Yo Han memandang kagum. Gurunya itu memang seorang manusia hebat. Biarpun kaki tangannya sudah tidak ada, namun dia dapat melayani semua kebutuhan hidupnya dengan rambutnya, mulut, bahkan hidungnya sebagai pengganti tangan, dan tubuh yang tak berkaki itu agaknya sama sekali tidak canggung untuk bergerak ke sana sini dengan cara berloncatan seperti katak yang lincah.
"Tentu saja aku kembali, Suhu. Bagaimana mungkin aku meninggalkan Suhu seorang diri di sini? Kalau Suhu mau keluar bersamaku, baru aku akan meninggalkan sumur ini."
"Hemm, terlalu berbahaya, Yo Han. Dalam keadaanmu sekarang, kalau kita keluar dan bertemu lawan, tentu kau akan celaka. Aku sendiri tidak sudi menjadi tontonan orang. Tidak, engkau harus mewarisi semua ilmuku lebih dulu, terutama Bu-kek Hoat-keng, baru engkau boleh meninggalkan sumur ini."
"Sekali lagi kutekankan, Suhu, bahwa aku tidak mau mempelajari ilmu silat, tidak mau mempelajari ilmu berkelahi dan ilmu memukul dan membunuh orang!" Yo Han berkata dan suaranya terdengar tegas dan mantap.
Kakek itu menghentikan minumnya, meletakkan kembali guci arak ke atas tanah setelah menutup gucinya, dan dia memandang muridnya dengan mata penuh selidik.
"Muridku yang baik, apakah yang kau ucapkan itu sudah keluar dari hati nuranimu? Sudah kau pikirkan masak-masak dan engkau tidak akan keliru lagi?"
"Tentu saja, Suhu. Sejak kecil, mendiang kedua orang tuaku selalu menasihatiku agar aku hidup melewati jalan yang benar, menjauhi segala macam bentuk kekerasan, terutama sekali jangan mempelajari ilmu silat karena kehidupan seorang ahli silat penuh dengan pertentangan, permusuhan, perkelahian dan saling bunuh, saling dendam. Orang tuaku sendiri tewas karena ibuku seorang ahli silat. Andaikata ibuku tidak pandai silat seperti ayahku sejak kecil, tentu mereka kini masih hidup sebagai petani-petani yang bahagia dan aku tidak menjadi yatim piatu. Tidak, Suhu, aku tidak suka ilmu silat, aku benci ilmu silat!"
"Ha-ha-ha-ha! Sebaliknya, muridku. Kalau ibu dan ayahmu memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi, tidak mungkin mereka akan terbunuh. Kalau mereka tewas, itu adalah karena ilmu silat mereka kurang tinggi, sehingga mereka tidak mampu membela diri dengan baik. Kalau mereka tidak pandai ilmu silat, lalu siapa yang melindungi mereka? Kalau engkau membenci ilmu silat, siapa yang akan melindungimu?"
Pemuda remaja itu menentang pandang mata gurunya dengan berani dan sungguh-sungguh.
"Mengapa takut, Suhu? Kita hidup ada yang menghidupkan, mati ada yang mematikan, kita ada karena diciptakan Tuhan. Tuhan merupakan pelindung utama dan kalau Tuhan melindungi kita, siapa yang akan mampu mengganggu kita?”
"Bagus! Benar sekali itu, Yo Han. Kalau Tuhan tidak menghendaki kita mati, tentu Tuhan akan melindungi kita dan tak seorang pun di dunia ini akan mampu membunuh kita. Akan tetapi bagaimana kalau Tuhan sudah menghendaki kita mati? Punya ilmu silat atau tidak, bisa saja kita mati dibunuh orang kalau memang Tuhan sudah menghendaki kita mati. Bahkan tidak ada yang mengganggu ia pun akan mati sendiri, ha-ha-ha!"
Yo Han tertegun mendengar ucapan kakek itu. Di dalam hatinya dia tidak mampu membantah kebenaran itu. Ayah ibunya memang tewas dalam perkelahian, akan tetapi mereka itu tewas hanya karena Tuhan sudah menghendaki mereka mati. Andaikata Tuhan tidak menghendaki, mereka tentu tidak akan mati. Hanya Tuhan yang menentukan mati hidupnya seseorang, Tuhan Maha Kuasa! Akan tetapi hanya sebentar dia termangu, lalu dia menggeleng kepala.
"Bagaimanapun juga, aku tidak suka belajar ilmu silat, Suhu. Ilmu silat adalah jahat!"
"Tentu saja aku kembali, Suhu. Bagaimana mungkin aku meninggalkan Suhu seorang diri di sini? Kalau Suhu mau keluar bersamaku, baru aku akan meninggalkan sumur ini."
"Hemm, terlalu berbahaya, Yo Han. Dalam keadaanmu sekarang, kalau kita keluar dan bertemu lawan, tentu kau akan celaka. Aku sendiri tidak sudi menjadi tontonan orang. Tidak, engkau harus mewarisi semua ilmuku lebih dulu, terutama Bu-kek Hoat-keng, baru engkau boleh meninggalkan sumur ini."
"Sekali lagi kutekankan, Suhu, bahwa aku tidak mau mempelajari ilmu silat, tidak mau mempelajari ilmu berkelahi dan ilmu memukul dan membunuh orang!" Yo Han berkata dan suaranya terdengar tegas dan mantap.
Kakek itu menghentikan minumnya, meletakkan kembali guci arak ke atas tanah setelah menutup gucinya, dan dia memandang muridnya dengan mata penuh selidik.
"Muridku yang baik, apakah yang kau ucapkan itu sudah keluar dari hati nuranimu? Sudah kau pikirkan masak-masak dan engkau tidak akan keliru lagi?"
"Tentu saja, Suhu. Sejak kecil, mendiang kedua orang tuaku selalu menasihatiku agar aku hidup melewati jalan yang benar, menjauhi segala macam bentuk kekerasan, terutama sekali jangan mempelajari ilmu silat karena kehidupan seorang ahli silat penuh dengan pertentangan, permusuhan, perkelahian dan saling bunuh, saling dendam. Orang tuaku sendiri tewas karena ibuku seorang ahli silat. Andaikata ibuku tidak pandai silat seperti ayahku sejak kecil, tentu mereka kini masih hidup sebagai petani-petani yang bahagia dan aku tidak menjadi yatim piatu. Tidak, Suhu, aku tidak suka ilmu silat, aku benci ilmu silat!"
"Ha-ha-ha-ha! Sebaliknya, muridku. Kalau ibu dan ayahmu memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi, tidak mungkin mereka akan terbunuh. Kalau mereka tewas, itu adalah karena ilmu silat mereka kurang tinggi, sehingga mereka tidak mampu membela diri dengan baik. Kalau mereka tidak pandai ilmu silat, lalu siapa yang melindungi mereka? Kalau engkau membenci ilmu silat, siapa yang akan melindungimu?"
Pemuda remaja itu menentang pandang mata gurunya dengan berani dan sungguh-sungguh.
"Mengapa takut, Suhu? Kita hidup ada yang menghidupkan, mati ada yang mematikan, kita ada karena diciptakan Tuhan. Tuhan merupakan pelindung utama dan kalau Tuhan melindungi kita, siapa yang akan mampu mengganggu kita?”
"Bagus! Benar sekali itu, Yo Han. Kalau Tuhan tidak menghendaki kita mati, tentu Tuhan akan melindungi kita dan tak seorang pun di dunia ini akan mampu membunuh kita. Akan tetapi bagaimana kalau Tuhan sudah menghendaki kita mati? Punya ilmu silat atau tidak, bisa saja kita mati dibunuh orang kalau memang Tuhan sudah menghendaki kita mati. Bahkan tidak ada yang mengganggu ia pun akan mati sendiri, ha-ha-ha!"
Yo Han tertegun mendengar ucapan kakek itu. Di dalam hatinya dia tidak mampu membantah kebenaran itu. Ayah ibunya memang tewas dalam perkelahian, akan tetapi mereka itu tewas hanya karena Tuhan sudah menghendaki mereka mati. Andaikata Tuhan tidak menghendaki, mereka tentu tidak akan mati. Hanya Tuhan yang menentukan mati hidupnya seseorang, Tuhan Maha Kuasa! Akan tetapi hanya sebentar dia termangu, lalu dia menggeleng kepala.
"Bagaimanapun juga, aku tidak suka belajar ilmu silat, Suhu. Ilmu silat adalah jahat!"
"Jahat? Ha-ha, Yo Han, kau tahu apa tentang jahat dan baik? Lihat, barang-barang yang kau bawa turun itu! Lihat barang-barang itu, kapak, gunting, jarum, pisau, catut dan martil. Apakah semua itu tidak jahat sekali?"
Yo Han memandang gurunya dengan heran dan menjawab cepat.
"Tentu saja tidak jahat, Suhu! Barang-barang itu baik dan berguna sekali. Kapak itu dapat kita pergunakan untuk memotong kayu atau menggali tanah padas ini, gunting itu untuk menggunting kain, jarum dan benang untuk menjahit, pisau itu untuk menyayat roti dan daging, catut dan martil untuk membuat prabot dari kayu dan sebagainya."
Kembali kakek itu tertawa.
"Dan bagaimana dengan kedua tanganmu itu? Baik atau jahatkah kedua tanganmu itu?"
Yo Han memandang kedua tangannya dan kembali menatap wajah gurunya.
"Tentu saja baik, Suhu, karena dengan kedua tangan ini teecu (murid) dapat melakukan semua pekerjaan yang bermanfaat itu."
"Sekarang dengar baik-baik! Bagaimana kalau kapak itu dipergunakan untuk mengapak kepala orang, gunting itu untuk menusuk perut orang, jarum untuk disambitkan menyerang lawan, pisau untuk menyayat leher orang, juga catut dan martil itu untuk menyerang orang lain. Apakah semua itu masih dapat dinamakan barang yang baik dan berguna?"
Yo Han terbelalak. Tak pernah tergambar dalam benaknya bahwa benda-benda itu akan ada yang menggunakan untuk kejahatan seperti itu.
"Tapi.... tapi...."
"Dan bagaimana pula dengan kedua tanganmu itu, Yo Han? Kalau kedua tanganmu itu kau pergunakan untuk mencekik leher orang lain, untuk memukul dan menyiksa, apakah kedua tangan itu masih kau katakan baik dan tidak jahat?"
"Wah, wah, itu tidak mungkin, Suhu!" kata Yo Han kaget.
"Nah, itulah! Yang mengatakan tidak mungkin itulah yang menentukan, Yo Han. Kalau engkau mengatakan tidak mungkin, maka kejahatan itu pun takkan terjadi. Kalau engkau mengatakan mungkin saja, maka kejahatan itu akan terjadi. Jadi yang menentukan bukanlah benda-benda itu, melainkan batin orangnya! Seseorang dapat menggunakan api untuk memasak dan membuat lampu penerangan, akan tetapi dapat pula orang menggunakan api untuk membakar rumah orang lain! Jadi, Si Api itu sendiri tidak baik dan tidak jahat, baru dinamakan jahat atau baik kalau sudah dipergunakan. Yang jahat dan baik itu adalah apa yang tersembunyi di balik perbuatan itu, Yo Han, yaitu pamrih yang mendorong dilakukannya perbuatan itu. Seperti juga tanganmu. Dapat dipergunakan untuk menolong orang dan itu dikatakan baik, dapat dipergunakan untuk membunuh orang, dan itu dinamakan jahat. Tidak benarkah ini?"
Yo Han mengangguk, tak dapat berbuat lain. Memang demikianlah kenyataannya.
"Aku mengerti, Suhu. Jadi yang mendatangkan kejahatan atau kebaikan adalah apa yang berada dalam diri manusia, dalam batin manusia itu yang menentukan. Adapun ini hanyalah alat, bukankah demikian, Suhu?"
"Benar sekali! Karena itu, yang perlu dibersihkan adalah batinnya! Kalau batinnya bersih dan baik, maka alat apa pun yang dipergunakan, tentu demi kebenaran dan kebajikan. Sebaliknya kalau batinnya kotor dan jahat, alat apa pun yang dipergunakan dalam perbuatan, condong ke arah kejahatan."
"Teecu (murid) mengerti! Dan memang apa yang Suhu katakan itu benar sekali!"
"Nah, sekarang kita kembali kepada ilmu silat. Baik atau jahatkah ilmu silat? Sama seperti semua benda itu tadi, Yo Han. Tidak baik dan tidak jahat. Kalau ilmu silat tidak dipergunakan, maka tidak ada jahat atau baik yang ditimbulkan oleh ilmu itu. Akan tetapi setelah dipergunakan, barulah timbul baik atau jahat, sesuai dengan cara orang itu mempergunakannya. Kalau ilmu silat dipergunakan untuk melakukan kejahatan, merampok, membunuh, memaksakan kehendak sendiri untuk menang, jelas ilmu itu menjadi alat berbuat kejahatan.
Akan tetapi kalau Si Orang mempergunakannya seperti yang dilakukan para pendekar, untuk menentang mereka yang jahat, untuk melindungi mereka yang lemah tertindas, untuk membela diri terhadap ancaman bahaya dari luar, apakah kita dapat menamakan ilmu itu jahat? Ingat, muridku. Kau tahu harimau? Mengapa Tuhan menciptakan harimau dengan diberi kuku dan taring? Dan mengapa lembu bertanduk? Ular berbisa? Ulat berbulu gatal? Semua itu merupakan alat bagi mereka untuk bertahan hidup, untuk melindungi diri sendiri.
Manusia merupakan makhluk paling lemah, tanpa kuku, tanpa taring, tanpa tanduk untuk menjaga diri. Akan tetapi manusia memiliki kelebihan, yaitu akal budi. Dengan akal budi inilah manusia mengadakan segala macam alat untuk bertahan hidup, untuk melindungi dirinya dari bahaya. Dan ilmu silat termasuk hasil garapan akal budi manusia untuk melindungi diri terhadap ancaman dari luar tubuh, selain untuk menjaga kesehatan dan melepaskan naluri kesenian melalui gerakan silat. Silat merupakan gerakan manusia yang mengandung unsur kesenian, kesehatan, dan bela diri, juga untuk membela mereka yang lemah tertindas. Nah, betapa luhur dan indahnya ilmu silat, kalau dikuasai oleh orang yang memiliki batin bersih!”
Mendengar semua itu, Yo Han termenung sampai lama sekali. Teringat ia akan nasihat ayah ibunya yang melarangnya belajar silat. Terbayang kembali semua peristiwa dan pengalamannya dimana ilmu silat dipergunakan orang jahat untuk melakukan kejahatan.
Akan tetapi juga ilmu silat dipegunakan oleh para pendekar seperti suhu dan subonya yang pertama kali, yaitu pendekar Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li. Dan teringat pula dia akan Tan Siang Li, puteri suhu dan subonya itu. Suhu dan subonya berkeras hendak mengajarkan ilmu silat kepada Sian Li, dan takut kalau Sian Li sampai terbawa olehnya, membenci ilmu silat.
Dia membayangkan Sian Li sebagai seorang gadis lemah yang tentu akan menghadapi banyak ancaman gangguan, lalu membayangkan Sian Li sebagai seorang gadis yang pandai ilmu silat, gagah perkasa, bukan hanya pandai dan kuat membela diri sendiri, akan tetapi juga dapat membela orang lain yang tertindas dan menjadi korban kejahatan, menentang para penjahat dan menjadi seorang pendekar wanita. Tiba-tiba Yo Han menyadari itu semua dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kakek buntung itu.
“Suhu benar, teecu sekarang mengerti bahwa baik buruknya bukan terletak pada ilmu silat, melainkan dalam batin orang yang menguasainya.”
"Bagus sekali, Yo Han. Jadi, mulai sekarang engkau mau belajar ilmu silat dariku, bukan ? Terutama sekali Bu-kek-hoat-keng?"
Yo Han mengangguk.
"Mudah-mudahan teecu kelak akan mendapatkan bimbingan Tuhan sehingga semua ilmu itu hanya akan teecu pergunakan untuk membela kebenaran dan bukan untuk mencari permusuhan dan membunuh orang."
"Aku yakin akan hal itu, Yo Han. Engkau bukan seorang calon penjahat. Engkau telah dikaruniai bakat yang amat luar biasa. Tuhan amat mengasihimu, Yo Han."
Demikianlah, mulai saat itu, Yo Han menerima pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi dari kakek Ciu Lam Hok. Tentu saja kakek itu tidak dapat memberi contoh gerakan. Dia hanya menerangkan dan minta Yo Han melakukan gerakannya, dan kalau keliru, dia menjelaskan.
Untuk melatihnya, dia mengajak Yo Han untuk bertanding dan biarpun dia hanya menggunakan pundak, rambut dan tabrakan tubuhnya, sukar sekali bagi Yo Han untuk dapat bertahan.
Namun dia belajar terus dengan penuh semangat di dalam sumur itu sehingga dia memperoleh kemajuan pesat. Apalagi sebelumnya dia telah menguasai ilmu-ilmu "tari" dan "senam" yang sebetulnya mengandung dasar-dasar ilmu silat tinggi dari Thian-te Tok-ong.
Juga sebelum itu, dia telah hafal akan dasar-dasar ilmu silat dari suhu dan subonya, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, walaupun pengetahuannya hanya sampai batas teori dan hafalan saja.
Yo Han memandang gurunya dengan heran dan menjawab cepat.
"Tentu saja tidak jahat, Suhu! Barang-barang itu baik dan berguna sekali. Kapak itu dapat kita pergunakan untuk memotong kayu atau menggali tanah padas ini, gunting itu untuk menggunting kain, jarum dan benang untuk menjahit, pisau itu untuk menyayat roti dan daging, catut dan martil untuk membuat prabot dari kayu dan sebagainya."
Kembali kakek itu tertawa.
"Dan bagaimana dengan kedua tanganmu itu? Baik atau jahatkah kedua tanganmu itu?"
Yo Han memandang kedua tangannya dan kembali menatap wajah gurunya.
"Tentu saja baik, Suhu, karena dengan kedua tangan ini teecu (murid) dapat melakukan semua pekerjaan yang bermanfaat itu."
"Sekarang dengar baik-baik! Bagaimana kalau kapak itu dipergunakan untuk mengapak kepala orang, gunting itu untuk menusuk perut orang, jarum untuk disambitkan menyerang lawan, pisau untuk menyayat leher orang, juga catut dan martil itu untuk menyerang orang lain. Apakah semua itu masih dapat dinamakan barang yang baik dan berguna?"
Yo Han terbelalak. Tak pernah tergambar dalam benaknya bahwa benda-benda itu akan ada yang menggunakan untuk kejahatan seperti itu.
"Tapi.... tapi...."
"Dan bagaimana pula dengan kedua tanganmu itu, Yo Han? Kalau kedua tanganmu itu kau pergunakan untuk mencekik leher orang lain, untuk memukul dan menyiksa, apakah kedua tangan itu masih kau katakan baik dan tidak jahat?"
"Wah, wah, itu tidak mungkin, Suhu!" kata Yo Han kaget.
"Nah, itulah! Yang mengatakan tidak mungkin itulah yang menentukan, Yo Han. Kalau engkau mengatakan tidak mungkin, maka kejahatan itu pun takkan terjadi. Kalau engkau mengatakan mungkin saja, maka kejahatan itu akan terjadi. Jadi yang menentukan bukanlah benda-benda itu, melainkan batin orangnya! Seseorang dapat menggunakan api untuk memasak dan membuat lampu penerangan, akan tetapi dapat pula orang menggunakan api untuk membakar rumah orang lain! Jadi, Si Api itu sendiri tidak baik dan tidak jahat, baru dinamakan jahat atau baik kalau sudah dipergunakan. Yang jahat dan baik itu adalah apa yang tersembunyi di balik perbuatan itu, Yo Han, yaitu pamrih yang mendorong dilakukannya perbuatan itu. Seperti juga tanganmu. Dapat dipergunakan untuk menolong orang dan itu dikatakan baik, dapat dipergunakan untuk membunuh orang, dan itu dinamakan jahat. Tidak benarkah ini?"
Yo Han mengangguk, tak dapat berbuat lain. Memang demikianlah kenyataannya.
"Aku mengerti, Suhu. Jadi yang mendatangkan kejahatan atau kebaikan adalah apa yang berada dalam diri manusia, dalam batin manusia itu yang menentukan. Adapun ini hanyalah alat, bukankah demikian, Suhu?"
"Benar sekali! Karena itu, yang perlu dibersihkan adalah batinnya! Kalau batinnya bersih dan baik, maka alat apa pun yang dipergunakan, tentu demi kebenaran dan kebajikan. Sebaliknya kalau batinnya kotor dan jahat, alat apa pun yang dipergunakan dalam perbuatan, condong ke arah kejahatan."
"Teecu (murid) mengerti! Dan memang apa yang Suhu katakan itu benar sekali!"
"Nah, sekarang kita kembali kepada ilmu silat. Baik atau jahatkah ilmu silat? Sama seperti semua benda itu tadi, Yo Han. Tidak baik dan tidak jahat. Kalau ilmu silat tidak dipergunakan, maka tidak ada jahat atau baik yang ditimbulkan oleh ilmu itu. Akan tetapi setelah dipergunakan, barulah timbul baik atau jahat, sesuai dengan cara orang itu mempergunakannya. Kalau ilmu silat dipergunakan untuk melakukan kejahatan, merampok, membunuh, memaksakan kehendak sendiri untuk menang, jelas ilmu itu menjadi alat berbuat kejahatan.
Akan tetapi kalau Si Orang mempergunakannya seperti yang dilakukan para pendekar, untuk menentang mereka yang jahat, untuk melindungi mereka yang lemah tertindas, untuk membela diri terhadap ancaman bahaya dari luar, apakah kita dapat menamakan ilmu itu jahat? Ingat, muridku. Kau tahu harimau? Mengapa Tuhan menciptakan harimau dengan diberi kuku dan taring? Dan mengapa lembu bertanduk? Ular berbisa? Ulat berbulu gatal? Semua itu merupakan alat bagi mereka untuk bertahan hidup, untuk melindungi diri sendiri.
Manusia merupakan makhluk paling lemah, tanpa kuku, tanpa taring, tanpa tanduk untuk menjaga diri. Akan tetapi manusia memiliki kelebihan, yaitu akal budi. Dengan akal budi inilah manusia mengadakan segala macam alat untuk bertahan hidup, untuk melindungi dirinya dari bahaya. Dan ilmu silat termasuk hasil garapan akal budi manusia untuk melindungi diri terhadap ancaman dari luar tubuh, selain untuk menjaga kesehatan dan melepaskan naluri kesenian melalui gerakan silat. Silat merupakan gerakan manusia yang mengandung unsur kesenian, kesehatan, dan bela diri, juga untuk membela mereka yang lemah tertindas. Nah, betapa luhur dan indahnya ilmu silat, kalau dikuasai oleh orang yang memiliki batin bersih!”
Mendengar semua itu, Yo Han termenung sampai lama sekali. Teringat ia akan nasihat ayah ibunya yang melarangnya belajar silat. Terbayang kembali semua peristiwa dan pengalamannya dimana ilmu silat dipergunakan orang jahat untuk melakukan kejahatan.
Akan tetapi juga ilmu silat dipegunakan oleh para pendekar seperti suhu dan subonya yang pertama kali, yaitu pendekar Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li. Dan teringat pula dia akan Tan Siang Li, puteri suhu dan subonya itu. Suhu dan subonya berkeras hendak mengajarkan ilmu silat kepada Sian Li, dan takut kalau Sian Li sampai terbawa olehnya, membenci ilmu silat.
Dia membayangkan Sian Li sebagai seorang gadis lemah yang tentu akan menghadapi banyak ancaman gangguan, lalu membayangkan Sian Li sebagai seorang gadis yang pandai ilmu silat, gagah perkasa, bukan hanya pandai dan kuat membela diri sendiri, akan tetapi juga dapat membela orang lain yang tertindas dan menjadi korban kejahatan, menentang para penjahat dan menjadi seorang pendekar wanita. Tiba-tiba Yo Han menyadari itu semua dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kakek buntung itu.
“Suhu benar, teecu sekarang mengerti bahwa baik buruknya bukan terletak pada ilmu silat, melainkan dalam batin orang yang menguasainya.”
"Bagus sekali, Yo Han. Jadi, mulai sekarang engkau mau belajar ilmu silat dariku, bukan ? Terutama sekali Bu-kek-hoat-keng?"
Yo Han mengangguk.
"Mudah-mudahan teecu kelak akan mendapatkan bimbingan Tuhan sehingga semua ilmu itu hanya akan teecu pergunakan untuk membela kebenaran dan bukan untuk mencari permusuhan dan membunuh orang."
"Aku yakin akan hal itu, Yo Han. Engkau bukan seorang calon penjahat. Engkau telah dikaruniai bakat yang amat luar biasa. Tuhan amat mengasihimu, Yo Han."
Demikianlah, mulai saat itu, Yo Han menerima pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi dari kakek Ciu Lam Hok. Tentu saja kakek itu tidak dapat memberi contoh gerakan. Dia hanya menerangkan dan minta Yo Han melakukan gerakannya, dan kalau keliru, dia menjelaskan.
Untuk melatihnya, dia mengajak Yo Han untuk bertanding dan biarpun dia hanya menggunakan pundak, rambut dan tabrakan tubuhnya, sukar sekali bagi Yo Han untuk dapat bertahan.
Namun dia belajar terus dengan penuh semangat di dalam sumur itu sehingga dia memperoleh kemajuan pesat. Apalagi sebelumnya dia telah menguasai ilmu-ilmu "tari" dan "senam" yang sebetulnya mengandung dasar-dasar ilmu silat tinggi dari Thian-te Tok-ong.
Juga sebelum itu, dia telah hafal akan dasar-dasar ilmu silat dari suhu dan subonya, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, walaupun pengetahuannya hanya sampai batas teori dan hafalan saja.
**** 029 ****
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================