Dari jauh, gua itu nampak hitam gelap. Akan tetapi, waktu itu, matahari telah tinggi dan bersinar seterang-terangnya. Tengah hari itu, Yo Han tiba di depan gua di lereng bukit yang menjadi tempat tinggal Tiat-liong Sam-heng-te seperti yang diceritakan oleh Siangkoan Kok kepadanya.
Dengan sinar matahari yang amat terang, maka setelah tiba di depan gua, ternyata tidaklah begitu gelap seperti nampaknya dari jauh. Salah satu gua yang besar dan merupakan sebuah ruangan depan karena di situ terdapat perabot-perabot seperti bangku dan kursi. Gua itu seperti sebuah rumah besar saja, di sebelah dalam terdapat sebuah pintu kayu yang memisahkan ruangan depan dengan ruangan dalam.
Beberapa kali Yo Han memanggil-manggil ke arah dalam gua, namun tidak terdapat jawaban. Dia tidak berani lancang memasuki tempat tinggal orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya. Mungkin gua ini merupakan terowongan yang dalam dan penghuninya berada di bagian belakang sehingga tidak mendengar panggilannya, pikirnya. Dia lalu mengerahkan khikang dan berseru dengan suara yang seperti menembus ke seluruh ruangan di dalam gua terowongan itu.
“Tiat-liong Sam-heng-te! Harap suka keluar untuk bicara dengan aku, Yo Han.”
Suara itu bergema dan gemanya terdengar dari luar. Akan tetapi tetap saja tidak ada jawaban. Tentu saja sedang keluar, pikir Yo Han. Dia teringat bahwa anak yang diculik itu kabarnya masih hidup dan berada di sini pula. Kebetulan! Kalau Tiat-liong Sam heng-te keluar, tentu anak itu berada seorang diri saja! Kesempatan yang amat baik untuk mengajaknya pergi dari sini, kembali kepada orang tuanya.
“Sim Hui Eng ! Apakah engkau berada di dalam?” kembali dia berteriak dengan pengerahan khikang.
Dan sekarang ada tanggapan dari dalam! Ada suara langkah kaki menuju keluar. Daun pintu itu terbuka sedikit dan nampak wajah seorang gadis cantik mengintai dari balik daun pintu itu.
“Nona, aku ingin bicara denganmu!”
Yo Han berseru. Akan tetapi wajah itu lenyap dari balik pintu dan Yo Han cepat meloncat ke dalam gua dan mengejar. Gadis itu kini berhenti di ruangan tengah dan tidak lari lagi, melainkan memandangnya dengan heran ketika Yo Han masuk ke ruangan itu.
“Kenapa engkau masuk ke sini ?” Kini gadis itu menegur, suaranya mengandung rasa takut. “Jangan masuk, nanti ketiga orang ayahku marah!”
Tiga orang ayah! Yo Han merasa kasihan sekali. Agaknya gadis itu seperti orang bingung, bahkan mengaku mempunyai tiga orang ayah. Mana mungkin seorang gadis mempunyai tiga orang ayah? Sudah jelas, pasti ini yang namanya Sim Hui Eng, puteri bibinya. Hatinya terharu.
“Aku mau bicara denganmu.” kata pula Yo Han sambil mendekat.
“Jangan masuk, nanti ayah marah. Dan aku tentu akan dihukum!”
Yo Han mengerutkan alisnya dan ia mengepal tinju. Tentu tiga orang penculik itu bersikap kejam terhadap gadis ini, pikirnya.
“Kalau begitu, mari kita keluar dan bicara di luar agar ayahmu tidak marah.” katanya.
Gadis itu mengangguk dan ketika Yo Han melangkah keluar, ia mengikuti. Akan tetapi, kembali gadis itu berhenti, bahkan kini masuk ke sebuah ruangan yang berada di sebelah kiri. Yo Han menengok dan melihat gadis itu berhenti lagi bahkan memasuki sebuah ruangan yang agak lebih terang, dia pun melangkah kembali menghampiri.
“Nona, kenapa engkau berhenti?”
Gadis itu kelihatan gelisah dan mengerutkan alisnya, pandang matanya tidak percaya dan curiga.
“Mau bicara apa sih dengan aku? Aku tidak mengenalmu!”
“Akan tetapi aku mengenalmu. Engkau tentu Sim Hui Eng “
Gadis yang manis itu menggeleng kepala.
“Namaku bukan Sim Hui Eng dan aku tidak mengenalmu.”
“Mungkin engkau sendiri tidak tahu bahwa namamu yang sebenarnya adalah Sim Hui Eng karena engkau diculik orang sejak kecil. Nona, aku hampir yakin bahwa engkaulah gadis yang kucari, dan aku dapat membuktikan kebenaran hal itu.”
“Hemmm, apakah bukti itu?”
“Kalau engkau mau memperlihatkan pundak kirimu dan tapak kaki kananmu kepadaku, di sana ada tanda-tanda.”
“Ihhh, engkau orang kurang ajar! Bagaimana mungkin aku dapat memperlihatkan pundak dan kakiku kepadamu?” Gadis itu berseru marah dan mukanya berubah kemerahan.
Yo Han berpikir. Memang sulit juga. Akan tetapi, agaknya Tiat-liong Samheng-te, tiga orang yang oleh gadis itu disebut ayah, sedang tidak berada di situ dan ini merupakan peluang yang baik sekali. Dia harus dapat melihat bukti itu dan kalau gadis itu tidak mau memperlihatkannya, dia harus memaksanya. Tidak ada lain jalan. Kalau tiga orang yang diaku ayah gadis itu berada di situ, tentu hal ini akan lebih sulit untuk dilaksanakan. Dia harus memeriksa pundak dan kaki gadis itu agar yakin apakah dugaannya bahwa gadis itu Sim Hui Eng itu benar.
Dengan sinar matahari yang amat terang, maka setelah tiba di depan gua, ternyata tidaklah begitu gelap seperti nampaknya dari jauh. Salah satu gua yang besar dan merupakan sebuah ruangan depan karena di situ terdapat perabot-perabot seperti bangku dan kursi. Gua itu seperti sebuah rumah besar saja, di sebelah dalam terdapat sebuah pintu kayu yang memisahkan ruangan depan dengan ruangan dalam.
Beberapa kali Yo Han memanggil-manggil ke arah dalam gua, namun tidak terdapat jawaban. Dia tidak berani lancang memasuki tempat tinggal orang lain tanpa sepengetahuan pemiliknya. Mungkin gua ini merupakan terowongan yang dalam dan penghuninya berada di bagian belakang sehingga tidak mendengar panggilannya, pikirnya. Dia lalu mengerahkan khikang dan berseru dengan suara yang seperti menembus ke seluruh ruangan di dalam gua terowongan itu.
“Tiat-liong Sam-heng-te! Harap suka keluar untuk bicara dengan aku, Yo Han.”
Suara itu bergema dan gemanya terdengar dari luar. Akan tetapi tetap saja tidak ada jawaban. Tentu saja sedang keluar, pikir Yo Han. Dia teringat bahwa anak yang diculik itu kabarnya masih hidup dan berada di sini pula. Kebetulan! Kalau Tiat-liong Sam heng-te keluar, tentu anak itu berada seorang diri saja! Kesempatan yang amat baik untuk mengajaknya pergi dari sini, kembali kepada orang tuanya.
“Sim Hui Eng ! Apakah engkau berada di dalam?” kembali dia berteriak dengan pengerahan khikang.
Dan sekarang ada tanggapan dari dalam! Ada suara langkah kaki menuju keluar. Daun pintu itu terbuka sedikit dan nampak wajah seorang gadis cantik mengintai dari balik daun pintu itu.
“Nona, aku ingin bicara denganmu!”
Yo Han berseru. Akan tetapi wajah itu lenyap dari balik pintu dan Yo Han cepat meloncat ke dalam gua dan mengejar. Gadis itu kini berhenti di ruangan tengah dan tidak lari lagi, melainkan memandangnya dengan heran ketika Yo Han masuk ke ruangan itu.
“Kenapa engkau masuk ke sini ?” Kini gadis itu menegur, suaranya mengandung rasa takut. “Jangan masuk, nanti ketiga orang ayahku marah!”
Tiga orang ayah! Yo Han merasa kasihan sekali. Agaknya gadis itu seperti orang bingung, bahkan mengaku mempunyai tiga orang ayah. Mana mungkin seorang gadis mempunyai tiga orang ayah? Sudah jelas, pasti ini yang namanya Sim Hui Eng, puteri bibinya. Hatinya terharu.
“Aku mau bicara denganmu.” kata pula Yo Han sambil mendekat.
“Jangan masuk, nanti ayah marah. Dan aku tentu akan dihukum!”
Yo Han mengerutkan alisnya dan ia mengepal tinju. Tentu tiga orang penculik itu bersikap kejam terhadap gadis ini, pikirnya.
“Kalau begitu, mari kita keluar dan bicara di luar agar ayahmu tidak marah.” katanya.
Gadis itu mengangguk dan ketika Yo Han melangkah keluar, ia mengikuti. Akan tetapi, kembali gadis itu berhenti, bahkan kini masuk ke sebuah ruangan yang berada di sebelah kiri. Yo Han menengok dan melihat gadis itu berhenti lagi bahkan memasuki sebuah ruangan yang agak lebih terang, dia pun melangkah kembali menghampiri.
“Nona, kenapa engkau berhenti?”
Gadis itu kelihatan gelisah dan mengerutkan alisnya, pandang matanya tidak percaya dan curiga.
“Mau bicara apa sih dengan aku? Aku tidak mengenalmu!”
“Akan tetapi aku mengenalmu. Engkau tentu Sim Hui Eng “
Gadis yang manis itu menggeleng kepala.
“Namaku bukan Sim Hui Eng dan aku tidak mengenalmu.”
“Mungkin engkau sendiri tidak tahu bahwa namamu yang sebenarnya adalah Sim Hui Eng karena engkau diculik orang sejak kecil. Nona, aku hampir yakin bahwa engkaulah gadis yang kucari, dan aku dapat membuktikan kebenaran hal itu.”
“Hemmm, apakah bukti itu?”
“Kalau engkau mau memperlihatkan pundak kirimu dan tapak kaki kananmu kepadaku, di sana ada tanda-tanda.”
“Ihhh, engkau orang kurang ajar! Bagaimana mungkin aku dapat memperlihatkan pundak dan kakiku kepadamu?” Gadis itu berseru marah dan mukanya berubah kemerahan.
Yo Han berpikir. Memang sulit juga. Akan tetapi, agaknya Tiat-liong Samheng-te, tiga orang yang oleh gadis itu disebut ayah, sedang tidak berada di situ dan ini merupakan peluang yang baik sekali. Dia harus dapat melihat bukti itu dan kalau gadis itu tidak mau memperlihatkannya, dia harus memaksanya. Tidak ada lain jalan. Kalau tiga orang yang diaku ayah gadis itu berada di situ, tentu hal ini akan lebih sulit untuk dilaksanakan. Dia harus memeriksa pundak dan kaki gadis itu agar yakin apakah dugaannya bahwa gadis itu Sim Hui Eng itu benar.
“Nona, aku tidak bermaksud kurang ajar. Akan tetapi aku harus dapat melihat bukti Itu, apakah pundak dan kakimu ada tanda-tanda kelahiran itu ataukah tidak.” katanya dan dia pun cepat memasuki ruangan yang terang itu.
Gadis itu menyambutnya dengan serangan pisau yang tadi disembunyikannya di belakang tubuhnya. Yo Han tidak merasa heran. Tentu gadis ini salah paham dan menganggap dia hendak kurang ajar. Akan tetapi karena dia tahu bahwa tanpa paksaan, sukar untuk dapat melihat kaki dan pundak seorang gadis, dia pun mengelak dan begitu tangan yang memegang pisau itu menyambar lewat, dia sudah menangkap lengan kanan yang memegang pisau dan secepat kilat jari tangan kanannya menotok dan gadis itu tidak mampu bergerak lagi!
la tentu roboh kalau saja Yo Han tidak cepat merangkulnya dan merebahkannya di atas lantai. Pada saat dia merangkul itulah, dia mendengar suara aneh di belakangnya. Dia menoleh dan terkejut melihat betapa jalan masuk ke ruangan itu, tiba-tiba saja tertutup oleh jeruji besi yang meluncur dari atas.
Karena dia sedang merangkul tubuh gadis itu, maka dia tidak sempat lagi untuk meloloskan diri, dan dia pun terkurung dalam ruangan itu bersama gadis yang masih tertotok. Celaka, tentu mereka yang disebut Tiat-liong Sam-heng-te itu yang menjebaknya, karena mengira dia akan kurang ajar terhadap puteri mereka.
Akan tetapi dia dapat memberi penjelasan nanti dan begitu kedua tangannya bergerak, baju di pundak kiri gadis itu dan sepatu di kaki kanannya telah terbuka. Bajunya dia robek dan sepatunya dia lepaskan. Akan tetapi, matanya terbelalak ketika melihat kulit pundak dan kulit telapak kaki yang putih mulus tanpa cacat sedikit pun!
Wah mungkin dia lupa, pikirnya. Jangan-jangan terbalik, pundak kanan dan kaki kiri yang harus dia periksa! Tanpa banyak ragu lagi, Yo Han kembali merobek baju di pundak kanan dan melepas sepatu yang kiri dan dia tertegun. Kulit pundak kanan dan kaki kiri itu pun putih mulus, tidak terdapat tanda apa pun seperti yang diharapkan dan disangkanya. Dia telah keliru!
Kalau begitu, Siangkoan Kok telah berbohong kepadanya. Dan ini tentu berarti suatu tipuan, suatu jebakan! Cepat dia meloncat berdiri untuk mencoba keluar dari situ dengan menjebol jeruji besi, akan tetapi pada saat itu juga, dari arah pintu, kanan kiri dan atas, menyembur masuk asap yang kekuningan.
Yo Han menahan napas dan memaksa diri mendekati jeruji besi untuk menjebolnya. Akan tetapi, di balik asap tebal nampak orang-orang yang mempergunakan tombak yang ditusukkan ke dalam melalui celah-celah jeruji ke dalam sehingga terpaksa dia mundur lagi. Cepat dia memeriksa ke belakang, kanan dan kiri, akan tetapi dinding gua itu merupakan dinding batu alam, entah berapa tebalnya.
Tidak ada jalan lari! Dan dia pun tidak mungkin menahan napas terus-terusan. Dia mulai bernapas dan asap sudah memenuhi gua itu, dia terbatuk-batuk lalu mencium bau yang masam, menyesakkan dada dan Yo Han terguling roboh. Pingsan!
Yo Han bermimpi. Dalam mimpi itu dia mengejar-ngejar seorang gadis cantik yang dapat berlari kuat sekali, juga kecepatan larinya luar biasa sekali. Akan tetapi akhirnya, di puncak sebuah bukit dia dapat menyusul dan menangkap gadis itu, dirangkulnya dari belakang, lalu dia merobek baju gadis itu! Bukan untuk apa-apa melainkan untuk melihat pundaknya! Dia melihat sepasang pundak putih mulus, lalu gadis itu menendangnya dan dia jatuh terjungkal ke dalam jurang yang dalam sekali! Dia membuka matanya. Tidak, dia tidak mati, tidak jatuh ke jurang. Lalu dia teringat.
Heran, dia tidak berada di lantai batu, tidak berada di ruangan gua lagi, walaupun masih ada pintu jeruji besi di depannya. Dia rebah di atas lantai ubin, di sebuah kamar yang cukup luas, kamar yang tidak berjendela, akan tetapi pintunya berjeruji amat kuat dan di luar pintu terdapat banyak penjaga dengan senjata tajam dan runcing di tangan. Dia berada dalam tahanan!
Yo Han bangkit duduk dan mendengar gerakan orang di belakangnya, disusul suara tawa orang itu, tawa kecil yang bukan mengejek, bukan pula mentertawakan, melainkan tertawa karena merasa lucu. Dia cepat menengok dan melihat orang yang dikenalnya, yaitu pemuda bernama Cia Ceng Sun yang pernah bersama dia menjadi tamu kehormatan keluarga Siangkoan atau perkumpulan Paobeng-pai!
“Kiranya engkau juga di sini, saudara Cia Ceng Sun. Dan kenapa pula engkau tertawa. Melihat tempat ini, jelas bahwa kita berada dalam kamar tahanan. Kenapa engkau malah tertawa?”
Yo Han bangkit berdiri dan menghampiri pemuda itu yang duduk di depan kayu panjang, lalu duduk di sampingnya.
Cia Ceng Sun menahan tawanya dan menepuk pundak Yo Han.
“Heh-heh-heh, Yo-toako, lucu akan tetapi menyenangkan melihat engkau dibawa masuk dalam keadaan pingsan ke kamar ini. Berarti aku mempunyai teman yang menyenangkan. Lucunya, kita berdua yang dipilih oleh Pao-beng-pai menjadi tamu kehormatan dan sekutu, dan kita berdua pula yang kini menjadi tawanan. Bukankah itu lucu sekali?”
Yo Han kagum melihat betapa pemuda itu dalam tawanan masih mampu berkelakar dan tertawa demikian gembira. Wajah yang tampan itu sedikit pun juga tidak membayangkan perasaan takut, bahkan agaknya pengalaman ini amat menyenangkan hatinya.
“Saudara Cia, kenapa engkau sampai ditawan? Bukankah Siangkoan Kok dan terutama sekali Siangkoan Siocia (Nona Siangkoan) arnat suka padamu?”
Cia Ceng Sun menarik napas panjang, akan tetapi wajahnya masih cerah.
“Ini merupakan rahasia besar yang sukar untuk kuceritakan kepadamu. Akan tetapi kenapa engkau sendiri yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali sampai dapat tertawan mereka? Ini baru aneh!”
Yo Han memandang dengan serius.
“Saudara Cia, kita ini senasib. Bahkan mungkin sekali kita berdua terancam bahaya maut. Kalau kita tidak bekerja sama, bagaimana mungkin akan mampu lolos dari ancaman bahaya? Dan untuk dapat bekerja sama, haruslah lebih dulu dapat saling percaya, bukan?”
Cia Ceng Sun mengangguk.
“Engkau benar sekali, Yo-toako.”
“Nah, aku percaya padamu, apakah engkau tidak percaya padaku sehingga tidak dapat menceritakan keadaanmu kepadaku? Dengan mengetahui keadaan kita masing-masing, barulah kita dapat bekerja sama.”
“Kalau engkau percaya padaku, nah, ceritakanlah mengapa engkau ditawan, Yo-toako.”
Yo Han menghela napas. Pemuda ini selain cerdik, juga agaknya hendak merahasiakan dirinya. Dia harus memperlihatkan kejujuran dulu agar pemuda itu benar-benar dapat percaya padanya.
“Baiklah. Namaku memang Yo Han dan seperti telah kau ketahui dalam pertemuan itu, aku adalah seorang tokoh Thian-li-pang, bahkan dianggap sebagai pimpinan. Hanya sikapku memusuhi tiga keluarga besar para pendekar Pulau Es, Gurun Pasir dan Lembah Siluman adalah palsu. Aku sengaja memperlihatkan sikap bermusuhan karena aku sedang menyelidiki hilangnya seorang anak dari ketiga keluarga besar itu yang terjadi dua puluh tahun yang lalu.”
Ceng Sun tertarik sekali.
“Wah, sungguh menarik dan aneh. Bagaimana mungkin mencari anak hilang yang sudah lewat dua puluh tahun? Anak siapa yang hilang itu dan bagaimana caranya engkau hendak mencarinya, Yo-toako?”
Yo Han lalu bercerita tentang hilangnya puteri dari Pendekar Suling Naga Sim Houw dan isterinya, yaitu bibi gurunya yang bernama Can Bi Lan, hilang diculik orang dua puluh tahun yang lalu.
“Itulah sebabnya aku sengaja menyatakan permusuhanku terhadap suami isteri itu, karena aku menduga bahwa penculiknya tentulah musuh mereka dan musuh mereka itu siapa lagi kalau bukan tokoh kang-ouw, tokoh sesat yang lihai? Aku sengaja memancing untuk mencari pencullk itu dan ketika kuceritakan hal ini kepada Siangkoan Kok, dengan mengatakan bahwa yang menculik puteri suami isteri pendekar itu adalah Tiat-liong Sam-heng-te, dan memberi tahu di mana tiga orang tokoh sesat itu tinggal.
Aku segera kesana dan bertemu seorang gadis yang tentu saja kukira anak yang hilang itu. Aku ajak dia bicara dan kepadanya aku mengaku terus terang bahwa aku mencari anak yang hilang dua puluh tahun yang lalu. Aku bahkan memaksa membuka bajunya dan sepatunya untuk menemukan tanda kelahiran di pundak dan kaki. Akan tetapi ternyata gadis itu bukan anak yang kucari, dan ternyata ia adalah umpan yang sengaja dipasang oleh Pao-beng-pai untuk menjebak dan menangkap aku.”
Ceng Sun tertawa geli.
“Heh-hehheh, orang-orang Pao-beng-pai memang cerdik dan licik bukan main. Bagaimana mereka dapat menangkapmu dan membuatmu pingsan, Toako?”
Yo Han lalu menceritakan betapa dia dijebak di ruangan dalam gua tertutup jeruji besi, kemudian ada asap bius yang menyerangnya sehingga dia akhirnya roboh pingsan.
“Agaknya Siangkoan Kok memang sudah mencurigaiku atau mendengar tentang sepak terjangku sebagai Pendekar Tangan Sakti, maka dia memasang jebakan itu. Aku terlalu yakin bahwa gadis itu benar puteri Paman Sim Houw, maka aku ceroboh dan bodoh, menceritakan maksudku sehingga aku diketahui dan dijebak. Sekarang aku telah menceritakan semua dengan terus terang kepadamu, Saudara Cia, engkau mengetahui siapa aku dan mengapa aku berada di sini, mengapa pula aku ditangkap. Tiba giliranmu untuk menceritakan siapa adanya engkau dan mengapa pula engkau berada di sini dan akhirnya ditawan juga.”
“Yo-toako, ini merupakan rahasia besar yang gawat dan hanya dapat kuceritakan kepada orang yang benar-benar kupercaya.”
Yo Han mengerutkan alisnya.
“Saudara Cia! Apakah engkau tidak percaya kepadaku, padahal aku sudah menceritakan segala rahasiaku kepadarnu yang berarti aku percaya padamu?”
“Bukan begitu, Yo-twako. Akan tetapi karena rahasiaku amat besar dan gawat, aku tidak boleh bercerita kepada orang lain kecuali seorang saudaraku. Nah, kalau engkau mau mengangkat saudara dengan aku, barulah aku mau bercerita.”
Yo Han mengerutkan alisnya. Dia kagum dan suka kepada pemuda ini, akan tetapi sama sekali tidak pernah mimpi akan mengangkat saudara! Akan tetapi, mereka berdua kini menjadi tawanan dan nyawa mereka terancam, kalau tidak ada saling percaya dan saling pengertian, maka akan sukar bekerja sama. Padahal, dengan kerja sama pun belum tentu mereka akan dapat lolos menghadapi Paobeng-pai yang memiliki banyak anggauta dan amat kuat itu, apalagi memiliki pimpinan yang berilmu tinggi.
“Baiklah,” akhirnya dia berkata.
“Bagus, mari kita bersumpah di sini saja, Toako.” kata Ceng Sun dan mereka pun berlutut di atas pembaringan.
Yo Han segera mengucapkan sumpahnya.
“Saya, Yo Han, bersumpah bahwa mulai saat ini, saya menganggap saudara Cia Ceng Sun “
“Namaku yang sebenarnya Cia Sun, Yo-twaka.” Pemuda itu memotong.
Yo Han membuka matanya dan menoleh. Temannya itu juga berlutut di sebelahnya dan nama Cia Sun ini tidak berarti apa-apa baginya. Dia tidak mengenal nama Cia Sun seperti juga dia tidak mengenal nama Cia Ceng Sun. Akan tetapi dia merasa seolah-olah ada sesuatu yang aneh pada kedua nama itu, entah apanya. Dia tidak peduli dan mengulang.
“Saya, Yo Han, bersumpah bahwa mulai saat ini saya menganggap saudara Cia Sun sebagai adik angkat saya, akan saling memberi dan saling mengasihi seperti kakak dan adik kandung.”
Cia Sun mengangguk-angguk, lalu dia pun mengucapkan sumpahnya seperti yang diucapkan Yo Han. Setelah itu, mereka lalu turun dari pembaringan dan saling memberi hormat. Cia Sun berkata lebih dahulu sambil memberi hormat.
“Yo-toako, terimalah hormat adikmu Cia Sun.”
“Cia-siauwte, aku merasa berterima kasih sekali. Nah, sekarang kau ceritakanlah apa yang sebenarnya terjadi dengan dirimu agar kakakmu ini mengetahui segalanya dan kita dapat saling bantu.”
“Mari kita duduk kembali di pembaringan itu.” Mereka lalu duduk di tepi pembaringan dan Cia Sun mulai dengan pengakuannya. “Namaku memang benar Cia Sun dan kalau engkau tidak mengenal nama ini adalah karena aku hanyalah putera Pangeran Cia Yan yang tidak begitu terkenal di luar istana.”
“Ah, pantas !!!” Yo Han berkata sambil menepuk pahanya.
“Apanya yang pantas?”
“Ketika mendengar she Cia, aku sudah merasa aneh, seperti ada sesuatu yang kukenal atau yang menarik. Kiranya Paduka adalah cucu Sribaginda Kaisar!”
“Hushhh ! Begitukah sikap seorang kakak terhadap adiknya Yo-toako, aku akan merasa terhina kalau kakakku sendiri menyebutku paduka. Bagimu aku adalah adik Cia Sun, tanpa embel-embel pangeran dan sebagainya!”
Melihat sikap pangeran itu yang kelihatan tak senang, Yo Han cepat memegang lengannya.
“Maafkan aku, siuwte. Aku hanya bergurau. Nah, coba lanjutkan ceritamu, mengapa engkau sampai tersesat ke tempat ini dan mengapa pula engkau ditawan oleh Pao-beng-pai.”
“Aku memang sedang merantau, Toako. Aku bosan di istana dan karena sejak kecil aku suka belajar silat, aku ingin sekali mengenal dunia persilatan, mengenal dunia kang-ouw. Aku lalu mohon kepada orang tuaku untuk merantau meluaskan pengalaman. Demikianlah, aku tiba di sini ketika mendengar akan pertemuan yang diadakan oleh Pao-bengpai.”
“Hemmm, apakah engkau merantau sekalian hendak menyelidiki tentang gerakan anti pemerintah?”
“Tidak sama sekali. Hanya kebetulan saja aku mendengar. Akan tetapi, begitu bertemu dengan nona Siangkoan, seketika aku jatuh cinta!”
Yo Han tersenyum, akan tetapi sikapnya bersungguh-sungguh.
“Aku tidak merasa heran, Cia-te (adik Cia), karena ia memang seorang gadis luar biasa. Ilmu silatnya tinggi, wajahnya cantik jelita dan anggun, tidak kalah oleh puteri yang manapun.”
“Akan tetapi, engkau tentu mengetahui sendiri betapa cintaku kepadanya itu bahkan menyiksa perasaanku, mengingat bahwa ayahnya adalah ketua Paobeng-pai yang tentu saja memusuhi keluargaku.”
“Hemmm, memang liku-liku cinta kadang membingungkan. Akan tetapi bagaimana dengan perasaan nona itu sendiri kepadamu, Cia-te?”
“Ia pun tidak menolak cintaku, bahkan setuju ketika aku mengajukan pinangan secara langsung kepada ayahnya.”
Yo Han memandang kaget dan kagum.
“Engkau berani langsung meminangnya, Cia-te? Itu membutuhkan keberanian hebat! Meminang puteri orang yang baru saja dikenalnya! Dan bagaimana tanggapan orang tuanya?”
“Eng-moi dan ibunya setuju, dan ayahnya mengajukan syarat, minta tanda ikatan dan juga kelak dalam pesta pernikahan harus dihadiri Kaisar.”
“Gila!!”
“Engkau tahu siapa aku sebenarnya, Twako. Kalau aku menikah, sudah pasti kakekku, Sri baginda Kaisar, akan menghadirinya. Karena itu, aku menerima syarat itu dan sebagai tanda pengikat, aku memberikan seuntai kalung mutiara yang amat mahal harganya.”
“Jadi engkau mengaku sebagai pangeran?”
“Aku tidak sebodoh itu. Tentu saja aku tidak mengaku sebagai pangeran. Dan Eng-moi sudah berjanji padaku bahwa kelak setelah menikah dengan aku, ia tidak akan mencampuri urusan pemberontakan dan permusuhan.”
“Aihhh, siauwte! Kalau engkau tidak mengaku sebagai pangeran akan tetapi menyanggupi untuk mendatangkan Sribaginda Kaisar dalam pesta pernikahanmu, hal itu tentu akan membuat mereka curiga sekali!”
Cia Sun menghela napas panjang.
“Itulah kesalahanku. Aku tidak menduga sedemikian jauhnya. Aku lalu berpamit kepada mereka, berjanji untuk mengirim utusan meminang secara resmi. Dalam perjalanan, muncul tanpa kusangka-sangka dua orang perwira pengawal yang diutus ayah untuk memanggil aku pulang karena aku ditunggu oleh tunanganku dan keluarganya “
“Aah, engkau sudah bertunangan dan engkau masih meminang nona Siangkoan Eng?”
Yo Han bertanya dengan suara mengandung teguran. Dia mulai memandang pemuda tampan dan halus itu sebagai adiknya sendiri maka dia secara otomatis menegurnya.
“Ah, engkau tidak tahu, Twako. Aku ditunangkan oleh orang tuaku dengan gadis itu, akan tetapi bagaimana aku dapat mencinta seorang gadis yang baru sekali kumelihatnya, itu pun ketika ia masih kecil? Aku tidak berani menentang kehendak orang tuaku, akan tetapi biarpun aku sudah ditunangkan, namun aku masih merasa bahwa hatiku bebas. Anehkah kalau aku jatuh cinta kepada Eng-moi? Sudah jelas Eng-moi mencintaku dan aku mencintanya, sedangkan Si Bangau Merah itu, belum tentu ia suka kepadaku atau aku suka kepadanya.”
Sepasang mata Yo Han terbelalak.
“Si Bangau Merah.?”
Pangeran itu tersenyum.
“Ya, tunanganku itu adalah seorang gadis pendekar yang berjuluk Si Bangau Merah, namanya Tan Sian Li. Ayahnya adalah Pendekar Bangau Putih Tan Sin Hong dan ibunya adalah puteri bekas panglima Kao Cin Liong. Ia masih keturunan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir. Kenalkah engkau kepadanya, Twako?”
Yo Han dapat menenangkan kembali hatinya yang terguncang keras mendengar bahwa tunangan pangeran ini adalah Tan Sian Li, kekasihnya! Dia mendengar keterangan orang tua Sian Li bahwa kekasihnya itu telah ditunangkan dengan seorang pangeran, akan tetapi siapa dapat menduga bahwa pangeran itu adalah pemuda ini, Cia Sun yang kini menjadi adik angkatnya?
“Aku mengenal nama besarnya Cia-te, pernahkah engkau melihatnya sekarang?” tanyanya, dan diam-diam dia membandingkan antara Sian Li dan Siangkoan Eng.
Memang keduanya cantik jelita, keduanya memiliki ilmu silat tinggi. Akan tetapi bagi dia, tentu saja Sian Li lebih hebat, lebih segala-galanya. Biarpun demikian, dia yakin bahwa kalau pangeran ini sebelumnya telah melihat Sian Li, belum tentu dia akan mudah terpikat oleh gadis lain yang secantik Siangkoan Eng sekalipun.
“Sudah kukatakan tadi, aku baru bertemu satu kali dengannya, itu pun ketika kami masih remaja. Bahkan aku sudah hampir lupa bagaimana wajahnya, dan tidak tahu pula bagaimana wataknya.”
“Cia-te, lanjutkanlah ceritamu. Setelah engkau bertemu dengan kedua orang perwira pengawal itu, lalu bagaimana?”
“Selagi mereka bercakap-cakap dengan aku, tiba-tiba saja muncul Eng-moi bersama empat orang pelayannya. Aku terkejut dan mencoba untuk memberi penjelasan. Akan tetapi ia sudah marah sekali, menganggap aku sebagai pangeran menjadi mata-mata dan tentu akan memusuhi Pao-beng-pai. Ia merobohkan aku dan menawanku, sedangkan dua orang perwira itu diserang oleh empat orang pengawalnya. Mereka tentu tewas. Nah, segala penjelasanku tidak diterima oleh ketua Pao-beng-pai maupun Siangkoan Eng sendiri, aku lalu dimasukkan ke dalam kamar tahanan ini. Eh, belum lama aku berada di sini, engkau digotong masuk dalam keadaan pingsan.”
Setelah saling mendengar pengalaman mereka yang diceritakan dengan sejujurnya, segera kedua orang pemuda yang mengangkat saudara dalam keadaan aneh itu, menjadi akrab sekali. Mereka bercakap-cakap saling menceritakan riwayat mereka, akan tetapi ada satu hal yang masih tetap dirahasiakan oleh Yo Han, yaitu tentang hubungannya dengan Tan Sian Li, Si Bangau Merah yang menjadi tunangan pangeran itu.
Dia merahasiakan hal ini karena dia tidak ingin menimbulkan suasana yang tidak enak di antara mereka. Kenyataan bahwa pangeran ini tidak saling mencinta dengan Sian Li, bahkan pangeran itu kini jatuh cinta kepada Siangkoan Eng, menimbulkan perasaan senang dan harapan baru dalam hatinya. Dan timbul pula tekad dalam hatinya untuk membantu pangeran itu agar dapat melangsungkan perjodohannya dengan Siangkoan Eng. Tentu saja, tanpa dia sadari, tanpa dia sengaja, dibalik sikapnya ini terdapat dasar kuat dari hasrat hatinya agar pangeran itu dapat terlepas dari ikatannya dengan Sian Li!
Gadis itu menyambutnya dengan serangan pisau yang tadi disembunyikannya di belakang tubuhnya. Yo Han tidak merasa heran. Tentu gadis ini salah paham dan menganggap dia hendak kurang ajar. Akan tetapi karena dia tahu bahwa tanpa paksaan, sukar untuk dapat melihat kaki dan pundak seorang gadis, dia pun mengelak dan begitu tangan yang memegang pisau itu menyambar lewat, dia sudah menangkap lengan kanan yang memegang pisau dan secepat kilat jari tangan kanannya menotok dan gadis itu tidak mampu bergerak lagi!
la tentu roboh kalau saja Yo Han tidak cepat merangkulnya dan merebahkannya di atas lantai. Pada saat dia merangkul itulah, dia mendengar suara aneh di belakangnya. Dia menoleh dan terkejut melihat betapa jalan masuk ke ruangan itu, tiba-tiba saja tertutup oleh jeruji besi yang meluncur dari atas.
Karena dia sedang merangkul tubuh gadis itu, maka dia tidak sempat lagi untuk meloloskan diri, dan dia pun terkurung dalam ruangan itu bersama gadis yang masih tertotok. Celaka, tentu mereka yang disebut Tiat-liong Sam-heng-te itu yang menjebaknya, karena mengira dia akan kurang ajar terhadap puteri mereka.
Akan tetapi dia dapat memberi penjelasan nanti dan begitu kedua tangannya bergerak, baju di pundak kiri gadis itu dan sepatu di kaki kanannya telah terbuka. Bajunya dia robek dan sepatunya dia lepaskan. Akan tetapi, matanya terbelalak ketika melihat kulit pundak dan kulit telapak kaki yang putih mulus tanpa cacat sedikit pun!
Wah mungkin dia lupa, pikirnya. Jangan-jangan terbalik, pundak kanan dan kaki kiri yang harus dia periksa! Tanpa banyak ragu lagi, Yo Han kembali merobek baju di pundak kanan dan melepas sepatu yang kiri dan dia tertegun. Kulit pundak kanan dan kaki kiri itu pun putih mulus, tidak terdapat tanda apa pun seperti yang diharapkan dan disangkanya. Dia telah keliru!
Kalau begitu, Siangkoan Kok telah berbohong kepadanya. Dan ini tentu berarti suatu tipuan, suatu jebakan! Cepat dia meloncat berdiri untuk mencoba keluar dari situ dengan menjebol jeruji besi, akan tetapi pada saat itu juga, dari arah pintu, kanan kiri dan atas, menyembur masuk asap yang kekuningan.
Yo Han menahan napas dan memaksa diri mendekati jeruji besi untuk menjebolnya. Akan tetapi, di balik asap tebal nampak orang-orang yang mempergunakan tombak yang ditusukkan ke dalam melalui celah-celah jeruji ke dalam sehingga terpaksa dia mundur lagi. Cepat dia memeriksa ke belakang, kanan dan kiri, akan tetapi dinding gua itu merupakan dinding batu alam, entah berapa tebalnya.
Tidak ada jalan lari! Dan dia pun tidak mungkin menahan napas terus-terusan. Dia mulai bernapas dan asap sudah memenuhi gua itu, dia terbatuk-batuk lalu mencium bau yang masam, menyesakkan dada dan Yo Han terguling roboh. Pingsan!
Yo Han bermimpi. Dalam mimpi itu dia mengejar-ngejar seorang gadis cantik yang dapat berlari kuat sekali, juga kecepatan larinya luar biasa sekali. Akan tetapi akhirnya, di puncak sebuah bukit dia dapat menyusul dan menangkap gadis itu, dirangkulnya dari belakang, lalu dia merobek baju gadis itu! Bukan untuk apa-apa melainkan untuk melihat pundaknya! Dia melihat sepasang pundak putih mulus, lalu gadis itu menendangnya dan dia jatuh terjungkal ke dalam jurang yang dalam sekali! Dia membuka matanya. Tidak, dia tidak mati, tidak jatuh ke jurang. Lalu dia teringat.
Heran, dia tidak berada di lantai batu, tidak berada di ruangan gua lagi, walaupun masih ada pintu jeruji besi di depannya. Dia rebah di atas lantai ubin, di sebuah kamar yang cukup luas, kamar yang tidak berjendela, akan tetapi pintunya berjeruji amat kuat dan di luar pintu terdapat banyak penjaga dengan senjata tajam dan runcing di tangan. Dia berada dalam tahanan!
Yo Han bangkit duduk dan mendengar gerakan orang di belakangnya, disusul suara tawa orang itu, tawa kecil yang bukan mengejek, bukan pula mentertawakan, melainkan tertawa karena merasa lucu. Dia cepat menengok dan melihat orang yang dikenalnya, yaitu pemuda bernama Cia Ceng Sun yang pernah bersama dia menjadi tamu kehormatan keluarga Siangkoan atau perkumpulan Paobeng-pai!
“Kiranya engkau juga di sini, saudara Cia Ceng Sun. Dan kenapa pula engkau tertawa. Melihat tempat ini, jelas bahwa kita berada dalam kamar tahanan. Kenapa engkau malah tertawa?”
Yo Han bangkit berdiri dan menghampiri pemuda itu yang duduk di depan kayu panjang, lalu duduk di sampingnya.
Cia Ceng Sun menahan tawanya dan menepuk pundak Yo Han.
“Heh-heh-heh, Yo-toako, lucu akan tetapi menyenangkan melihat engkau dibawa masuk dalam keadaan pingsan ke kamar ini. Berarti aku mempunyai teman yang menyenangkan. Lucunya, kita berdua yang dipilih oleh Pao-beng-pai menjadi tamu kehormatan dan sekutu, dan kita berdua pula yang kini menjadi tawanan. Bukankah itu lucu sekali?”
Yo Han kagum melihat betapa pemuda itu dalam tawanan masih mampu berkelakar dan tertawa demikian gembira. Wajah yang tampan itu sedikit pun juga tidak membayangkan perasaan takut, bahkan agaknya pengalaman ini amat menyenangkan hatinya.
“Saudara Cia, kenapa engkau sampai ditawan? Bukankah Siangkoan Kok dan terutama sekali Siangkoan Siocia (Nona Siangkoan) arnat suka padamu?”
Cia Ceng Sun menarik napas panjang, akan tetapi wajahnya masih cerah.
“Ini merupakan rahasia besar yang sukar untuk kuceritakan kepadamu. Akan tetapi kenapa engkau sendiri yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali sampai dapat tertawan mereka? Ini baru aneh!”
Yo Han memandang dengan serius.
“Saudara Cia, kita ini senasib. Bahkan mungkin sekali kita berdua terancam bahaya maut. Kalau kita tidak bekerja sama, bagaimana mungkin akan mampu lolos dari ancaman bahaya? Dan untuk dapat bekerja sama, haruslah lebih dulu dapat saling percaya, bukan?”
Cia Ceng Sun mengangguk.
“Engkau benar sekali, Yo-toako.”
“Nah, aku percaya padamu, apakah engkau tidak percaya padaku sehingga tidak dapat menceritakan keadaanmu kepadaku? Dengan mengetahui keadaan kita masing-masing, barulah kita dapat bekerja sama.”
“Kalau engkau percaya padaku, nah, ceritakanlah mengapa engkau ditawan, Yo-toako.”
Yo Han menghela napas. Pemuda ini selain cerdik, juga agaknya hendak merahasiakan dirinya. Dia harus memperlihatkan kejujuran dulu agar pemuda itu benar-benar dapat percaya padanya.
“Baiklah. Namaku memang Yo Han dan seperti telah kau ketahui dalam pertemuan itu, aku adalah seorang tokoh Thian-li-pang, bahkan dianggap sebagai pimpinan. Hanya sikapku memusuhi tiga keluarga besar para pendekar Pulau Es, Gurun Pasir dan Lembah Siluman adalah palsu. Aku sengaja memperlihatkan sikap bermusuhan karena aku sedang menyelidiki hilangnya seorang anak dari ketiga keluarga besar itu yang terjadi dua puluh tahun yang lalu.”
Ceng Sun tertarik sekali.
“Wah, sungguh menarik dan aneh. Bagaimana mungkin mencari anak hilang yang sudah lewat dua puluh tahun? Anak siapa yang hilang itu dan bagaimana caranya engkau hendak mencarinya, Yo-toako?”
Yo Han lalu bercerita tentang hilangnya puteri dari Pendekar Suling Naga Sim Houw dan isterinya, yaitu bibi gurunya yang bernama Can Bi Lan, hilang diculik orang dua puluh tahun yang lalu.
“Itulah sebabnya aku sengaja menyatakan permusuhanku terhadap suami isteri itu, karena aku menduga bahwa penculiknya tentulah musuh mereka dan musuh mereka itu siapa lagi kalau bukan tokoh kang-ouw, tokoh sesat yang lihai? Aku sengaja memancing untuk mencari pencullk itu dan ketika kuceritakan hal ini kepada Siangkoan Kok, dengan mengatakan bahwa yang menculik puteri suami isteri pendekar itu adalah Tiat-liong Sam-heng-te, dan memberi tahu di mana tiga orang tokoh sesat itu tinggal.
Aku segera kesana dan bertemu seorang gadis yang tentu saja kukira anak yang hilang itu. Aku ajak dia bicara dan kepadanya aku mengaku terus terang bahwa aku mencari anak yang hilang dua puluh tahun yang lalu. Aku bahkan memaksa membuka bajunya dan sepatunya untuk menemukan tanda kelahiran di pundak dan kaki. Akan tetapi ternyata gadis itu bukan anak yang kucari, dan ternyata ia adalah umpan yang sengaja dipasang oleh Pao-beng-pai untuk menjebak dan menangkap aku.”
Ceng Sun tertawa geli.
“Heh-hehheh, orang-orang Pao-beng-pai memang cerdik dan licik bukan main. Bagaimana mereka dapat menangkapmu dan membuatmu pingsan, Toako?”
Yo Han lalu menceritakan betapa dia dijebak di ruangan dalam gua tertutup jeruji besi, kemudian ada asap bius yang menyerangnya sehingga dia akhirnya roboh pingsan.
“Agaknya Siangkoan Kok memang sudah mencurigaiku atau mendengar tentang sepak terjangku sebagai Pendekar Tangan Sakti, maka dia memasang jebakan itu. Aku terlalu yakin bahwa gadis itu benar puteri Paman Sim Houw, maka aku ceroboh dan bodoh, menceritakan maksudku sehingga aku diketahui dan dijebak. Sekarang aku telah menceritakan semua dengan terus terang kepadamu, Saudara Cia, engkau mengetahui siapa aku dan mengapa aku berada di sini, mengapa pula aku ditangkap. Tiba giliranmu untuk menceritakan siapa adanya engkau dan mengapa pula engkau berada di sini dan akhirnya ditawan juga.”
“Yo-toako, ini merupakan rahasia besar yang gawat dan hanya dapat kuceritakan kepada orang yang benar-benar kupercaya.”
Yo Han mengerutkan alisnya.
“Saudara Cia! Apakah engkau tidak percaya kepadaku, padahal aku sudah menceritakan segala rahasiaku kepadarnu yang berarti aku percaya padamu?”
“Bukan begitu, Yo-twako. Akan tetapi karena rahasiaku amat besar dan gawat, aku tidak boleh bercerita kepada orang lain kecuali seorang saudaraku. Nah, kalau engkau mau mengangkat saudara dengan aku, barulah aku mau bercerita.”
Yo Han mengerutkan alisnya. Dia kagum dan suka kepada pemuda ini, akan tetapi sama sekali tidak pernah mimpi akan mengangkat saudara! Akan tetapi, mereka berdua kini menjadi tawanan dan nyawa mereka terancam, kalau tidak ada saling percaya dan saling pengertian, maka akan sukar bekerja sama. Padahal, dengan kerja sama pun belum tentu mereka akan dapat lolos menghadapi Paobeng-pai yang memiliki banyak anggauta dan amat kuat itu, apalagi memiliki pimpinan yang berilmu tinggi.
“Baiklah,” akhirnya dia berkata.
“Bagus, mari kita bersumpah di sini saja, Toako.” kata Ceng Sun dan mereka pun berlutut di atas pembaringan.
Yo Han segera mengucapkan sumpahnya.
“Saya, Yo Han, bersumpah bahwa mulai saat ini, saya menganggap saudara Cia Ceng Sun “
“Namaku yang sebenarnya Cia Sun, Yo-twaka.” Pemuda itu memotong.
Yo Han membuka matanya dan menoleh. Temannya itu juga berlutut di sebelahnya dan nama Cia Sun ini tidak berarti apa-apa baginya. Dia tidak mengenal nama Cia Sun seperti juga dia tidak mengenal nama Cia Ceng Sun. Akan tetapi dia merasa seolah-olah ada sesuatu yang aneh pada kedua nama itu, entah apanya. Dia tidak peduli dan mengulang.
“Saya, Yo Han, bersumpah bahwa mulai saat ini saya menganggap saudara Cia Sun sebagai adik angkat saya, akan saling memberi dan saling mengasihi seperti kakak dan adik kandung.”
Cia Sun mengangguk-angguk, lalu dia pun mengucapkan sumpahnya seperti yang diucapkan Yo Han. Setelah itu, mereka lalu turun dari pembaringan dan saling memberi hormat. Cia Sun berkata lebih dahulu sambil memberi hormat.
“Yo-toako, terimalah hormat adikmu Cia Sun.”
“Cia-siauwte, aku merasa berterima kasih sekali. Nah, sekarang kau ceritakanlah apa yang sebenarnya terjadi dengan dirimu agar kakakmu ini mengetahui segalanya dan kita dapat saling bantu.”
“Mari kita duduk kembali di pembaringan itu.” Mereka lalu duduk di tepi pembaringan dan Cia Sun mulai dengan pengakuannya. “Namaku memang benar Cia Sun dan kalau engkau tidak mengenal nama ini adalah karena aku hanyalah putera Pangeran Cia Yan yang tidak begitu terkenal di luar istana.”
“Ah, pantas !!!” Yo Han berkata sambil menepuk pahanya.
“Apanya yang pantas?”
“Ketika mendengar she Cia, aku sudah merasa aneh, seperti ada sesuatu yang kukenal atau yang menarik. Kiranya Paduka adalah cucu Sribaginda Kaisar!”
“Hushhh ! Begitukah sikap seorang kakak terhadap adiknya Yo-toako, aku akan merasa terhina kalau kakakku sendiri menyebutku paduka. Bagimu aku adalah adik Cia Sun, tanpa embel-embel pangeran dan sebagainya!”
Melihat sikap pangeran itu yang kelihatan tak senang, Yo Han cepat memegang lengannya.
“Maafkan aku, siuwte. Aku hanya bergurau. Nah, coba lanjutkan ceritamu, mengapa engkau sampai tersesat ke tempat ini dan mengapa pula engkau ditawan oleh Pao-beng-pai.”
“Aku memang sedang merantau, Toako. Aku bosan di istana dan karena sejak kecil aku suka belajar silat, aku ingin sekali mengenal dunia persilatan, mengenal dunia kang-ouw. Aku lalu mohon kepada orang tuaku untuk merantau meluaskan pengalaman. Demikianlah, aku tiba di sini ketika mendengar akan pertemuan yang diadakan oleh Pao-bengpai.”
“Hemmm, apakah engkau merantau sekalian hendak menyelidiki tentang gerakan anti pemerintah?”
“Tidak sama sekali. Hanya kebetulan saja aku mendengar. Akan tetapi, begitu bertemu dengan nona Siangkoan, seketika aku jatuh cinta!”
Yo Han tersenyum, akan tetapi sikapnya bersungguh-sungguh.
“Aku tidak merasa heran, Cia-te (adik Cia), karena ia memang seorang gadis luar biasa. Ilmu silatnya tinggi, wajahnya cantik jelita dan anggun, tidak kalah oleh puteri yang manapun.”
“Akan tetapi, engkau tentu mengetahui sendiri betapa cintaku kepadanya itu bahkan menyiksa perasaanku, mengingat bahwa ayahnya adalah ketua Paobeng-pai yang tentu saja memusuhi keluargaku.”
“Hemmm, memang liku-liku cinta kadang membingungkan. Akan tetapi bagaimana dengan perasaan nona itu sendiri kepadamu, Cia-te?”
“Ia pun tidak menolak cintaku, bahkan setuju ketika aku mengajukan pinangan secara langsung kepada ayahnya.”
Yo Han memandang kaget dan kagum.
“Engkau berani langsung meminangnya, Cia-te? Itu membutuhkan keberanian hebat! Meminang puteri orang yang baru saja dikenalnya! Dan bagaimana tanggapan orang tuanya?”
“Eng-moi dan ibunya setuju, dan ayahnya mengajukan syarat, minta tanda ikatan dan juga kelak dalam pesta pernikahan harus dihadiri Kaisar.”
“Gila!!”
“Engkau tahu siapa aku sebenarnya, Twako. Kalau aku menikah, sudah pasti kakekku, Sri baginda Kaisar, akan menghadirinya. Karena itu, aku menerima syarat itu dan sebagai tanda pengikat, aku memberikan seuntai kalung mutiara yang amat mahal harganya.”
“Jadi engkau mengaku sebagai pangeran?”
“Aku tidak sebodoh itu. Tentu saja aku tidak mengaku sebagai pangeran. Dan Eng-moi sudah berjanji padaku bahwa kelak setelah menikah dengan aku, ia tidak akan mencampuri urusan pemberontakan dan permusuhan.”
“Aihhh, siauwte! Kalau engkau tidak mengaku sebagai pangeran akan tetapi menyanggupi untuk mendatangkan Sribaginda Kaisar dalam pesta pernikahanmu, hal itu tentu akan membuat mereka curiga sekali!”
Cia Sun menghela napas panjang.
“Itulah kesalahanku. Aku tidak menduga sedemikian jauhnya. Aku lalu berpamit kepada mereka, berjanji untuk mengirim utusan meminang secara resmi. Dalam perjalanan, muncul tanpa kusangka-sangka dua orang perwira pengawal yang diutus ayah untuk memanggil aku pulang karena aku ditunggu oleh tunanganku dan keluarganya “
“Aah, engkau sudah bertunangan dan engkau masih meminang nona Siangkoan Eng?”
Yo Han bertanya dengan suara mengandung teguran. Dia mulai memandang pemuda tampan dan halus itu sebagai adiknya sendiri maka dia secara otomatis menegurnya.
“Ah, engkau tidak tahu, Twako. Aku ditunangkan oleh orang tuaku dengan gadis itu, akan tetapi bagaimana aku dapat mencinta seorang gadis yang baru sekali kumelihatnya, itu pun ketika ia masih kecil? Aku tidak berani menentang kehendak orang tuaku, akan tetapi biarpun aku sudah ditunangkan, namun aku masih merasa bahwa hatiku bebas. Anehkah kalau aku jatuh cinta kepada Eng-moi? Sudah jelas Eng-moi mencintaku dan aku mencintanya, sedangkan Si Bangau Merah itu, belum tentu ia suka kepadaku atau aku suka kepadanya.”
Sepasang mata Yo Han terbelalak.
“Si Bangau Merah.?”
Pangeran itu tersenyum.
“Ya, tunanganku itu adalah seorang gadis pendekar yang berjuluk Si Bangau Merah, namanya Tan Sian Li. Ayahnya adalah Pendekar Bangau Putih Tan Sin Hong dan ibunya adalah puteri bekas panglima Kao Cin Liong. Ia masih keturunan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir. Kenalkah engkau kepadanya, Twako?”
Yo Han dapat menenangkan kembali hatinya yang terguncang keras mendengar bahwa tunangan pangeran ini adalah Tan Sian Li, kekasihnya! Dia mendengar keterangan orang tua Sian Li bahwa kekasihnya itu telah ditunangkan dengan seorang pangeran, akan tetapi siapa dapat menduga bahwa pangeran itu adalah pemuda ini, Cia Sun yang kini menjadi adik angkatnya?
“Aku mengenal nama besarnya Cia-te, pernahkah engkau melihatnya sekarang?” tanyanya, dan diam-diam dia membandingkan antara Sian Li dan Siangkoan Eng.
Memang keduanya cantik jelita, keduanya memiliki ilmu silat tinggi. Akan tetapi bagi dia, tentu saja Sian Li lebih hebat, lebih segala-galanya. Biarpun demikian, dia yakin bahwa kalau pangeran ini sebelumnya telah melihat Sian Li, belum tentu dia akan mudah terpikat oleh gadis lain yang secantik Siangkoan Eng sekalipun.
“Sudah kukatakan tadi, aku baru bertemu satu kali dengannya, itu pun ketika kami masih remaja. Bahkan aku sudah hampir lupa bagaimana wajahnya, dan tidak tahu pula bagaimana wataknya.”
“Cia-te, lanjutkanlah ceritamu. Setelah engkau bertemu dengan kedua orang perwira pengawal itu, lalu bagaimana?”
“Selagi mereka bercakap-cakap dengan aku, tiba-tiba saja muncul Eng-moi bersama empat orang pelayannya. Aku terkejut dan mencoba untuk memberi penjelasan. Akan tetapi ia sudah marah sekali, menganggap aku sebagai pangeran menjadi mata-mata dan tentu akan memusuhi Pao-beng-pai. Ia merobohkan aku dan menawanku, sedangkan dua orang perwira itu diserang oleh empat orang pengawalnya. Mereka tentu tewas. Nah, segala penjelasanku tidak diterima oleh ketua Pao-beng-pai maupun Siangkoan Eng sendiri, aku lalu dimasukkan ke dalam kamar tahanan ini. Eh, belum lama aku berada di sini, engkau digotong masuk dalam keadaan pingsan.”
Setelah saling mendengar pengalaman mereka yang diceritakan dengan sejujurnya, segera kedua orang pemuda yang mengangkat saudara dalam keadaan aneh itu, menjadi akrab sekali. Mereka bercakap-cakap saling menceritakan riwayat mereka, akan tetapi ada satu hal yang masih tetap dirahasiakan oleh Yo Han, yaitu tentang hubungannya dengan Tan Sian Li, Si Bangau Merah yang menjadi tunangan pangeran itu.
Dia merahasiakan hal ini karena dia tidak ingin menimbulkan suasana yang tidak enak di antara mereka. Kenyataan bahwa pangeran ini tidak saling mencinta dengan Sian Li, bahkan pangeran itu kini jatuh cinta kepada Siangkoan Eng, menimbulkan perasaan senang dan harapan baru dalam hatinya. Dan timbul pula tekad dalam hatinya untuk membantu pangeran itu agar dapat melangsungkan perjodohannya dengan Siangkoan Eng. Tentu saja, tanpa dia sadari, tanpa dia sengaja, dibalik sikapnya ini terdapat dasar kuat dari hasrat hatinya agar pangeran itu dapat terlepas dari ikatannya dengan Sian Li!
**** 014 ****