Kaisar Kian Liong telah berusia enam puluh tahun lebih. Kelak di dalam sejarah dia akan dikenal sebagai seorang Kaisar yang berhasil dalam tugasnya memimpin Kerajaan Mancu, yaitu Wangsa Ceng. Dialah Kaisar ke dua dari bangsa Mancu yang menjadi Kaisar sejak muda sampai lanjut sekali.
Sejak berusia sembilan belas tahun dia telah menjadi Kaisar, dan kini sudah empat puluh empat tahun dia memegang tampuk kerajaan dan belum nampak tanda-tanda bahwa dia akan meninggalkan singgasana. Bahkan dalam usia enam puluh tiga tahun, dia nampak penuh semangat.
Harus diakui dalam sejarah bahwa selama dia berkuasa (1736-1796), yaitu selama enam puluh tahun, pemerintahannya memperoleh kemajuan pesat. Bahkan Kaisar Kian Liong yang dibantu banyak orang pandai berhasil memadamkan api pemberontakan di mana-mana. Juga di daerah barat, pemberontakan dapat dia tundukkan dan daerah barat itu kemudian diberi nama Sin-kiang (Daerah Baru).
Balatentara di bawah Kaisar Kian Liong amat besar dan kuat. Ketika di Tibet timbul kerusuhan, yaitu ketika bangsa Gurkha dari Nepal menyerbu daerah itu, Kaisar Kian Liong mengirimkan pasukan yang kuat ke Tibet untuk mengusir penyerbu itu. Bahkan ketika orang-orang Gurkha dari Nepal itu dipukul mundur dan melarikan diri kembali ke negaranya, pasukan Mancu melakukan pengejaran, melintasi Pegunungan Himalaya dan memasuki Nepal.
Balatentara bantuan dikerahkan dari kota raja, dan dengan kekuatan penuh pasukan-pasukan Mancu menyerang bagaikan gelombang yang dahsyat dan menggetarkan seluruh daerah barat.
Perjalanan yang jauh dari pasukan itu, melintasi daerah yang amat sulit dari Pegunungan Himalaya, membuktikan kehebatan Kaisar Kian Liong dalam pemerintahannya. Pasukan itu berhasil menaklukkan bangsa Gurkha dan memaksa mereka mengakui kekuasaan yang dipertuan Kerajaan Ceng-tiauw di Cina.
Bukan hanya ke barat balatentara Kaisar Kian Liong memperlihatkan ketangguhannya. Juga ketika terjadi kekacauan di selatan, yaitu ketika bangsa Birma mengacau di Propinsi Yunan bagian barat daya, Kaisar Kian Liong mengirimkan pasukan pilihan untuk mengamankan daerah itu. Pasukan ini memukul bangsa Birma kembali ke negara mereka, bahkan terus menyerbu ke Birma.
Biarpun sampai dua kali pasukan Mancu menyerbu Birma dan rakyat Birma mempertahankan diri mati-matian sehingga tidak dapat ditundukkan, namun Kaisar Kian Liong sudah cukup puas telah dapat memberi “pelajaran” dan akhirnya bangsa Birma juga mengakui kekuasaan Kerajaan Ceng di Cina.
Demikian pula negeri Annam yang pada pemerintahan bangsa Mongol telah ditundukkan, memberontak dan oleh pasukan Mancu dapat ditundukkan kembali.
Bagi rakyat, seorang Kaisar dianggap sebagai orang “pilihan Tuhan” bahkan ada yang menyebutnya wakil Tuhan atau putera Tuhan! Demikian tingginya pandangan rakyat jelata terhadap Kaisarnya sehingga seorang Kaisar selalu didewa-dewakan dan tidak dianggap sebagai manusia lumrah!
Padahal, kalau ada yang dapat menjenguk ke dalam istana dan mengikuti cara hidup dan keadaan seorang Kaisar, seperti Kaisar Kian Liong sekalipun akan terbuka matanya melihat kenyataan bahwa seorang Kaisar pun hanyalah seorang manusia biasa! Seorang manusia yang memiliki kelebihan dan kekurangan pribadi, seperti juga manusia-manusia lain di dunia ini, seorang manusia yang pada hakekatnya bertubuh lemah, tidak kebal terhadap penyakit dan kematian. Seorang manusia yang berbatin lemah, tidak kebal terhadap nafsu-nafsu yang menggodanya, yang selalu menjadi korban permainan suka-duka puas-kecewa.
Ketika itu, tahun 1780 dan Kaisar Kian Liong sudah berusia enam puluh tiga tahun. Permaisurinya telah meninggal dunia tiga tahun yang lalu. Namun Kaisar Kian Liong tidak merasa kesepian dengan meninggalnya sang permaisuri itu. Apalagi, sudah lama dia selalu dilayani dan didampingi selirnya yang paling dia kasihi, yaitu Puteri Harum yang setelah menjadi isterinya dikenal dengan sebutan Siang Hong-houw (Permaisuri Harum).
Selir yang kini menjadi pengganti permaisuri ini adalah seorang puteri tawanan. Kaisar Kian Liong memang terkenal sebagai seorang Kaisar yang bijaksana sejak dia pangeran, memiliki pergaulan yang luas dengan para pendekar dan dikenal sebagai seorang yang pandai bergaul, pandai mengambil hati bawahan, bahkan disukai oleh rakyat jelata. Akan tetapi dia pun terkenal sebagai seorang laki-laki yang mudah tergila-gila oleh wanita cantik dan tak pernah berhenti mengejar wanita-wanita cantik.
Setelah dia menjadi Kaisar, disamping mengurus kerajaan dengan tekun dan bijaksana, dia tidak pula melepaskan kesukaannya mengumpulkan wanita-wanita cantik. Namun, seperti halnya nafsu-nafsu lainnya, nafsu berahi pun seperti api, makin diberi umpan, semakin lapar!
Nafsu tak pernah mengenal arti puas dan cukup, yang dikenalnya hanyalah bosan akan yang lama dan haus akan yang baru, tiada hentinya mencari dan mencari demi kehausannya yang tak kunjung habis.
Ketika seorang panglimanya bercerita akan kecantikan seorang puteri di daerah barat, yaitu di Sin-kiang, Kaisar Kian Liong tertarik sekali. Hati pria mana yang tidak akan tertarik kalau mendengar betapa puteri bangsa Uighur itu, cantik seperti bidadari, akan tetapi juga terkenal sekali karena tubuhnya selalu mengeluarkan keharuman yang dapat memabokkan setiap orang pria? Biarpun puteri itu, anak seorang kepala suku bernama Ho-couw telah menikah dengan seorang kepala suku beragama Islam, namun di seluruh Sin-kiang ia terkenal dengan sebutan Puteri Harum!
Mendengar berita tentang wanita ini, Kaisar Kian Liong menjadi tergila-gila! Belum pernah selama hidupnya dia mendapatkan seorang wanita yang keringatnya berbau harum! Keharuman pada tubuh wanita-wanita yang menjadi selirnya adalah keharuman buatan, bahkan untuk menutupi bau keringat yang tidak sedap!
Kebetulan pada waktu itu, banyak di antara kepala suku yang memperlihatkan sikap tidak taat kepada kekuasaan Kaisar, maka pasukan besar lalu dikirim ke Sinkiang dan panglima pasukan operasi itu, Jenderal Cao Hui, mendapat pesan khusus dari Sribaginda Kaisar agar dia dapat menawan sang puteri itu dan membawanya ke istana dalam keadaan sehat dan selamat.
Operasi itu berjalan baik. Keluarga Puteri Harum, juga suaminya, terbunuh dan sang puteri dibawa ke Istana Peking sebagai seorang tawanan perang istimewa. Ketika Jenderal Cao Hui manghadapkan sang puteri di depan Kaisar Kian Liong, Kaisar ini menjadi terpesona menghadapi wanita yang memiliki kecantikan yang khas itu.
Dia merasa seperti dalam mimpi, bertemu seorang dewi dari barat. Tubuhnya begitu halus mulus, dengan kulit yang putih bersih kemerahan, dengan lekuk lengkung sempurna, bibirnya merah basah tanpa alat, matanya kebiruan seperti langit jernih, bulu matanya panjang melengkung ke atas, dan yang lebih dari segalanya dari tubuh yang nampak lelah karena melakukan perjalanan amat jauh itu tersiar keharuman yang aneh namun amat sedap bagi hidung dan nyaman bagi perasaan.
Sejak berusia sembilan belas tahun dia telah menjadi Kaisar, dan kini sudah empat puluh empat tahun dia memegang tampuk kerajaan dan belum nampak tanda-tanda bahwa dia akan meninggalkan singgasana. Bahkan dalam usia enam puluh tiga tahun, dia nampak penuh semangat.
Harus diakui dalam sejarah bahwa selama dia berkuasa (1736-1796), yaitu selama enam puluh tahun, pemerintahannya memperoleh kemajuan pesat. Bahkan Kaisar Kian Liong yang dibantu banyak orang pandai berhasil memadamkan api pemberontakan di mana-mana. Juga di daerah barat, pemberontakan dapat dia tundukkan dan daerah barat itu kemudian diberi nama Sin-kiang (Daerah Baru).
Balatentara di bawah Kaisar Kian Liong amat besar dan kuat. Ketika di Tibet timbul kerusuhan, yaitu ketika bangsa Gurkha dari Nepal menyerbu daerah itu, Kaisar Kian Liong mengirimkan pasukan yang kuat ke Tibet untuk mengusir penyerbu itu. Bahkan ketika orang-orang Gurkha dari Nepal itu dipukul mundur dan melarikan diri kembali ke negaranya, pasukan Mancu melakukan pengejaran, melintasi Pegunungan Himalaya dan memasuki Nepal.
Balatentara bantuan dikerahkan dari kota raja, dan dengan kekuatan penuh pasukan-pasukan Mancu menyerang bagaikan gelombang yang dahsyat dan menggetarkan seluruh daerah barat.
Perjalanan yang jauh dari pasukan itu, melintasi daerah yang amat sulit dari Pegunungan Himalaya, membuktikan kehebatan Kaisar Kian Liong dalam pemerintahannya. Pasukan itu berhasil menaklukkan bangsa Gurkha dan memaksa mereka mengakui kekuasaan yang dipertuan Kerajaan Ceng-tiauw di Cina.
Bukan hanya ke barat balatentara Kaisar Kian Liong memperlihatkan ketangguhannya. Juga ketika terjadi kekacauan di selatan, yaitu ketika bangsa Birma mengacau di Propinsi Yunan bagian barat daya, Kaisar Kian Liong mengirimkan pasukan pilihan untuk mengamankan daerah itu. Pasukan ini memukul bangsa Birma kembali ke negara mereka, bahkan terus menyerbu ke Birma.
Biarpun sampai dua kali pasukan Mancu menyerbu Birma dan rakyat Birma mempertahankan diri mati-matian sehingga tidak dapat ditundukkan, namun Kaisar Kian Liong sudah cukup puas telah dapat memberi “pelajaran” dan akhirnya bangsa Birma juga mengakui kekuasaan Kerajaan Ceng di Cina.
Demikian pula negeri Annam yang pada pemerintahan bangsa Mongol telah ditundukkan, memberontak dan oleh pasukan Mancu dapat ditundukkan kembali.
Bagi rakyat, seorang Kaisar dianggap sebagai orang “pilihan Tuhan” bahkan ada yang menyebutnya wakil Tuhan atau putera Tuhan! Demikian tingginya pandangan rakyat jelata terhadap Kaisarnya sehingga seorang Kaisar selalu didewa-dewakan dan tidak dianggap sebagai manusia lumrah!
Padahal, kalau ada yang dapat menjenguk ke dalam istana dan mengikuti cara hidup dan keadaan seorang Kaisar, seperti Kaisar Kian Liong sekalipun akan terbuka matanya melihat kenyataan bahwa seorang Kaisar pun hanyalah seorang manusia biasa! Seorang manusia yang memiliki kelebihan dan kekurangan pribadi, seperti juga manusia-manusia lain di dunia ini, seorang manusia yang pada hakekatnya bertubuh lemah, tidak kebal terhadap penyakit dan kematian. Seorang manusia yang berbatin lemah, tidak kebal terhadap nafsu-nafsu yang menggodanya, yang selalu menjadi korban permainan suka-duka puas-kecewa.
Ketika itu, tahun 1780 dan Kaisar Kian Liong sudah berusia enam puluh tiga tahun. Permaisurinya telah meninggal dunia tiga tahun yang lalu. Namun Kaisar Kian Liong tidak merasa kesepian dengan meninggalnya sang permaisuri itu. Apalagi, sudah lama dia selalu dilayani dan didampingi selirnya yang paling dia kasihi, yaitu Puteri Harum yang setelah menjadi isterinya dikenal dengan sebutan Siang Hong-houw (Permaisuri Harum).
Selir yang kini menjadi pengganti permaisuri ini adalah seorang puteri tawanan. Kaisar Kian Liong memang terkenal sebagai seorang Kaisar yang bijaksana sejak dia pangeran, memiliki pergaulan yang luas dengan para pendekar dan dikenal sebagai seorang yang pandai bergaul, pandai mengambil hati bawahan, bahkan disukai oleh rakyat jelata. Akan tetapi dia pun terkenal sebagai seorang laki-laki yang mudah tergila-gila oleh wanita cantik dan tak pernah berhenti mengejar wanita-wanita cantik.
Setelah dia menjadi Kaisar, disamping mengurus kerajaan dengan tekun dan bijaksana, dia tidak pula melepaskan kesukaannya mengumpulkan wanita-wanita cantik. Namun, seperti halnya nafsu-nafsu lainnya, nafsu berahi pun seperti api, makin diberi umpan, semakin lapar!
Nafsu tak pernah mengenal arti puas dan cukup, yang dikenalnya hanyalah bosan akan yang lama dan haus akan yang baru, tiada hentinya mencari dan mencari demi kehausannya yang tak kunjung habis.
Ketika seorang panglimanya bercerita akan kecantikan seorang puteri di daerah barat, yaitu di Sin-kiang, Kaisar Kian Liong tertarik sekali. Hati pria mana yang tidak akan tertarik kalau mendengar betapa puteri bangsa Uighur itu, cantik seperti bidadari, akan tetapi juga terkenal sekali karena tubuhnya selalu mengeluarkan keharuman yang dapat memabokkan setiap orang pria? Biarpun puteri itu, anak seorang kepala suku bernama Ho-couw telah menikah dengan seorang kepala suku beragama Islam, namun di seluruh Sin-kiang ia terkenal dengan sebutan Puteri Harum!
Mendengar berita tentang wanita ini, Kaisar Kian Liong menjadi tergila-gila! Belum pernah selama hidupnya dia mendapatkan seorang wanita yang keringatnya berbau harum! Keharuman pada tubuh wanita-wanita yang menjadi selirnya adalah keharuman buatan, bahkan untuk menutupi bau keringat yang tidak sedap!
Kebetulan pada waktu itu, banyak di antara kepala suku yang memperlihatkan sikap tidak taat kepada kekuasaan Kaisar, maka pasukan besar lalu dikirim ke Sinkiang dan panglima pasukan operasi itu, Jenderal Cao Hui, mendapat pesan khusus dari Sribaginda Kaisar agar dia dapat menawan sang puteri itu dan membawanya ke istana dalam keadaan sehat dan selamat.
Operasi itu berjalan baik. Keluarga Puteri Harum, juga suaminya, terbunuh dan sang puteri dibawa ke Istana Peking sebagai seorang tawanan perang istimewa. Ketika Jenderal Cao Hui manghadapkan sang puteri di depan Kaisar Kian Liong, Kaisar ini menjadi terpesona menghadapi wanita yang memiliki kecantikan yang khas itu.
Dia merasa seperti dalam mimpi, bertemu seorang dewi dari barat. Tubuhnya begitu halus mulus, dengan kulit yang putih bersih kemerahan, dengan lekuk lengkung sempurna, bibirnya merah basah tanpa alat, matanya kebiruan seperti langit jernih, bulu matanya panjang melengkung ke atas, dan yang lebih dari segalanya dari tubuh yang nampak lelah karena melakukan perjalanan amat jauh itu tersiar keharuman yang aneh namun amat sedap bagi hidung dan nyaman bagi perasaan.
Ia pasti seorang bidadari yang baru turun dari kahyangan, demikian kata hati Kaisar itu dan segera mengangkatnya menjadi selir terkemuka, bahkan menjulukinya Siang Hong-houw atau Permaisuri Harum.
Pada bulan-bulan pertama kediamannya di istana Kaisar Mancu itu, Puteri Harum selalu berduka dan tidak mau melayani Sang Kaisar yang sudah tergila-gila. Ia teringat akan keluarganya, teringat akan negaranya dan keadaan lingkungan yang amat berbeda.
Kaisar Kian Liong yang sudah tergila-gila itu menjadi bingung dan dari para penasihatnya, dia lalu menyuruh bangun sebuah istana mungil yang diberi nama Istana Bulan Purnama, dibuat secara khas dan khusus untuk Puteri Harum, juga disitu dibangun sebuah tempat mandi khas Turki yang diberi nama Ruang Mandi Para Bidadari. Bahkan dia memerintahkan para ahlinya untuk membangun sebuah masjid dan bangunan-bangunan khas model Uighur di sekeliling Istana Bulan Purnama itu.
Dengan demikian, sang puteri dapat melakukan kebiasaannya seperti ketika masih di Uighur, dan dapat melihat semua bangunan itu dari loteng istananya sehingga dapat mengatasi kedukaan dan kerinduannya akan kampung halaman.
Mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang berlimpah-limpah itu, Puteri Harum merasa terharu dan dengan suka rela ia lalu menyerah dalam pelukan Kaisar Kian Liong dan berusaha untuk membalas kasih sayangnya. Hal ini tidak begitu sukar karena sang waktu membantu Puteri Harum untuk melupakan keluarganya yang telah terbasmi, ditambah pula memang Kaisar Kian Liong adalah seorang pria yang tampan dan menarik, juga berpengalaman dan pandai mengambil hati wanita.
Sebagai seorang wanita yang pandai menunggang kuda dan mempergunakan anak panah, Siang Hong-houw seringkali diajak oleh Kaisar Kian Liong kalau Kaisar ini pergi berburu ke Yehol, yaitu suatu daerah di Mongolia Dalam.
Demikianlah, sejak saat itu, boleh dibilang Kaisar Kian Liong menghentikan semua kesukaannya mengumpulkan wanita-wanita cantik yang baru. Di dalam diri Siang Hong-houw dia menemukan segala-galanya yang dibutuhkan untuk memuaskan nafsu berahinya.
Ketika dia berusia enam puluh tiga tahun, Siang Hong-houw tidak muda lagi, sudah sekitar empat puluh tahun usianya. Akan tetapi wanita ini masih cantik menarik penuh pesona, dan keringatnya masih juga berbau harum. Dan ternyata, keharuman keringat siang Hong-houw memang dari dalam, walaupun bukan tanpa usaha.
Sejak kecil, wanita ini minum ramuan akar wangi dan sari bunga-bunga harum seperti mawar, bahkan kalau mandi selalu menggunakan air yang diharumkan dengan cendana dan bermacam sari kembang yang harum. Bahkan makannya juga tersendiri, tidak mau makan makanan yang dapat mendatangkan bau tidak enak, melainkan sayur-sayuran dan buah-buahan yang mendatangkan bau sedap!
Daya tahan tubuh manusia itu amat terbatas dan mempunyai ukuran tertentu. Kaisar Kian Liong sejak mudanya menghamburkan tenaganya untuk memuaskan nafsu berahinya, bahkan kadang-kadang dia mempergunakan ramuan obat-obatan untuk memperkuat tubuhnya. Hal ini baru terasa akibat buruknya setelah dia berusia enam puluh tahun lebih.
Kini dia merasa betapa tubuhnya lemah, bahkan hampir kehilangan gairahnya. Makin jarang saja dia menyuruh Siang Hong-houw menemaninya, bahkan lebih sering dia menjauhkan diri dari wanita, menyendiri di dalam kamarnya, lebih suka membaca kitab daripada bermesraan dengan permaisuri yang dicintanya itu.
Kerenggangan yang menjadi akibat dari kemunduran keadaan kesehatan Kaisar itu memberi banyak waktu luang kepada Permaisuri Harum dan menumbuhkan kembali kerinduannya kepada suku bangsanya sendiri. Biarpun Sribaginda Kaisar tidak melarang ia menunaikan ibadahnya sebagai seorang beragama Islam, namun permaisuri ini merasa kesepian dan ia merindukan lingkungan yang lain, lingkungan yang terasa lebih akrab karena persamaan kepercayaan.
Karena kerenggangannya dari Kaisar yang kini lebih banyak mengurus negara dan membaca kitab, Siang Hong-houw makin akrab dengan seorang thai-kam vang bernama Mo Si Lim. Laki-laki yang dikebiri ini sebetulnya masih terhitung sanak dengan sang permaisuri. Dia seorang peranakan Uighur yang beragama Islam pula. Bahkan namanya merupakan perubahan dari nama kecilnya, yaitu Muslim yang diberikan ayahnva, untuk menandakan bahwa dia seorang muslim, seorang yang beragama Islam. Bahkan Siang Hong-houw pula yang mengusulkan kepada Kaisar agar mempunyai seorang pelayan berbangsa Uighur, maka belasan tahun yang lalu, pemuda Mo Si Lim dijadikan thai-kam.
Dengan adanya Mo Si Lim, maka Siang Hong-houw dapat terhibur akan kerinduannya kepada bangsanya. Mo Si Lim melayaninya dan mereka dapat bercakap dalam bahasa mereka, membicarakan tentang keadaan di Sin-kiang. Akan tetapi, beberapa tahun akhir-akhir ini, secara diam-diam Mo Si Lim mengadakan hubungan dengan orang-orang dari perkumpulan rahasia yang mempunyai cita-cita mengusir penjajah Mancu dari Cina.
Tentu saja mudah bagi orang Uighur ini untuk tertarik dengan cita-cita perjuangan itu, mengingat betapa bangsanya juga tertekan oleh penjajah Mancu, dan banyak kawannya telah tewas ketika daerah barat diserbu oleh pasukan Mancu. Mo Si Lim adalah anak buah mendiang suami Puteri Harum. Kesetiaannya jugalah yang membuat dia rela dijadikan thai-kam, agar dia dapat mendekati dan melayani Puteri Harum.
Sore hari itu Siang Hong-houw duduk seorang diri di ruangan duduk dengan santai. Baru saja ia melakukan sholat atau sembahyang maghrib di dalam ruangan sembahyang yang khas dibuat untuknya. Ketika dayang kepercayaannya memasuki ruangan itu, ia memerintahkan dayangnya untuk memanggil Mo Si Lim.
"Suruh dia masuk menghadapku, kemudian engkau berjaga di luar pintu dan melarang siapa saja masuk ruangan ini tanpa kupanggil."
Dayang itu, seorang peranakan Uighur pula, menyembah lalu keluar dari ruangan itu, memanggil Mo Si Lim, thai-kam (laki-laki kebiri) yang bertugas jaga di bagian depan istana puteri itu. Setelah dayang itu pergi, Siang Hong-houw duduk di atas kursi panjang yang nyaman. Ia masih amat cantik walaupun usianya sudah empat puluh tahun lebih.
Wajah yang putih kemerahan itu masih halus tanpa dibayangi keriput. Hanya beberapa garis lembut di tepi mata dan antara alisnya sajalah yang menjadi bukti bahwa ia bukan gadis muda lagi, melainkan seorang wanita yang sudah matang. Tubuhnya masih padat dengan lekuk lengkung yang sempurna, tidak dirusak oleh kelahiran anak. Dan dari jarak dua meter orang akan dapat mencium keharuman semerbak yang keluar dari tubuhnya.
Ia seorang wanita yang tidak menghambakan diri kepada nafsu berahi. Ketika ia dipisahkan dengan paksa dari suaminya, maka bersama kematian suaminya, mati pula gairah berahinya. Kalau ia melayani Kaisar Kian Liong, hal itu hanya dilakukan karena rasa kasihan kepada Kaisar yang amat menyayangnya. Sekarang setelah suaminya itu, Kaisar Kian Liong, jarang menggaulinya, Siang Hong-houw merasa lebih enak dan senang.
Ketukan pada pintu ruangan duduk yang luas itu membuyarkan lamunannya. Ketukan tiga kali, pelan keras pelan. Itu adalah ketukan Mo Si Lim.
"Masuklah, Muslim!" kata puteri itu dalam bahasa Uighur.
Thaikam itu membuka daun pintu lalu masuk, menutupkan kembali daun pintu lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap sang permaisuri.
"Bangkit dan duduklah. Aku ingin mendengar laporanmu tentang keadaan di luar istana, terutama mengenai Thianli-pang. Bukankah engkau sudah menyelidiki Thian-li-pang seperti yang kuperintahkan?"
Mo Si Lim menyembah, bangkit lalu duduk di atas sebuah bangku pendek, sedangkan Siang Hong-houw kini duduk di atas kursi gading yang ukirannya amat indah. Mereka berhadapan dalam jarak dua meter, terhalang meja kecil dan orang kebiri itu dapat menikmati keharuman semerbak dari depannya.
"Kebetulan sekali, hamba memang sedang menanti perintah dan panggilan Paduka, Puteri. Untuk langsung menghadap, tidak berani khawatir menimbulkan kecurigaan. Hamba membawa sepucuk surat permohonan dari Ketua Thianli-pang sendiri untuk dihaturkan kepada Paduka."
"Surat Ketua Thian-li-pang? Cepat berikan kepadaku, Muslim!" kata Siang Hong-houw dan sikapnya berubah, cekatan sekali dan penuh gairah kegembiraan.
Mo Si Lim mengeluarkan sesampul surat dari saku dalam bajunya dan setelah menyembah, dia menyerahkan sampul surat itu kepada sang puteri. Siang Hong-houw cepat merobek sempulnya dan mengeluarkan sehelai kertas yang memuat huruf-huruf yang indah coretannya. Lalu ia membacanya. Beberapa kali sepasang alis itu berkerut ketika ia membacanya.
"Muslim, apakah engkau sudah mengetahui akan isi surat ini?" tanya Sang Puteri setelah dua kali membaca isi surat.
Muslim atau Mo Si Lim menyembah.
"Hamba tidak tahu, Puteri. Hanya utusan ketua itu mengatakan bahwa Thian-lipang mengajukan permohonan kepada Paduka melalui surat yang harus hamba sampaikan ini."
"Muslim, permintaan mereka yang pertama wajar, akan tetapi yang ke dua sungguh berat untuk dapat kusetujui. Cepat kau nyalakan api di tungku perapian itu, surat ini harus dibakar dulu baru kita bicara."
Mo Si Lim melaksanakan perintah itu tanpa bicara dan setelah api bernyala, Siang Hong-houw sendiri yang melemparkan surat dan sampulnya ke dalam api yang segera membakarnya habis menjadi abu dan tidak ada bekasnya lagi.
Mereka lalu duduk lagi berhadapan seperti tadi.
"Ketahuilah, Muslim. Pertama Ketua Thian-li-pang memohon kepadaku agar aku suka memberi sumbangan untuk membantu pembiayaan Thian-li-pang. Ke dua, dan ini yang tidak dapat kusetujui, mereka mohon perkenan dan persetujuanku agar aku suka membantu mereka dalam usaha mereka membunuh Sribaginda Kaisar."
Tidak nampak perubahan apapun pada wajah thai-kam itu. Dia merupakan seorang mata-mata yang pandai bersandiwara. Bahkan suaranya datar saja tanpa dipengaruhi perasaan ketika dia bertanya,
"Yang mulia, mengapa mereka hendak melakukan pembunuhan? Apakah mereka menjelaskan alasannya?"
"Mereka bukan saja berniat untuk membunuh Sribaginda, akan tetapi juga Pangeran Cia Cing dan Pangeran Tao Kuang. Alasan mereka, kalau tidak dibunuh sekarang, tentu beberapa tahun lagi Sribaginda mengundurkan diri dan akan menyerahkan tahta kerajaan kepada seorang di antara kedua pangeran itu. Dan seperti kau ketahui, kedua pangeran itu adalah orang-orang Mancu asli karena ibu mereka pun wanita Mancu. Kalau mereka bertiga itu tidak ada lagi, tentu tahta kerajaan akan terjatuh ke tangan Pangeran Kian Ban Kok yang ibunya orang Kin. Dengan demikian, maka ada darah Han yang menjadi Kaisar, dan mereka akan mendukung pangeran itu."
Mo Si Lim mengangguk-angguk.
"Sekarang, jawaban apa yang akan Paduka berikan dan yang harus saya sampaikan kepada mereka?"
Puteri Harum bangkit dari tempat duduknya, menghampiri sebuah almari dan mengeluarkan sebuah kotak hitam, lalu duduk kembali. Ia menaruh kotak kecil hitam itu di atas meja di depannya lalu membukanya. Isinya perhiasan dan gemerlapan.
"Ini perhiasan berharga yang tak pernah kupakai, bawaanku sendiri dahulu dari Sin-kiang. Berikan kepada Thian-li-pang sebagai sumbangan dariku yang mendukung perjuangan mereka menentang pemerintah penjajah. Mengenai permintaan mereka yang ke dua, sekarang aku belum dapat menyetujuinya. Bagaimanapun juga, aku adalah isteri Sribaginda dan merupakan dosa besar bagiku kalau aku bersekutu dengan siapa pun untuk membunuh suami sendiri. Allah akan mengutukku. Kalau mereka berkeras hendak melakukannya juga, aku tidak ikut campur. Nah, sampaikan semua itu kepada mereka, dan kalau tidak teramat penting, aku tidak mau lagi diganggu mereka walaupun aku mendukung perjuangan mereka."
Mo Si Lim menyembah, lalu mengambil peti hitam kecil itu, memasukkannya ke dalam saku jubahnya bagian dalam, menyembah lagi dan mengundurkan diri, keluar dari kamar atau ruangan duduk itu.
Siang Hong-Houw yang ditinggalkan seorang diri bertepuk tangan memanggil dayangnya dan ia pun memasuki kamarnya untuk membuat persiapan karena tadi sudah ada isyarat dari Sribaginda Kaisar bahwa malam ini Sribaginda akan tidur di kamar permaisurinya tersayang.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Mo Si Lim sudah meninggalkan istana tanpa ada yang menaruh curiga. Padahal, di balik jubahnya, thai-kam ini membawa sebuah peti kecil yang isinya amat berharga. Dia berjalan dengan hati-hati dan berkeliling kota. Setelah merasa yakin bahwa dirinya tidak dibayangi orang lain, dia lalu menyelinap masuk ke dalam pekarangan sebuah rumah besar dan kuno yang berdiri di sudut kota raja.
Rumah ini dahulu, sebelum bangsa Mancu datang menjajah, adalah sebuah istana milik seorang pangeran. Kini rumah itu terjatuh ke tangan penduduk biasa yang cukup kaya dan dijadikan sebagai tempat peristirahatan. Namun, karena rumah itu besar dan kuno juga tidak begitu terawat maka kelihatan menyeramkan. Apalagi keluarga yang memiliki rumah besar itu jarang menempatinya, maka rumah itu nampak angker dan didesas-desuskan sebagai rumah yang ada hantunya.
Agaknya Mo Si Lim tidak asing dengan rumah ini. Dia tidak menuju ke pintu depan, melainkan mengambil jalan samping dan memasuki pintu samping yang kecil dan menembus kebun di samping rumah. Dia lenyap bagaikan ditelan raksasa ketika memasuki rumah itu melalui pintu samping. Rumah itu nampak kosong, akan tetapi ketika Mo Si Lim tiba di ruangan belakang, tiba-tiba muncul sesosok bayangan dan seorang laki-laki tinggi besar berdiri di depannya.
Mo Si Lim berhenti melangkah dan memandang kepada laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh tahun itu. Dia tidak mengenal orang itu, maka dengan hati-hati dia berkata kepada orang itu,
"Selamat pagi, Sobat.... saya ingin bertemu dengan Saudara Ciang Sun. Apakah dia berada disini?"
Akan tetapi tidak terdengar jawaban, bahkan tujuh orang laki-laki lain bermunculan dan delapan orang itu mengepung Mo Si Lim. Mereka itu berusia antara dua puluh sampai empat puluh tahun, rata-rata nampak gagah dan kuat.
"Siapa engkau?" Si Tinggi Besar membentak.
Mo Si Lim adalah seorang yang cerdik. Dia belum tahu siapa adanya delapan orang ini. Pembawa surat Ketua Thian-li-pang adalah Ciang Sun, dan Ciang Sun menjanjikan akan menantinya di rumah gedung itu seperti biasanya. Akan tetapi pagi hari ini, saat yang amat penting karena dia membawa sumbangan dan pesan Siang Hong-houw, Ciang Sun tidak muncul, dan sebaliknya muncul delapan orang yang tak dikenalnya ini dengan sikap mengancam. Dia pun segera bersikap angkuh dan hendak mengandalkan kedudukannya untuk menggertak mereka dan menyelamatkan diri.
"Aku adalah kepala thaikam di istana Permaisuri, namaku Mo Si Lim dan harap kalian cepat memanggil Ciang Sun agar menghadap di sini."
"Hemm, engkau tentu seorang mata-mata yang hendak berhubungan dengan Thian-li-pang! Hayo mengaku saja!" bentak Si Tinggi Besar.
Namun, Mo Si Lim tidak kalah gertak.
"Siapakah kalian? Jangan menuduh sembarangan. Aku seorang petugas di istana dan aku tidak mengenal apa itu Thian-li-pang. Aku hendak bertemu Ciang Sun untuk urusan jual beli perhiasan. Kalau kalian tidak tahu di mana Ciang Sun berada, harap mundur dan jangan menghalangi aku. Ataukah aku harus mengerahkan pasukan keamanan untuk menangkap kalian?"
Pada saat itu, muncul seorang laki-laki yang tinggi kurus dan orang itu berseru,
"Saudara Mo Si Lim, selamat datang! Maafkan kawan-kawanku. Mereka hendak mengujimu, apakah engkau dapat menyimpan rahasia kami!"
Mo Si Lim mengerutkan alisnya dan memandang Si Tinggi Kurus.
"Ah, Saudara Ciang Sun, apakah sampai sekarang engkau masih belum percaya kepadaku? Kalau tidak ada saling kepercayaan, lebih baik tidak ada hubungan saja! Bukankah aku hanya akan membantu Thian-li-pang?”
"Sekali lagi maafkan, Sobat. Nah, duduklah dan bagaimana hasil dan jawaban surat dari pang-cu (ketua) kami?" tanya Ciang Sun, Si Tinggi Kurus yang menjadi orang kepercayaan Thian-li-pang untuk melakukan operasi penting itu, yaitu mencari dana untuk perkumpulan orang-orang gagah yang hendak menentang pemerintah penjajah itu, dan mengatur rencana untuk mencoba melakukan pembunuhan terhadap Kaisar Kian Liong.
Dia memperoleh kepercayaan ini karena Ciang Sun merupakan seorang di antara pembantu-pembantu utama yang memiliki kepandaian silat tinggi di samping kecerdikan dan keberanian.
Mo Si Lim duduk di atas kursi, berhadapan dengan Ciang Sun, sedangkan delapan orang anggauta Thian-li-pang berdiri di sudut-sudut ruangan itu, berjaga-jaga dengan sikap gagah. Dengan hati masih merasa mendongkol atas penyambutan tadi, Mo Si Lim lalu mengambil sikap angkuh.
"Saudara Ciang Sun, surat dari ketua kalian telah berkenan diterima oleh Yang Mulia Puteri Siang Hong-houw kemarin sore."
"Kenapa baru kemarin sore? Bukankah surat itu telah kami serahkan kepadamu lima hari yang lalu?" Ciang Sun bertanya suaranya menegur.
"Hemm, kalian ini ingin mudah dan enaknya saja. Menghadap Siang Hong-houw dengan membawa surat rahasia seperti itu, tentu saja membutuhkan ketelitian dan kewaspadaan. Kalau sampai diketahui orang lain, berarti hukuman mati bagiku, sedangkan kalian enak-enak saja berada di luar dan tidak terancam bahaya."
"Baiklah, kami mengerti, Saudara Mo Si Lim. Lalu bagaimana jawaban dari Siang Hong-houw?"
Mo Si Lim memandang kepada Ciang Sun, lalu kepada para anggauta Thian-li-pang yang berdiri seperti patung dan dengan suara mengandung kebanggaan dia pun berkata,
"Yang Mulia Siang Hong-houw selalu mendukung perjuangan yang hendak membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah. Yang Mulia selalu merasa gembira mendengar bahwa Thian-li-pang berjuang demi kemerdekaan, dan untuk menyatakan dukungannya, maka permohonan Thian-li-pang untuk diberi sumbangan, telah menggerakkan hati Yang Mulia dan beliau mengirimkan ini sebagai sumbangan untuk Thian-li-pang."
Dia mengeluarkan kotak hitam kecil dari dalam jubahnya dan meletakkan kotak itu di atas meja, lalu membuka tutupnya. Semua mata memandang ke arah peti dan orang-orang Thian-li-pang itu marasa gembira dan kagum. Sekali pandang saja tahulah Cia Sun bahwa isi peti itu merupakan harta yang cukup berharga besar dan akan banyak membantu kebutuhan Thian-li-pang.
Akan tetapi, bagi Ciang Sun, sumbangan ini bukan merupakan tugas utama yang terpenting.
"Dan bagaimana dengan rencana besar kami? Apakah Yang Mulia menyetujui dan sudi membantu kami agar tugas kami itu dapat terlaksana dengan lancar?"
Mo Si Lim menarik napas panjang. Orang-orang ini memang mau enaknya saja. Disangkanya membunuh seorang Kaisar, putera Kaisar yaitu Pangeran Cia Cing, dan cucu Kaisar Pangeran Tao Kuang, merupakan pekerjaan yang mudah! Pangeran Cia Cing merupakan seorang pangeran mahkota yang kedudukannya kuat dan memiliki banyak pendukung, sedangkan Pangeran Tao Kuang, tentu saja dengan sendirinya merupakan calon kalau-kalau ayahnya gagal terpilih.
Pangeran Cia Cing berusia empat puluh tahun, sedangkan puteranya, Pangeran Tao Kuang berusia dua puluh tahun. Sedangkan Pangeran Kian Ban Kok yang diusulkan oleh Thian-li-pang untuk menjadi calon Kaisar itu adalah seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang terkenal royal, mata keranjang dan hanya mengejar kesenangan belaka, sama sekali tidak mempunyai kemampuan dan tidak pantas untuk dijadikan calon Kaisar! Agaknya Thian-li-pang justeru memilih pangeran itu yang selain berdarah Han dari ibunya, juga merupakan seorang yang kelak tentu akan mudah dipengaruhi dan dijadikan Kaisar boneka.
"Sayang sekali untuk permohonan Thian-li-pang yang ke dua itu, Yang Mulia Siang Hong-houw belum berkenan menyetujui."
"Ahh! Justru itulah yang terpenting bagi kami! Jika usaha itu berhasil, berarti perjuangan kami pun berhasil. Bagaimana mungkin Sang Permaisuri tidak menyetujui kalau beliau mendukung perjuangan kami?"
"Hemmm, hendaknya kalian suka mengingat bahwa Yang Mulia Permaisuri adalah isteri dari Sribaginda Kaisar... Isteri mana yang merelakan suaminya dibunuh begitu saja? Bagi kami, orang-orang yang beribadat, yang takut akan kemurkaan Allah, tidak akan berani melakukannya. Yang Mulia telah bersikap tepat dan benar dalam hal ini dan kalian tidak dapat memaksa beliau!"
Pada bulan-bulan pertama kediamannya di istana Kaisar Mancu itu, Puteri Harum selalu berduka dan tidak mau melayani Sang Kaisar yang sudah tergila-gila. Ia teringat akan keluarganya, teringat akan negaranya dan keadaan lingkungan yang amat berbeda.
Kaisar Kian Liong yang sudah tergila-gila itu menjadi bingung dan dari para penasihatnya, dia lalu menyuruh bangun sebuah istana mungil yang diberi nama Istana Bulan Purnama, dibuat secara khas dan khusus untuk Puteri Harum, juga disitu dibangun sebuah tempat mandi khas Turki yang diberi nama Ruang Mandi Para Bidadari. Bahkan dia memerintahkan para ahlinya untuk membangun sebuah masjid dan bangunan-bangunan khas model Uighur di sekeliling Istana Bulan Purnama itu.
Dengan demikian, sang puteri dapat melakukan kebiasaannya seperti ketika masih di Uighur, dan dapat melihat semua bangunan itu dari loteng istananya sehingga dapat mengatasi kedukaan dan kerinduannya akan kampung halaman.
Mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang berlimpah-limpah itu, Puteri Harum merasa terharu dan dengan suka rela ia lalu menyerah dalam pelukan Kaisar Kian Liong dan berusaha untuk membalas kasih sayangnya. Hal ini tidak begitu sukar karena sang waktu membantu Puteri Harum untuk melupakan keluarganya yang telah terbasmi, ditambah pula memang Kaisar Kian Liong adalah seorang pria yang tampan dan menarik, juga berpengalaman dan pandai mengambil hati wanita.
Sebagai seorang wanita yang pandai menunggang kuda dan mempergunakan anak panah, Siang Hong-houw seringkali diajak oleh Kaisar Kian Liong kalau Kaisar ini pergi berburu ke Yehol, yaitu suatu daerah di Mongolia Dalam.
Demikianlah, sejak saat itu, boleh dibilang Kaisar Kian Liong menghentikan semua kesukaannya mengumpulkan wanita-wanita cantik yang baru. Di dalam diri Siang Hong-houw dia menemukan segala-galanya yang dibutuhkan untuk memuaskan nafsu berahinya.
Ketika dia berusia enam puluh tiga tahun, Siang Hong-houw tidak muda lagi, sudah sekitar empat puluh tahun usianya. Akan tetapi wanita ini masih cantik menarik penuh pesona, dan keringatnya masih juga berbau harum. Dan ternyata, keharuman keringat siang Hong-houw memang dari dalam, walaupun bukan tanpa usaha.
Sejak kecil, wanita ini minum ramuan akar wangi dan sari bunga-bunga harum seperti mawar, bahkan kalau mandi selalu menggunakan air yang diharumkan dengan cendana dan bermacam sari kembang yang harum. Bahkan makannya juga tersendiri, tidak mau makan makanan yang dapat mendatangkan bau tidak enak, melainkan sayur-sayuran dan buah-buahan yang mendatangkan bau sedap!
Daya tahan tubuh manusia itu amat terbatas dan mempunyai ukuran tertentu. Kaisar Kian Liong sejak mudanya menghamburkan tenaganya untuk memuaskan nafsu berahinya, bahkan kadang-kadang dia mempergunakan ramuan obat-obatan untuk memperkuat tubuhnya. Hal ini baru terasa akibat buruknya setelah dia berusia enam puluh tahun lebih.
Kini dia merasa betapa tubuhnya lemah, bahkan hampir kehilangan gairahnya. Makin jarang saja dia menyuruh Siang Hong-houw menemaninya, bahkan lebih sering dia menjauhkan diri dari wanita, menyendiri di dalam kamarnya, lebih suka membaca kitab daripada bermesraan dengan permaisuri yang dicintanya itu.
Kerenggangan yang menjadi akibat dari kemunduran keadaan kesehatan Kaisar itu memberi banyak waktu luang kepada Permaisuri Harum dan menumbuhkan kembali kerinduannya kepada suku bangsanya sendiri. Biarpun Sribaginda Kaisar tidak melarang ia menunaikan ibadahnya sebagai seorang beragama Islam, namun permaisuri ini merasa kesepian dan ia merindukan lingkungan yang lain, lingkungan yang terasa lebih akrab karena persamaan kepercayaan.
Karena kerenggangannya dari Kaisar yang kini lebih banyak mengurus negara dan membaca kitab, Siang Hong-houw makin akrab dengan seorang thai-kam vang bernama Mo Si Lim. Laki-laki yang dikebiri ini sebetulnya masih terhitung sanak dengan sang permaisuri. Dia seorang peranakan Uighur yang beragama Islam pula. Bahkan namanya merupakan perubahan dari nama kecilnya, yaitu Muslim yang diberikan ayahnva, untuk menandakan bahwa dia seorang muslim, seorang yang beragama Islam. Bahkan Siang Hong-houw pula yang mengusulkan kepada Kaisar agar mempunyai seorang pelayan berbangsa Uighur, maka belasan tahun yang lalu, pemuda Mo Si Lim dijadikan thai-kam.
Dengan adanya Mo Si Lim, maka Siang Hong-houw dapat terhibur akan kerinduannya kepada bangsanya. Mo Si Lim melayaninya dan mereka dapat bercakap dalam bahasa mereka, membicarakan tentang keadaan di Sin-kiang. Akan tetapi, beberapa tahun akhir-akhir ini, secara diam-diam Mo Si Lim mengadakan hubungan dengan orang-orang dari perkumpulan rahasia yang mempunyai cita-cita mengusir penjajah Mancu dari Cina.
Tentu saja mudah bagi orang Uighur ini untuk tertarik dengan cita-cita perjuangan itu, mengingat betapa bangsanya juga tertekan oleh penjajah Mancu, dan banyak kawannya telah tewas ketika daerah barat diserbu oleh pasukan Mancu. Mo Si Lim adalah anak buah mendiang suami Puteri Harum. Kesetiaannya jugalah yang membuat dia rela dijadikan thai-kam, agar dia dapat mendekati dan melayani Puteri Harum.
Sore hari itu Siang Hong-houw duduk seorang diri di ruangan duduk dengan santai. Baru saja ia melakukan sholat atau sembahyang maghrib di dalam ruangan sembahyang yang khas dibuat untuknya. Ketika dayang kepercayaannya memasuki ruangan itu, ia memerintahkan dayangnya untuk memanggil Mo Si Lim.
"Suruh dia masuk menghadapku, kemudian engkau berjaga di luar pintu dan melarang siapa saja masuk ruangan ini tanpa kupanggil."
Dayang itu, seorang peranakan Uighur pula, menyembah lalu keluar dari ruangan itu, memanggil Mo Si Lim, thai-kam (laki-laki kebiri) yang bertugas jaga di bagian depan istana puteri itu. Setelah dayang itu pergi, Siang Hong-houw duduk di atas kursi panjang yang nyaman. Ia masih amat cantik walaupun usianya sudah empat puluh tahun lebih.
Wajah yang putih kemerahan itu masih halus tanpa dibayangi keriput. Hanya beberapa garis lembut di tepi mata dan antara alisnya sajalah yang menjadi bukti bahwa ia bukan gadis muda lagi, melainkan seorang wanita yang sudah matang. Tubuhnya masih padat dengan lekuk lengkung yang sempurna, tidak dirusak oleh kelahiran anak. Dan dari jarak dua meter orang akan dapat mencium keharuman semerbak yang keluar dari tubuhnya.
Ia seorang wanita yang tidak menghambakan diri kepada nafsu berahi. Ketika ia dipisahkan dengan paksa dari suaminya, maka bersama kematian suaminya, mati pula gairah berahinya. Kalau ia melayani Kaisar Kian Liong, hal itu hanya dilakukan karena rasa kasihan kepada Kaisar yang amat menyayangnya. Sekarang setelah suaminya itu, Kaisar Kian Liong, jarang menggaulinya, Siang Hong-houw merasa lebih enak dan senang.
Ketukan pada pintu ruangan duduk yang luas itu membuyarkan lamunannya. Ketukan tiga kali, pelan keras pelan. Itu adalah ketukan Mo Si Lim.
"Masuklah, Muslim!" kata puteri itu dalam bahasa Uighur.
Thaikam itu membuka daun pintu lalu masuk, menutupkan kembali daun pintu lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap sang permaisuri.
"Bangkit dan duduklah. Aku ingin mendengar laporanmu tentang keadaan di luar istana, terutama mengenai Thianli-pang. Bukankah engkau sudah menyelidiki Thian-li-pang seperti yang kuperintahkan?"
Mo Si Lim menyembah, bangkit lalu duduk di atas sebuah bangku pendek, sedangkan Siang Hong-houw kini duduk di atas kursi gading yang ukirannya amat indah. Mereka berhadapan dalam jarak dua meter, terhalang meja kecil dan orang kebiri itu dapat menikmati keharuman semerbak dari depannya.
"Kebetulan sekali, hamba memang sedang menanti perintah dan panggilan Paduka, Puteri. Untuk langsung menghadap, tidak berani khawatir menimbulkan kecurigaan. Hamba membawa sepucuk surat permohonan dari Ketua Thianli-pang sendiri untuk dihaturkan kepada Paduka."
"Surat Ketua Thian-li-pang? Cepat berikan kepadaku, Muslim!" kata Siang Hong-houw dan sikapnya berubah, cekatan sekali dan penuh gairah kegembiraan.
Mo Si Lim mengeluarkan sesampul surat dari saku dalam bajunya dan setelah menyembah, dia menyerahkan sampul surat itu kepada sang puteri. Siang Hong-houw cepat merobek sempulnya dan mengeluarkan sehelai kertas yang memuat huruf-huruf yang indah coretannya. Lalu ia membacanya. Beberapa kali sepasang alis itu berkerut ketika ia membacanya.
"Muslim, apakah engkau sudah mengetahui akan isi surat ini?" tanya Sang Puteri setelah dua kali membaca isi surat.
Muslim atau Mo Si Lim menyembah.
"Hamba tidak tahu, Puteri. Hanya utusan ketua itu mengatakan bahwa Thian-lipang mengajukan permohonan kepada Paduka melalui surat yang harus hamba sampaikan ini."
"Muslim, permintaan mereka yang pertama wajar, akan tetapi yang ke dua sungguh berat untuk dapat kusetujui. Cepat kau nyalakan api di tungku perapian itu, surat ini harus dibakar dulu baru kita bicara."
Mo Si Lim melaksanakan perintah itu tanpa bicara dan setelah api bernyala, Siang Hong-houw sendiri yang melemparkan surat dan sampulnya ke dalam api yang segera membakarnya habis menjadi abu dan tidak ada bekasnya lagi.
Mereka lalu duduk lagi berhadapan seperti tadi.
"Ketahuilah, Muslim. Pertama Ketua Thian-li-pang memohon kepadaku agar aku suka memberi sumbangan untuk membantu pembiayaan Thian-li-pang. Ke dua, dan ini yang tidak dapat kusetujui, mereka mohon perkenan dan persetujuanku agar aku suka membantu mereka dalam usaha mereka membunuh Sribaginda Kaisar."
Tidak nampak perubahan apapun pada wajah thai-kam itu. Dia merupakan seorang mata-mata yang pandai bersandiwara. Bahkan suaranya datar saja tanpa dipengaruhi perasaan ketika dia bertanya,
"Yang mulia, mengapa mereka hendak melakukan pembunuhan? Apakah mereka menjelaskan alasannya?"
"Mereka bukan saja berniat untuk membunuh Sribaginda, akan tetapi juga Pangeran Cia Cing dan Pangeran Tao Kuang. Alasan mereka, kalau tidak dibunuh sekarang, tentu beberapa tahun lagi Sribaginda mengundurkan diri dan akan menyerahkan tahta kerajaan kepada seorang di antara kedua pangeran itu. Dan seperti kau ketahui, kedua pangeran itu adalah orang-orang Mancu asli karena ibu mereka pun wanita Mancu. Kalau mereka bertiga itu tidak ada lagi, tentu tahta kerajaan akan terjatuh ke tangan Pangeran Kian Ban Kok yang ibunya orang Kin. Dengan demikian, maka ada darah Han yang menjadi Kaisar, dan mereka akan mendukung pangeran itu."
Mo Si Lim mengangguk-angguk.
"Sekarang, jawaban apa yang akan Paduka berikan dan yang harus saya sampaikan kepada mereka?"
Puteri Harum bangkit dari tempat duduknya, menghampiri sebuah almari dan mengeluarkan sebuah kotak hitam, lalu duduk kembali. Ia menaruh kotak kecil hitam itu di atas meja di depannya lalu membukanya. Isinya perhiasan dan gemerlapan.
"Ini perhiasan berharga yang tak pernah kupakai, bawaanku sendiri dahulu dari Sin-kiang. Berikan kepada Thian-li-pang sebagai sumbangan dariku yang mendukung perjuangan mereka menentang pemerintah penjajah. Mengenai permintaan mereka yang ke dua, sekarang aku belum dapat menyetujuinya. Bagaimanapun juga, aku adalah isteri Sribaginda dan merupakan dosa besar bagiku kalau aku bersekutu dengan siapa pun untuk membunuh suami sendiri. Allah akan mengutukku. Kalau mereka berkeras hendak melakukannya juga, aku tidak ikut campur. Nah, sampaikan semua itu kepada mereka, dan kalau tidak teramat penting, aku tidak mau lagi diganggu mereka walaupun aku mendukung perjuangan mereka."
Mo Si Lim menyembah, lalu mengambil peti hitam kecil itu, memasukkannya ke dalam saku jubahnya bagian dalam, menyembah lagi dan mengundurkan diri, keluar dari kamar atau ruangan duduk itu.
Siang Hong-Houw yang ditinggalkan seorang diri bertepuk tangan memanggil dayangnya dan ia pun memasuki kamarnya untuk membuat persiapan karena tadi sudah ada isyarat dari Sribaginda Kaisar bahwa malam ini Sribaginda akan tidur di kamar permaisurinya tersayang.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Mo Si Lim sudah meninggalkan istana tanpa ada yang menaruh curiga. Padahal, di balik jubahnya, thai-kam ini membawa sebuah peti kecil yang isinya amat berharga. Dia berjalan dengan hati-hati dan berkeliling kota. Setelah merasa yakin bahwa dirinya tidak dibayangi orang lain, dia lalu menyelinap masuk ke dalam pekarangan sebuah rumah besar dan kuno yang berdiri di sudut kota raja.
Rumah ini dahulu, sebelum bangsa Mancu datang menjajah, adalah sebuah istana milik seorang pangeran. Kini rumah itu terjatuh ke tangan penduduk biasa yang cukup kaya dan dijadikan sebagai tempat peristirahatan. Namun, karena rumah itu besar dan kuno juga tidak begitu terawat maka kelihatan menyeramkan. Apalagi keluarga yang memiliki rumah besar itu jarang menempatinya, maka rumah itu nampak angker dan didesas-desuskan sebagai rumah yang ada hantunya.
Agaknya Mo Si Lim tidak asing dengan rumah ini. Dia tidak menuju ke pintu depan, melainkan mengambil jalan samping dan memasuki pintu samping yang kecil dan menembus kebun di samping rumah. Dia lenyap bagaikan ditelan raksasa ketika memasuki rumah itu melalui pintu samping. Rumah itu nampak kosong, akan tetapi ketika Mo Si Lim tiba di ruangan belakang, tiba-tiba muncul sesosok bayangan dan seorang laki-laki tinggi besar berdiri di depannya.
Mo Si Lim berhenti melangkah dan memandang kepada laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh tahun itu. Dia tidak mengenal orang itu, maka dengan hati-hati dia berkata kepada orang itu,
"Selamat pagi, Sobat.... saya ingin bertemu dengan Saudara Ciang Sun. Apakah dia berada disini?"
Akan tetapi tidak terdengar jawaban, bahkan tujuh orang laki-laki lain bermunculan dan delapan orang itu mengepung Mo Si Lim. Mereka itu berusia antara dua puluh sampai empat puluh tahun, rata-rata nampak gagah dan kuat.
"Siapa engkau?" Si Tinggi Besar membentak.
Mo Si Lim adalah seorang yang cerdik. Dia belum tahu siapa adanya delapan orang ini. Pembawa surat Ketua Thian-li-pang adalah Ciang Sun, dan Ciang Sun menjanjikan akan menantinya di rumah gedung itu seperti biasanya. Akan tetapi pagi hari ini, saat yang amat penting karena dia membawa sumbangan dan pesan Siang Hong-houw, Ciang Sun tidak muncul, dan sebaliknya muncul delapan orang yang tak dikenalnya ini dengan sikap mengancam. Dia pun segera bersikap angkuh dan hendak mengandalkan kedudukannya untuk menggertak mereka dan menyelamatkan diri.
"Aku adalah kepala thaikam di istana Permaisuri, namaku Mo Si Lim dan harap kalian cepat memanggil Ciang Sun agar menghadap di sini."
"Hemm, engkau tentu seorang mata-mata yang hendak berhubungan dengan Thian-li-pang! Hayo mengaku saja!" bentak Si Tinggi Besar.
Namun, Mo Si Lim tidak kalah gertak.
"Siapakah kalian? Jangan menuduh sembarangan. Aku seorang petugas di istana dan aku tidak mengenal apa itu Thian-li-pang. Aku hendak bertemu Ciang Sun untuk urusan jual beli perhiasan. Kalau kalian tidak tahu di mana Ciang Sun berada, harap mundur dan jangan menghalangi aku. Ataukah aku harus mengerahkan pasukan keamanan untuk menangkap kalian?"
Pada saat itu, muncul seorang laki-laki yang tinggi kurus dan orang itu berseru,
"Saudara Mo Si Lim, selamat datang! Maafkan kawan-kawanku. Mereka hendak mengujimu, apakah engkau dapat menyimpan rahasia kami!"
Mo Si Lim mengerutkan alisnya dan memandang Si Tinggi Kurus.
"Ah, Saudara Ciang Sun, apakah sampai sekarang engkau masih belum percaya kepadaku? Kalau tidak ada saling kepercayaan, lebih baik tidak ada hubungan saja! Bukankah aku hanya akan membantu Thian-li-pang?”
"Sekali lagi maafkan, Sobat. Nah, duduklah dan bagaimana hasil dan jawaban surat dari pang-cu (ketua) kami?" tanya Ciang Sun, Si Tinggi Kurus yang menjadi orang kepercayaan Thian-li-pang untuk melakukan operasi penting itu, yaitu mencari dana untuk perkumpulan orang-orang gagah yang hendak menentang pemerintah penjajah itu, dan mengatur rencana untuk mencoba melakukan pembunuhan terhadap Kaisar Kian Liong.
Dia memperoleh kepercayaan ini karena Ciang Sun merupakan seorang di antara pembantu-pembantu utama yang memiliki kepandaian silat tinggi di samping kecerdikan dan keberanian.
Mo Si Lim duduk di atas kursi, berhadapan dengan Ciang Sun, sedangkan delapan orang anggauta Thian-li-pang berdiri di sudut-sudut ruangan itu, berjaga-jaga dengan sikap gagah. Dengan hati masih merasa mendongkol atas penyambutan tadi, Mo Si Lim lalu mengambil sikap angkuh.
"Saudara Ciang Sun, surat dari ketua kalian telah berkenan diterima oleh Yang Mulia Puteri Siang Hong-houw kemarin sore."
"Kenapa baru kemarin sore? Bukankah surat itu telah kami serahkan kepadamu lima hari yang lalu?" Ciang Sun bertanya suaranya menegur.
"Hemm, kalian ini ingin mudah dan enaknya saja. Menghadap Siang Hong-houw dengan membawa surat rahasia seperti itu, tentu saja membutuhkan ketelitian dan kewaspadaan. Kalau sampai diketahui orang lain, berarti hukuman mati bagiku, sedangkan kalian enak-enak saja berada di luar dan tidak terancam bahaya."
"Baiklah, kami mengerti, Saudara Mo Si Lim. Lalu bagaimana jawaban dari Siang Hong-houw?"
Mo Si Lim memandang kepada Ciang Sun, lalu kepada para anggauta Thian-li-pang yang berdiri seperti patung dan dengan suara mengandung kebanggaan dia pun berkata,
"Yang Mulia Siang Hong-houw selalu mendukung perjuangan yang hendak membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah. Yang Mulia selalu merasa gembira mendengar bahwa Thian-li-pang berjuang demi kemerdekaan, dan untuk menyatakan dukungannya, maka permohonan Thian-li-pang untuk diberi sumbangan, telah menggerakkan hati Yang Mulia dan beliau mengirimkan ini sebagai sumbangan untuk Thian-li-pang."
Dia mengeluarkan kotak hitam kecil dari dalam jubahnya dan meletakkan kotak itu di atas meja, lalu membuka tutupnya. Semua mata memandang ke arah peti dan orang-orang Thian-li-pang itu marasa gembira dan kagum. Sekali pandang saja tahulah Cia Sun bahwa isi peti itu merupakan harta yang cukup berharga besar dan akan banyak membantu kebutuhan Thian-li-pang.
Akan tetapi, bagi Ciang Sun, sumbangan ini bukan merupakan tugas utama yang terpenting.
"Dan bagaimana dengan rencana besar kami? Apakah Yang Mulia menyetujui dan sudi membantu kami agar tugas kami itu dapat terlaksana dengan lancar?"
Mo Si Lim menarik napas panjang. Orang-orang ini memang mau enaknya saja. Disangkanya membunuh seorang Kaisar, putera Kaisar yaitu Pangeran Cia Cing, dan cucu Kaisar Pangeran Tao Kuang, merupakan pekerjaan yang mudah! Pangeran Cia Cing merupakan seorang pangeran mahkota yang kedudukannya kuat dan memiliki banyak pendukung, sedangkan Pangeran Tao Kuang, tentu saja dengan sendirinya merupakan calon kalau-kalau ayahnya gagal terpilih.
Pangeran Cia Cing berusia empat puluh tahun, sedangkan puteranya, Pangeran Tao Kuang berusia dua puluh tahun. Sedangkan Pangeran Kian Ban Kok yang diusulkan oleh Thian-li-pang untuk menjadi calon Kaisar itu adalah seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang terkenal royal, mata keranjang dan hanya mengejar kesenangan belaka, sama sekali tidak mempunyai kemampuan dan tidak pantas untuk dijadikan calon Kaisar! Agaknya Thian-li-pang justeru memilih pangeran itu yang selain berdarah Han dari ibunya, juga merupakan seorang yang kelak tentu akan mudah dipengaruhi dan dijadikan Kaisar boneka.
"Sayang sekali untuk permohonan Thian-li-pang yang ke dua itu, Yang Mulia Siang Hong-houw belum berkenan menyetujui."
"Ahh! Justru itulah yang terpenting bagi kami! Jika usaha itu berhasil, berarti perjuangan kami pun berhasil. Bagaimana mungkin Sang Permaisuri tidak menyetujui kalau beliau mendukung perjuangan kami?"
"Hemmm, hendaknya kalian suka mengingat bahwa Yang Mulia Permaisuri adalah isteri dari Sribaginda Kaisar... Isteri mana yang merelakan suaminya dibunuh begitu saja? Bagi kami, orang-orang yang beribadat, yang takut akan kemurkaan Allah, tidak akan berani melakukannya. Yang Mulia telah bersikap tepat dan benar dalam hal ini dan kalian tidak dapat memaksa beliau!"