Ads

Rabu, 30 Maret 2016

Kisah si Bangau Merah Jilid 048

Sian Lun yang dihadapi Pek-lian Samli, biarpun mendongkol sekali karena lawan bersikap curang dan belum apa-apa sudah hendak mengeroyoknya, tidak mau banyak cakap lagi. Tidak ada gunanya mencela dan memprotes orang-orang macam itu, apalagi tiga orang wanita ini adalah orang-orang Pek-lian-kauw. Sambil membentak nyaring pedangnya sudah berkelebat menjadi gulungan sinar yang menyambar ke arah tiga orang wanita itu.

Pek-lian Sam-li juga telah mencabut pedang mereka dan mereka pun mengepung dengan bentuk barisan Segi Tiga, dan ternyata gerakan mereka lincah sekali dan bagaikan tiga ekor kupu-kupu mengepung setangkai bunga, mereka berloncatan ke sana sini, membuat Sian Lun sukar sekali untuk dapat mengarahkan serangannya.

Sian Li juga segera terdesak karena ia tidak berani mengadu senjata. Hal ini tentu saja membuat pangeran itu menang angin dan dia pun mendesak sambil tertawa-tawa karena dia ingin lebih dulu menangkap lawannya untuk mendahului Pek-lian Sam-li. Dengan demikian, dia tidak hanya akan menguasai gadis cantik berpakaian merah ini, akan tetapi juga dia akan membuat tiga orang wanita genit itu membayar kekalahan mereka dengan mentaatinya! Betapa akan senangnya dilayani empat orang wanita itu, pikirnya.

Akan tetapi, sementara itu Sian Lun juga sudah terdesak hebat oleh tiga pedang yang mengepungnya. Tingkat kepandaian pemuda ini tidak jauh selisihnya dengan setiap orang dari Pek-lian Sam-li, maka kini dikeroyok tiga tentu saja dia menjadi kewalahan dan repot sekali melindungi tubuhnya dari sambaran tiga gulungan sinar pedang lawan.

Pada saat yang amat kritis bagi Sian Lun dan Sian Li, setiap saat mereka akan dapat tertangkap, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan bagaikan seekor rajawali saja bayangan itu menyambar-nyambar, mula-mula ke arah Sian Li dan Gulam Sing yang sedang bertanding.

Baik Gulam Sing maupun Sian Li mengeluarkan seruan kaget ketika bayangan itu menggerakkan tangan dan mereka berdua terdorong ke belakang sampai tiga langkah! Bayangan itu berkelebat ke arah Sian Lun yang dikeroyok tiga dan di sana bayangan itu berputaran dan juga Sian Lun dan tiga orang wanita pengeroyoknya terdorong ke belakang seperti diterjang angin badai.

Otomatis, mereka semua menghentikan serangan dan memandang kepada orang yang tahu-tahu telah berada di situ. Sian Li hampir berteriak saking girangnya melihat seorang laki-laki yang tubuhnya sedang saja namun tegap, rambutnya panjang dibiarkan riap-riapan ke belakang dan sebagian menutupi muka, membantu tirai hitam yang bergantungan dari atas topi capingnya yang lebar.

Sukar melihat wajah orang itu, yang nampak hanya kilatan sepasang mata dari balik tirai dan rambut. Pakaiannya sederhana saja seperti pakaian petani namun ringkas, dan dia tidak membawa senjata apa pun.

"Sin-ciang Tai-hiap....!"

Terdengar teriakan beberapa orang dan demikian pula teriakan hati Sian Li yang memandang penuh kagum, juga kini mendadak saja ia merasa aman begitu orang ini berada di situ. Lenyap semua kekhawatirannya akan dikeroyok dan ditangkap oleh para pemberontak ini.

Lulung Lama mewakili suhengnya, Dobhin Lama yang sejak tadi hanya menonton saja.
Dengan langkah lebar dia menghampiri laki-laki bercaping lebar yang menyembunyikan mukanya itu dan dia mencoba untuk menembus tirai hitam dan rambut itu untuk mengamati wajahnya, lalu dia mengangkat kedua tangan depan dada dan memberi hormat.

"Omitohud....! Kiranya engkau adalah Sin-ciang Tai-hiap yang selama beberapa tahun ini membuat nama besar di daerah perbatasan Tibet ini? Selamat datang, Taihiap! Apakah engkau datang hendak menghadiri rapat pertemuan yang kami adakan ini?"

Pendekar bercaping itu membalas penghormatan tuan rumah dengan sikap sopan, lalu terdengar suaranya lembut dan singkat.

"Lulung Lama, terserah dengan nama apa orang akan menyebutku. Aku datang bukan untuk menjadi tamu dalam pertemuan ini."

Lulung Lama mengerutkan alisnya.
"Sin-ciang Tai-hiap, pinceng (saya) yakin bahwa sebagai sama-sama tokoh dunia persilatan yang tahu akan peraturan dunia kang-ouw, engkau tentu maklum bahwa jalan kita bersimpang. Aku tidak pernah mencampuri urusanmu, dan demikian pula kami harap engkau tidak akan mencampuri dan mengacaukan urusan kami. Kalau engkau tidak datang untuk menghadiri pertemuan, lalu mengapa engkau menghentikan pertandingan tadi dan apa pula maksudmu datang berkunjung tanpa diundang ini?"

Lulung Lama bicara dengan nada tinggi hati, hal ini adalah karena dia sebagai tokoh besar Hek I Lama tentu saja tidak takut kepada pendekar rahasia ini walaupun sudah banyak dia mendengar tentang kelihaian Sin-ciang Tai-hiap, dan ke dua karena pada saat itu, dia berada di tempat sendiri, mempunyai banyak anak buah, ada pula suhengnya yang sakti dan banyak tamu yang dapat diandalkan.

Semua orang menaruh perhatian besar kepada pendatang aneh itu dan suasana menjadi sunyi senyap karena semua orang ingin mendengarkan bagaimana jawaban pendekar yang selama akhir-akhir ini amat terkenal namanya. Pendekar aneh itu menggerakkan tubuhnya, memandang ke sekeliling, kemudian dia pun menjawab, suaranya masih lembut seperti tadi.

"Lulung Lama, aku tidak mencampuri urusan siapa pun. Kalau tadi aku melerai pertandingan adalah karena aku selain tidak suka melihat orang menyelesaikan persoalan melalui senjata, saling melukai dan saling membunuh. Kedatanganku ini untuk bertemu dan bicara dengan saudara Thong Nam, kepala suku Miao yang aku tahu berada di sini sebagai tamu. Biarkan aku bicara dengan dia, setelah selesai urusanku dengan dia, aku akan pergi dari sini."

Lulung Lama mengerutkan alisnya. Bagaimanapun juga, Thong Nam adalah kepala suku Miao, seorang di antara sekutunya dan saat itu menjadi tamunya, maka sebagai tuan rumah dia harus dapat melindungi tamunya. Akan tetapi, sebelum dia dapat berkata atau berbuat sesuatu, seorang di antara para tamu sudah bangkit berdiri dan berkata lantang dengan suara keras dan logatnya asing.

"Akulah Thong Nam kepala suku Miao. Biarpun telah mendengar nama Sin-ciang Tai-hiap, namun kami belum pernah berurusan dengannya. Sekarang engkau datang mencariku di sini, katakan apa perlunya engkau mencari aku, Sin-ciang Tai-hiap!"

Pendekar bercaping itu memutar tubuh ke kanan untuk memandang ke arah Si Pembicara. Ternyata orang bernama Thong Nam itu bertubuh pendek dengan perut gendut, akan tetapi tubuhnya nampak kokoh kuat dan wajahnya yang bulat itu membayangkan ketinggian hati. Tidak mengherankan kalau kepala suku Miao ini dengan lantang memperkenalkan diri, karena dia pun terkenal sebagai seorang jagoan di antara suku bangsanya. Dia terkenal memiliki tenaga kuat ilmu gulat yang tak pernah terkalahkan, juga dia memiliki ilmu tendangan maut. Selain itu, dia pun tahu bahwa di tempat itu, dia memiliki banyak kawan tangguh yang pasti akan membantunya kalau dia terancam bahaya.






Sejenak pendekar bercaping itu mengamati Si Pendek Gendut dan karena dia diam saja, semua orang menjadi semakin tegang.

"Thong Nam," akhirnya terdengar dia berkata, "aku mencarimu untuk meminta kembali sebutir mutiara hitam darimu. Engkau tidak berhak memilikinya dan benda itu harus dikembalikan kepada pemiliknya."

Semua orang tidak mengerti tentang mutiara hitam, akan tetapi wajah Si Pendek Gendut itu berubah merah dan alisnya berkerut, nampak bahwa dia marah mendengar itu.

Otomatis tangan kirinya meraba ke arah dadanya, lalu dia berkata lantang,
"Sin-ciang, Tai-hiap! Mutiara Hitam itu adalah milikku, kuterima dari mendiang ayahku. Aku tidak mengambilnya dari orang lain!"

"Kalau begitu, saudara Thong Nam, ayahmu itulah yang telah mengambilnya. Mutiara Hitam itu milik orang lain, harap engkau suka berbesar hati untuk mengembalikannya kepadaku agar dapat kupenuhi pesan pemiliknya."

"Sin-ciang Tai-hiap, engkau sungguh terlalu mendesak. Orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi aku tidak! Dan menurut peraturan dunia kang-ouw, untuk memiliki sesuatu dari orang lain haruslah lebih dahulu mengalahkannya."

Kepala suku Miao itu lalu mengambil sesuatu dari balik bajunya, lalu menyerahkan sebuah mutiara hitam yang tadi dia pakai sebagai kalung kepada Lulung Lama.

"Losuhu, tolong simpan dulu benda ini, aku akan menandingi pendekar yang sombong ini!"

Setelah menyerahkan benda itu kepada Lulung Lama, Thong Nam lalu melompat ke depan pendekar bercaping lebar dengan sikap menantang. Lulung Lama menerima benda itu, nampak tertarik dan segera dia mendekati suhengnya. Dobhin Lama menerima benda itu dan mereka berdua mengamati benda itu sambil berbisik-bisik, pandang mata mereka bersinar-sinar.

Sementara itu, Thong Nam yang merasa diremehkan di depan banyak orang, tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang pendekar bercaping itu dengan tubrukan ganas, seperti seekor biruang menubruk mangsanya. Agaknya dia hendak mengandalkan ilmu gulatnya untuk menangkap lawan, karena dia berkeyakinan bahwa sekali dia dapat menangkap lengan lawan, dia akan dapat membuatnya tidak berdaya dengan ringkusan atau bantingan.

Sin-ciang Tai-hiap agaknya tidak tahu akan keistimewaan Thong Nam, maka dia seperti acuh saja dan bahkan menangkis dengan pemutaran lengan kanan dari kiri ke kanan dan membiarkan lengannya itu tertangkap lawan!

Tentu saja girang hati Thong Nam. Begitu dia berhasil menangkap lengan kanan lawan, dia mempergunakan kedua tangannya, menangkap dengan pengerahan tenaga yang tiba-tiba disentakkan dan dia hendak menekuk lengan itu ke belakang.

Sekali dia berhasil menekuk lengan itu ke belakang tubuh, dia akan dapat membuat lawan tidak berdaya dengan mendorong lengan yang tertekuk ke belakang itu ke atas! Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia sama sekali tidak mampu menekuk lengan lawan itu, jangankan memuntir ke belakang, bahkan menekuk sikunya saja tidak mampu. Lengan itu terasa olehnya seperti sebatang baja yang amat kuat. Padahal, sebatang tongkat atau tombak baja pun akan dapat ditekuknya dengan mudah!

Tiba-tiba pendekar bercaping itu menggerakkan lengannya yang ditangkap dan sedang hendak ditekuk ke belakang dan.... Thong Nam tak mampu bertahan lagi. Pegangan kedua tangannya terlepas dan dia pun terjengkang sampai beberapa meter jauhnya.

Thong Nam tidak terluka, hanya terkejut. Dia bangkit kembali dan mukanya menjadi merah sekali. Dia menjadi semakin penasaran dan marah, dan tanpa bicara lagi dia menerjang lawannya, sekali ini tidak ingin menangkap melainkan mengandalkan ilmu tendangannya yang memang hebat dan berbahaya. Selain kedua kaki itu dapat bergerak cepat sekali, juga setiap tendangan mengandung tenaga yang amat kuat, apalagi kedua kaki itu memakai sepatu yang dilapis baja, bagian bawahnya memiliki tepi yang tajam dan ujungnya juga runcing.

Dengan gerakan yang tenang sekali, Sin-ciang Tai-hiap dapat menghindarkan sambaran dua buah kaki yang melakukan serangkaian tendangan bertubi-tubi. Tubuhnya hanya bergerak sedikit saja, namun cukup membuat tendangan itu hanya lewat di dekat tubuhnya.

"Hemm, sepatumu itu terlalu keji, Thong Nam," kata pendekar itu lembut dan tiba-tiba saja, tubuh Thong Nam kembali terlempar dan terjengkang ke belakang, akan tetapi sekali ini kedua kakinya sudah telanjang karena sepasang sepatu itu tertinggal di kedua tangan pendekar bercaping itu!

Pendekar itu memeriksa sepasang sepatu yang istimewa itu, kemudian jari-jari tangannya bergerak dan.... lapisan besi di bawah sepatu itu sudah terlepas semua dan yang tinggal hanya sepasang sepatu kulit biasa. Dia melemparkan sepasang sepatu itu kepada Thong Nam.

Kini wajah Thong Nam berubah pucat. Dia mengenakan sepatunya yang menjadi sepatu biasa itu dan lenyaplah semua ketinggian hatinya. Dia tahu benar bahwa pendekar itu sama sekali bukan lawannya dan kalau pendekar itu menghendaki, mungkin dia sekarang telah tewas, atau setidaknya terluka berat.

Sementara itu, Sian Lun yang tadi dihentikan pertandingannya, menjadi penasaran. Juga diam-diam, seperti juga Sian Li, hatinya menjadi besar setelah muncul Sin-ciang Tai-hiap. Dilihatnya betapa tiga orang wanita Pek-lian-kauw tadi pun masih berdiri dengan pedang di tangan, maka dia segera melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah mereka dan pihak tuan rumah.

"Kalian semua mengaku sebagai pejuang-pejuang patriot, akan tetapi sesungguhnya hanyalah penjahat-penjahat dan pemberontak-pemberontak yang berkedok perjuangan! Keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir memang selalu menentang dan membasmi penjahat-penjahat seperti kalian!"

Melihat suhengnya sudah nekat seperti itu, Sian Li juga meloncat di dekatnya untuk membantu. Melihat ini, Lulung Lama manjadi marah dan dia memberi perintah kepada anak buahnya.

"Tangkap dua orang muda kurang ajar ini!"

"Tahan!"

Sin-ciang Tai-hiap berseru ketika melihat banyak orang sudah bangkit dan siap menyerbu.

"Lulung Lama, urusanku dengan Thong Nam belum selesai. Mutiara Hitam belum diserahkan kembali kepadaku, dan tentang kedua orang muda ini, seyogianya kalau kalian membiarkan mereka pergi. Mereka adalah pendekar-pendekar gagah yang tidak ada hubungannya dengan segala macam pemberontakan."

Kini Dobhin Lama yang masih memegang mutiara hitam itu bangkit berdiri. Tubuhnya nampak semakin kurus dan tinggi ketika dia berdiri dan dan memandang kepada Sin-ciang Tai-hiap.

"Hemm, Sin-ciang Tai-hiap. Biarpun engkau menyembunyikan wajahmu, akan tetapi kami tahu bahwa engkau adalah seorang yang masih muda. Mengagumkan sekali seorang yang demikian muda telah memiliki ilmu kepandaian sepertimu. Alangkah sayangnya kalau kepandaian seperti itu tidak kau pergunakan untuk mencapai kemuliaan selagi engkau masih muda. Sin-ciang Tai-hiap, sebagai seorang Han, apakah engkau tidak prihatin melihat bangsa Mancu menjajah negara dan bangsamu? Marilah engkau bergabung dengan kami. Kami akan memberi kedudukan tinggi padamu, bahkan mungkin sekali kami akan mengangkatmu sebagai panglima besar."

Dengan sikap yang sopan, pendekar itu memberi hormat kepada Dobhin Lama kemudian suaranya terdengar lembut namun lantang dan tegas.

"Terima kasih atas uluran tanganmu, Dobhin Lama. Tentu saja aku merasa prihatin dengan adanya penjajahan bangsa Mancu, dan aku mengagumi usaha para patriot yang berjuang demi membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mancu. Akan tetapi, Losuhu, perjuangan bukan perjuangan murni lagi kalau didasari pamrih untuk kepentingan pribadi, pamrih untuk mendapat imbalan jasa bagi diri sendiri.

Perjuangan yang benar adalah suatu kebaktian terhadap tanah air dan bangsa, tanpa pamrih untuk pribadi. Kalau ada pamrih, maka perjuangan itu hanya menjadi suatu alat, suatu cara untuk mencapai keuntungan pribadi seperti kedudukan, kemuliaan, harta dan segala kesenangan lain sebagai hasil dari kemenangan. Saudara sekalian yang berada di sini tentu dapat meneliti diri sendiri apakah perjuangan kalian itu murni ataukah hanya menjadi suatu cara saja untuk mengejar hasil kemenangan yang akan menyenangkan diri sendiri atau golongan sendiri?"

"Sin-ciang Tai-hiap, perlukah bicara dengan mereka ini?" Tiba-tiba Sian Li berseru.

"Lihat saja siapa adanya mereka ini dan kita akan tahu macam apa perjuangan mereka itu! Perkumpulan Lama Jubah Hitam adalah pemberontak terhadap pemerintah yang sah dari Tibet. Juga orang-orang Nepal yang bersekutu dengan mereka ini adalah orang-orang Nepal yang memberontak terhadap Kerajaan Nepal sendiri sehingga mereka itu menjadi buronan dan buruan dari kedua kerajaan itu! Dan lihat pula siapa lagi sekutu mereka! Pek-lian-kauw! Tak perlu berpanjang cerita lagi, mereka bukanlah pejuang-pejuang asli, perjuangan itu hanya menjadi kedok untuk menutupi kejahatan mereka!"

"Tangkap mereka!" Lulung Lama berteriak lagi dan dia menghadapi Sin-ciang Tai-hiap.
"Sin-ciang Tai-hiap, harap jangan mencampuri urusan kami! Atau terpaksa kami akan menentangmu!"

Pek-lian Sam-li berloncatan mengepung Sian Lun dan Ji Kui berkata kepada anak buah tuan rumah,

"Biarkan kami bertiga yang menangkap pemuda ini!" Dan mereka pun sudah mengepung dan menyerang Sian Lun dengan pedang mereka.

"Gadis ini untukku, ha-ha-ha!"

Pangeran Gulam Sing juga membentak dan dia sudah menghadapi Sian Li dengan goloknya yang melengkung. Kembali mereka bertempur, melanjutkan pertandingan tadi yang tertunda oleh kemunculan Sin-ciang Tai-hiap.

Sebelum Sin-ciang Tai-hiap dapat mencegah terjadinya pengeroyokan itu, dia sendiri sudah diserang oleh dua orang yang amat lihai, yaitu Cu Ki Bok dan gurunya, Lulung Lama!

Begitu pemuda peranakan Han Tibet itu meyerang dengan sabuk baja yang kedua ujungnya dipasangi pisau, tahulah pendekar bercaping lebar itu bahwa dia menghadapi seorang lawan yang tangguh. Apalagi ketika Lulung Lama juga menyerang dengan senjatanya yang aneh, yaitu sepasang gelang roda besar yang warnanya keemasan dan tepinya bersirip tajam. Dan pendekar itu pun memperlihatkan kelihaiannya. Tubuhnya berkelebatan seperti seekor burung walet saja, beterbangan di antara gulungan sinar senjata kedua orang pengeroyoknya!

Akan tetapi, tepat seperti yang dikabarkan orang Sin-ciang Tai-hiap agaknya tidak mau melukai lawan, apalagi membunuhnya. Inilah sebabnya mengapa sukar baginya untuk menundukkan dua orang pengeroyoknya yang memiliki kepandaian yang sudah tinggi tingkatnya. Kalau saja dia mau melukai, tentu tidak akan lama pertandingan itu, karena dia tentu dapat merobohkan Cu Ki Bok maupun Lulung Lama!

Keadaan Sian Lun maupun Sian Li payah walaupun kedua orang muda ini melawan dengan gigih. Sian Lun menghadapi tiga orang wanita tokoh Pek-lian-kauw yang sudah memiliki tingkat tinggi. Tiga orang wanita itu merasa kagum bukan main. Baru sekarang mereka berhadapan dengan seorang lawan muda yang mampu menahan pengeroyokan mereka bertiga! Memang Sian Lun bukan merupakan lawan yang lunak. Dia telah digembleng oleh kedua orang gurunya, yaitu Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng.

Biarpun tidak seluruh ilmu kesaktian dari keluarga para pendekar Pulau Es dikuasainya, namun dia telah menguasai Hwi-yang Sin-kang dan Soat-Im Sin-kang, kedua ilmu menggunakan tenaga sakti yang panas dan dingin, dan tentang ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga) yang diajarkan oleh Kam Bi Eng.

Pemuda ini memang belum mempunyai banyak pengalaman bertanding, akan tetapi karena dia menguasai ilmu pedang yang dahsyat dan memiliki gabungan tenaga sin-kang yang ambat kuat, maka tiga orang wanita Pek-liankauw yang bermaksud menangkapnya hidup-hidup tanpa melukainya itu mengalami kesulitan.

Sian Li juga menghadapi lawan yang tangguh. Seperti juga Sian Lun, gadis remaja ini telah menguasai ilmu yang hebat, bahkan ia masih lebih tangguh dibandingkan suhengnya itu karena gadis ini menguasai pula ilmu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih) dari ayahnya. Andaikata ia sudah memiliki banyak pengalaman bertanding, tentu ia akan mampu mengalahkan pangeran Nepal itu.

Akan tetapi karena ia kurang pengalaman menghadapi ilmu golok melengkung dari pangeran asing itu yang gerakan-gerakannya aneh sekali, ia menjadi agak bingung. Biarpun demikian, karena pangeran Nepal itu pun tidak ingin melukainya dan ingin menangkapnya hidup-hidup, maka pangeran itu tidak mudah dapat menundukkan gadis itu.

Sian Lun yang memang sudah terdesak, dengan nekat memutar pedangnya dan sinar pedang yang bergulung-gulung itu bagaikan benteng baja yang amat kuat, membuat tiga orang tokoh Pek-lian-kauw kagum dan juga penasaran. Mereka saling memberi isarat dan masing-masing mengeluarkan sehelai saputangan merah.

Tanpa diduga-duga oleh Sian Lun, mereka mengebutkan saputangan merah ke arah pemuda itu. Sian Lun memang kurang pengalaman, melihat uap tipis kemerahan itu dia tidak menyangka buruk. Baru setelah dia mencium bau harum yang aneh dan matanya berkunang, kepalanya pening, setelah terlambat, dia tahu bahwa tiga orang pengeroyoknya itu menggunakan bubuk beracun.

"Iblis-iblis betina yang curang.!”

Dia berteriak dan memaksa diri untuk menyerang dengan nekat, akan tetapi kepalanya semakin pening dan dia pun terhuyung-huyung. Ji Kui mengeluarkan suara ketawa mengejek dan sekali menggerakkan tangan menotok, Sian Lun terkulai dalam rangkulannya dan pemuda itu lemas tak mampu bergerak lagi.

Sian Li mendengar teriakan suhengnya dan cepat menengok. Melihat suhengnya tertawan, ia menjadi marah dan tubuhnya bergerak cepat, bagaikan seekor burung bangau ia telah mengirim tujuh kali tusukan beruntun dengan pedangnya kepada Pangeran Gulam Sing.

Pangeran ini terkejut, merasa seperti menghadapi seekor burung besar. Dia memutar golok dan melangkah mundur. Akan tetapi kesempatan seperti itu dipergunakan oleh Sian Li untuk meloncat ke arah Sian Lun. Melihat ini, tiga orang wanita Pek-lian-kauw terkejut dan marah, tangan kiri mereka bergerak ke arah Sian Li dan belasan batang jarum halus menyambar ke arah tubuh gadis yang sedang melayang ke arah mereka itu!

Sukar bagi Sian Li untuk dapat menghindarkan diri dari sambaran jarum karena pada saat itu ia sedang meloncat ke arah Sian Lun yang tertawan. Dan Pangeran Gulam Sing juga mengejar dengan lompatan seperti seekor harimau yang menubruk, bukan sekedar melompat, melainkan juga menggerakkan kaki menendang! Kedaan Sian Li sunggh berbahaya sekali.

Pada saat itu, Sin-ciang Tai-hiap yang melihat keadaan itu, secepat kilat mengirim tendangan beruntun kepada dua orang pengeroyoknya. Tendangan itu mendatangkan angin yang bersiutan sehingga Lulung Lama dan Cu Ki Bok terpaksa berloncatan ke belakang dan kesempatan ini dipergunakan olehnya untuk meloncat mendahului Sian Li untuk melindungi gadis itu dari sambaran Jarum-Jarum halus!

Sian Li yang mendengar gerakan kaki Pangeran Gulam Sing dari belakang, biarpun tubuhnya sedang di udara, dapat berjungkir balik dan pedangnya menyambar ke belakang. Kalau kaki pangeran itu dilanjutkan menendang, tentu akan bertemu dengan pedangnya!

Akan tetapi pangeran itu juga berjungkir balik dan turun kembali. Sedangkan Sin-ciang Tai-hiap dengan ujung lengan bajunya mengebut jarum-jarum halus itu sehingga runtuh dan dia pun sudah menyambar lengan kiri Sian Li dan berseru,

"Mari kita pergi!"

"Tidak, Suhengku.!"

Sian Li hendak meronta, akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya dibawa meloncat jauh oleh Sin-ciang Tai-hiap dan terpaksa ia pun ikut menggerakkan kaki berlari karena ia tidak mau terseret. Cepat bukan main gerakan Sin-ciang Tai-hiap sehingga biarpun ia ingin meronta, tetap saja ia kalah kuat dan tidak berhasil melepaskan lengan kirinya yang terpegang.

Sian Li merasa penasaran sekali, akan tetapi karena ia tahu bahwa pendekar aneh ini sudah berulang kali menolongnya, ia pun tidak mau menyerang dengan pedangnya, hanya terpaksa ikut berlari dengan alis berkerut dan bersungut-sungut. Kenapa pendekar ini mengajaknya berlari? Suhengnya telah tertawan, dan sekarang ia disuruh melarikan diri! Ia bukan seorang pengecut seperti itu!

Agaknya, orang-orang yang sedang mengadakan pertemuan itu merasa jerih juga kepada Sin-ciang Tai-hiap dan mereka tidak berani melakukan pengejaran. Apalagi, mereka telah berhasil menawan seorang dan tawanan ini dapat menjamin mereka agar Sin-ciang Tai-hiap dan Tan Sian Li tidak akan berani mengganggu mereka lagi.

"Harap Sam-li jangan sampai melukai atau membunuh pemuda itu," kata Lulung Lama.
"Dia masih berguna bagi kita, selain untuk jaminan, juga kalau kita dapat membujuk sandera ini sehingga dia taluk dan dapat membantu, hal itu amat menguntungkan."

Ji Kui yang merangkul Sian Lun yang tak sadarkan diri, mengelus dagu pemuda itu dan tersenyum sambil saling pandang dengan dua orang adiknya.

"Jangan khawatir, Losuhu. Kami pun tidak bermaksud mencelakai pemuda tampan ini. Bahkan kami akan membantu agar dia tunduk dan takluk kepada kita."

Ji Hwa, orang ke dua dari mereka, memandang kepada Pangeran Gulam Sing dan sambil tersenyum manis ia berkata,

"Pangeran, engkau telah kalah oleh kami. Mengakulah!"

Gulam Sing juga tersenyum.
"Ah, kalian memang cerdik, menggunakan bubuk racun itu. Sungguh aku kalah cerdik dan aku mengaku kalah. Perintahkan saja apa yang kalian kehendaki, aku tentu akan mentaati untuk membayar kekalahanku."

"Hi-hik, nanti saja kita bicarakan hal itu di kamar kami, Pangeran!" kata Ji Kim, wanita Pek-lian-kauw termuda.

Mereka bertiga tertawa dan pangeran Nepal itu pun tertawa bergelak. Sudah diduganya. Kalah atau menang, sama saja baginya, tetap akan menyenangkan.

"Pangeran, kenapa tadi tidak mempergunakan sihir untuk mengalahkan Tan Sian Li?" Lulung Lama berkata kepada pangeran itu.

"Hemm, apa kau kira aku begitu bodoh?" Pangeran itu balas bertanya. "Sudah kucoba, akan tetapi gagal, tidak ada pengaruhnya sama sekali! Dan kenapa engkau pun tidak menggunakan sihir untuk menundukkan Sin-ciang Tai-hiap tadi?"

"Omitohud, kalau begitu sama saja. Pinceng juga sudah mencobanya, akan tetapi tidak ada hasilnya sama sekali," kata Lulung Lama.

"Sungguh mengherankan. Kami pun sudah mencoba dengan sihir tadi sebelum menggunakan bubuk racun merah, akan tetapi kekuatan sihir kami seperti tenggelam ke dalam air saja!" kata pula Ji Kui.

Kalau semua orang merasa heran, Dobhin Lama tertawa,
"Ha-ha-ha, kalian seperti anak-anak saja. Sudah jelas bahwa pengaruh sihir menjadi punah karena adanya Sin-ciang Tai-hiap di sini. Orang itu berbahaya sekali, maka kita harus berhati-hati. Kulihat tadi ketika dia melindungi gadis itu, ada jarum Pek-lian Sam-li yang mengenai pundak kirinya. Dia telah terluka jarum Pek-lian-tok-ciam!"

"Ah, benarkah itu, Losuhu?" Ji Kui dan dua orang adiknya berseru girang. "Kalau begitu, dia tentu tidak akan dapat lolos! Jarum kami mengandung racun yang sukar dilawan."

“Jangan gembira dulu, Sam-li," kata Dobhin Lama. "Pinceng sudah mengenal baik jarum baracun Pek-tian-tok-ciam. Bukankah siapa yang terkena jarum itu tentu akan lumpuh seketika? Dan melihat betapa Sin-ciang Tai-hiap masih dapat melarikan diri, hal itu menunjukkan bahwa dia memang lihai bukan main. Belum tentu jarummu akan dapat membuat dia tak berdaya. Bagaimanapun juga kita harus berhati-hati dan suruh anak buah melakukan penjagaan ketat."

Mereka melanjutkan pertemuan itu untuk membicarakan gerakan mereka dan mengatur rencana dan membagi tugas kerja. Sian Lun yang sudah tak berdaya itu diserahkan kepada Pek-lian Sam-Li untuk menjaga dan menundukkannya. Tiga orang wanita itu dengan wajah berseri lalu mengajak Pangeran Gulam Sing dan memondong tubuh Sian Lun, pergi mengundurkan diri.

**** 048 ****