Ads

Rabu, 30 Maret 2016

Kisah si Bangau Merah Jilid 047

"Nona berkata benar dan kita sudah hampir tiba di tempat yang dituju," kata kusir itu dan Sian Lun terpaksa menelan kemarahannya. Dia merasa terlalu tegang sehingga mudah tersinggung dan marah.

Ternyata di tengah rimba itu terdapat tempat terbuka di mana berdiri sebuah rumah besar. Dan suasananya di sana memang dalam keadaan pesta. Banyak orang sedang membereskan ruangan depan rumah itu yang disambung dengan panggung di depan rumah, merupakan ruangan yang luas dan setengah terbuka. Kursi-kursi yang diatur di situ rapi dan semua menghadap ke dalam, ke arah rumah di mana terdapat meja besar dan kursi-kursi yang mudah diduga menjadi tempat tuan rumah.

Dan pada saat itu, telah banyak orang berkumpul, bahkan di pihak tuan rumah telah duduk banyak pendeta yang berjubah hitam dan berkepala gundul. Anak buah dari perkumpulan yang dipimpin para pendeta Lama berjubah hitam ini kesemuanya juga berpakaian serba hitam, dengan kain kepala warna hitam pula sehingga mereka nampak menyeramkan.

Sian Li dan Sian Lun menduga bahwa mereka yang hadir di sana dan tidak berpakaian hitam tentulah tamu-tamu seperti juga mereka. Mereka melihat pula banyak orang Nepal yang bertubuh tinggi besar, bermuka brewok dan menutup kepala dengan sorban putih atau kuning. Mereka melihat pula banyak orang mengenakan pakaian Han seperti mereka. Ada pula yang memakai pakaian suku Miao, Hui, Kasak, dan Mongol.

Ketika kakak beradik seperguruan itu tiba di situ, mereka disambut dengan hormat dan hal ini dapat diketahui karena yang menyambut mereka adalah Lulung Lama sendiri bersama muridnya, Cu Ki Bok!

Dan setelah mereka dipersilakan duduk di rombongan orang-orang Han yang kemudian ternyata adalah orang-orang yang dianggap sebagai tokoh kang-ouw dan para pendekar, barulah Sian Li dan Sian Lun tahu bahwa Lulung Ma bukanlah pemimpin nomor satu dari perkumpulan Lama Jubah Hitam! Selain dia, masih ada pula seorang suhengnya yang duduk di kursi terbesar.

Pendeta Lama ini juga berpakaian serba hitam dan dia sudah tua sekali, sedikitnya tujuh puluh lima tahun usianya dan kelihatan seperti seorang pemalas, hanya duduk saja bersandar dikursinya. Agaknya yang aktif dalam pertemuan itu adalah Lulung Lama dan muridnya, yaitu Cu Ki Bok, peranakan Han Tibet itu.

Biarpun hatinya merasa panas dan marah melihat Cu Ki Bok yang menyambutnya bersama Lulung Lama, namun Sian Lun menahan diri dan tidak memperlihatkan kemarahannya. Adapun Sian Li bersikap tenang bahkan tersenyum-senyum sehingga diam-diam Cu Ki Bok merasa kagum bukan main. Gadis itu selain cantik dan lincah, ternyata memiliki ketabahan yang mengagumkan hatinya.

Sian Li merasa semakin yakin bahwa pihak tuan rumah tidak akan mungkin berani melakukan kekerasan terhadap ia dan suhengnya, melihat bahwa pertemuan itu dihadiri demikian banyaknya orang dari berbagai golongan. Tentu orang macam Lulung Lama tidak akan merendahkan diri yang hanya akan mencemarkan nama besarnya sendiri selagi di situ berkumpul banyak orang, dengan perbuatan yang curang dan pengecut. Hal ini terbukti pula dengan sikap Cu Ki Bok yang sopan dan hormat, padahal baru kemarin pemuda murid tokoh Hek I Lama itu bersikap kasar dan tidak sopan.

Akan tetapi, Sian Li dan Sian Lun menjadi pusat perhatian para tamu ketika Lulung Ma dengan suara lantang memperkenalkan tamu baru ini kepada semua orang sebagai dua orang pendekar dari timur yang masih mempunyai hubungan erat dengan Puteri Gangga Dewi dari Kerajaan Bhutan.

Agaknya kini semua tamu sudah berkumpul dan senja mulai datang, lampu-lampu penerangan dinyalakan dan pesta pun dimulai. Setelah Lulung Lama sebagai wakil pimpinan Hek I Lama menyuguhkan anggur sampai tiga keliling kepada para tamu dan mempersilakan para tamu makan kueh manis yang dihidangkan sebagai pembuka pesta.

Lulung Lama lalu bangkit berdiri dan dengan kedua tangan diangkat dia minta agar para tamu tidak berisik dan memberi perhatian kepadanya. Agaknya bicaranya memang ditujukan kepada orang-orang Han yang menjadi tamu di situ, maka dia mempergunakan bahasa Han. Para kelompok suku bangsa lain yang tidak paham bahasa Han, mendengarkan terjemahannya dari kawan-kawan mereka yang paham.

"Saudara sekalian, Cuwi (Anda Sekalian) yang gagah perkasa dari dunia kang-ouw di timur, kami dari Hek I Lama mengucapkan selamat datang dan terima kasih atas kehadiran Cuwi yang memenuhi undangan kami. Seperti Cuwi dapat melihatnya, di sini kami berkumpul, dihadiri pula oleh para sahabat dari Nepal terutama sebagai kawan seperjuangan kami, dan para sahabat dari suku Miao, Hui, Kasak dan Mongol yang tidak sudi melihat orang-orang Mancu merajalela dan hendak menguasai seluruh daratan. Cuwi kami undang mengadakan perundingan dan kami ajak untuk bekerja sama menentang pemerintah Kerajaan Ceng dari bangsa Mancu. Kalau kita semua bersatu, tentu bangsa Mancu akan dapat kita kalahkan dan kita usir kembali ke asal mereka. Kami mengharapkan sambutan dari Cuwi yang kami hormati sebagai orang-orang gagah di dunia kangouw."

Lulung Ma memberi hormat lalu duduk kembali. Sebelum dari golongan orang Han ada yang menjawab, Pangeran Gulam Sing sudah bangkit dari tempat duduknya di jajaran tuan rumah, di samping Lulung Lama dan dia pun bicara dengan suaranya yang lantang, dalam bahasa Nepal yang langsung diterjemahkan kalimat demi kalimat oleh seorang Han yang duduk di belakangnya.

"Saudara sekalian, kita ini terdiri dari berbagai suku dan bangsa, akan tetapi saat ini kita berkumpul sebagai saudara-saudara senasib sependeritaan dan seperjuangan! Kita sama-sama sengsara oleh kelaliman bangsa Mancu! Bangsa Mancu tidak saja menjajah seluruh daratan Cina, akan tetapi juga menindas daerah barat, menjajah Tibet, bahkan merupakan ancaman bagi negara tetangga di barat. Kami, Pangeran Gulam Sing, memimpin orang-orang gagah dari Nepal, siap untuk berjuang bersama dengan saudara sekalian untuk menentang pemerintah Mancu!"

Setelah berkata demikian, dibawah sambutan tepuk tangan, pangeran Nepal ini duduk kembali. Dia seorang pangeran Nepal yang berkulit coklat kehitaman, bertubuh tinggi besar, mukanya brewok dan tampan gagah jantan, matanya lebar dan sinarnya tajam, mulutnya selalu dibayangi senyum memikat. Pangeran berusia kurang lebih empat puluh tahun ini memang seorang pria yang jantan dan ganteng sekali.






Di deretan depan dari para tamu golongan Han, nampak seorang wanita bangkit berdiri.
Sian Li dan Sian Lun sejak tadi sudah melihat bahwa di antara para tokoh kang-ouw terdapat beberapa orang wanita, dan yang menarik perhatian adalah adanya tiga orang wanita yang usianya antara dua puluh lima sampai tiga puluh tahun, ketiganya cantik menarik, berpakaian serba mencolok berwarna warni akan tetapi selalu dihias kembang teratai putih. Kini, seorang di antara tiga wanita itu, yang tertua, usianya sekitar tiga puluh tahun, bangkit dan tentu saja ia menjadi pusat perhatian ketika ia bicara.

"Para pimpinan Hek I Lama, apakah aku boleh bicara sekarang?" tanyanya suaranya lantang akan tetapi merdu dan gayanya memikat, matanya bersinar-sinar tajam genit dan mulutnya tersenyum-senyum, pandang matanya menyambar-nyambar ke arah Pangeran Gulam Sing.
Lulung Lama segera bangkit dan memberi hormat.
"Omitohud! Pinceng sebagai wakil pimpinan Hek I Lama, berterima kasih sekali kalau Toanio yang datang sebagai utusan dan wakil Pek-lian-kauw memberi petunjuk kepada kami."

Tentu saja perhatian Sian Li dan Sian Lun menjadi semakin besar ketika mendengar ucapan Lulung Lama itu. Kiranya tiga orang wanita cantik itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw! Mereka berdua sudah banyak mendengar tentang Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), yaitu segolongan orang dengan agama yang aneh dan yang memiliki banyak tokoh lihai, dan mereka terkenal sebagai pemberontak-pemberontak yang gigih.

Namun sayang, biarpun mereka memberontak terhadap pemerintah penjajah, namun nama Pek-lian-kauw bukan nama yang bersih dan disuka rakyat, karena banyak di antara tokoh mereka suka melakukan segala macam kejahatan berkedok perjuangan juga agama mereka merupakan agama yang aneh, yang menyimpang dari induknya, yaitu Agama Buddha, dan banyak melakukan perbuatan sesat. Inilah sebabnya mengapa Pek-lian-kauw selalu bergerak sendiri, tidak memperoleh dukungan para pendekar patriot, lebih dekat dengan tokoh-tokoh sesat di dunia kang-ouw.

"Kami Pek-lian Sam-li (Tiga Wanita Teratai Putih) telah menyerahkan surat kuasa sebagai wakil Pek-lian-kauw kepada pimpinan Hek I Lama. Kami diberi wewenang untuk menghadiri pertemuan ini, menyelidiki dan memutuskan apakah Pek-lian-kauw menganggap patut untuk bekerja sama dengan kalian, Pek-lian-kauw sejak dahulu menentang pemerintah penjajah dan kami adalah pejuang-pejuang yang pantang mundur. Maka, kami ingin mengetahui lebih dulu apakah kalian ini sungguh-sungguh hendak menentang pemerintah Mancu, sebelum kami menyatakan suka bekerja sama."

Kembali Ji Kui, wanita itu yang merupakan saudara paling tua dari mereka bertiga, mengerling ke arah Gulam Sing yang juga memandang kepada tiga orang wanita itu sambil tersenyum-senyum. Gulam Sing ini terkenal sebagai seorang laki-laki yang selalu haus wanita, maka tentu saja kehadiran tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu sejak tadi sudah amat menarik perhatiannya.

"Ucapan Pek-lian Sam-li wakil Pek-lian-kauw itu benar!" tiba-tiba terdengar suara lantang dan ternyata yang bicara adalah seorang laki-laki berusia enam puluh tahun lebih yang pakaiannya penuh tambalan.

Dia adalah seorang tokoh dari dunia pengemis, bertubuh tinggi kurus dan bongkok, dan ketika dia bangkit berdiri, tangan kanannya memegang sebatang tongkat hitam.

"Kami harus tahu benar apakah yang hadir di sini sungguh-sungguh hendak menentang pemerintah Mancu. Sebelum tiba di sini, kami banyak mendengar dan kami merasa heran ketika ada berita bahwa pemerintah Tibet tidak menentang Kerajaan Ceng, bahkan kabarnya Dalai Lama sendiri mengakui pemerintahan penjajah Mancu. Juga kami mendengar bahwa pemerintah Nepal yang resmi tidak menentang penjajah Mancu. Maka, apa artinya gerakan yang diadakan oleh Hek I Lama dan Pangeran Gulam Sing? Sebelum kami menyatakan diri bergabung, kami harus mengetahui dulu dengan jelas seperti yang diucapkan wakil Pek-lian-kauw tadi."

Sehabis bicara, kakek pengemis itu duduk kembali dan suasana menjadi riuh karena orang-orang Han yang berkumpul di situ, banyak di antara mereka yang menyetujui pendapat kakek pengemis itu.

Sian Li memandang ke arah kakek itu dengan hati berdebar. Ia mengenal kakek itu! Nampaknya masih sama saja seperti dulu, kurang lebih lima tahun yang lalu. Tentu saja ia tidak dapat melupakan kakek pengemis itu yang pernah merampasnya dari tangan Hek-bin-houw, bahkan kakek itu membunuh Hek-bin-houw. Kakek itu adalah Hek-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Hitam) dan setelah membebaskan ia dari tangan Hek-bin-houw, kakek pengemis itu hendak mengajaknya pergi untuk menjadi muridnya. Akan tetapi, muncul Nenek Bu Ci Sian yang merampasnya. Nenek sakti itu mengalahkan Hek-pang Sin-kai, bahkan melukai paha pengemis itu. Ia ingat benar semua peristiwa itu dan kini ia memandang ke arah pengemis itu penuh perhatian.

Mendengar ucapan kakek pengemis itu, Dobhin Lama, Ketua Hek I Lama yang sejak tadi duduk melenggut saja, kini menegakkan tubuhnya dan membuka matanya. Kemudian terdengar suaranya dan dia bicara tanpa bangkit berdiri,

"Siapa yang bicara itu tadi?"

"Kami adalah Hek-pang Sin-kai, Ketua Perkumpuian Pengemis Tongkat Hitam di selatan!" kata kakek itu dengan berani, akan tetapi begitu pendeta Lama yang kelihatan lemah itu mengangkat muka memandang kepadanya, begitu dua pasang pandang mata bertemu, kakek pengemis itu terkejut bukan main karena pandang matanya bertemu dengan dua sinar mencorong yang seperti menembus sampai ke jantungnya. Dia tidak tahan memandang lebih lama dan cepat menundukkan mukanya.

"Omitohud, Ketua Hek-pang Kai-pang meragukan kami? Ketahuilah Sin-kai, biarpun Dalai Lama sendiri mengakui kekuasaan Kerajaan Mancu, akan tetapi kami golongan Hek I Lama tidak! Biar pemerintah Tibet tidak bergerak, akan tetapi kami akan bergerak dan kami yakin bahwa rakyat Tibet akan mendukung kami!"

Terdengar suara ketawa dan Pangeran Gulam Sing juga berkata dalam bahasa Nepal, diikuti kalimat demi kalimat oleh penterjemahnya.

"Ha-ha-ha-ha, agaknya Hek-pang Sin-kai ingin mengetahui keadaan orang lain dan menaruh kecurigaan. Terus terang saja, kami memang tidak sejalan dengan pemerintah kami yang berkuasa sekarang di Nepal. Raja terlalu lemah dan tidak berani menentang orang Mancu. Karena itu, kami bergerak sendiri tanpa persetujuan raja. Apa hubungannya urusan pribadi kami ini dengan perjuanganmu membebaskan tanah air dan bangsa dari tangan penjajah Mancu, Sin-kai?"

"Maaf, Pangeran. Tidak ada hubungannya apa-apa, hanya kami merasa heran melihat betapa negara Bhutan yang demikian kecil, tidak bergerak seperti Nepal, untuk menentang Mancu," kata pengemis tua itu pula.

"Omitohud.... agaknya engkau tidak mengetahui keadaan Bhutan, Sin-kai!" terdengar Lulung Lama berkata. "Tentu saja Bhutan tidak menentang Mancu, karena keluarga Kerajaan Bhutan masih ada hubungan darah dengan Mancu! Bahkan yang menjadi sesepuh sekarang di sana, Puteri Gangga Dewi, sekarang menikah dengan seorang keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang masih berdarah Mancu pula."

"Keluarga Pendekar Pulau Es bukan hanya berdarah Mancu, juga musuh-musuh yang selalu mengganggu kita!" terdengar teriakan beberapa orang tokoh kang-ouw yang hadir di situ.

"Tentu saja," kata Lulung Ma pula. "Keturunan Pendekar Super Sakti semua beribu Mancu, bahkan keluarga itu lalu berbesan dengan keluarga Naga Sakti Gurun Pasir. Kedua keluarga itu adalah pengkhianat-pengkhianat bangsa, antek-antek bangsa Mancu yang harus kita basmi!"

Sian Lun sudah bangkit berdiri dengan kedua tangan dikepal, akan tetapi Sian Li segera menyentuh lengannya dan menarik pemuda itu duduk kembali sambil memberi isarat dengan gelengan kepala. Ia sendiri tentu saja juga marah mendengar betapa keluarga Pendekar Pulau Es dan Pendekar Gurun Pasir dijelek-jelekkan oleh mereka yang hadir. Ia sendiri memiliki darah kedua keluarga itu!

Dari ibunya ia mewarisi darah kedua keluarga Kao keturunan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, sedangkan neneknya adalah keluarga Suma, keturunan Pendekar Super Sakti Pulau Es! Sian Lun sendiri hanya marah karena keluarga gurunya, Suma Ceng Liong, dimusuhi mereka.

Dengan menahan kemarahan Sian Lun terpaksa berdiam diri menenuhi permintaan sumoinya. Dia duduk cemberut dan kadang-kadang pandang matanya ke arah pihak tuan rumah bersinar penuh kemarahan.

"Sekarang kami tidak meragukan lagi kesungguhan hati para saudara untuk bekerja sama dengan kami untuk menghadapi Kerajaan Mancu di timur. Kami hanya menghendaki kesungguhan hati, jangan sampai kami dikecewakan lagi seperti yang telah terjadi dengan Thian-li-pang," kata Ji Kui, orang pertama dari Pek-lian Sam-li.

Semua orang memandang kepada wanita itu. Mereka yang hadir tahu belaka perkumpulan apakah Thian-li-pang itu. Di samping Pek-lian-kauw, perkumpulan Thian-li-pang merupakan perkumpulan yang terkenal gigih menentang pemerintah Kerajaan Mancu, sejak pemerintah itu menguasai daratan Cina.

Bahkan kedua perkumpulan itu diketahui telah bekerja sama dengan baik sekali sehingga sering kali terjadi kekacauan di kota raja bahkan di istana, ditimbulkan oleh mereka berdua. Kenapa sekarang tokoh Pek-lian-kauw itu menjelekkan Thian-li-pang yang dikatakan telah mengecewakan Peklian-kauw?

"Nanti dulu, Toanio," kata Lulung Lama. "Kami tidak mengerti apa yang kau maksudkan. Bukankah Thian-li-pang selalu berjuang menentang Mancu? Bukankah selama bertahun-tahun ini Thian-li-pang dikenal sebagai kawan seperjuangan Pek-lian-kauw?"

"Itu memang benar, dahulu. Akan tetapi sekarang, keadaan sudah lain sama sekali. Selama beberapa tahun ini, Thian-li-pang sudah berubah, sudah menyeleweng!"

"Benarkah itu, Nona?" tanya Hek-pang Sin-kai heran. "Aku masih mendengar bahwa Thian-li-pang tetap berjuang melawan pemerintah penjajah Mancu, bahkan akhir-akhir ini gerakan mereka bertambah kuat."

"Huh, mereka itu orang-orang yang tidak mengenal budi, orang-orang yang tidak mempunyai perasaan setia kawan. Dahulu, kami dari Pek-lian-kauw yang membantu mereka, kami bekerja sama dengan baik. Akan tetapi sekarang, setelah Lauw Kang Hui yang menjadi ketua, mereka itu menjadi sombong, mereka memisahkan diri dan tidak mau mengakui lagi Pek-lian-kauw sebagai teman seperjuangan. Mereka berlagak pendekar dan suka menghina orang. Tidakkah itu amat mengecewakan? Kami tidak mau lagi kalau sampai kerja sama dengan kalian ini akhirnya kelak hanya akan merugikan dan mengecewakan kami seperti Thian-li-pang."

"Ha-ha-ha, jangan khawatir, Nona!" kata Pangeran Gulam Sing, dalam bahasa Han bercampur Nepal karena baru beberapa tahun dia mempelajari bahasa Han, sehingga ia selalu dikawal seorang penterjemah. "Kami berjanji akan membantu Nona kelak memberi hajaran kepada Thian-li-pang yang sombong dan tidak mengenal setia kawan itu, ha-ha!"

Pangeran Nepal yang ganteng itu mengelus kumisnya yang melintang gagah dan matanya bersinar-sinar ditujukan kepada tiga orang wanita tokoh Pek-lian-kauw itu.

Tiga orang wanita muda itu tersenyum. Ji Hwa, orang ke dua yang kulitnya putih mulus dan wajahnya cantik, tersenyum dan suaranya terdengar basah ketika bicara dengan suara mendesah.

"Pangeran, harap jangan pandang rendah Thian-li-pang. Disana banyak terdapat tokoh yang amat lihai!"

"Benar sekali kata Enci ke dua itu, Pangeran," kata Ji Kim, wanita ke tiga yang selain jelita, juga lincah jenaka dan cerdik sekali. "Ketuanya yang bernama Lauw Kang Hui itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, sungguh tidak boleh dipandang ringan!"
Pangeran Gulam Sing tertawa dan nampaklah giginya yang putih dan kuat.
"Ha-ha-ha, kami tidak memandang rendah Nona-nona yang baik. Kami hanya menyatakan ingin membantu kalian menghadapi Thian-li-pang. Dan tentang kelihaian mereka, kita tidak perlu takut karena kita pun bukan orang-orang lemah. Aku sendiri pun, biar bodoh, mempunyai juga sedikit tenaga untuk disumbangkan membantu kalian dalam segala hal, ha ha!"

Setelah berkata demikian, pangeran yang tinggi besar dan bertubuh kokoh kuat itu, menghampiri sebuah arca singa besi yang berada di sudut ruangan itu. Singa besi itu jelas amat berat dan sedikitnya membutuhkan tenaga sepuluh orang untuk mengangkatnya!

Akan tetapi, Pangeran Gulam Sing membungkuk, memegang benda itu dengan kedua tangannya dan sekali dia mengeluarkan suara bentakan nyaring, benda itu diangkatnya di atas kepala!

Tentu saja semua orang memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan, kekagetan dan kekaguman. Setelah pangeran itu menurunkan singa batu di tempatnya kembali dan hanya mukanya menjadi kemerahan dan napasnya agak memburu, semua orang bertepuk tangan memuji. Memang jarang ada orang memiliki tenaga gajah seperti pangeran itu, Sian Li dan Sian Lun diam-diam terkejut juga tahulah mereka bahwa pangeran itu akan merupakan lawan yang tangguh dan berbahaya.

Tiga orang wanita Pek-lian-kauw itu pun menyambut dengan tepuk tangan dan mereka tersenyum-senyum gembira.

"Aihh kiranya Pangeran memiliki tenaga yang amat kuat, lebih kuat daripada kuda!" Ji Kui memuji.

Pangeran itu tertawa.
"Ha-ha-ha, untuk Nona bertiga, setiap saat kami siap untuk menggunakan tenaga kuda kami!"

Kini Lulung Lama bangkit berdiri dan memberi isyarat agar semua orang tenang, kemudian dia berkata,

"Terima kasih, kami gembira sekali melihat bahwa saudara sekalian agaknya sudah siap untuk bekerja sama dengan kami. Masih adakah di antara para tamu yang ingin mengemukakan pendapatnya? Silakan!" Lulung Lama sengaja memandang ke arah Sian Lun dan Sian Li.

Akan tetapi kembali Sian Li menyentuh lengan Sian Lun yang sudah gatal mulut untuk bicara itu. Pada saat itu, seorang laki-laki Han berusia lima puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus dengan muka kuning, bangkit dan bicara dengan suaranya yang tinggi seperti suara wanita.

"Bersatu untuk bekerja sama dalam perjuangan menentang pemerintah Mancu memang mudah dibicarakan, akan tetapi pelaksanaannya menentang pemerintah Mancu amatlah berbahaya dan sukar. Kaisar Kian Liong yang sekarang menjadi Kaisar telah berusaha mendekati dan menggandeng para tokoh pendekar di dunia persilatan sehingga mereka itu tidak mau menentang Kaisar, apalagi membantu usaha perjuangan untuk menumbangkan kekuasaan Mancu. Masih banyak sekarang ini para pendekar yang berubah menjadi penjilat penjajah Mancu. Dan selama para pendekar penjilat itu tidak dibasmi terlebih dahulu, tentu mereka akan menjadi penghalang perjuangan kita."

"Pendapat itu tepat dan benar sekali!" tiba-tiba Ji Kui berseru dengan lantang dan penuh semangat. "Kalau tidak karena ulah para pendekar penjilat, terutama keturunan pendekar Pulau Es dan pendekar Gurun Pasir, tentu telah lama keluarga Kaisar dapat kami basmi! Beberapa tahun yang lalu. ketika Thian-li-pang masih bekerja sama dengan kami, kami telah berhasil mendekati Siang Hong-houw, bahkan putera Ketua Thian-li-pang dan Ang I Moli, seorang tokoh murid Pek-lian-kauw telah berhasil diselundupkan ke istana dan nyaris berhasil membunuh para pangeran kalau saja tidak digagalkan oleh Gangga Dewi dan suaminya, yaitu Suma Ciang Bun, cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es! Jelaslah bahwa orang-orang dari keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir merupakan penghalang besar bagi perjuangan kita!"

Lulung Lama tertawa dan dia bersama muridnya, Cu Ki Bok kini memandang ke arah Sian Lun dan Sian Li.

"Ha-ha, belum tentu, Toanio," katanya. "Belum tentu kalau semua keturunan kedua pendekar itu sudi menjadi antek dan penjilat penjajah Mancu. Di sini hadir pula dua orang muda gagah perkasa yang berhubungan dekat dengan Gangga Dewi. Kami tidak yakin bahwa mereka berdua ini sudi menjadi antek penjilat orang Mancu. Liem-sicu dan Tan-lihiap, bagaimana pendapat kalian?"

Tentu saja semua orang menoleh dan memandang kepada Sian Li dan Sian Lun yang diperkenalkan sebagai orang yang dekat dengan Gangga Dewi dan ada hubungan dengan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir itu.

Sian Lun yang sejak tadi sudah hampir tidak kuat menahan kemarahannya mendengar keluarga gurunya dimaki-maki, dan hanya menahan kemarahannya karena dilarang sumoinya, kini mendapat kesempatan dan dia pun meloncat berdiri dan mengepal tinju.

"Kami bukan penjilat pemerintah Mancu, juga kami bukan pemberontak-pemberontak yang berkedok perjuangan! Akan tetapi, aku sebagai murid keluarga Pulau Es, siap untuk menandingi siapa saja yang berani menghina keluarga Pulau Es!"

Setelah berkata demikian, tanpa mempedulikan sumoinya, dia sudah melompat ke tengah ruangan itu, di depan meja tuan rumah. Melihat kenekatan suhengnya, tentu saja Sian Li merasa khawatir karena gadis ini maklum sepenuhnya bahwa di tempat itu berkumpul banyak lawan yang pandai sekali. Maka, ia pun harus melindungi dan membela suhengnya dan ia pun sudah melompat ke dekat Sian Lun.

"Suheng berkata benar!" katanya. "Kalian telah terlalu banyak memandang rendah dan menghina keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir. Nah, ini aku keturunan kedua keluarga itu, siap untuk membela kehormatan dan nama kedua keluargaku itu, menandingi siapa saja yang berani menghina!"

Melihat munculnya pemuda dan gadis yang mengaku sebagai keluarga Pendekar Pulau Es dan Gurun Pasir, bahkan yang berani menantang, para tamu yang terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw yang sebagian besar mendendam kepada dua keluarga besar itu, segera menjadi gaduh.

"Bunuh pengkhianat!"

"Basmi keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir"

"Tangkap mereka, tentu telah memata-matai kita!"

Teriakan-teriakan terdengar dan agaknya mereka semua sudah siap untuk mengeroyok Sian Lun dan Sian Li. Akan tetapi, terdengar seruan Gulam Sing.

"Lulung Lama, bagaimana kalau aku saja yang menghadapi nona cantik dan gagah ini? Bukankah ia yang pernah kau ceritakan kepadaku tempo hari?"

Lulung Lama menoleh kepada pangeran itu dan mengangguk.
"Baiklah, Pangeran. Memang sebaiknya seorang di antara kita yang maju. Memalukan kalau harus maju keroyokan," katanya.

"Dan pemuda itu serahkan kepada kami untuk menangkapnya!" kata Pek-lian Sam-li dan ketiga orang wanita muda itu sudah berloncatan menghadapi Sian Lun dengan kerling yang memikat dan senyum yang manis.

Melihat ini, Gulam Sing tertawa.
"Ha-ha-ha, tiga orang nona yang jelita! Pemuda itu hanya seorang, bagaimana kalian dapat membaginya? Bukankah sudah ada aku? Ha-ha!"

Pangeran yang mata keranjang ini tanpa malu-malu di depan banyak orang mengeluarkan ucapan yang mengandung arti tak senonoh itu.

"Pangeran, mari kita berlumba, siapa di antara kita yang dapat lebih dulu menangkap lawan, kami bertiga atau engkau, tanpa melukai!" tantang Ji Kui. "Taruhannya, siapa kalah cepat harus menurut kehendak yang menang. Setuju?"

Melihat pandang mata penuh tantangan dan senyuman penuh ajakan itu, Pangeran Gulam Sing mengangguk,

"Setuju!"

Sian Li dan Sian Lun yang maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh apalagi mereka berada di sarang musuh dan setiap saat mereka dapat menghadapi pengeroyokan, sudah mencabut pedang mereka.

"Pangeran sombong, majulah kalau ingin merasakan tajamnya pedangku!"

Sian Li membentak. Pangeran itu tertawa dan mencabut sebatang golok yang bentuknya melengkung seperti bulan sabit. Melihat lawan sudah siap siaga dengan golok di tangan, Sian Li sudah meloncat ke depan dan melakukan serangan yang dahsyat sekali.

"Tranggg....!"

Pangeran itu menangkis dengan babatan goloknya, dan biarpun Sian Li sudah maklum akan kuatnya tenaga lawan, ia tetap saja terkejut ketika pedang itu hampir terlepas dari pegangan tangannya. Pedang itu terpental dan telapak tangannya yang berhasil menahan gagang pedang terasa panas. Melihat ini, terdengar suara tawa di sana sini dan pangeran itu pun tertawa bergelak.