Ads

Jumat, 18 Maret 2016

Kisah si Bangau Merah Jilid 010

“Bukan main! Luar biasa! Omitohud.... belum pernah aku mendengar hal seperti ini.!” kata Gangga Dewi dan ia pun tertegun.

Bocah ini, bocah yang usianya baru dua belas tahunan, telah mengorbankan diri untuk menolong seorang anak lain! Dan bocah ini sama sekali tidak pernah belajar silat, akan tetapi memiliki keberanian seperti seorang pendekar sejati! Lebih lagi, bocah ini tidak tewas biarpun terkena lima batang jarum di dadanya, jarum-jarum beracun yang ia tahu amat jahat dan mematikan karena dilepas oleh seorang iblis betina seperti Ang I Moli! Anak apakah ini?

“Ah, Locianpwe. Apanya yang luar biasa? Locianpwe sendiri sama sekali tidak mengenalku, akan tetapi Locianpwe telah turun tangan menolongku sehingga aku terhindar dari bahaya maut di tangan iblis itu. Saling bantu di antara manusia merupakan suatu kewajiban, bukan?”

“Omitohud.... engkau benar sekali, Yo Han. Sekarang aku mulai mengerti mengapa iblis itu ingin sekali menghisap darahmu. Engkau bagaikan Tong Sam Cong, sang perjaka saleh yang melakukan perjalanan ke barat itu. Dalam cerita See-yu, perjaka Tong Sam Cong yang melakukan perjalanan ke barat untuk memperdalam agama dan mencari kitab-kitab suci, juga dihadang oleh segala macam iblis dan siluman yang ingin menghisap darahnya.”

Yo Han tertawa dan kembali Gangga Dewi menjadi terkejut.
“Ha-ha-ha, Locianpwe sungguh lucu. Kalau aku dianggap Tong Sam Cong, lalu siapa yang menjadi Sun Go Kong, See Ceng dan Ti Pat Kay?”

“Engkau tahu pula akan cerita See-yu-ki?”

“Locianpwe, aku adalah seorang kutu buku. Hampir semua kitab kuno telah kubaca habis. Dongeng-dongeng seperti See-yu-ki, Hong-sin-pong, Sie Jin Kui, Sam Kok dan yang lain telah saya baca semua!”

“Omitohud.... engkau memang anak ajaib! Anak yatim piatu, sebatang kara, dalam usia dua belas tahun telah membaca semua dongeng kuno yang mengandung filsafat itu! Engkau sudah pula membaca Su-si Ngo-keng?”

Dapat dibayangkan betapa Gangga Dewi melongo ketika melihat anak itu mengangguk dan menjawab dengan sikap bersahaja,

“Juga banyak kitab Agama Buddha, kitab sejarah yang penuh kekerasan.”

Setelah sejenak tak mampu bicara saking kagum dan herannya, Gangga Dewi lalu bertanya,
“Yo Han, setelah kini engkau terbebas dari Ang I Moli, engkau hendak ke mana? Apa yang akan kau lakukan?”

“Locianpwe, aku seperti burung yang bebas terbang di udara. Aku tidak terikat oleh apapun juga. Melihat kejahatan Ang I Moli yang sudah tidak mengakui aku sebagai muridnya lagi, andaikata tidak ada Locianpwe yang menolongku, tentu aku pun tidak suka lagi bersamanya. Kini aku bebas, aku hendak pergi ke mana saja kakiku membawaku. Akan tetapi kalau mungkin, aku ingin sekali melihat kota Ceng-tu di Propinsi Secuan.”

Untuk ke sekian kalinya Gangga Dewi tertegun. Anak ini penuh kejutan, pikirnya. Sekecil ini sudah bicara tentang Propinsi Se-cuan, jauh di barat.

“Kota Ceng-tu di Se-cuan? Pernahkah engkau ke sana!”

Yo Han menggeleng kepala.
“Akan tetapi aku tahu di mana letaknya, Locianpwe. Pernah aku mempelajari ilmu bumi dari kitab. Letaknya di barat, bukan? Kalau dari sini, menuju ke barat daya, melalui Propinsi-propinsi San-si, Shen-si, lalu masuk Propinsi Se-cuan.”

Gangga Dewi yang baru saja melewati propinsi-propinsi itu ketika ia meninggalkan Bhutan, tersenyum. Keanehan anak ini demikian luar biasa sehingga terdengar lucu!

“Anak baik, kalau boleh aku mengetahui. Engkau hendak ke Ceng-tu di Se-cuan ada keperluan apakah?”

“Locianpwe, baru-baru ini aku membaca kitab sejarah dan aku ingin sekali melihat batu monumen yang didirikan oleh Chang Sian Cung.”

“Ahhh? Batu monumen terkutuk itu? Engkau tahu tentang batu monumen itu?”

“Aku telah membaca sejarahnya, Locianpwe. Bukankah di batu monumen itu terdapat satu huruf saja, yaitu huruf yang berbunyi BUNUH? Aku ingin melihatnya sendiri.”

“Yo Han, engkau tidak suka akan kejahatan dan kekerasan, kenapa engkau ingin melihat batu monumen terkutuk, lambang kekejaman dan pembunuhan itu?”.

“Kisah itu amat mengesankan hatiku, Locianpwe. Kekejaman Chang Sian Cung itulah yang telah menggerakkan hatiku sehingga aku tidak suka mempelajari ilmu silat, tidak suka menggunakan kekerasan untuk mencelakai orang.”

Gangga Dewi bergidik membayangkan kekejaman yang terjadi seratus tahun lebih yang lalu di Propinsi Se-cuan. Ia pun sudah mendengar akan kisah itu. Seratus tahun lebih yang lalu, dalam tahun 1649, yang berkuasa di Secuan adalah seorang penguasa yang bernama Chang Sian Cung. Ketika itu, baru saja bangsa Mancu menguasai Tiongkok dan dalam masa peralihan itu, di mana-mana timbul pengingkaran terhadap kerajaan yang sedang diancam runtuh oleh penyerangan bangsa Mancu.






Raja-raja muda, penguasa-penguasa daerah, kehilangan pegangan dan karena melihat betapa kota raja terancam, mereka pun mengumumkan pengangkatan diri mereka sebagai penguasa yang berdaulat penuh, tidak lagi menjadi hamba atau pamong praja yang bekerja di bawah pemerintahan Kerajaan Beng-tiauw.

Chang Sian Cung adalah seorang penguasa di Se-cuan yang memiliki watak sedemikian kejamnya sehingga mendekati tidak normal atau gila! Siapa pun orangnya yang tidak berkenan di hati, dibunuhnya! Bahkan pernah dia memerintahkan para perajuritnya untuk membunuh isteri mereka masing-masing, hanya karena dia tidak ingin melihat pengeluaran terlalu besar kalau para perajuritnya diikuti isteri-isteri mereka!

Yang tidak mentaati perintah ini, dibunuh sendiri! Chang Sian Cung mengangkat diri menjadi seperti seorang raja, didukung oleh anak buahnya dan dia begitu takut kalau sampai kedudukannya diganggu orang, maka setiap ada orang yang nampak kuat, lalu disuruhnya bunuh. Dalam waktu beberapa bulan saja, hampir semua laki-laki di daerah itu yang bertubuh kuat dan dianggap berbahaya, dibunuh tanpa dosa!

“Omitohud.... mengapa engkau ingin melihat batu monumen yang melambangkan kekejaman yang tiada taranya itu? Ketahuilah, hampir semua orang di daerah itu, terutama kaum prianya yang bertubuh kuat, dibunuh oleh Chang Sian Cung sehingga sampai kini, lebih banyak pendatang dari Propinsi Hu-pei dan Shen-si tinggal di Se-cuan, dibandingkan penduduk aslinya yang tinggal sedikit.”

“Aku telah membaca pula tentang hal itu, Locianpwe. Menurut catatan sejarah, Chang Sian Cung mendirikan batu monumen dengan huruf berbunyi BUNUH itu untuk menakut-nakuti rakyat. Dan setelah dia meninggal, batu monumen itu oleh rakyat dibalikkan agar huruf itu tidak dapat dilihat. Kabarnya, kalau batu monumen ini dibalikkan lagi sehingga huruf itu dapat terbaca, maka Chang Sian Cung akan lahir kembali untuk melanjutkan kekejamannya di dunia.”

Gangga Dewi mengangguk-angguk dan tersenyum.
“Memang benar demikian, akan tetapi yang terakhir itu hanya dongeng dan tahyul belaka, Yo Han. Kehidupan manusia hanya selewatan saja, betapapun baik maupun buruknya. Semua itu lewat dan takkan pernah kembali. Tak mungkin Chang Sian Cung yang sudah mati itu akan kembali melanjutkan kebiadabannya, kecuali sebagai manusia lain, di tempat lain dan dengan jalan hidup yang berlainan pula. Semua perbuatan manusia hanya akan menjadi pengalaman yang lewat dan menjadi contoh mereka yang hidup kemudian. Dan perjalanan ke Secuan bukan perjalanan yang dekat dan mudah. Apalagi sekarang di Barat sudah mulai tidak aman, banyak pergolakan dan pembesar daerah mulai memperlihatkan sikap menentang terhadap pemerintah bangsa Mancu di timur.”

“Locianpwe, aku tidak takut menghadapi kesukaran, tidak takut menghadapi pergolakan.”

Gangga Dewi tersenyum. Kalau ia tidak berhadapan sendiri, tidak melihat dan mendengar sendiri, kalau hanya diceritakan orang lain, tentu ia tidak akan percaya ada seorang anak berusia dua belas tahun seperti ini! Seorang anak yatim piatu, lemah dan miskin, namun memiliki keberanian yang sepantasnya hanya dimiliki seorang pendekar sakti! Anak seperti ini memiliki harga diri yang tinggi, kalau ia menawarkan diri untuk menjadi guru anak ini, belum tentu dia mau menerimanya.

Kalau tadinya dia suka menjadi murid seorang wanita iblis seperti Ang I Moli, hal itu adalah karena dia hendak menolong seorang anak perempuan yang diculik iblis betina itu. Anak ini keras hati, namun lembut dan rendah hati, siap untuk menolong siapa saja. Ia harus pandai mengambil hatinya kalau ia ingin menuruti dorongan hatinya yang amat sangat yaitu mengangkat anak ini sebagai muridnya!

“Yo Han, aku telah mendengar tentang riwayatmu, walau hanya sedikit. Engkau sebatang kara, yatim piatu tidak mempunyai keluarga, hidup seorang diri saja di dunia ini, bukan? Nah, engkau boleh pula mengenalku. Namaku Gangga Dewi, aku berasal dari Bhutan, ibuku seorang puteri Bhutan dan ayahku seorang pendekar bangsa Han. Aku pun hidup seorang diri dan aku sedang melakukan perjalanan ke timur untuk mencari ayahku yang sudah lama sekali meninggalkan Bhutan.”

“Locianpwe seorang yang pandai dan berilmu tinggi, tentu akan dapat berhasil dalam usaha Locianpwe itu.”

Gangga Dewi menghela napas panjang
“Agaknya tidak akan semudah itu, anak yang baik. Semenjak dewasa aku tidak pernah berkunjung ke timur. Akan tetapi aku sudah lupa lagi dan daerah timur merupakan tempat asing bagiku. Kalau saja engkau suka menolongku, Yo Han.”

“Menolong Locianpwe? Aku....? Aih, bagaimana seorang anak bodoh seperti aku akan dapat menolongmu, Locianpwe?”.

Yo Han bertanya dengan heran, sepasang mata yang jernih itu menatap wajah wanita setengah tua yang memiliki raut muka yang lembut dan cantik akan tetapi pandang mata dan sikapnya mengandung kekerasan itu.

“Yo Han, aku seorang asing di tempat ini. Aku tidak tahu ke mana aku harus mencari ayahku. Aku hampir putus asa mencarinya tanpa hasil. Aku sudah melakukan perjalanan amat jauh dan lama, dari Bhutan namun sampai kini tidak berhasil. Maukah engkau menolongku, Yo Han, menemaniku dan membantuku mencari keterangan tentang ayahku itu? Karena engkau seorang bocah bangsa Han, kukira akan lebih mudah mencari keterangan dan tidak akan dicurigai orang, tidak seperti kalau aku yang bertanya-tanya.”

Dua pasang mata itu bertemu dan Yo Han melihat betapa mata wanita itu memandangnya penuh harap, penuh permintaan. Dia merasa kasihan, dan juga baru saja dia diselamatkan oleh wanita ini, bahkan mungkin diselamatkan dari ancaman maut yang mengerikan.

Baru saja orang ini menolongnya, menyelamatkan nyawanya. Kalau sekarang penolongnya ini minta bantuannya untuk mencarikan ayahnya, bagaimana dia akan mampu menolaknya? Kalau dia menolak, berarti dia merupakan orang yang paling bo-ceng-li (tak tahu aturan) dan tidak mengerti budi.

Dengan tegas dia mengangguk.
“Tentu saja aku suka menolongmu, Locianpwe. Akan tetapi kalau engkau tidak tahu di mana adanya ayahmu itu, setidaknya aku harus mengetahui siapa namanya dan bagaimana rupanya, berapa usianya sehingga aku dapat bertanya-tanya kepada orang lain.”

“Ah, terima kasih, Yo Han. Sudah kuduga bahwa engkau tentu akan suka menolongku, anak yang baik.”

“Bukan menolong, Locianpwe, hanya sekedar membantu mencari keterangan saja. Siapakah nama ayahmu itu?”

“Ayahku bernama Wan Tek Hoat, dahulu di waktu mudanya terkenal dengan julukan Si Jari Maut. Usianya sekarang delapan puluh tahun lebih dan dia telah menjadi hwesio (pendeta Buddha) dengan nama Tiong Khi Hwesio.”

“Ahhhh.... Tiong Khi Hwesio....?” Yo Han berseru kaget dan memandang wanita itu dengan mata terbelalak.

“Ya, kenapa, Yo Han?” tanya Gangga Dewi. Anak ini penuh kejutan memang. “Apakah engkau mengenal nama itu?”

“Tentu saja, karena beliau adalah seorang di antara guru-guru dari suhuku.”

“Ehhh?” Untuk kesekian kalinya Gangga Dewi terkejut. Anak ini penuh kejutan yang aneh dan sama sekali tidak disangka-sangka, seolah tidak ada habisnya segala macam keanehan terdapat pada diri anak ini. “Bukankah gurumu Ang I Moli tadi?”

“Sebelum aku ikut dengan dia untuk menyelamatkan seorang anak perempuan, aku sejak kehilangan orang tua telah dipelihara oleh suhu dan suboku yang pertama, Locianpwe. Mereka itu adalah suhu dan subo, juga pengganti orang tuaku. Mereka adalah orang-orang sakti, keturunan dari keluarga Istana Pulau Es dan keluarga Istana Gurun Pasir.”

“Wahhh.... Omitohud.... engkau sungguh seorang anak yang luar biasa, Yo Han. Siapakah suhu dan subomu itu? Katakan, siapa nama mereka?”

“Suhu bernama Tan Sin Hong, dan subo bernama Kao Hong Li. Apakah Locianpwe mengenal mereka?”

Gangga Dewi menggeleng kepalanya.
“Dan kau katakan tadi bahwa suhumu yang bernama Tan Sin Hong itu adalah murid dari ayahku Tiong Khi Hwesio?”

“Benar, Locianpwe. Suhu pernah bercerita bahwa dia mempunyai tiga orang guru, yaitu Tiong Khi Hwesio, kemudian suami isteri penghuni Istana Gurun Pasir yang bernama Kao Kok Cu dan Wan Ceng.”

“Ahhh....! Wan Ceng itu adalah bibiku saudara seayah dengan ayahku yang ketika muda bernama Wan Tek Hoat! Omitohud.... kenapa bisa begini kebetulan? Yo Han, ternyata di antara kita masih ada hubungan dekat sekali melalui gurumu! Anak baik, coba ceritakan lebih jelas tentang suhumu dan subomu itu.”

“Suhuku tidak pernah bercerita tentang orang tuanya, hanya bahwa dia juga yatim piatu seperti aku dan sejak kecil dia dirawat dan dijadikan murid tiga orang sakti yang telah kuceritakan tadi.”

“Kalau begitu, suhumu itu terhitung suteku (adik seperguruanku) sendiri, jadi engkau masih murid keponakanku sendiri! Dan subomu? Siapa namanya tadi? Kao Hong Li? She Kao...”

“Subo juga amat lihai. Ayahnya adalah putera dari Istana Gurun Pasir.”

“Ah, kalau begitu, ayah subomu itu masih saudara sepupuku sendiri! Tentu dia putera Bibi Wan Ceng!”

“Sedangkan ibu dari subo adalah seorang wanita dari keluarga Pulau Es.”

“She Suma....?”

“Ya, kalau tidak keliru, nama ibu dari subo adalah Suma Hui.”

“Omitohud...! Ibu dari subomu itu puteri Paman Suma Kian Lee! Ah, ah, jadi engkau murid dari suami isteri yang demikian hebatnya? Engkau telah mewarisi ilmu-ilmu dari Istana Gurun Pasir dan dari Istana Pulau Es. Bahkan ilmu-ilmu dari ayahku juga? Hebat! Tapi.... tapi.... kau katakan tadi bahwa engkau tidak bisa ilmu silat, tidak suka ilmu silat? Bagaimana ini?”

“Aku adalah seorang murid yang tidak baik, Locianpwe....”

“Wah, jangan engkau menyebut aku locianpwe lagi. Kita masih terikat hubungan yang amat dekat, Yo Han. Kalau dihitung dari suhumu Tan Sin Hong itu, maka aku adalah bibi gurumu. Kalau dihitung dari subomu Kao Hong Li yang masih cucu dari Bibi Wan Ceng, maka aku adalah nenek gurumu karena subomu itu terhitung keponakanku sendiri! Kau sebut, saja aku Bibi Gangga Dewi.”

”Baiklah, Bibi. Seperti telah kukatakan tadi, aku adalah seorang murid yang buruk. Suhu dan Subo adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi, akan tetapi aku.... aku tidak pernah mau berlatih silat karena aku melihat kekerasan dalam ilmu silat yang tidak cocok dengan bakat dan watakku.”

Gangga Dewi mengerutkan alisnya. Anak ini aneh, akan tetapi dalam hal ilmu silat, dia memiliki pandangan yang sempit, mendekati sombong malah!

“Tapi mereka berdua itu mengajarkan ilmu silat kepadamu?”

“Tentu saja, Bibi. Selama lima tahun, Suhu dan Subo menggemblengku dan mengajarkan ilmu-ilmu silat mereka. Akan tetapi, biarpun aku menghafal semua ilmu itu, aku tidak pernah mau berlatih.”

“Kenapa?”

“Karena aku tidak melihat manfaat berlatih silat. Hasilnya hanya akan menanamkan kekerasan dan kekejaman dalam hatiku. Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga, tidak ingin berkelahi dengan siapapun juga, dan tidak ingin menang dari siapapun. Untuk apa berlatih silat?”

Sombongnya, pikir Gangga Dewi. Kalau saja yang bicara itu seorang dewasa, tentu ia akan marah. Akan tetapi Yo Han masih begitu kecil, masih mentah sehingga ia menganggap bahwa pandangan dan pendapat itu hanya pendapat anak kecil yang belum matang.

“Lalu, kalau suhu dan subomu menjadi pengganti orang tuamu, mengapa engkau meninggalkan mereka dan mengikuti seorang jahat macam Ang I Moli?”

“Sudah kuceritakan bahwa untuk menyelamatkan seorang anak perempuan yang diculik Ang I Moli, aku menggantikannya dan terpaksa ikut dengannya sesuai yang kujanjikan.”

“Tapi, kenapa tidak kau laporkan suhu dan subomu? Tentu mereka akan mampu mengusir Ang I Moli dan menolong anak perempuan itu. Kenapa engkau meninggalkan keluarga yang amat baik itu?”

Yo Han diam sejenak, kemudian sambil menentang mata wanita itu, dia bertanya,
“Bibi tentu tidak ingin kalau aku membohong, bukan?”

“Tentu saja tidak!”

“Nah, kalau begitu, harap Bibi jangan bertanya tentang mengapa aku pergi meninggalkan Suhu dan Subo. Yang penting sekarang adalah aku membantu Bibi untuk mencari tahu di mana adanya ayah Bibi, yaitu Sukong (Kakek Guru) Tiong Khi Hwesio, bukan?”

Gangga Dewi memandang dengan mata terbelalak. Anak ini memang aneh sekali. Akan tetapi keras hati, jujur, dan pemberani.

“Baiklah, Yo Han. Sekarang bawa aku ke rumah suhu dan subomu itu, karena mereka pasti tahu di mana adanya ayahku sekarang.”

Yo Han tahu bahwa memang yang paling mudah adalah membawa wanita peranakan Bhutan ini ke rumah suhu dan subonya. Pertama, rumah mereka tidak begitu jauh dari situ, dan ke dua, tentu saja suhunya merupakan orang yang paling dekat dengan Tiong Khi Hwesio dan tentu akan dapat mengatakan di mana bibi Gangga Dewi akan dapat menemui ayahnya. Akan tetapi, tidak mungkin dia kembali ke rumah suhu dan subonya.

Dia telah meninggalkan mereka, karena kehadirannya di rumah itu tidak dikehendaki suhu dan subonya, terutama subonya. Mereka ingin menjauhkan Sian Li darinya. Kalau dia kembali ke sana, tentu suhu dan subonya akan menitipkan dia ke dalam kuil dan dia tidak ingin hal itu terjadi. Dia tidak mau tinggal di kuil, dan dia tidak mau menyusahkan suhu dan subonya.

“Aku tidak dapat pulang ke rumah mereka, Bibi. Akan tetapi aku dapat membawa Bibi kepada seseorang yang tentu akan dapat pula memberitahu ke mana Bibi harus pergi untuk menemui ayah Bibi itu.”

“Hemm, siapakah orang itu, Yo Han? Dan di mana tempatnya?”

“Dia adalah seorang tua gagah yang kini mengasingkan diri, bertapa di Pegunungan Tapa-san. Aku pernah dititipkan Suhu kepadanya, Bibi. Dan aku yakin dia akan dapat menerangkan di mana adanya ayah Bibi. Dan dia juga anggauta keluarga Istana Pulau Es, namanya Suma Ciang Bun, masih paman dari Subo karena ibu dari Subo adalah kakak dari Kakek Suma Ciang Bun.”

“Suma.... Ciang.... Bun....?” Sepasang mata itu terbelalak, bibir itu gemetar dan wajah itu berubah pucat sekali lalu menjadi merah. Gangga Dewi merasa betapa jantungnya tergetar hebat, akan tetapi ia cepat menguasai perasaannya. “Dia.... putera Paman Suma Kian Lee. Baik, mari kita pergi mencarinya, Yo Han.”

Pergilah mereka meninggalkan kuil itu. Diam-diam Gangga Dewi merasa girang sekali. Ia amat tertarik kepada anak ini dan ingin mengetahui lebih banyak, bahkan kalau mungkin ia ingin menariknya menjadi muridnya. Apalagi setelah kini terdapat kenyataan bahwa anak ini masih terhitung murid keponakan atau juga cucu muridnya sendiri. Dan pertemuannya dengan Yo Han ternyata juga memudahkan ia menemukan ayahnya yang sudah lama ia rindukan. Yo Han sendiri tidak tahu dan tidak pernah mendengar dari suhunya bahwa tiga orang guru dari suhunya itu telah meninggal dunia semua.

Di lain pihak, Yo Han juga kagum kepada Gangga Dewi. Wanita ini selain gagah perkasa dan tangkas, juga memiliki watak yang tegas. Wanita ini tidak cengeng dan tidak mendesaknya untuk bercerita banyak tentang dirinya, bahkan ketika dia tidak mau menceritakan tentang sebab dia meninggalkan suhu dan subonya, Gangga Dewi sama sekali tidak tersinggung dan tidak mau bertanya lebih jauh mengenai hal itu. Wanita ini pendiam dan tidak cerewet.

**** 010 ****