagus! Kalau begitu ternyata kalian adalah pengkhianat penjual negara kepada orang Mancu dan layak mati di tanganku!”
Berkata demikian, Ouwyang Sianseng lalu menggerakkan kipasnya, melakukan totokan bertubi dengan cepat sekali ke arah tujuh jalan darah terpenting di bagian tubuh atas depan dari lawannya.
Melihat gerakan serangan ini, diam-diam Kam Hong terkejut dan dia pun maklum bahwa lawannya ini sungguh lihai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
Sementara itu, melihat betapa gurunya menyerang kakek lawan, Siangkoan Liong juga menggerakkan pedangnya, menerjang ke arah nenek yang sejak tadi memandang penuh perhatian.
Bu Ci Sian tidak terkejut melihat datangnya serangan pedang secepat kilat itu. Begitu tangannya bergerak, nampak sinar keemasan berkelebat dan tangannya sudah memegang sebatang suling emas, tidak sebesar milik suaminya, akan tetapi cukup panjang untuk menjadi sebuah senjata yang digerakkan seperti pedang.
Siangkoan Liong yang terkejut ketika tiba-tiba saja matanya silau oleh sinar kuning emas yang mengeluarkan suara mendengung mengerikan dan tahu-tahu dari gulungan sinar emas itu mencuat sinar yang menyambar-nyambar ke arahnya. Dia harus memutar pedang secepatnya untuk menarik serangan dan mengubah gerakannya menjadi gerakan pertahanan, membentuk gulungan sinar seperti payung yang menjadi perisai dan pelindung tubuhnya.
“Trang-cringgg....!”
Kembali Siangkoan Liong terkejut karena tangannya tergetar dan pada saat itu, tangan kiri nenek itu sudah mendorong dan keluarlah hawa panas sekali ke arahnya. Siangkoan Liong adalah seorang pemuda perkasa, dengan ilmu silat yang tinggi, maka menghadapi pukulan jarak jauh yang mengandung sin-kang panas ini dia pun cepat mengelak dan mengibaskan lengan kirinya menyampok dan menangkis, lalu pedangnya berkelebat membalas serangan nenek itu dengan tusukan yang dahsyat.
Nenek itu juga maklum akan datangnya tusukan maut, maka dengan amat lincahnya, tubuh nenek itu sudah meliuk dan menghindar, lalu dari samping membalas dengan ujung suling yang menotok tiga kali bertubi-tubi ke arah leher, pundak, lalu lambung!
Repot juga Siangkoan Liong menghadapi totokan berbahaya ini dan hanya dengan keadaan terhimpit dan terdesak dia mampu menghindarkan diri lalu memutar pedangnya dan membalas dengan gerakan dahsyat dan sengit karena dia merasa penasaran dan marah sekali.
Ketika Ouwyang Sianseng melakukan totokan ke arah tubuh atas Kam Hong dengan gagang kipasnya, tiba-tiba saja kipasnya bertemu dengan sebatang kipas lain yang dipegang oleh tangan kiri Kam Hong. Ouwyang Sianseng terkejut akan tetapi juga kagum dan gembira. Kiranya lawannya ini pun agaknya pandai mempergunakan kipas sebagai senjata!
Ouwyang Sianseng lalu mengeluarkan kepandaiannya, kipasnya bergerak-gerak dengan cepatnya. Kipas itu bagaikan seekor kupu-kupu raksasa, beterbangan, kadang-kadang terbuka sayapnya, kadang-kadang tertutup dan kalau terbuka sayapnya, kipas menyambar mendatangkan angin yang kuat, kalau tertutup sayapnya, gagang kipas meluncur dengan totokan-totokan maut!
Diam-diam Kam Hong kagum sekali dan dia pun menggerakkan kipasnya dan mainkan ilmu kipas Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan) yang hebat dan kuat. Dengan ilmu itu, Kam Hong juga ingin menguji ilmu kepandaian lawan.
Ouwyang Sianseng juga kagum. Ternyata lawannya ini memiliki ilmu permainan kipas yang kuat dan tangguh, maka dia pun cepat menggerakkan tangan kanannya, membantu kipasnya dengan pukulan-pukulan tangan miring yang menjadi demikian kuat tiada ubahnya sebatang pedang, membabat dan mengeluarkan suara bercuitan.
Terkejutlah Kam Hong. Sungguh seorang lawan yang amat tangguh. Sudah lama sekali dia tidak pernah bertemu lawan setangguh ini, maka dia pun cepat menggerakkan tangan kanannya dan nampaklah sinar kuning emas bergulung-gulung, dibarengi suara suling yang melagu seperti ditiup saja. Padahal suling itu mengeluarkan suara hanya karena digerakkan oleh Kam Hong. Sinar terang menyambar bagaikan kilat dari atas mengarah kepala Ouwyang Sianseng. Orang ini terkejut, menangkis dengan kipasnya dan akibatnya, dia terhuyung!
Dia segera meloncat ke belakang.
“Tahan!” serunya kaget dan dia memandang penuh perhatian.
Kam Hong menghentikan gerakannya, tersenyum menanti, kipas di tangan kiri, suling emas di tangan kanan, sikapnya halus namun gagah sekali, membuat Ouwyang Sianseng merasa gentar juga.
“Kau kau Pendekar Suling Emas.?” tanyanya, suaranya agak gemetar saking tegangnya.
Kam Hong tersenyum, bukan senyum bangga, melainkan merasa betapa lucunya segala macam julukan itu, seperti kanak-kanak manja yang ingin dipuji saja!
“Dulu orang menyebut aku seperti itu, akan tetapi sekarang aku hanyalah seorang tua bangka yang sebetulnya tidak ingin lagi mempergunakan senjata, kalau tidak terpaksa. Serangan-seranganmu berbahaya, engkau seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan terpaksa aku harus mengeluarkan kedua senjataku ini.”
Biarpun belum berkelahi dengan sungguh-sungguh, namun Ouwyang Sianseng merasa gentar. Dia sudah mendengar akan nama besar Pendekar Suling Emas, dan sudah mendengar pula betapa isteri pendekar itu pun merupakan adik seperguruan yang lihai. Ketika dia melirik, dia melihat betapa Siangkoan Liong repot bukan main menghadapi gulungan sinar kuning emas dari suling di tangan nenek itu, maka dia pun membentak,
“Siangkoan Liong, mundur dan jangan kurang ajar di depan orang pandai!”
Mendengar bentakan suhunya, Siangkoan Liong merasa heran, akan tetapi juga lega dan dia pun cepat meloncat mundur mendekati gurunya. Dia sudah terdesak hebat dan kini dia dapat menghentikan perkelahian itu tanpa merasa meninggalkan gelanggang karena dia dilarang gurunya! Jadi dia berhenti sebelum kalah.
Melihat lawannya mundur, Bu Ci Sian yang kini telah berubah wataknya menjadi penyabar seperti suaminya, lalu tersenyum dan berdiri di samping suaminya. Kalau mengingat wataknya ketika gadis dahulu, tentu ia tidak akan berhenti sebelum lawannya kalah dan akan mendesak terus!
Ouwyang Sianseng berkata kepada muridnya, sekedar untuk membuyarkan suasana penuh pertentangan tadi,
“Ketahuilah, bahwa Locianpwe ini bukan lain adalah Pendekar Suling Emas dan isterinya yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia sebagai pendekar-pendekar yang berbudi dan gagah perkasa.”
Lalu dia menjura kepada Kam Hong dan isterinya, diikuti pula oleh Siangkoan Liong yang sudah cepat-cepat menyimpan kembali pedangnya.
“Saudara yang perkasa,” kata Ouwyang Sianseng, “kami sudah mendengar bahwa saudara dan isteri saudara adalah pendekar-pendekar perkasa, oleh karena itu, dengan segala kehormatan kami mengundang Ji-wi untuk bekerja sama dengan kami, bersama-sama menentang pemerintah penjajah dan membasmi mereka untuk menyelamatkan tanah air dan bangsa.”
“Cukup,” kata Kam Hong dengan alis berkerut. “Sudah kami katakan tadi, kalau gerakan kalian itu didukung oleh para tokoh sesat, maka itu merupakan suatu pemberontakan berpamrih demi kepentingan golongan sendiri, dan kami sudah pasti tidak akan suka bekerja sama, bahkan akan menentangnya.”
Ouwyang Sianseng tersenyum pahit.
“Terserah kalau demikian penilaianmu! Sudahlah, Siangkoan Liong, mari kita pergi!” katanya dan sekali meloncat, dia pun sudah lenyap, demikian cepatnya gerakan kakek ini.
Siangkoan Liong juga meloncat dan berlari cepat mengejar gurunya yang sudah berada jauh di depan.
Kam Hong menarik napas panjang.
“Hebat sekali kepandaian orang itu!”
“Orang muda itu pun lihai sekali!” kata pula isterinya.
Panglima yang tadi hampir celaka di tangan guru dan murid yang lihai itu, kini menghampiri mereka dan di depan Kam Hong, dia lalu memberi hormat dengan hati terharu,
“Kalau bukan Ji-wi Taihiap yang muncul dan menolong, tentu kami semua telah tewas di tangan Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Liong itu. Kami menghaturkan terima kasih kepada Ji-wi Taihiap dan mohon tanya nama besar Ji-wi. Kami sendiri adalah Panglima Liu, utusan dari kota raja yang hendak menyelidiki peristiwa aneh yang terjadi di benteng pasukan pemerintah di utara.”
Kam Hong dan Bu Ci Sian membalas penghormatan itu dengan sederhana. Bagaimanapun juga, mereka berdua tidak mempunyai perasaan bersahabat dengan para pembesar pemerintah Mancu yang menjajah tanah air mereka. Akan tetapi Kam Hong tertarik juga untuk menyelidiki keadaan para pemberontak yang bersekutu dengan tokoh-tokoh sesat.
“Liu Tai-ciangkun, sebenarnya apakah yang telah terjadi. Mengapa kedua orang tadi menghadang rombongan Ciangkun di sini dan mau membunuh?” tanya Kam Hong.
“Di perbentengan utara terjadi kehebohan karena banyak sekali perwira-perwira dan panglima yang setia kepada pemeritah tiba-tiba lenyap, dan kedudukan mereka diganti oleh orang-orangnya Coa-ciangkun yang memimpin sebagian dari pasukan di utara. Coa-ciangkun menurut laporan yang kami terima, dicurigai mengadakan hubungan dengan Tiat-liong-pang yang akan memberontak. Maka, kami diutus dengan wewenang penuh dari raja untuk melakukan penyelidikan dan menangkap mereka yang bersalah dan berkhianat.
Kami sudah mendapat laporan lengkap tentang Tiat-liong-pang dan tentang hubungan Coa-ciangkun dengan para pemberontak. Oleh karena itu, kami tahu bahwa dua orang tadi adalah Ouwyang Sianseng atau juga dikenal dengan nama Nam San Sianjin, dan yang muda itu adalah Siangkoan Liong, putera dari Siangkoan Lohan ketua Tiat-liong-pang. Tentu saja mereka hendak membunuh kami karena mudah diduga bahwa Tiat-liong-pang atau para pemberontak yang bersekutu dengan Coa-ciangkun itulah yang telah menculik dan membunuhi para perwira dan panglima yang setia kepada pemerintah, untuk diganti dengan kaki tangan mereka sendiri agar pasukan mudah dikuasai untuk membantu gerakan pemberontakan.”
Kam Hong mengerutkan alisnya. Biarpun dia sendiri tentu saja sama sekali tidak berniat untuk membantu tegaknya pemerintah penjajah Mancu, akan tetapi gerakan Tiat-liong-pang yang didukung para tokoh dunia hitam ini amatlah berbahaya bagi keselamatan rakyat jelata dan dia harus ikut menentangnya, bukan untuk membantu pemerintah, melainkan untuk membasmi para tokoh sesat yang tentu hendak memancing di air keruh itu.
“Kalau begitu berbahaya sekali. Biarpun Ciangkun sudah terhindar dari bahaya di sini, akan tetapi kedua orang itu tentu akan menghubungi panglima yang menjadi sekutunya dan sebelum Ciangkun tiba di benteng, tentu akan dihadang dan dibunuh.”
Panglima Liu mengangguk-angguk, saling pandang dengan empat orang pengawal pribadinya yang tadi mati-matian mempertahankan keselamatan atasan mereka dari serangan guru dan murid itu.
“Juga di kereta itu ada benderanya, tidak jelas dari sini, akan tetapi seperti bendera tanda pangkat. Agaknya orang berpangkat yang duduk di dalam kereta itu.”
“He, lihat! Dari sebelah kanan itu! Dua orang itu seperti hendak menghadang kereta!”
“Siancai....! Benar katamu, dan lihat, mereka sudah bertempur!” kata kakek Kam Hong.
“Ah, dua orang itu bukanlah lawan para pengawal, mari kita cepat ke sana untuk melihat apa yang telah terjadi!”
Kakek dan nenek itu bagaikan terbang cepatnya menuruni bukit dan berkat ilmu berlari cepat mereka yang tinggi, tak lama kemudian mereka tiba di tempat pertempuran.
Ketika mereka tiba di tempat itu, belasan orang berpakaian seragam telah rebah malang melintang tanpa nyawa lagi! Hanya tinggal empat orang berpakaian perwira yang masih melindungi kereta itu.
Dengan pedang di tangan, empat orang itu repot sekali melindungi dirinya di depan kereta, menahan serangan seorang pemuda yang juga memainkan pedang akan tetapi permainan pedangnya sedemikian hebatnya sehingga empat orang perwira itu terdesak hebat dan agaknya takkan lama lagi mereka dapat bertahan.
Sementara itu, orang ke dua yang menghadang kereta, seorang kakek yang usianya sudah mendekati tujuh puluh tahun, berpakaian seperti seorang sastrawan, tinggi kurus, dengan gerakan ringan sekali meloncat ke dekat kereta dan sekali tangan kanannya bergerak, terdengar suara keras dan kereta itu pecah berantakan, dua ekor kudanya yang terkejut meronta lepas dan melarikan diri.
Dari dalam kereta meloncat ke luar seorang laki-laki berusia lima puluh tahunan, berpakaian sebagai seorang panglima besar dengan tanda pangkat di pundak dan dada. Dengan gerakan cukup sigap panglima ini meloncat turun sehingga tidak ikut terbanting dengan pecahnya kereta. Melihat panglima itu, sastrawan tua tersenyum mengejek sambil mengeluarkan sebuah kipas dan mengipasi tubuhnya.
“Hemmm, kiranya engkau yang disebut Panglima Besar Liu, yang datang dari kota raja untuk menyelidiki keadaan di benteng utara? Jangan harap akan dapat menyelidiki apa pun, karena engkau akan mati di sini seperti yang dialami anak buahmu. Nah bersiaplah untuk mati!”
Panglima Besar yang bertubuh tinggi besar itu tidak kelihatan takut, bahkan mencabut pedangnya, siap untuk membela diri sedapat mungkin walaupun dia tahu bahwa bela dirinya takkan ada gunanya, melihat betapa para pengawalnya yang lihai saja kini nampak repot menghadapi penyerang muda itu.
“Bagus, kini aku mengerti mengapa terjadi geger di benteng utara dan banyak perwira kami yang kabarnya lenyap diculik orang. Kiranya ada musuh yang sengaja bersekutu dengan pengkhianat dan kalau aku tidak keliru, tentu engkau ini yang disebut Ouwyang Sianseng atau Nam San Sianjin seperti yang dikabarkan oleh orang-orang kami. Engkau bersekutu dengan Tiat-liong-pang untuk mengadakan pemberontakan, dan membujuk beberapa orang panglima dan perwira kami untuk berkhianat.”
Ouwyang Sianseng menudingkan kipasnya.
“Tidak keliru, Liu Tai-ciangkun, dan sekarang tiba giliranmu untuk mati di tanganku!”
“Tahan.!”
Tiba-tiba nampak dua bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di depan Ouwyang Sianseng telah berdiri seorang kakek tua yang bukan lain adalah Kam Hong sedangkan Bu Ci Sian berkelebat ke arah pemuda yang mendesak empat orang pengawal itu, mengelebatkan suling emasnya. Nampak sinar terang sekali dan disusul suara berdentang nyaring ketika pedang yang dipergunakan oleh Siangkoan Liong untuk mendesak empat orang lawannya itu bertemu dengan sinar kuning emas.
Siangkoan Liong terkejut dan meloncat mundur ketika merasa betapa benturan senjata itu membuat tangan kanannya tergetar hebat. Maklum bahwa ada lawan tangguh yang muncul, Siangkoan Liong cepat menghampiri gurunya. Bu Ci Sian juga menghampiri suaminya dan kini suami isteri tua itu berdiri berhadapan dengan Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Liong.
Ouwyang Sianseng mengamati kakek dan nenek di depannya itu, mengerutkan alisnya dan bertanya kepada muridnya,
“Tahukah engkau siapa mereka ini?”
Siangkoan Liong juga memandang penuh perhatian, lalu dia menggeleng kepala sebagai jawaban.
Ouwyang Sianseng kini menatap wajah Kam Hong dengan penuh perhatian dan diam-diam hatinya diliputi kekaguman. Kakek di depannya ini sebaya dengan dia, dan memiliki sikap yang halus berwibawa. Mengertilah dia bahwa kakek yang pakaiannya juga seperti sastrawan amat sederhana ini adalah seorang yang berilmu tinggi dan merupakan lawan yang tangguh. Ouwyang Sianseng lalu menjura dengan sikap hormat.
“Selamat berjumpa, Sobat,” katanya dengan suara yang halus, “boleh aku mengetahui, siapakah Ji-wi dan apa pula alasan Ji-wi hendak mencampuri urusan kami yang sedang menentang penjajah Mancu?”
Kam Hong mengerutkan alisnya. Harus diakuinya bahwa sikap ramah dan halus dari orang ini membuat dia waspada karena sikap itu hanya menunjukkan bahwa dia berhadapan dengan orang yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Apalagi orang ini dengan cerdiknya menempatkan dia di posisi yang buruk, seolah-olah orang itu adalah pejuang dan patriot, sedangkan dia dan isterinya merupakan orang-orang yang membela kaum penjajah!
Dengan tenang dia pun tersenyum dan balas menjura dengan hormat, diikuti pula oleh isterinya karena tadi ketika Ouwyang Sianseng menjura, pemuda tampan itu pun ikut pula memberi hormat.
“Maaf, Sobat,” jawabnya halus pula. “Memang di antara kita tidak pernah saling mengenal, juga tidak ada hubungan apa pun. Penjajah Mancu sudah menguasai tanah air sejak hampir seratus tahun dan kami kira panglima ini bukanlah biang keladi penjajahan, melainkan hanya seorang petugas! Kami melihat betapa Ji-wi membunuhi para pengawal dan menyerang kereta, maka hal ini sudah merupakan urusan pribadi, bukan lagi pertempuran dalam perjuangan melawan penjajah! Dan kami tidak biasa membiarkan saja manusia saling bunuh, apalagi melihat yang lebih kuat membunuh yang lemah tanpa sebab.”
Ouwyang Sianseng masih bersikap sabar.
“Kami adalah pejuang-pejuang yang berjiwa patriot. Kami hendak menumbangkan kekuasaan penjajah Mancu, dan kami mulai dari utara ini dengan cara melenyapkan para perwira dan panglima. Barulah kami akan bergerak ke selatan, menyerang ke kota raja dan merampas tahta kerajaan!”
Ketika berkata demikian, sinar mata Ouwyang Sianseng mencorong penuh nafsu dan dendam, juga pemuda di sampingnya yang bukan lain adalah Siangkoan Liong, memandang dengan muka berseri penuh semangat.
“Kami percaya bahwa Locianpwe berdua tentulah dua orang berilmu tinggi yang berjiwa patriot pula, oleh karena itu kami akan merasa gembira sekali kalau Ji-wi sudi membantu perjuangan kami untuk menentang pemerintah penjajah Mancu!” kata Siangkoan Liong.
Ketika berkata demikian, sinar mata Ouwyang Sianseng mencorong penuh nafsu dan dendam, juga pemuda di sampingnya yang bukan lain adalah Siangkoan Liong, memandang dengan muka berseri penuh semangat.
“Kami percaya bahwa Locianpwe berdua tentulah dua orang berilmu tinggi yang berjiwa patriot pula, oleh karena itu kami akan merasa gembira sekali kalau Ji-wi sudi membantu perjuangan kami untuk menentang pemerintah penjajah Mancu!” kata Siangkoan Liong.
Kam Hong tersenyum, diam-diam memuji kecerdikan pemuda itu, dan dia menjawab dengan cerdik,
“Kami mendengar akan gerakan pemberontakan yang dipelopori oleh Tiat-liong-pang, tidak tahu apakah Ji-wi ada hubungannya dengan Tiat-liong-pang?” Kemudian disambungnya, “Kami pernah mendengar bahwa Siangkoan Tek, ketua Tiat-liong-pang, adalah seorang yang gagah.”
“Dia adalah ayah saya!” kata Siangkoan Liong dengan cepat, girang bahwa kakek itu mengenal ayahnya dan menyebut ayahnya orang gagah.
Kam Hong mengangguk-angguk dan memandang kepada isterinya, lalu berkata, seolah-olah kepada isterinya,
“Sungguh aneh sekali. Sepanjang pendengaran kita, sekarang Tiat-liong-pang bersekutu dengan orang-orang golongan sesat, bagaimana bisa begitu?”
Bu Ci Sian mendengus.
“Huh, kalau perjuangan sudah dikotori dengan masuknya kaum sesat, jelas bahwa perjuangan itu tidak bersih lagi, hanya merupakan pemberontakan yang berpamrih demi kepentingan pribadi atau golongan. Aku tidak bisa percaya gerakan macam itu!”
“Maaf, maaf....!” kata Ouwyang Sianseng. “Dalam gerakan perjuangan tidak terdapat istilah golongan jahat atau golongan baik, kaum hitam atau kaum putih. Yang penting kita haruslah mengumpulkan seluruh kekuatan dari rakyat jelata untuk menentang pemerintah penjajah. Yang penting, tujuan kita adalah baik, yaitu menumbangkan penjajahan, adapun caranya dapat mempergunakan cara apa saja agar berhasil.”
Kam Hong tertawa, merasa bahwa lawannya terjebak.
“Ha, sobat baik, bagaimana mungkin cara yang kotor dapat menghasilkan tujuan yang bersih? Yang penting bukanlah tujuannya, melainkan caranya itulah! Kalau caranya kotor, maka kami tidak ingin mengotorkan tangan membantunya, bahkan sudah menjadi kewajiban kami untuk menentangnya. Kalau kalian bersekutu dengan kaum sesat untuk membunuhi para perwira dan panglima, maka terpaksa kami akan menentang kalian!”
Habislah kesabaran Ouwyang Sianseng. Kalau tadi dia bersikap sabar hanya karena dia menghargai kakek dan nenek itu dan kalau mungkin menarik orang-orang pandai sebanyak mungkin untuk membantu gerakannya. Kini, mendengar ucapan Kam Hong, dia pun maklum bahwa akan percuma saja membujuk kakek dan nenek itu untuk bekerja sama kalau pendiriannya seperti itu.
“Bagus! Kalau begitu ternyata kalian adalah pengkhianat penjual negara kepada orang Mancu dan layak mati di tanganku!”
Berkata demikian, Ouwyang Sianseng lalu menggerakkan kipasnya, melakukan totokan bertubi dengan cepat sekali ke arah tujuh jalan darah terpenting di bagian tubuh atas depan dari lawannya.
Melihat gerakan serangan ini, diam-diam Kam Hong terkejut dan dia pun maklum bahwa lawannya ini sungguh lihai dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan.
Sementara itu, melihat betapa gurunya menyerang kakek lawan, Siangkoan Liong juga menggerakkan pedangnya, menerjang ke arah nenek yang sejak tadi memandang penuh perhatian.
Bu Ci Sian tidak terkejut melihat datangnya serangan pedang secepat kilat itu. Begitu tangannya bergerak, nampak sinar keemasan berkelebat dan tangannya sudah memegang sebatang suling emas, tidak sebesar milik suaminya, akan tetapi cukup panjang untuk menjadi sebuah senjata yang digerakkan seperti pedang.
Siangkoan Liong yang terkejut ketika tiba-tiba saja matanya silau oleh sinar kuning emas yang mengeluarkan suara mendengung mengerikan dan tahu-tahu dari gulungan sinar emas itu mencuat sinar yang menyambar-nyambar ke arahnya. Dia harus memutar pedang secepatnya untuk menarik serangan dan mengubah gerakannya menjadi gerakan pertahanan, membentuk gulungan sinar seperti payung yang menjadi perisai dan pelindung tubuhnya.
“Trang-cringgg....!”
Kembali Siangkoan Liong terkejut karena tangannya tergetar dan pada saat itu, tangan kiri nenek itu sudah mendorong dan keluarlah hawa panas sekali ke arahnya. Siangkoan Liong adalah seorang pemuda perkasa, dengan ilmu silat yang tinggi, maka menghadapi pukulan jarak jauh yang mengandung sin-kang panas ini dia pun cepat mengelak dan mengibaskan lengan kirinya menyampok dan menangkis, lalu pedangnya berkelebat membalas serangan nenek itu dengan tusukan yang dahsyat.
Nenek itu juga maklum akan datangnya tusukan maut, maka dengan amat lincahnya, tubuh nenek itu sudah meliuk dan menghindar, lalu dari samping membalas dengan ujung suling yang menotok tiga kali bertubi-tubi ke arah leher, pundak, lalu lambung!
Repot juga Siangkoan Liong menghadapi totokan berbahaya ini dan hanya dengan keadaan terhimpit dan terdesak dia mampu menghindarkan diri lalu memutar pedangnya dan membalas dengan gerakan dahsyat dan sengit karena dia merasa penasaran dan marah sekali.
Ketika Ouwyang Sianseng melakukan totokan ke arah tubuh atas Kam Hong dengan gagang kipasnya, tiba-tiba saja kipasnya bertemu dengan sebatang kipas lain yang dipegang oleh tangan kiri Kam Hong. Ouwyang Sianseng terkejut akan tetapi juga kagum dan gembira. Kiranya lawannya ini pun agaknya pandai mempergunakan kipas sebagai senjata!
Ouwyang Sianseng lalu mengeluarkan kepandaiannya, kipasnya bergerak-gerak dengan cepatnya. Kipas itu bagaikan seekor kupu-kupu raksasa, beterbangan, kadang-kadang terbuka sayapnya, kadang-kadang tertutup dan kalau terbuka sayapnya, kipas menyambar mendatangkan angin yang kuat, kalau tertutup sayapnya, gagang kipas meluncur dengan totokan-totokan maut!
Diam-diam Kam Hong kagum sekali dan dia pun menggerakkan kipasnya dan mainkan ilmu kipas Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan) yang hebat dan kuat. Dengan ilmu itu, Kam Hong juga ingin menguji ilmu kepandaian lawan.
Ouwyang Sianseng juga kagum. Ternyata lawannya ini memiliki ilmu permainan kipas yang kuat dan tangguh, maka dia pun cepat menggerakkan tangan kanannya, membantu kipasnya dengan pukulan-pukulan tangan miring yang menjadi demikian kuat tiada ubahnya sebatang pedang, membabat dan mengeluarkan suara bercuitan.
Terkejutlah Kam Hong. Sungguh seorang lawan yang amat tangguh. Sudah lama sekali dia tidak pernah bertemu lawan setangguh ini, maka dia pun cepat menggerakkan tangan kanannya dan nampaklah sinar kuning emas bergulung-gulung, dibarengi suara suling yang melagu seperti ditiup saja. Padahal suling itu mengeluarkan suara hanya karena digerakkan oleh Kam Hong. Sinar terang menyambar bagaikan kilat dari atas mengarah kepala Ouwyang Sianseng. Orang ini terkejut, menangkis dengan kipasnya dan akibatnya, dia terhuyung!
Dia segera meloncat ke belakang.
“Tahan!” serunya kaget dan dia memandang penuh perhatian.
Kam Hong menghentikan gerakannya, tersenyum menanti, kipas di tangan kiri, suling emas di tangan kanan, sikapnya halus namun gagah sekali, membuat Ouwyang Sianseng merasa gentar juga.
“Kau kau Pendekar Suling Emas.?” tanyanya, suaranya agak gemetar saking tegangnya.
Kam Hong tersenyum, bukan senyum bangga, melainkan merasa betapa lucunya segala macam julukan itu, seperti kanak-kanak manja yang ingin dipuji saja!
“Dulu orang menyebut aku seperti itu, akan tetapi sekarang aku hanyalah seorang tua bangka yang sebetulnya tidak ingin lagi mempergunakan senjata, kalau tidak terpaksa. Serangan-seranganmu berbahaya, engkau seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan terpaksa aku harus mengeluarkan kedua senjataku ini.”
Biarpun belum berkelahi dengan sungguh-sungguh, namun Ouwyang Sianseng merasa gentar. Dia sudah mendengar akan nama besar Pendekar Suling Emas, dan sudah mendengar pula betapa isteri pendekar itu pun merupakan adik seperguruan yang lihai. Ketika dia melirik, dia melihat betapa Siangkoan Liong repot bukan main menghadapi gulungan sinar kuning emas dari suling di tangan nenek itu, maka dia pun membentak,
“Siangkoan Liong, mundur dan jangan kurang ajar di depan orang pandai!”
Mendengar bentakan suhunya, Siangkoan Liong merasa heran, akan tetapi juga lega dan dia pun cepat meloncat mundur mendekati gurunya. Dia sudah terdesak hebat dan kini dia dapat menghentikan perkelahian itu tanpa merasa meninggalkan gelanggang karena dia dilarang gurunya! Jadi dia berhenti sebelum kalah.
Melihat lawannya mundur, Bu Ci Sian yang kini telah berubah wataknya menjadi penyabar seperti suaminya, lalu tersenyum dan berdiri di samping suaminya. Kalau mengingat wataknya ketika gadis dahulu, tentu ia tidak akan berhenti sebelum lawannya kalah dan akan mendesak terus!
Ouwyang Sianseng berkata kepada muridnya, sekedar untuk membuyarkan suasana penuh pertentangan tadi,
“Ketahuilah, bahwa Locianpwe ini bukan lain adalah Pendekar Suling Emas dan isterinya yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia sebagai pendekar-pendekar yang berbudi dan gagah perkasa.”
Lalu dia menjura kepada Kam Hong dan isterinya, diikuti pula oleh Siangkoan Liong yang sudah cepat-cepat menyimpan kembali pedangnya.
“Saudara yang perkasa,” kata Ouwyang Sianseng, “kami sudah mendengar bahwa saudara dan isteri saudara adalah pendekar-pendekar perkasa, oleh karena itu, dengan segala kehormatan kami mengundang Ji-wi untuk bekerja sama dengan kami, bersama-sama menentang pemerintah penjajah dan membasmi mereka untuk menyelamatkan tanah air dan bangsa.”
“Cukup,” kata Kam Hong dengan alis berkerut. “Sudah kami katakan tadi, kalau gerakan kalian itu didukung oleh para tokoh sesat, maka itu merupakan suatu pemberontakan berpamrih demi kepentingan golongan sendiri, dan kami sudah pasti tidak akan suka bekerja sama, bahkan akan menentangnya.”
Ouwyang Sianseng tersenyum pahit.
“Terserah kalau demikian penilaianmu! Sudahlah, Siangkoan Liong, mari kita pergi!” katanya dan sekali meloncat, dia pun sudah lenyap, demikian cepatnya gerakan kakek ini.
Siangkoan Liong juga meloncat dan berlari cepat mengejar gurunya yang sudah berada jauh di depan.
Kam Hong menarik napas panjang.
“Hebat sekali kepandaian orang itu!”
“Orang muda itu pun lihai sekali!” kata pula isterinya.
Panglima yang tadi hampir celaka di tangan guru dan murid yang lihai itu, kini menghampiri mereka dan di depan Kam Hong, dia lalu memberi hormat dengan hati terharu,
“Kalau bukan Ji-wi Taihiap yang muncul dan menolong, tentu kami semua telah tewas di tangan Ouwyang Sianseng dan Siangkoan Liong itu. Kami menghaturkan terima kasih kepada Ji-wi Taihiap dan mohon tanya nama besar Ji-wi. Kami sendiri adalah Panglima Liu, utusan dari kota raja yang hendak menyelidiki peristiwa aneh yang terjadi di benteng pasukan pemerintah di utara.”
Kam Hong dan Bu Ci Sian membalas penghormatan itu dengan sederhana. Bagaimanapun juga, mereka berdua tidak mempunyai perasaan bersahabat dengan para pembesar pemerintah Mancu yang menjajah tanah air mereka. Akan tetapi Kam Hong tertarik juga untuk menyelidiki keadaan para pemberontak yang bersekutu dengan tokoh-tokoh sesat.
“Liu Tai-ciangkun, sebenarnya apakah yang telah terjadi. Mengapa kedua orang tadi menghadang rombongan Ciangkun di sini dan mau membunuh?” tanya Kam Hong.
“Di perbentengan utara terjadi kehebohan karena banyak sekali perwira-perwira dan panglima yang setia kepada pemeritah tiba-tiba lenyap, dan kedudukan mereka diganti oleh orang-orangnya Coa-ciangkun yang memimpin sebagian dari pasukan di utara. Coa-ciangkun menurut laporan yang kami terima, dicurigai mengadakan hubungan dengan Tiat-liong-pang yang akan memberontak. Maka, kami diutus dengan wewenang penuh dari raja untuk melakukan penyelidikan dan menangkap mereka yang bersalah dan berkhianat.
Kami sudah mendapat laporan lengkap tentang Tiat-liong-pang dan tentang hubungan Coa-ciangkun dengan para pemberontak. Oleh karena itu, kami tahu bahwa dua orang tadi adalah Ouwyang Sianseng atau juga dikenal dengan nama Nam San Sianjin, dan yang muda itu adalah Siangkoan Liong, putera dari Siangkoan Lohan ketua Tiat-liong-pang. Tentu saja mereka hendak membunuh kami karena mudah diduga bahwa Tiat-liong-pang atau para pemberontak yang bersekutu dengan Coa-ciangkun itulah yang telah menculik dan membunuhi para perwira dan panglima yang setia kepada pemerintah, untuk diganti dengan kaki tangan mereka sendiri agar pasukan mudah dikuasai untuk membantu gerakan pemberontakan.”
Kam Hong mengerutkan alisnya. Biarpun dia sendiri tentu saja sama sekali tidak berniat untuk membantu tegaknya pemerintah penjajah Mancu, akan tetapi gerakan Tiat-liong-pang yang didukung para tokoh dunia hitam ini amatlah berbahaya bagi keselamatan rakyat jelata dan dia harus ikut menentangnya, bukan untuk membantu pemerintah, melainkan untuk membasmi para tokoh sesat yang tentu hendak memancing di air keruh itu.
“Kalau begitu berbahaya sekali. Biarpun Ciangkun sudah terhindar dari bahaya di sini, akan tetapi kedua orang itu tentu akan menghubungi panglima yang menjadi sekutunya dan sebelum Ciangkun tiba di benteng, tentu akan dihadang dan dibunuh.”
Panglima Liu mengangguk-angguk, saling pandang dengan empat orang pengawal pribadinya yang tadi mati-matian mempertahankan keselamatan atasan mereka dari serangan guru dan murid itu.