Lauw Kang Hui memberi hormat kepada suhunya dan supeknya, kemudian menghadapi semua orang,
“Saya merasa menyesal sekali dengan sikap terakhir yang diambil mendiang Suheng Ouw Ban. Hendaknya peristiwa ini dijadikan contoh bagi semua murid Thian-li-pang agar jangan ada yang mementingkan urusan pribadi di atas urusan perkumpulan. Sekarang saya persilakan saudara sekalian untuk mengajukan usul-usul bagaimana sebaiknya untuk memilih seorang ketua baru.”
Ramailah sambutan para ketua cabang dan kepala ranting. Banyak yang mengusulkan agar masing-masing kelompok besar mengajukan seorang calon ketua baru, kemudian diadakan pemilihan di antara para calon itu. Akan tetapi, Lauw Kang Hui merasa tidak setuju. Dia mengangkat kedua tangan ke atas dan menggeleng kepalanya.
“Saudara sekalian, kurasa perkumpulan kita Thian-li-pang membutuhkan bimbingan orang yang berpengalaman dan berilmu tinggi. Kalau diserahkan kepada yang muda-muda, aku khawatir akan terjadi penyelewengan yang akan melemahkan perkumpulan kita. Maka, aku mengusulkan agar pimpinan Thian-li-pang kita persembahkan saja kepada tokoh-tokoh utama yang kita junjung tinggi, yaitu Supek Thian-te Tok-ong atau Suhu Ban-tok Mo-ko!”
Semua orang yang berada di situ menyambut usul ini dengan sorak-sorai gembira. Memang, mereka akan merasa lega kalau yang memimpin langsung adalah dua orang kakek yang sakti itu. Hal itu akan membuat mereka berbesar hati.
Dua orang kakek itu saling pandang dan mereka menggeleng kepala. Ban-tok Mo-ko dapat membaca isi hati suhengnya maka dia pun bangkit dan berkata,
“Kami berdua adalah orang-orang tua renta yang sudah tidak ada semangat lagi untuk merepotkan diri mengurus hal-hal yang memusingkan. Tugas kami hanya mengawasi agar semua murid melakukan tugasnya dengan baik. Kami berdua tidak dapat menerima kedudukan ketua karena kami merasa sudah terlalu tua. Oleh karena itu, kami mempunyai usul agar jabatan ketua dipegang oleh murid kami Lauw Kang Hui. Dia boleh memilih wakilnya dan para pembantunya. Apakah semua setuju?”
Tepuk tangan dan sorakan menyambut usul ini sebagai tanda bahwa sebagian besar dari para anggauta Thian-li-pang menyetujui pengangkatan Lauw Kang Hui sebagai ketua itu. Selama ini, sebagai wakil ketua, Lauw Kang Hui telah menunjukkan jasa-jasanya, bahkan untuk urusan luar yang mengandung bahaya, dia lebih aktif dibandingkan suhengnya Ouw Ban yang telah tewas itu.
Akan tetapi, tiba-tiba semua orang merasa heran melihat Lauw Kang Hui mengangkat kedua tangan ke atas, memberi isarat kepada semua orang untuk tenang. Setelah semua orang menjadi tenang kembali, Lauw Kang Hui lalu berkata dengan suara lantang, sambil memberi hormat lalu berdiri menghadap ke arah suhu dan supeknya.
“Harap Suhu dan Supek suka memaafkan teecu. Apa yang akan teecu katakan ini bukan berarti bahwa teecu tidak mentaati perintah Jiwi (Anda Berdua), melainkan untuk mengeluarkan semua perasaan penasaran yang telah lama menekan hati teecu.”
“Lauw Kang Hui, dalam pertemuan besar seperti ini, memang sebaiknya kalau kita bicara secara jujur, mengeluarkan semua isi hati kita. Bicaralah!” kata Ban-tok Mo-ko.
Lauw Kang Hui lalu menghadapi semua anggauta yang mencurahkan perhatian kepadanya.
“Saudara-saudara sekalian. Terima kasih bahwa Cuwi (Anda Sekalian) telah menerima saya sebagai ketua baru. Akan tetapi untuk menerima kedudukan itu, saya mempunyai satu syarat, yaitu agar semua sepak terjang Thian-li-pang kita tentukan sendiri. Selama ini, sepak terjang Thian-li-pang seolah-olah dikendalikan oleh Pek-lian-kauw, dan ternyata banyak kegagalan kita alami. Oleh karena itu, saya mau memimpin Thian-li-pang sebagai ketua dan mulai saat ini, kerja sama dengan Pek-lian-kauw ditiadakan. Biarlah Thian-li-pang mengenal Pek-lian-kauw sebagai rekan seperjuangan melawan penjajah Mancu, akan tetapi kita mengambil jalan dan cara masing-masing, tidak saling mencampuri.”
Kini terjadi perpecahan di antara para murid Thian-li-pang. Ada sebagian yang setuju dengan pendapat Lauw Kang Hui, ada pula yang tidak setuju. Mereka yang tidak setuju itu tentu saja para murid yang sudah menikmati keuntungan dari kerja sama mereka dengan Pek-lian-kauw. Ada yang menganggap bahwa kerja sama dengan Pek-lian-kauw itu baik, ada pula yang sebaliknya.
Tentu saja pendapat baik atau buruk ini timbul karena adanya penilaian, dan penilaian selalu berdasarkan kepentingan diri sendiri. Apa saja yang menguntungkan diri sendiri akan dinilai baik, dan yang merugikan dinilai buruk. Karena itulah maka timbul pertentangan, yang diuntungkan menganggap baik dan yang tidak diuntungkan menganggap buruk.
Dua orang tokoh Pek-lian-kauw yang hadir sebagai tamu tentu saja saling pandang dengan alis berkerut mendengar ucapan calon ketua baru itu. Kwan Thian-cu yang gendut dan pandai bicara segera bangkit berdiri dan suaranya terdengar lantang.
“Siancai....! Pendapat dari Lauw-pangcu (Ketua Lauw) sungguh membuat kami merasa penasaran sekali! Bukankah selama ini Pek-lian-kauw merupakan kawan seperjuangan yang setia? Kami pun sudah mengorbankan banyak anak buah dalam membantu Thian-li-pang. Bahkan kami sekarang siap membantu apabila Thian-li-pang hendak menyerbu istana dan membunuh Kaisar Mancu! Kenapa tiba-tiba saja Lauw-pangcu mengatakan bahwa pihak kami hanya menggagalkan sepak terjang Thian-li-pang? Sungguh penasaran sekali dan kami tidak dapat menerimanya.”
“Hemm, Kwan Thian-cu Totiang (Pendeta) harap tenang dan suka mempertimbangkan ucapan kami. Selama ini, mendiang Suheng Ouw Ban selalu mendengarkan nasihat Pek-lian-kauw, bahkan kegagalan yang baru saja kami alami juga atas prakarsa Pek-lian-kauw. Kami hanya minta agar Pek-lian-kauw tidak mencampuri urusan kami dan mengenai perjuangan, biarlah kita mengambil jalan dan cara masing-masing tanpa saling mencampuri. Oleh karena itu, mengingat bahwa pertemuan ini adalah pertemuan pribadi perkumpulan kami, maka dengan hormat kami harap agar jiwi Totiang (Anda Berdua Pendeta) suka meninggalkan pertemuan ini.”
Dua orang pendeta Pek-lian-kauw itu menjadi marah bukan main. Mereka baru saja kehilangan Ang I Moli yang merupakan andalan mereka. Wanita itu dihukum mati sebagai akibat kegagalan kerja sama mereka untuk membunuh para pangeran. Dan sekarang, mereka diusir begitu saja oleh ketua baru Thian-li-pang.
“Sungguh keterlaluan! Thian-li-pang tidak mengenal budi,” teriak Kui Thian-cu yang bertubuh kecil kurus dan pendek. Mukanya yang keriputan itu nampak semakin tua.
“Saya merasa menyesal sekali dengan sikap terakhir yang diambil mendiang Suheng Ouw Ban. Hendaknya peristiwa ini dijadikan contoh bagi semua murid Thian-li-pang agar jangan ada yang mementingkan urusan pribadi di atas urusan perkumpulan. Sekarang saya persilakan saudara sekalian untuk mengajukan usul-usul bagaimana sebaiknya untuk memilih seorang ketua baru.”
Ramailah sambutan para ketua cabang dan kepala ranting. Banyak yang mengusulkan agar masing-masing kelompok besar mengajukan seorang calon ketua baru, kemudian diadakan pemilihan di antara para calon itu. Akan tetapi, Lauw Kang Hui merasa tidak setuju. Dia mengangkat kedua tangan ke atas dan menggeleng kepalanya.
“Saudara sekalian, kurasa perkumpulan kita Thian-li-pang membutuhkan bimbingan orang yang berpengalaman dan berilmu tinggi. Kalau diserahkan kepada yang muda-muda, aku khawatir akan terjadi penyelewengan yang akan melemahkan perkumpulan kita. Maka, aku mengusulkan agar pimpinan Thian-li-pang kita persembahkan saja kepada tokoh-tokoh utama yang kita junjung tinggi, yaitu Supek Thian-te Tok-ong atau Suhu Ban-tok Mo-ko!”
Semua orang yang berada di situ menyambut usul ini dengan sorak-sorai gembira. Memang, mereka akan merasa lega kalau yang memimpin langsung adalah dua orang kakek yang sakti itu. Hal itu akan membuat mereka berbesar hati.
Dua orang kakek itu saling pandang dan mereka menggeleng kepala. Ban-tok Mo-ko dapat membaca isi hati suhengnya maka dia pun bangkit dan berkata,
“Kami berdua adalah orang-orang tua renta yang sudah tidak ada semangat lagi untuk merepotkan diri mengurus hal-hal yang memusingkan. Tugas kami hanya mengawasi agar semua murid melakukan tugasnya dengan baik. Kami berdua tidak dapat menerima kedudukan ketua karena kami merasa sudah terlalu tua. Oleh karena itu, kami mempunyai usul agar jabatan ketua dipegang oleh murid kami Lauw Kang Hui. Dia boleh memilih wakilnya dan para pembantunya. Apakah semua setuju?”
Tepuk tangan dan sorakan menyambut usul ini sebagai tanda bahwa sebagian besar dari para anggauta Thian-li-pang menyetujui pengangkatan Lauw Kang Hui sebagai ketua itu. Selama ini, sebagai wakil ketua, Lauw Kang Hui telah menunjukkan jasa-jasanya, bahkan untuk urusan luar yang mengandung bahaya, dia lebih aktif dibandingkan suhengnya Ouw Ban yang telah tewas itu.
Akan tetapi, tiba-tiba semua orang merasa heran melihat Lauw Kang Hui mengangkat kedua tangan ke atas, memberi isarat kepada semua orang untuk tenang. Setelah semua orang menjadi tenang kembali, Lauw Kang Hui lalu berkata dengan suara lantang, sambil memberi hormat lalu berdiri menghadap ke arah suhu dan supeknya.
“Harap Suhu dan Supek suka memaafkan teecu. Apa yang akan teecu katakan ini bukan berarti bahwa teecu tidak mentaati perintah Jiwi (Anda Berdua), melainkan untuk mengeluarkan semua perasaan penasaran yang telah lama menekan hati teecu.”
“Lauw Kang Hui, dalam pertemuan besar seperti ini, memang sebaiknya kalau kita bicara secara jujur, mengeluarkan semua isi hati kita. Bicaralah!” kata Ban-tok Mo-ko.
Lauw Kang Hui lalu menghadapi semua anggauta yang mencurahkan perhatian kepadanya.
“Saudara-saudara sekalian. Terima kasih bahwa Cuwi (Anda Sekalian) telah menerima saya sebagai ketua baru. Akan tetapi untuk menerima kedudukan itu, saya mempunyai satu syarat, yaitu agar semua sepak terjang Thian-li-pang kita tentukan sendiri. Selama ini, sepak terjang Thian-li-pang seolah-olah dikendalikan oleh Pek-lian-kauw, dan ternyata banyak kegagalan kita alami. Oleh karena itu, saya mau memimpin Thian-li-pang sebagai ketua dan mulai saat ini, kerja sama dengan Pek-lian-kauw ditiadakan. Biarlah Thian-li-pang mengenal Pek-lian-kauw sebagai rekan seperjuangan melawan penjajah Mancu, akan tetapi kita mengambil jalan dan cara masing-masing, tidak saling mencampuri.”
Kini terjadi perpecahan di antara para murid Thian-li-pang. Ada sebagian yang setuju dengan pendapat Lauw Kang Hui, ada pula yang tidak setuju. Mereka yang tidak setuju itu tentu saja para murid yang sudah menikmati keuntungan dari kerja sama mereka dengan Pek-lian-kauw. Ada yang menganggap bahwa kerja sama dengan Pek-lian-kauw itu baik, ada pula yang sebaliknya.
Tentu saja pendapat baik atau buruk ini timbul karena adanya penilaian, dan penilaian selalu berdasarkan kepentingan diri sendiri. Apa saja yang menguntungkan diri sendiri akan dinilai baik, dan yang merugikan dinilai buruk. Karena itulah maka timbul pertentangan, yang diuntungkan menganggap baik dan yang tidak diuntungkan menganggap buruk.
Dua orang tokoh Pek-lian-kauw yang hadir sebagai tamu tentu saja saling pandang dengan alis berkerut mendengar ucapan calon ketua baru itu. Kwan Thian-cu yang gendut dan pandai bicara segera bangkit berdiri dan suaranya terdengar lantang.
“Siancai....! Pendapat dari Lauw-pangcu (Ketua Lauw) sungguh membuat kami merasa penasaran sekali! Bukankah selama ini Pek-lian-kauw merupakan kawan seperjuangan yang setia? Kami pun sudah mengorbankan banyak anak buah dalam membantu Thian-li-pang. Bahkan kami sekarang siap membantu apabila Thian-li-pang hendak menyerbu istana dan membunuh Kaisar Mancu! Kenapa tiba-tiba saja Lauw-pangcu mengatakan bahwa pihak kami hanya menggagalkan sepak terjang Thian-li-pang? Sungguh penasaran sekali dan kami tidak dapat menerimanya.”
“Hemm, Kwan Thian-cu Totiang (Pendeta) harap tenang dan suka mempertimbangkan ucapan kami. Selama ini, mendiang Suheng Ouw Ban selalu mendengarkan nasihat Pek-lian-kauw, bahkan kegagalan yang baru saja kami alami juga atas prakarsa Pek-lian-kauw. Kami hanya minta agar Pek-lian-kauw tidak mencampuri urusan kami dan mengenai perjuangan, biarlah kita mengambil jalan dan cara masing-masing tanpa saling mencampuri. Oleh karena itu, mengingat bahwa pertemuan ini adalah pertemuan pribadi perkumpulan kami, maka dengan hormat kami harap agar jiwi Totiang (Anda Berdua Pendeta) suka meninggalkan pertemuan ini.”
Dua orang pendeta Pek-lian-kauw itu menjadi marah bukan main. Mereka baru saja kehilangan Ang I Moli yang merupakan andalan mereka. Wanita itu dihukum mati sebagai akibat kegagalan kerja sama mereka untuk membunuh para pangeran. Dan sekarang, mereka diusir begitu saja oleh ketua baru Thian-li-pang.
“Sungguh keterlaluan! Thian-li-pang tidak mengenal budi,” teriak Kui Thian-cu yang bertubuh kecil kurus dan pendek. Mukanya yang keriputan itu nampak semakin tua.
Banyak anggauta Thian-li-pang yang mendukung kerja sama dengan Pek-lian-kauw juga nampak gelisah dan penasaran sehingga nampak sikap permusuhan antara dua kelompok yang mendukung sikap Lauw Kang Hui dengan mereka yang menentang.
“Hemm, agaknya ketua yang baru hendak membawa Thian-li-pang menjadi pengkhianat, membantu pemerintah penjajah untuk memusuhi Pek-lian-kauw yang selamanya anti penjajah?” teriak pula Kwan Thian-cu, sikapnya sudah menantang sekali.
“Jiwi Totiang! Kalian adalah tamu, apakah hendak menantang tuan rumah?” bentak Lauw Kang Hui yang sudah marah.
Agaknya, perkelahian takkan dapat dihindarkan lagi, sedangkan dua orang kakek sakti dari Thian-li-pang yang masih duduk, hanya menonton saja dengan sikap tenang.
Pada saat yang gawat itu, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di antara mereka berdiri seorang pemuda yang bermata tajam mencorong dan sikapnya tenang namun lembut. Tubuhnya yang sedang namun tegap itu mengenakan pakaian yang bersih namun sederhana. Pemuda ini bukan lain adalah Yo Han!
Agaknya, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong masih mengenal pemuda itu, demikian pula Lauw Kang Hui. Thian-te Tok-ong terbelalak dan berseru,
“Heii, bukankah engkau Yo Han.?”
Yo Han menghampiri Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong, memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada dan membungkuk sambil berkata,
“Jiwi Supek (Kedua Uwa Guru), saya Yo Han memberi hormat, dan harap maafkan karena melihat keadaan, terpaksa saya ingin ikut bicara sedikit.”
Tanpa menanti jawaban dua orang kakek yang memandang bengong itu, Yo Han segera menghadapi semua orang Thian-li-pang. Dua orang kakek itu bengong karena merasa terheran-heran. Bukankah Yo Han telah tewas di dalam sumur bersama Ciu Lam Hok? Bagaimana mungkin anak itu kini muncul kembali sebagai seorang pemuda yang tampan dan gagah, dengan pakaian yang pantas pula? Suara Yo Han terdengar lantang ketika dia bicara.
“Saudara-saudara sekalian, para murid dan anggauta Thian-li-pang, dengarkan baik-baik. Seluruh dunia kang-ouw tahu belaka bahwa dahulu Thian-li-pang adalah perkumpulan orang-orang gagah yang selain menentang kejahatan dan menentang penjajahan, juga menegakkan kebenaran dan keadilan. Akan tetapi, akhir-akhir ini, semua orang tahu belaka bahwa telah terjadi penyelewengan-penyelewengan dan penyimpangan dari jalan benar yang dilakukan Thian-li-pang. Nama baik Thian-li-pang tercemar dan terkenal sebagai perkumpulan yang menentang pemerintah penjajah akan tetapi juga yang suka berbuat jahat!
Langkah yang diambil Thian-li-pang mengikuti jejak langkah Pek-lian-kauw yang sejak dahulu terkenal menyeleweng daripada kebenaran dan banyak orang Pek-lian-kauw melakukan kejahatan dengan dalih perjuangan. Betapa pun mulia cita-citanya, namun kalau pelaksanaan atau cara mengejar cita-cita itu kotor, maka hasilnya akan menjadi kotor pula.
Yang penting sekali adalah pelaksanaannya. Kalau pelaksanaannya bersih, maka yang dicapai juga bersih. Pelaksanaan adalah benihnya, dan tidak ada benih buruk mendatangkan buah yang baik. Saya menghormati dan setuju sekali pendapat Suheng Lauw Kang Hui tadi, yang bertekat untuk menegakkan kembali Thian-li-pang sebagai perkumpulan orang-orang gagah, perkumpulan pendekar pahlawan!”
Mereka yang tadi mendukung Lauw Kang Hui, bersorak menyambut ucapan ini, walaupun mereka kini juga terheran-heran mengenal Yo Han, yang lima tahun yang lalu pernah mereka melihat sebagai seorang anak yang diambil murid oleh Thian-te Tok-ong.
Lauw Kang Hui sendiri pun terheran, akan tetapi karena ucapan Yo Han sejalan dengan pendapatnya, dia pun diam saja dan hendak melihat perkembangan selanjutnya.
Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu, dua orang tosu Pek-lian-kauw itu, segera mengenal Yo Han sebagai anak laki-laki yang pernah mereka tawan ketika mereka membantu Ang I Moli. Melihat sikap dan mendengar ucapan Yo Han, dua orang tosu ini marah bukan main. Keduanya sudah melangkah maju dan memandang kepada Yo Han dengan mata melotot. Mereka ingat bahwa anak ini dahulu kebal terhadap sihir, maka mereka pun tidak mau mempergunakan ilmu sihir.
“Pemuda sombong! Berani engkau menjelek-jelekkan Pek-lian-kauw seperti itu? Siapa pun yang berani menghina Pek-lian-kauw, tak berhak hidup dan kami akan membunuhmu sekarang juga!”
Dua orang tosu itu sudah siap untuk menyerang Yo Han. Pemuda itu bersikap tenang saja dan dia menatap kedua orag tosu itu secara bergantian.
“Jiwi Totiang (Kalian Berdua Pendeta) mengaku sebagai pendeta-pendeta dan berpakaian sebagai pendeta. Namun, baik buruknya seseorang bukan tergantung dari pakaian atau sikapnya, melainkan dari perbuatannya. Jiwi Totiang sudah banyak melakukan kejahatan, maka jubah dan sikap Jiwi sebagai pendeta itu hanya kedok belaka. Apa yang saya katakan tadi hanya kebenaran, bukan bermaksud menjelek-jelekkan atau menghina siapapun.”
“Keparat, kau makin kurang ajar! Rasakan pukulanku!” bentak Kwan Thian-cu yang marah sekali dan tiba-tiba tokoh Pek-lian-kauw yang gendut ini menerjang dengan pukulan maut dari kedua telapak tangannya.
“Desss....!”
Pukulan kedua tangan tosu Pek-lian-kauw yang gendut itu disambut oleh kedua tangan Lauw Kang Hui yang meloncat ke depan melindungi Yo Han. Dua pasang tangan itu bertemu dengan tenaga sin-kang sepenuhnya, dan akibatnya, Kwan Thian-cu yang kalah kuat terdorong, terjengkang dan tubuh yang gendut itu terguling-guling sampai beberapa meter jauhnya.
Kui Thian-cu cepat menghampiri saudaranya dan membantunya bangkit. Masih untung bagi Kwan Thian-cu bahwa Lauw Kang Hui tidak berniat membunuhnya, maka tadi ketika menangkis, tidak menggunakan serangan balasan. Namun karena tosu Pek-lian-kauw itu memang kalah kuat, begitu kedua tangannya bertemu dengan calon ketua baru Thian-li-pang, tubuhnya seperti diterjang gajah dan terjengkang ke belakang.
“Totiang, kalau kami tidak memandang Pek-lian-kauw sebagai rekan seperjuangan, tentu saat ini engkau sudah tak bernyawa lagi. Kami hanya menghendaki agar Pek-lian-kauw tidak mencampuri urusan rumah tangga kami. Silakan meninggalkan tempat ini,” kata Lauw Kang Hui dengan tegas.
Dua orang tosu itu bangkit, memberi hormat dan pergi tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Mereka merasa malu akan tetapi juga maklum bahwa melawan tidak ada gunanya. Dan mereka tahu pula bahwa para pimpinan Pek-lian-kauw pasti tidak menghendaki mereka mencari permusuhan dengan Thian-li-pang yang jelas menentang pemerintah penjajah.
Setelah dua orang tosu itu pergi tak kelihatan lagi bayangannya, Thian-te Tok-ong berkata dengan nada suara yang penuh kemarahan.
“Yo Han, engkau ini anak masih ingusan sudah berani berlagak di Thian-li-pang! Di sini ada aku, ada sute, ada pula Lauw Kang Hui, dan engkau membikin malu kami dengan sepak terjangmu seolah-olah engkau yang paling hebat di sini!”
“Maaf, sebelumnya teecu sudah minta maaf kepada Jiwi Susiok (Uwa Guru Berdua),” kata Yo Han sambil menghadapi dua orang kakek itu dan memberi hormat.
“Bocah lancang, engkau berani memandang rendah kepada kami, ya?” Ban-tok Mo-ko juga membentak. “Tanpa perintah kami, engkau telah berani mencari gara-gara dengan Pek-lian-kauw atas nama Thian-li-pang. Engkau tidak berhak bertindak atas nama Thian-li-pang. Kelancanganmu ini meremehkan kami dan harus kuhukum kau!”
Setelah berkata demikian Ban-tok Mo-ko menerjang maju menyerang Yo Han. Melihat serangan gurunya itu, Lauw Kang Hui terkejut. Gurunya telah melancarkan serangan pukulan maut kepada Yo Han. Biarpun dia membenarkan tindakan Yo Han tadi, namun karena Yo Han bukan apa-apa baginya, dia tidak berani lancang melindunginya dari serangan gurunya yang hebat. Dia hanya memandang dengan mata terbelalak, juga semua anggauta Thian-li-pang memandang dan mereka semua merasa yakin bahwa Yo Han pasti akan roboh tewas karena mereka semua mengenal kesaktian Ban-tok Mo-ko yang merupakan seorang sesepuh atau locianpwe dari Thian-li-pang.
“Maaf, Supek!”
Kata Yo Han ketika melihat serangan yang mendatangkan angin pukulan dahsyat itu menyambar dirinya dan dia pun menggerakkan kedua tangannya yang mula-mula menyembah ke atas, terus turun ke bawah melalui depan dahi, hidung, mulut terus ke ulu hati, lalu kedua lengan dikembangkan dan tangan ke kanan kiri, terus ke bawah membentuk lingkaran, bertemu di bawah dalam keadaan menyembah lagi dan kedua tangan ini dengan kedua telapak tangan terbuka lalu menghadap ke depan dan lengannya diluruskan.
Tidak ada hawa pukulan keluar dari kedua tangan Yo Han ini, akan tetapi tiba-tiba Ban-tok Mo-ko mengeluarkan seruan kaget karena dia merasa betapa hawa pukulan kedua tangan membalik dan biarpun dia sudah bertahan, tetap saja dia terpelanting oleh kuatnya hawa pukulannya sendiri yang membalik!
“Ho-ho, anak ini memang perlu dihajar!” kata Thian-te Tok-ong, kaget dan juga tertarik sekali melihat betapa sutenya yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang hanya di bawah tingkatnya, sampai terpelanting jatuh.
Dia pun mengebutkan lengan baju kanannya. Dia memukul dari jauh, menggunakan hawa pukulan yang amat dahsyat, kemudian tongkat di tangan kirinya menyusul, menotok ke arah pusar Yo Han.
“Maaf, Supek!” kata pula Yo Han.
Dia tahu betapa dahsyatnya serangan ini, maka kembali dia menggerakkan kedua tangannya sesuai dengan ilmu yang baru saja dilatih di bawah petunjuk kakek Ciu Lam Hok, yaitu ilmu yang disebut Bu-kek-hoat-keng. Begitu kedua tangannya membuat gerakan memutar dan menyambut tamparan dan totokan tongkat, seperti yang terjadi pada Ban-tok Mo-ko tadi, tiba-tiba Thian-te Tok-ong juga berseru kaget dan biarpun dia tidak terpelanting seperti sutenya, namun dia terhuyung ke belakang dan dua serangannya tadi membalik, tangan kanan menampar kepala sendiri dan tongkatnya membalik ke arah pusarnya sendiri!
“Hemm, Bu-kek-hoat-keng....!”
Seru kakek bertubuh pendek kecil ini setelah mampu mengembalikan keseimbangannya, mukanya agak pucat karena dia tadi merasa kaget bukan main ketika kedua serangannya membalik secara aneh sekali
“Yo Han!” bentak Ban-tok Mo-ko. “Berani engkau mencampuri urusan pribadi Thian-li-pang?”
Yo Han memberi hormat kepada dua orang kakek itu.
“Jiwi Supek (Uwa Guru Berdua), harap maafkan saya. Sebagai murid Suhu Ciu Lam Hok, maka saya pun berhak mencampuri urusan Thian-li-pang dan apa yang saya lakukan ini adalah untuk memenuhi pesan dari Suhu. Thian-li-pang sejak dahulu adalah perkumpulan para pendekar yang berjiwa patriot. Akan tetapi semenjak Thian-li-pang dibawa bersekutu dan bersahabat dengan Pek-lian-kauw, apa jadinya? Thian-li-pang melupakan sumbernya, dan anak buahnya banyak yang mengikuti jejak Pek-lian-kauw, tidak segan melakukan kejahatan dengan berkedok perjuangan. Suhu pesan kepada saya untuk mengembalikan Thian-li-pang ke jalan benar.”
“Ciu Lam Hok itu.... di mana dia sekarang? Engkau dapat keluar, tentu dia pun dapat. Katakan, di mana Ciu Lam Hok?” Thian-te Tok-ong bertanya.
Yo Han menarik napas panjang, teringat betapa suhunya itu hidup menderita karena perbuatan dua orang kakek yang menjadi supeknya ini.
“Suhu telah meninggal dunia dalam keadaan tubuh menderita namun batinnya bahagia.”
“Ahhhh....!” Thian-te Tok-ong berseru, juga Ban-tok Mo-ko mengeluarkan seruan kaget.
“Jiwi Supek yang membuat Suhu hidup tersiksa!” kata pula Yo Han dengan suara mengandung teguran dan memandang tajam kepada dua orang kakek itu.
Dua orang kakek itu menundukkan muka. Agaknya baru mereka kini melihat betapa kejam mereka terhadap sute sendiri. Mereka telah menyiksa sute mereka dan berlaku curang hanya karena iri hati dan ingin menguasai ilmu sute mereka yang lebih tinggi daripada ilmu mereka.
Entah bagaimana, ketika Ciu Lam Hok masih hidup dan merana di dalam sumur, dua orang kakek ini sama sekali tidak pernah menyesali perbuatan mereka bahkan raungan dan teriakan Ciu Lam Hok yang mereka dengar, membuat mereka semakin penasaran dan membenci karena sute itu tidak mau membagi ilmu-ilmunya kepada mereka.
Akan tetapi kini mendengar bahwa sute itu sudah meninggal dunia, mendadak mereka kehilangan, dan merasa menyesal. Karena tidak ada lagi harapan untuk mendapatkan ilmu-ilmu dari orang yang sudah mati, maka kini seolah-olah yang teringat hanya perbuatan mereka terhadap sute itu, dan betapa mereka bertiga merupakan pendiri Thian-li-pang yang dahulu hidup rukun dan saling setia.
“Aih, Sute, kami telah berdosa kepadamu.”
Tiba-tiba saja Thian-te Tok-ong berseru dan kakek ini menangis! Dan Ban-tok Mo-ko juga menangis. Melihat dua orang kakek yang menjadi sesepuh Thian-li-pang itu menangis seperti anak kecil, semua anggauta Thian-li-pang terheran-heran, dan Lauw Kang Hui menundukkan kepalanya. Wakil ketua ini pun menyadari betapa Thian-li-pang memang telah menyeleweng, anak buahnya banyak yang tidak segan melakukan perbuatan jahat bersama anak buah Pek-lian-kauw yang menjadi guru mereka dalam hal penyelewengan.
Tiba-tiba Ban-tok Mo-ko menghampiri suhengnya dan menudingkan telunjuknya ke arah muka suhengnya.
“Suheng, semua ini gara-gara engkau! Engkau telah membuntungi kaki tangannya, engkau telah berlaku kejam kepada Sute! Sekarang Sute telah meninggal, tentu arwahnya akan menuntut kepada kita! Suheng, engkaulah penyebab semua ini. Aihhhh, Sute.... maafkan aku, Sute. Semua ini Suheng kita yang menjadi biang keladinya!”
Thian-te Tok-ong menghentikan tangisnya dan dia pun menghadapi sutenya dengan mata berkilat dan alis berkerut.
“Apa kau bilang? Sute, jangan seenaknya saja kau bicara. Engkaulah yang memberi siasat itu kepadaku! Engkau yang menganjurkan aku untuk turun tangan terhadap Sute Ciu Lam Hok! Dan aku menyesal telah menuruti kemauanmu. Sute Ciu Lam Hok, inilah orangnya yang menjadi penyebab kematianmu, bukan aku!”
“Suheng, Jangan menyangkal! Engkau melakukan kekejaman terhadap Ciu Sute karena engkau murka, karena engkau menghendaki ilmunya, terutama Bu-kek-hoat-keng. Engkaulah yang menanggung dosa terbesar, Suheng!”
“Keparat, engkau pun berdosa besar, bahkan aku tertarik oleh bujukanmu!”
“Bohong.”
“Engkau pengecut, tidak berani bertanggung jawab. Aku memang berdosa terhadap Sute Ciu Lam Hok, akan tetapi engkau pun lebih berdosa lagi!”
“Engkau biang keladinya!”
Dua orang kakek, yang satu gendut yang satu kurus itu, saling maki dan akhirnya, tanpa dapat dicegah lagi, saling serang dengan penuh kemarahan! Suheng dan sute ini sama-sama merasa menyesal, merasa berdosa terhadap sute mereka yang kini telah meninggal dunia. Karena saling menyalahkan, duka dan menyesal, mereka lupa diri dan akhirnya saling serang dengan hebatnya.
Karena keduanya merupakan orang-orang sakti, maka tidak ada anggauta Thian-li-pang yang berani melerai. Maju melerai berarti membahayakan nyawa sendiri. Di seputar dua orang itu, angin pukulan menyambar-nyambar dengan dahsyatnya sehingga Lauw Kang Hui sendiri terpaksa mundur menjauh agar tidak sampai terkena serangan hawa pukulan.
Pertandingan antara dua orang tokoh yang sakti dan yang usianya sudah amat tua, tidak lagi mengandalkan kecepatan gerakan, tidak mau membuang waktu dan mereka segera mengeluarkan ilmu simpanan masing-masing, dan mengerahkan sin-kang untuk mengalahkan lawan. Di lain saat, setelah lewat belasan jurus saja, keduanya sudah berdiri dengan kedua kaki terpentang, kedua tangan saling tempel dan saling dorong dengan pengerahan tenaga sin-kang.
Uap mengepul dari kepala mereka dan semua orang tahu bahwa pertandingan ini merupakan pergulatan mati hidup. Lauw Kang Hui mengerti pula dan dia menjadi amat khawatir. Dia pun tahu bahwa gurunya, Ban-tok Mo-ko, masih kalah kuat dibandingkan supeknya, dan bahwa gurunya terancam maut. Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani mencampuri, tidak berani melerai. Dia tadi teringat akan Yo Han yang telah mampu merobohkan suhunya dan supeknya, maka timbul harapannya. Cepat dia menghampiri Yo Han dan dengan suara sungguh-sungguh dia berkata,
“Sute Yo Han, tolonglah mereka. Cepat pisahkan mereka agar jangan sampai saling bunuh.”
Yo Han yang sejak tadi menonton, menoleh kepadanya dan menggeleng kepalanya.
“Kurasa tidak ada gunanya lagi, Suheng. Mereka sudah saling serang mati-matian dan andaikata aku dapat memisahkan mereka pun, tentu mereka telah terluka dalam.“
Lauw Kang Hui memandang kepada dua orang kakek itu dan dia merasa gelisah melihat betapa dari ujung bibir gurunya telah mengalir darah dari dalam mulut, tanda bahwa gurunya telah menderita luka dalam. Dan biarpun di bibir Thian-te Tok-ong belum nampak darah, akan tetapi wajah kakek yang kecil pendek itu pucat sekali.
“Mereka sudah terluka, akan tetapi setidaknya, jangan mereka itu tewas selagi mengadu tenaga. Sute, tolonglah, pisahkan mereka, biarpun mereka sudah terluka.”
Yo Han menarik napas panjang. Dia sudah melihat betapa keadaan dua orang kakek itu payah sekali, dan kalau dia memisahkan mereka, dia harus menggunakan sin-kang untuk mematahkan dua tenaga yang sudah saling lekat itu. Bukan pekerjaan mudah, bahkan berbahaya baginya, akan tetapi dia pun tidak dapat menolak karena dia tidak dapat membiarkan mereka itu mengadu tenaga sampai seorang di antara mereka mati di tempat.
“Jiwi Supek, maafkan saya!” katanya dan dia pun meloncat mendekati dua orang kakek itu, kedua tangannya bergerak-gerak membentuk lingkaran dan tiba-tiba, dengan bentakan nyaring sehingga terdengar suara melengking, dia mendorongkan kedua tangannya ke tengah-tengah antara dua pasang tangan yang sedang melekat itu.
Dua orang kakek itu mengeluarkan suara keras dan tubuh mereka terdorong ke belakang. Ban-tok Mo-ko roboh terguling dan Thian-te Tok-ong terhuyung-huyung, kemudian cepat dia duduk bersila dan memejamkan mata. Ban-tok Mo-ko juga bangkit duduk dengan susah payah, lalu bersila pula. Wajah keduanya pucat dan napas mereka terengah-engah.
Yo Han memeriksa dengan menempelkan tangan di punggung mereka, dan diam-diam dia pun terkejut. Kiranya, kedua orang kakek itu menderita luka dalam yang jauh lebih parah daripada yang disangkanya.
Ban-tok Mo-ko yang kalah kuat oleh suhengnya, telah menderita parah sekali dan sukar diselamatkan. Akan tetapi ketika Yo Han memeriksa keadaan Thian-te Tok-ong, dia pun terkejut. Kakek ini memang memiliki tenaga yang lebih kuat, akan tetapi agaknya usianya yang sudah delapan puluh delapan tahun itu membuat tubuhnya lemah dan karena itu, dia pun menderita luka hebat!
Ban-tok Mo-ko yang membuka mata lebih dulu, mata yang sayu dan dia pun memandang kepada Thian-te Tok-ong yang masih duduk bersila dan terdengar suaranya yang lemah gemetar.
“Suheng, aku girang dapat mati di tanganmu....” lalu dia memandang ke angkasa, terbatuk dan gumpalan darah keluar lebih banyak lagi dari dalam mulutnya.
“Sute, aku telah siap menerima pembalasanmu....” Kakek itu memejamkan kembali kedua matanya dan kepalanya menunduk.
Thian-te Tok-ong membuka matanya dan dari kedua matanya itu mengalir air mata.
“Aku telah membunuh Sute Ciu Lam Hok, dan aku pula yang membunuh Sute Ban-tok Mo-ko. Kedua adikku, tunggulah aku.!”
Dan dia pun memejamkan kedua matanya dan menundukkan kepala. Dua orang kakek itu tak bergerak lagi.
Yo Han berbisik kepada Lauw Kang Hui.
“Lauw-suheng, kedua orang Supek telah tewas.!”
“Haaa....?” Lauw Kang Hui cepat menghampiri gurunya dan menyentuh pundak gurunya.
Disentuh sedikit saja, tubuh yang tadinya duduk bersila itu terguling roboh. Demikian pula tubuh kakek Thian-te Tok-ong.
“Hemm, agaknya ketua yang baru hendak membawa Thian-li-pang menjadi pengkhianat, membantu pemerintah penjajah untuk memusuhi Pek-lian-kauw yang selamanya anti penjajah?” teriak pula Kwan Thian-cu, sikapnya sudah menantang sekali.
“Jiwi Totiang! Kalian adalah tamu, apakah hendak menantang tuan rumah?” bentak Lauw Kang Hui yang sudah marah.
Agaknya, perkelahian takkan dapat dihindarkan lagi, sedangkan dua orang kakek sakti dari Thian-li-pang yang masih duduk, hanya menonton saja dengan sikap tenang.
Pada saat yang gawat itu, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di antara mereka berdiri seorang pemuda yang bermata tajam mencorong dan sikapnya tenang namun lembut. Tubuhnya yang sedang namun tegap itu mengenakan pakaian yang bersih namun sederhana. Pemuda ini bukan lain adalah Yo Han!
Agaknya, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong masih mengenal pemuda itu, demikian pula Lauw Kang Hui. Thian-te Tok-ong terbelalak dan berseru,
“Heii, bukankah engkau Yo Han.?”
Yo Han menghampiri Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong, memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada dan membungkuk sambil berkata,
“Jiwi Supek (Kedua Uwa Guru), saya Yo Han memberi hormat, dan harap maafkan karena melihat keadaan, terpaksa saya ingin ikut bicara sedikit.”
Tanpa menanti jawaban dua orang kakek yang memandang bengong itu, Yo Han segera menghadapi semua orang Thian-li-pang. Dua orang kakek itu bengong karena merasa terheran-heran. Bukankah Yo Han telah tewas di dalam sumur bersama Ciu Lam Hok? Bagaimana mungkin anak itu kini muncul kembali sebagai seorang pemuda yang tampan dan gagah, dengan pakaian yang pantas pula? Suara Yo Han terdengar lantang ketika dia bicara.
“Saudara-saudara sekalian, para murid dan anggauta Thian-li-pang, dengarkan baik-baik. Seluruh dunia kang-ouw tahu belaka bahwa dahulu Thian-li-pang adalah perkumpulan orang-orang gagah yang selain menentang kejahatan dan menentang penjajahan, juga menegakkan kebenaran dan keadilan. Akan tetapi, akhir-akhir ini, semua orang tahu belaka bahwa telah terjadi penyelewengan-penyelewengan dan penyimpangan dari jalan benar yang dilakukan Thian-li-pang. Nama baik Thian-li-pang tercemar dan terkenal sebagai perkumpulan yang menentang pemerintah penjajah akan tetapi juga yang suka berbuat jahat!
Langkah yang diambil Thian-li-pang mengikuti jejak langkah Pek-lian-kauw yang sejak dahulu terkenal menyeleweng daripada kebenaran dan banyak orang Pek-lian-kauw melakukan kejahatan dengan dalih perjuangan. Betapa pun mulia cita-citanya, namun kalau pelaksanaan atau cara mengejar cita-cita itu kotor, maka hasilnya akan menjadi kotor pula.
Yang penting sekali adalah pelaksanaannya. Kalau pelaksanaannya bersih, maka yang dicapai juga bersih. Pelaksanaan adalah benihnya, dan tidak ada benih buruk mendatangkan buah yang baik. Saya menghormati dan setuju sekali pendapat Suheng Lauw Kang Hui tadi, yang bertekat untuk menegakkan kembali Thian-li-pang sebagai perkumpulan orang-orang gagah, perkumpulan pendekar pahlawan!”
Mereka yang tadi mendukung Lauw Kang Hui, bersorak menyambut ucapan ini, walaupun mereka kini juga terheran-heran mengenal Yo Han, yang lima tahun yang lalu pernah mereka melihat sebagai seorang anak yang diambil murid oleh Thian-te Tok-ong.
Lauw Kang Hui sendiri pun terheran, akan tetapi karena ucapan Yo Han sejalan dengan pendapatnya, dia pun diam saja dan hendak melihat perkembangan selanjutnya.
Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu, dua orang tosu Pek-lian-kauw itu, segera mengenal Yo Han sebagai anak laki-laki yang pernah mereka tawan ketika mereka membantu Ang I Moli. Melihat sikap dan mendengar ucapan Yo Han, dua orang tosu ini marah bukan main. Keduanya sudah melangkah maju dan memandang kepada Yo Han dengan mata melotot. Mereka ingat bahwa anak ini dahulu kebal terhadap sihir, maka mereka pun tidak mau mempergunakan ilmu sihir.
“Pemuda sombong! Berani engkau menjelek-jelekkan Pek-lian-kauw seperti itu? Siapa pun yang berani menghina Pek-lian-kauw, tak berhak hidup dan kami akan membunuhmu sekarang juga!”
Dua orang tosu itu sudah siap untuk menyerang Yo Han. Pemuda itu bersikap tenang saja dan dia menatap kedua orag tosu itu secara bergantian.
“Jiwi Totiang (Kalian Berdua Pendeta) mengaku sebagai pendeta-pendeta dan berpakaian sebagai pendeta. Namun, baik buruknya seseorang bukan tergantung dari pakaian atau sikapnya, melainkan dari perbuatannya. Jiwi Totiang sudah banyak melakukan kejahatan, maka jubah dan sikap Jiwi sebagai pendeta itu hanya kedok belaka. Apa yang saya katakan tadi hanya kebenaran, bukan bermaksud menjelek-jelekkan atau menghina siapapun.”
“Keparat, kau makin kurang ajar! Rasakan pukulanku!” bentak Kwan Thian-cu yang marah sekali dan tiba-tiba tokoh Pek-lian-kauw yang gendut ini menerjang dengan pukulan maut dari kedua telapak tangannya.
“Desss....!”
Pukulan kedua tangan tosu Pek-lian-kauw yang gendut itu disambut oleh kedua tangan Lauw Kang Hui yang meloncat ke depan melindungi Yo Han. Dua pasang tangan itu bertemu dengan tenaga sin-kang sepenuhnya, dan akibatnya, Kwan Thian-cu yang kalah kuat terdorong, terjengkang dan tubuh yang gendut itu terguling-guling sampai beberapa meter jauhnya.
Kui Thian-cu cepat menghampiri saudaranya dan membantunya bangkit. Masih untung bagi Kwan Thian-cu bahwa Lauw Kang Hui tidak berniat membunuhnya, maka tadi ketika menangkis, tidak menggunakan serangan balasan. Namun karena tosu Pek-lian-kauw itu memang kalah kuat, begitu kedua tangannya bertemu dengan calon ketua baru Thian-li-pang, tubuhnya seperti diterjang gajah dan terjengkang ke belakang.
“Totiang, kalau kami tidak memandang Pek-lian-kauw sebagai rekan seperjuangan, tentu saat ini engkau sudah tak bernyawa lagi. Kami hanya menghendaki agar Pek-lian-kauw tidak mencampuri urusan rumah tangga kami. Silakan meninggalkan tempat ini,” kata Lauw Kang Hui dengan tegas.
Dua orang tosu itu bangkit, memberi hormat dan pergi tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Mereka merasa malu akan tetapi juga maklum bahwa melawan tidak ada gunanya. Dan mereka tahu pula bahwa para pimpinan Pek-lian-kauw pasti tidak menghendaki mereka mencari permusuhan dengan Thian-li-pang yang jelas menentang pemerintah penjajah.
Setelah dua orang tosu itu pergi tak kelihatan lagi bayangannya, Thian-te Tok-ong berkata dengan nada suara yang penuh kemarahan.
“Yo Han, engkau ini anak masih ingusan sudah berani berlagak di Thian-li-pang! Di sini ada aku, ada sute, ada pula Lauw Kang Hui, dan engkau membikin malu kami dengan sepak terjangmu seolah-olah engkau yang paling hebat di sini!”
“Maaf, sebelumnya teecu sudah minta maaf kepada Jiwi Susiok (Uwa Guru Berdua),” kata Yo Han sambil menghadapi dua orang kakek itu dan memberi hormat.
“Bocah lancang, engkau berani memandang rendah kepada kami, ya?” Ban-tok Mo-ko juga membentak. “Tanpa perintah kami, engkau telah berani mencari gara-gara dengan Pek-lian-kauw atas nama Thian-li-pang. Engkau tidak berhak bertindak atas nama Thian-li-pang. Kelancanganmu ini meremehkan kami dan harus kuhukum kau!”
Setelah berkata demikian Ban-tok Mo-ko menerjang maju menyerang Yo Han. Melihat serangan gurunya itu, Lauw Kang Hui terkejut. Gurunya telah melancarkan serangan pukulan maut kepada Yo Han. Biarpun dia membenarkan tindakan Yo Han tadi, namun karena Yo Han bukan apa-apa baginya, dia tidak berani lancang melindunginya dari serangan gurunya yang hebat. Dia hanya memandang dengan mata terbelalak, juga semua anggauta Thian-li-pang memandang dan mereka semua merasa yakin bahwa Yo Han pasti akan roboh tewas karena mereka semua mengenal kesaktian Ban-tok Mo-ko yang merupakan seorang sesepuh atau locianpwe dari Thian-li-pang.
“Maaf, Supek!”
Kata Yo Han ketika melihat serangan yang mendatangkan angin pukulan dahsyat itu menyambar dirinya dan dia pun menggerakkan kedua tangannya yang mula-mula menyembah ke atas, terus turun ke bawah melalui depan dahi, hidung, mulut terus ke ulu hati, lalu kedua lengan dikembangkan dan tangan ke kanan kiri, terus ke bawah membentuk lingkaran, bertemu di bawah dalam keadaan menyembah lagi dan kedua tangan ini dengan kedua telapak tangan terbuka lalu menghadap ke depan dan lengannya diluruskan.
Tidak ada hawa pukulan keluar dari kedua tangan Yo Han ini, akan tetapi tiba-tiba Ban-tok Mo-ko mengeluarkan seruan kaget karena dia merasa betapa hawa pukulan kedua tangan membalik dan biarpun dia sudah bertahan, tetap saja dia terpelanting oleh kuatnya hawa pukulannya sendiri yang membalik!
“Ho-ho, anak ini memang perlu dihajar!” kata Thian-te Tok-ong, kaget dan juga tertarik sekali melihat betapa sutenya yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang hanya di bawah tingkatnya, sampai terpelanting jatuh.
Dia pun mengebutkan lengan baju kanannya. Dia memukul dari jauh, menggunakan hawa pukulan yang amat dahsyat, kemudian tongkat di tangan kirinya menyusul, menotok ke arah pusar Yo Han.
“Maaf, Supek!” kata pula Yo Han.
Dia tahu betapa dahsyatnya serangan ini, maka kembali dia menggerakkan kedua tangannya sesuai dengan ilmu yang baru saja dilatih di bawah petunjuk kakek Ciu Lam Hok, yaitu ilmu yang disebut Bu-kek-hoat-keng. Begitu kedua tangannya membuat gerakan memutar dan menyambut tamparan dan totokan tongkat, seperti yang terjadi pada Ban-tok Mo-ko tadi, tiba-tiba Thian-te Tok-ong juga berseru kaget dan biarpun dia tidak terpelanting seperti sutenya, namun dia terhuyung ke belakang dan dua serangannya tadi membalik, tangan kanan menampar kepala sendiri dan tongkatnya membalik ke arah pusarnya sendiri!
“Hemm, Bu-kek-hoat-keng....!”
Seru kakek bertubuh pendek kecil ini setelah mampu mengembalikan keseimbangannya, mukanya agak pucat karena dia tadi merasa kaget bukan main ketika kedua serangannya membalik secara aneh sekali
“Yo Han!” bentak Ban-tok Mo-ko. “Berani engkau mencampuri urusan pribadi Thian-li-pang?”
Yo Han memberi hormat kepada dua orang kakek itu.
“Jiwi Supek (Uwa Guru Berdua), harap maafkan saya. Sebagai murid Suhu Ciu Lam Hok, maka saya pun berhak mencampuri urusan Thian-li-pang dan apa yang saya lakukan ini adalah untuk memenuhi pesan dari Suhu. Thian-li-pang sejak dahulu adalah perkumpulan para pendekar yang berjiwa patriot. Akan tetapi semenjak Thian-li-pang dibawa bersekutu dan bersahabat dengan Pek-lian-kauw, apa jadinya? Thian-li-pang melupakan sumbernya, dan anak buahnya banyak yang mengikuti jejak Pek-lian-kauw, tidak segan melakukan kejahatan dengan berkedok perjuangan. Suhu pesan kepada saya untuk mengembalikan Thian-li-pang ke jalan benar.”
“Ciu Lam Hok itu.... di mana dia sekarang? Engkau dapat keluar, tentu dia pun dapat. Katakan, di mana Ciu Lam Hok?” Thian-te Tok-ong bertanya.
Yo Han menarik napas panjang, teringat betapa suhunya itu hidup menderita karena perbuatan dua orang kakek yang menjadi supeknya ini.
“Suhu telah meninggal dunia dalam keadaan tubuh menderita namun batinnya bahagia.”
“Ahhhh....!” Thian-te Tok-ong berseru, juga Ban-tok Mo-ko mengeluarkan seruan kaget.
“Jiwi Supek yang membuat Suhu hidup tersiksa!” kata pula Yo Han dengan suara mengandung teguran dan memandang tajam kepada dua orang kakek itu.
Dua orang kakek itu menundukkan muka. Agaknya baru mereka kini melihat betapa kejam mereka terhadap sute sendiri. Mereka telah menyiksa sute mereka dan berlaku curang hanya karena iri hati dan ingin menguasai ilmu sute mereka yang lebih tinggi daripada ilmu mereka.
Entah bagaimana, ketika Ciu Lam Hok masih hidup dan merana di dalam sumur, dua orang kakek ini sama sekali tidak pernah menyesali perbuatan mereka bahkan raungan dan teriakan Ciu Lam Hok yang mereka dengar, membuat mereka semakin penasaran dan membenci karena sute itu tidak mau membagi ilmu-ilmunya kepada mereka.
Akan tetapi kini mendengar bahwa sute itu sudah meninggal dunia, mendadak mereka kehilangan, dan merasa menyesal. Karena tidak ada lagi harapan untuk mendapatkan ilmu-ilmu dari orang yang sudah mati, maka kini seolah-olah yang teringat hanya perbuatan mereka terhadap sute itu, dan betapa mereka bertiga merupakan pendiri Thian-li-pang yang dahulu hidup rukun dan saling setia.
“Aih, Sute, kami telah berdosa kepadamu.”
Tiba-tiba saja Thian-te Tok-ong berseru dan kakek ini menangis! Dan Ban-tok Mo-ko juga menangis. Melihat dua orang kakek yang menjadi sesepuh Thian-li-pang itu menangis seperti anak kecil, semua anggauta Thian-li-pang terheran-heran, dan Lauw Kang Hui menundukkan kepalanya. Wakil ketua ini pun menyadari betapa Thian-li-pang memang telah menyeleweng, anak buahnya banyak yang tidak segan melakukan perbuatan jahat bersama anak buah Pek-lian-kauw yang menjadi guru mereka dalam hal penyelewengan.
Tiba-tiba Ban-tok Mo-ko menghampiri suhengnya dan menudingkan telunjuknya ke arah muka suhengnya.
“Suheng, semua ini gara-gara engkau! Engkau telah membuntungi kaki tangannya, engkau telah berlaku kejam kepada Sute! Sekarang Sute telah meninggal, tentu arwahnya akan menuntut kepada kita! Suheng, engkaulah penyebab semua ini. Aihhhh, Sute.... maafkan aku, Sute. Semua ini Suheng kita yang menjadi biang keladinya!”
Thian-te Tok-ong menghentikan tangisnya dan dia pun menghadapi sutenya dengan mata berkilat dan alis berkerut.
“Apa kau bilang? Sute, jangan seenaknya saja kau bicara. Engkaulah yang memberi siasat itu kepadaku! Engkau yang menganjurkan aku untuk turun tangan terhadap Sute Ciu Lam Hok! Dan aku menyesal telah menuruti kemauanmu. Sute Ciu Lam Hok, inilah orangnya yang menjadi penyebab kematianmu, bukan aku!”
“Suheng, Jangan menyangkal! Engkau melakukan kekejaman terhadap Ciu Sute karena engkau murka, karena engkau menghendaki ilmunya, terutama Bu-kek-hoat-keng. Engkaulah yang menanggung dosa terbesar, Suheng!”
“Keparat, engkau pun berdosa besar, bahkan aku tertarik oleh bujukanmu!”
“Bohong.”
“Engkau pengecut, tidak berani bertanggung jawab. Aku memang berdosa terhadap Sute Ciu Lam Hok, akan tetapi engkau pun lebih berdosa lagi!”
“Engkau biang keladinya!”
Dua orang kakek, yang satu gendut yang satu kurus itu, saling maki dan akhirnya, tanpa dapat dicegah lagi, saling serang dengan penuh kemarahan! Suheng dan sute ini sama-sama merasa menyesal, merasa berdosa terhadap sute mereka yang kini telah meninggal dunia. Karena saling menyalahkan, duka dan menyesal, mereka lupa diri dan akhirnya saling serang dengan hebatnya.
Karena keduanya merupakan orang-orang sakti, maka tidak ada anggauta Thian-li-pang yang berani melerai. Maju melerai berarti membahayakan nyawa sendiri. Di seputar dua orang itu, angin pukulan menyambar-nyambar dengan dahsyatnya sehingga Lauw Kang Hui sendiri terpaksa mundur menjauh agar tidak sampai terkena serangan hawa pukulan.
Pertandingan antara dua orang tokoh yang sakti dan yang usianya sudah amat tua, tidak lagi mengandalkan kecepatan gerakan, tidak mau membuang waktu dan mereka segera mengeluarkan ilmu simpanan masing-masing, dan mengerahkan sin-kang untuk mengalahkan lawan. Di lain saat, setelah lewat belasan jurus saja, keduanya sudah berdiri dengan kedua kaki terpentang, kedua tangan saling tempel dan saling dorong dengan pengerahan tenaga sin-kang.
Uap mengepul dari kepala mereka dan semua orang tahu bahwa pertandingan ini merupakan pergulatan mati hidup. Lauw Kang Hui mengerti pula dan dia menjadi amat khawatir. Dia pun tahu bahwa gurunya, Ban-tok Mo-ko, masih kalah kuat dibandingkan supeknya, dan bahwa gurunya terancam maut. Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani mencampuri, tidak berani melerai. Dia tadi teringat akan Yo Han yang telah mampu merobohkan suhunya dan supeknya, maka timbul harapannya. Cepat dia menghampiri Yo Han dan dengan suara sungguh-sungguh dia berkata,
“Sute Yo Han, tolonglah mereka. Cepat pisahkan mereka agar jangan sampai saling bunuh.”
Yo Han yang sejak tadi menonton, menoleh kepadanya dan menggeleng kepalanya.
“Kurasa tidak ada gunanya lagi, Suheng. Mereka sudah saling serang mati-matian dan andaikata aku dapat memisahkan mereka pun, tentu mereka telah terluka dalam.“
Lauw Kang Hui memandang kepada dua orang kakek itu dan dia merasa gelisah melihat betapa dari ujung bibir gurunya telah mengalir darah dari dalam mulut, tanda bahwa gurunya telah menderita luka dalam. Dan biarpun di bibir Thian-te Tok-ong belum nampak darah, akan tetapi wajah kakek yang kecil pendek itu pucat sekali.
“Mereka sudah terluka, akan tetapi setidaknya, jangan mereka itu tewas selagi mengadu tenaga. Sute, tolonglah, pisahkan mereka, biarpun mereka sudah terluka.”
Yo Han menarik napas panjang. Dia sudah melihat betapa keadaan dua orang kakek itu payah sekali, dan kalau dia memisahkan mereka, dia harus menggunakan sin-kang untuk mematahkan dua tenaga yang sudah saling lekat itu. Bukan pekerjaan mudah, bahkan berbahaya baginya, akan tetapi dia pun tidak dapat menolak karena dia tidak dapat membiarkan mereka itu mengadu tenaga sampai seorang di antara mereka mati di tempat.
“Jiwi Supek, maafkan saya!” katanya dan dia pun meloncat mendekati dua orang kakek itu, kedua tangannya bergerak-gerak membentuk lingkaran dan tiba-tiba, dengan bentakan nyaring sehingga terdengar suara melengking, dia mendorongkan kedua tangannya ke tengah-tengah antara dua pasang tangan yang sedang melekat itu.
Dua orang kakek itu mengeluarkan suara keras dan tubuh mereka terdorong ke belakang. Ban-tok Mo-ko roboh terguling dan Thian-te Tok-ong terhuyung-huyung, kemudian cepat dia duduk bersila dan memejamkan mata. Ban-tok Mo-ko juga bangkit duduk dengan susah payah, lalu bersila pula. Wajah keduanya pucat dan napas mereka terengah-engah.
Yo Han memeriksa dengan menempelkan tangan di punggung mereka, dan diam-diam dia pun terkejut. Kiranya, kedua orang kakek itu menderita luka dalam yang jauh lebih parah daripada yang disangkanya.
Ban-tok Mo-ko yang kalah kuat oleh suhengnya, telah menderita parah sekali dan sukar diselamatkan. Akan tetapi ketika Yo Han memeriksa keadaan Thian-te Tok-ong, dia pun terkejut. Kakek ini memang memiliki tenaga yang lebih kuat, akan tetapi agaknya usianya yang sudah delapan puluh delapan tahun itu membuat tubuhnya lemah dan karena itu, dia pun menderita luka hebat!
Ban-tok Mo-ko yang membuka mata lebih dulu, mata yang sayu dan dia pun memandang kepada Thian-te Tok-ong yang masih duduk bersila dan terdengar suaranya yang lemah gemetar.
“Suheng, aku girang dapat mati di tanganmu....” lalu dia memandang ke angkasa, terbatuk dan gumpalan darah keluar lebih banyak lagi dari dalam mulutnya.
“Sute, aku telah siap menerima pembalasanmu....” Kakek itu memejamkan kembali kedua matanya dan kepalanya menunduk.
Thian-te Tok-ong membuka matanya dan dari kedua matanya itu mengalir air mata.
“Aku telah membunuh Sute Ciu Lam Hok, dan aku pula yang membunuh Sute Ban-tok Mo-ko. Kedua adikku, tunggulah aku.!”
Dan dia pun memejamkan kedua matanya dan menundukkan kepala. Dua orang kakek itu tak bergerak lagi.
Yo Han berbisik kepada Lauw Kang Hui.
“Lauw-suheng, kedua orang Supek telah tewas.!”
“Haaa....?” Lauw Kang Hui cepat menghampiri gurunya dan menyentuh pundak gurunya.
Disentuh sedikit saja, tubuh yang tadinya duduk bersila itu terguling roboh. Demikian pula tubuh kakek Thian-te Tok-ong.