Sebagai hasil percakapan dengan Siangkoan Kok, pada keesokan harinya Yo Han mendapat keterangan dari ketua Pao-beng-pai itu bahwa penyelidikan anak buahnya berhasil!
“Penculik anak Pendekar Suling Naga Sim Houw itu adalah Tiat-liong Sam-heng-te (Tiga Kakak Beradik Naga Besi). Mereka adalah orang-orang yang sejak dahulu bermusuhan dengan Pendekar Suling Naga, dan mereka membalas dendam dengan menculik puteri pendekar itu.”
Dapat dibayangkan betapa besar kegirangan hati Yo Han mendengar keterangan itu. Tak disangkanya akan semudah itu dia mendapatkan jejak penculik puteri bibinya!
“Dimana mereka bertiga, Paman? Ingin sekali aku menemui mereka untuk kuajak bekerja sama! Dan apakah anak itu masih ada pada mereka? Kalau masih ada, dapat kita pergunakan untuk memeras dan memaksa orang tuanya! Hemm, sekali ini aku akan berhasil membalas dendam orang tuaku!”
Melihat kegembiraan Yo Han, Siangkoan Kok tertawa,
“Kebetulan sekali mereka tinggal tidak terlalu jauh dari sini, dalam waktu setengah hari engkau akan tiba di tempat tinggal mereka. Menurut keterangan anak buah yang melakukan penyelidikan, anak perempuan dahulu mereka culik masih hidup dan tinggal bersama mereka.”
Hampir Yo Han bersorak saking gembiranya dan dia hanya cukup menekan dan mengurangi saja luapan kegembiraan karena dalam perannya sebagai musuh bibinya, dia pun sepatutnya bergembira karena memperoleh sekutu yang dapat dipercaya dan menemukan anak perempuan yang akan dapat dipergunakan sebagai sandera yang amat berharga.
Siangkoan Kok lalu memberi keterangan tentang tempat tinggal Tiat-liong Sam-heng-te, yaitu di sebuah lereng di bukit yang tak jauh dari situ, dimana terdapat sebuah gua terowongan yang mereka bangun menjadi tempat tinggal tiga bersaudara itu.
Dengan tulus hati Yo Han mengucapkan terima kasih kepada Siangkoan Kok, kemudian berpamit untuk melanjutkan perjalanan mencari tempat itu. Siangkoan Kok mengucapkan selamat jalan sambil berpesan agar pemuda itu tidak melupakan hubungan baik antara mereka dan kelak dapat membantunya dengan bekerja sama antara Pao-beng-pai dan Thianli-pang. Yo Han menyanggupi, lalu berangkat.
Di pekarangan depan, dia berjumpa dengan Cia Ceng Sun dan Siangkoan Eng yang nampak berjalan berdampingan dalam suasana yang akrab sekali. Yo Han dapat melihat bahwa ada apa-apa di antara keduanya, maka dia pun tersenyum.
Memang mereka merupakan pasangan yang pantas sekali, pikirnya. Namun diam-diam dia menyayangkan bahwa seorang pemuda yang hebat seperti Cia Ceng Sun itu kini terlibat dalam keluarga pimpinan pemberontak, bahkan yang memusuhi tiga keluarga besar.
Ah, itu bukan urusannya, pikirnya sambil menggerakkan pundak. Karena mereka berdua sudah sama-sama tinggal di situ sebagai tamu Pao-bengpai, tentu saja dua orang pemuda ini sudah saling berkenalan walaupun hubungan mereka tidak akrab sekali. Yo Han lebih sering bercakap-cakap dengan Siangkoan Kok, sebaliknya Cia Ceng Sun lebih sering berduaan dengan Siangkoan Eng.
“Ehhh, engkau hendak pergi, saudara Yo?” tanya Cia Ceng Sun melihat pemuda itu hendak meninggalkan pekarangan sambil menggendong buntalan pakaian di punggungnya.
Eng Eng hanya mengangguk saja ketika bertemu pandang dengan Yo Han. Biarpun dia merasa kagum kepada Yo Han, namun ia selalu merasa curiga, karena bagaimanapun juga, ia tahu bahwa pemuda sederhana itu adalah seorang yang amat tangguh dan menurut ayahnya, tenaga sinkang pemuda itu seimbang dengan ayahnya! Apalagi pemuda ini pernah membuat nama besar dengan julukan Pendekar Tangan Sakti. Menghadapi orang yang lebih lihai, tentu saja ia merasa khawatir dan juga curiga.
“Benar, saudara Cia. Aku sudah berpamit dari Paman Siangkoan Kok dan harus melanjutkan perjalnanku hari ini juga. Nah, selamat tinggal dan semoga engkau berhasil dalam segala cita-citamu. Selamat tinggal, Nona Siangkoan, dan terima kasih atas kebaikan keluarga Nona selama aku tinggal di sini.”
Dengan sikap tidak terlalu hormat dan ugal-ugalan seperti tokoh yang perannya dia mainkan, Yo Han tersenyum lalu membalikkan tubuh meninggalkan mereka, diikuti pandang mata sepasang orang muda itu.
“Hemmm, dia seorang pendekar yang hebat! Masih begitu muda sudah memiliki kesaktian yang dahsyat,” Cia Ceng Sun memuji.
“Tapi aku tidak terlalu percaya kepadanya, bahkan aku mencurigainya, Koko.” kata Eng Eng.
“Ehhh? Kenapa? Bukankah dia tokoh Thian-li-pang dan kini bersahabat baik dengan ayahmu? Bahkan dia menyebut paman kepada ayahmu. Hemmm, aku jadi berpikir jangan-jangan ayahmu lebih condong memilih dia sebagai calon mantu daripada aku!”
Eng Eng mencubit tangan kekasihnya dengan gemas.
“Ihhh! Aku akan minggat kalau ayah memaksa aku menikah dengan pria lain kecuali engkau. Apakah engkau masih belum percaya kepadaku, Koko?”
“Maaf, aku hanya bergurau. Sekarang juga aku akan menghadap ayah ibumu dan menyatakan keinginan kita, menceritakan hati kita, dan kalau ayah ibumu mengijinkan, aku segera akan pergi dan mencari seorang wakil untuk kukirim ke sini melakukan pinangan.”
“Nah, begitu lebih baik daripada membicarakan orang lain. Sebaiknya nanti saja. Setelah mereka sarapan, engkau mengatakan isi hatimu kepada mereka. Akan kuusahakan agar engkau diundang sarapan sehingga kita berempat dapat berkumpul dan bercakap-cakap.”
Demikianlah, tak lama kemudian mereka telah makan pagi bersama Cia Ceng Sun, Siangkoan Eng, Siangkoan Kok dan isterinya, Lauw Cu Si. Setelah makan pagi yang agaknya dilakukan Siangkoan Kok dengan sikap tergesa-gesa karena dia hendak bepergian, Cia Ceng Sun mempergunakan kesempatan itu untuk bicara.
“Penculik anak Pendekar Suling Naga Sim Houw itu adalah Tiat-liong Sam-heng-te (Tiga Kakak Beradik Naga Besi). Mereka adalah orang-orang yang sejak dahulu bermusuhan dengan Pendekar Suling Naga, dan mereka membalas dendam dengan menculik puteri pendekar itu.”
Dapat dibayangkan betapa besar kegirangan hati Yo Han mendengar keterangan itu. Tak disangkanya akan semudah itu dia mendapatkan jejak penculik puteri bibinya!
“Dimana mereka bertiga, Paman? Ingin sekali aku menemui mereka untuk kuajak bekerja sama! Dan apakah anak itu masih ada pada mereka? Kalau masih ada, dapat kita pergunakan untuk memeras dan memaksa orang tuanya! Hemm, sekali ini aku akan berhasil membalas dendam orang tuaku!”
Melihat kegembiraan Yo Han, Siangkoan Kok tertawa,
“Kebetulan sekali mereka tinggal tidak terlalu jauh dari sini, dalam waktu setengah hari engkau akan tiba di tempat tinggal mereka. Menurut keterangan anak buah yang melakukan penyelidikan, anak perempuan dahulu mereka culik masih hidup dan tinggal bersama mereka.”
Hampir Yo Han bersorak saking gembiranya dan dia hanya cukup menekan dan mengurangi saja luapan kegembiraan karena dalam perannya sebagai musuh bibinya, dia pun sepatutnya bergembira karena memperoleh sekutu yang dapat dipercaya dan menemukan anak perempuan yang akan dapat dipergunakan sebagai sandera yang amat berharga.
Siangkoan Kok lalu memberi keterangan tentang tempat tinggal Tiat-liong Sam-heng-te, yaitu di sebuah lereng di bukit yang tak jauh dari situ, dimana terdapat sebuah gua terowongan yang mereka bangun menjadi tempat tinggal tiga bersaudara itu.
Dengan tulus hati Yo Han mengucapkan terima kasih kepada Siangkoan Kok, kemudian berpamit untuk melanjutkan perjalanan mencari tempat itu. Siangkoan Kok mengucapkan selamat jalan sambil berpesan agar pemuda itu tidak melupakan hubungan baik antara mereka dan kelak dapat membantunya dengan bekerja sama antara Pao-beng-pai dan Thianli-pang. Yo Han menyanggupi, lalu berangkat.
Di pekarangan depan, dia berjumpa dengan Cia Ceng Sun dan Siangkoan Eng yang nampak berjalan berdampingan dalam suasana yang akrab sekali. Yo Han dapat melihat bahwa ada apa-apa di antara keduanya, maka dia pun tersenyum.
Memang mereka merupakan pasangan yang pantas sekali, pikirnya. Namun diam-diam dia menyayangkan bahwa seorang pemuda yang hebat seperti Cia Ceng Sun itu kini terlibat dalam keluarga pimpinan pemberontak, bahkan yang memusuhi tiga keluarga besar.
Ah, itu bukan urusannya, pikirnya sambil menggerakkan pundak. Karena mereka berdua sudah sama-sama tinggal di situ sebagai tamu Pao-bengpai, tentu saja dua orang pemuda ini sudah saling berkenalan walaupun hubungan mereka tidak akrab sekali. Yo Han lebih sering bercakap-cakap dengan Siangkoan Kok, sebaliknya Cia Ceng Sun lebih sering berduaan dengan Siangkoan Eng.
“Ehhh, engkau hendak pergi, saudara Yo?” tanya Cia Ceng Sun melihat pemuda itu hendak meninggalkan pekarangan sambil menggendong buntalan pakaian di punggungnya.
Eng Eng hanya mengangguk saja ketika bertemu pandang dengan Yo Han. Biarpun dia merasa kagum kepada Yo Han, namun ia selalu merasa curiga, karena bagaimanapun juga, ia tahu bahwa pemuda sederhana itu adalah seorang yang amat tangguh dan menurut ayahnya, tenaga sinkang pemuda itu seimbang dengan ayahnya! Apalagi pemuda ini pernah membuat nama besar dengan julukan Pendekar Tangan Sakti. Menghadapi orang yang lebih lihai, tentu saja ia merasa khawatir dan juga curiga.
“Benar, saudara Cia. Aku sudah berpamit dari Paman Siangkoan Kok dan harus melanjutkan perjalnanku hari ini juga. Nah, selamat tinggal dan semoga engkau berhasil dalam segala cita-citamu. Selamat tinggal, Nona Siangkoan, dan terima kasih atas kebaikan keluarga Nona selama aku tinggal di sini.”
Dengan sikap tidak terlalu hormat dan ugal-ugalan seperti tokoh yang perannya dia mainkan, Yo Han tersenyum lalu membalikkan tubuh meninggalkan mereka, diikuti pandang mata sepasang orang muda itu.
“Hemmm, dia seorang pendekar yang hebat! Masih begitu muda sudah memiliki kesaktian yang dahsyat,” Cia Ceng Sun memuji.
“Tapi aku tidak terlalu percaya kepadanya, bahkan aku mencurigainya, Koko.” kata Eng Eng.
“Ehhh? Kenapa? Bukankah dia tokoh Thian-li-pang dan kini bersahabat baik dengan ayahmu? Bahkan dia menyebut paman kepada ayahmu. Hemmm, aku jadi berpikir jangan-jangan ayahmu lebih condong memilih dia sebagai calon mantu daripada aku!”
Eng Eng mencubit tangan kekasihnya dengan gemas.
“Ihhh! Aku akan minggat kalau ayah memaksa aku menikah dengan pria lain kecuali engkau. Apakah engkau masih belum percaya kepadaku, Koko?”
“Maaf, aku hanya bergurau. Sekarang juga aku akan menghadap ayah ibumu dan menyatakan keinginan kita, menceritakan hati kita, dan kalau ayah ibumu mengijinkan, aku segera akan pergi dan mencari seorang wakil untuk kukirim ke sini melakukan pinangan.”
“Nah, begitu lebih baik daripada membicarakan orang lain. Sebaiknya nanti saja. Setelah mereka sarapan, engkau mengatakan isi hatimu kepada mereka. Akan kuusahakan agar engkau diundang sarapan sehingga kita berempat dapat berkumpul dan bercakap-cakap.”
Demikianlah, tak lama kemudian mereka telah makan pagi bersama Cia Ceng Sun, Siangkoan Eng, Siangkoan Kok dan isterinya, Lauw Cu Si. Setelah makan pagi yang agaknya dilakukan Siangkoan Kok dengan sikap tergesa-gesa karena dia hendak bepergian, Cia Ceng Sun mempergunakan kesempatan itu untuk bicara.
“Locian-pwe (Orang Tua Gagah), saya mohon sedikit waktu untuk bicara dengan Lo-cian-pwe berdua, bersama Engmoi juga.” katanya dengan sikap sopan dan sikap tenang.
Bagaimanapun juga, dia seorang pangeran dan tentu saja memiliki wibawa yang besar sehingga menghadapi ketua Pao-beng-pai itu pun dia dapat bersikap tenang.
“Hemmm, soal apakah yang hendak kau bicarakan, Cia sicu?”
“Soal saya dan adik Eng Eng. Harap Lo-cian-pwe berdua mengetahui bahwa kami berdua telah bersepakat untuk saat ini mengaku terus terang kepada Ji-wi (Anda Sekalian) bahwa kami saling mencinta dan sudah mengambil keputusan untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Saya segera akan pergi dan mengirim seorang wali untuk melakukan pinangan kepada Ji-wi, secara resmi.”
Mendengar pinangan yang diajukan begitu tiba-tiba dengan pengakuan bahwa pemuda itu sudah saling mencinta dengan puteri mereka dalam waktu tidak lebih dari tiga hari, suami isteri itu saling pandang. Siangkoan Kok menoleh kepada puterinya yang juga sedang memandang kepadanya dengan sikap yang tenang pula.
“Eng Eng, benarkah apa yang dikatakan Cia Ceng Sun tadi? Bahwa kalian saling mencinta dan engkau setuju untuk menjadi isterinya?”
Dengan sikap gagah dan penuh tanggung jawab, Eng Eng mengangguk dan berkata,
“Benar, Ayah. Kurasa usiaku sudah lebih dari cukup untuk berumah tangga sekarang dan dialah pilihan hatiku. “
Siangkoan Kok tertawa bergelak dan sukar menduga apakah suara tawa itu karena gembira atau karena geli atau untuk mengejek.
“Ha-ha-ha-ha-ha! Orang muda she Cia! Engkau tahu bahwa Eng Eng adalah puteri tunggal kami yang sangat kami sayang. Ia puteri ketua Paobeng-pai, cantik dan tinggi ilmunya, lebih tinggi daripada ilmu yang kau kuasai. Kalau ia menghendaki jodoh seorang pangeran sekalipun, hal itu bukan mustahil akan terlaksana. Eng Eng kaya raya, berilmu tinggi dan cantik! Dan engkau ini siapakah berani hendak berjodoh dengannya?. Dari keturunan apa? Engkau cukup tampan, dan biarpun tidak selihai puteriku, kepandaianmu lumayan dan tidak memalukan. Akan tetapi selain itu, apalagi yang dapat kau berikan kepada puteri kami?”
Panas juga rasanya perut Cia Ceng Sun mendengar ucapan laki-laki yang akan menjadi ayah mertuanya itu. Betapa dia diremehkan dan dipandang rendah!
“Apa yang Lo-cian-pwe minta? Kalau Lo-cian-pwe mengajukan syarat, tentu akan saya coba untuk memenuhinya.” katanya sederhana, namun sikapnya tegas.
Mendengar ucapan yang nadanya menantang itu, Eng Eng mengerutkan alisnya dan merasa khawatir, bahkan ia mengerling ke arah kekasihnya dan mengedipkan mata mencegah, namun sia-sia karena pemuda itu sudah mengeluarkan kata-katanya.
“Ha-ha-ha-ha-ha, bagus, bagus! Seorang gadis seperti Eng Eng memang tidak sepatutnya didapatkan dengan mudah seperti orang memetik buah apel dari pohon saja! Nah, permintaanku tidak banyak. Pertama engkau harus dapat memberi tanda mata yang patut bagi seorang calon isteri macam Eng Eng, dan ke dua, dalam pesta pernikahan kalian nanti, aku minta agar keluarga Kaisar menjadi tamunya!”
“Ayah!! Permintaan itu keterlaluan!” teriak Eng Eng, dan Ibunya juga berseru kaget.
“Aih, mana ada permintaan seperti itu? Yang pertama mungkin dapat dilaksanakan, akan tetapi yang ke dua mustahil! Kita ini apa dan siapa, minta keluarga kaisar menjadi tamu dalam pesta pernikahan anak kita?” kata Lauw Cu Si.
“Sudahlah, kalian jangan ribut-ribut. Semua ini kulakukan demi menaikkan derajat anak kita, berarti naiknya derajat kita pula! Bagaimana, Cia-sicu, sanggupkah engkau memenuhi kedua permintaan itu?”
“Saya sanggup!!” kata Cia Ceng Sun dengan suara lantang dan tegas sehingga mengejutkan tiga orang itu yang kini memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak.
“Sun-koko! Bagaimana engkau berani menyanggupi syarat yang mustahil itu?” teriak Eng Eng.
“Tenanglah, Eng-moi. Demi cintaku kepadamu, aku akan berani menyeberangi lautan api sekalipun. Akan kuusahakan sedapat mungkin untuk kelak mengundang keluarga kaisar. Aku mempunyai banyak kenalan di antara para pembesar dan juga penghuni istana!”
“Ha-ha-ha, bagus sekali! Setidaknya, kesanggupanmu sudah membuktikan adanya cinta kasihmu yang besar terhadap anak kami Cia-sicu. Sekarang, tanda mata apa yang pantas kau berikan kepada Eng Eng sebelum engkau pergi mengirimi wakil untuk melakukan pinangan resmi?”
“Harap Lo-cian-pwe sekalian menunggu sebentar, akan saya ambil dari kamar saya.”
Pemuda itu lalu bangkit dan meninggalkan ruangan makan. Ketika Eng Eng hendak mengejar, baru saja ia bangkit ayahnya melarang.
“Eng Eng, engkau harus pandai menghargai diri sendiri. Tunggu saja di sini, kita lihat bersama apa yang dapat dia berikan kepadamu. Engkau tidak ingin kelak kecewa dengan pilihanmu, bukan? Biarkan Ayah yang mengujinya!”
Eng Eng tidak jadi bangkit. Ia pun tahu bahwa sikap ayahnya yang begitu keras bukan karena ayahnya tidak suka mempunyai mantu Cia Ceng Sun, melainkan karena ayahnya ingin mendapatkan mantu yang benar-benar mencintainya, seorang mantu yang berani dan pandai.
Agak lama pemuda itu pergi dan ketika dia masuk kembali ke dalam ruangan itu, ternyata dia telah berganti pakaian dan telah membawa buntalan pakaiannya.
“Sun-koko! Engkau... hendak pergi...?”
Eng Eng terkejut sekali karena sebelumnya kekasihnya tidak mengatakan hendak pergi sekarang juga.
“Benar, Eng-moi. Aku harus cepat berusaha untuk memenuhi permintaan ayahmu, yaitu mengirim wali untuk meminang, dan mempersiapkan agar kelak keluarga istana dapat menghadiri pesta pernikahan kita.” Dia lalu menghadapi Siangkoan Kok dan mengeluarkan sebuah benda dari dalam saku bajunya. “Lo-cianpwe, untuk sementara ini, saya tidak mampu memberikan sesuatu yang lebih berharga daripada ini. Harap Lo-cian-pwe sekalian tidak merasa kecewa dengan pemberian tanda mata yang tidak berharga ini.”
Ketika Siangkoan Kok menerima benda itu, dia dan isterinya yang duduk di dekatnya terbelalak kagum.
“Tidak berharga?“ seru Lauw Cu Si. “Wah ! Belum pernah selama hidupku melihat kalung mutiara seindah ini!”
Siangkoan Kok, seorang keturunan bangsawan, juga terbelalak kagum. Dia mengenal barang yang amat berharga dan langka sehingga terlontar pertanyaannya penuh keheranan.
“Dari mana engkau memperoleh benda mustika seperti ini?”
“Lo-cian-pwe, sudah saya katakan bahwa saya mewarisi harta kekayaan orang tua saya, dan itu merupakan satu di antara benda peninggalan itu.”
“Nah, Ayah jangan memandang rendah kepada Sun-koko!” Eng Eng juga berseru, bangga sekali walaupun diam-diam ia juga merasa heran bahwa kekasihnya memiliki simpanan benda yang demikian langka dan berharga, yang dikatakannya tadi “tidak berharga.” Kalau kalung seperti itu tidak berharga, lalu yang berharga itu yang bagaimana?
Siangkoan Kok setelah memeriksa benda berharga itu, lalu menyerahkannya kepada isterinya yang kini mendapat giliran mengaguminya bersama Eng Eng, lalu berkata kepada pemuda itu.
“Baik, tanda mata itu kami terima dan kami anggap cukup pantas. Sekarang pergilah untuk mengirim utusan dan wali untuk melakukan pinangan resmi, kemudian atur agar dalam pesta pernikahannya, keluarga kaisar dapat hadir. Kalau engkau membohongi kami, awas aku tidak akan mengampunimu.”
“Baik, Lo-cian-pwe. Nah, saya minta diri. Eng-moi, aku pergi dulu dan doakan saja agar usahaku berhasil.”
“Selamat jalan, Koko, dan jangan terlalu lama membiarkan aku menunggumu di sini.” kata gadis itu.
Setelah memberi hormat, Cia Ceng Sun lalu pergi meninggalkan rumah itu. Tiba-tiba Siangkoan Kok lalu berkata kepada puterinya,
“Eng Eng, aku mempunyai urusan penting, karena itu engkau harus dapat mewakill aku. Kau bawa beberapa anak buah yang boleh diandalkan, dan kau bayangi pemuda itu.”
“Ayah! Apa artinya ini? Kami sudah saling mencinta!”
“Anak bodoh! Justeru karena engkau mencintanya, engkau harus mengenal betul siapa dia! Bayangi dia dan buktikan sendiri bagaimana dia berusaha untuk dapat kelak menghadirkan keluarga istana di dalam pesta pernikahanmu. Jangan sampai kita dibohongi dan ditipu. Mengerti? Jangan percaya dulu sebelum melihat buktinya, betapapun cintamu kepadanya. Engkau tidak ingin kelak hidup sengsara, bukan? Dan ingat, engkau bayangi dia, jangan bantu dan jangan perlihatkan diri, jangan khianati ayahmu karena semua ini demi kebaikan masa depanmu sendiri.”'
Eng Eng mengerti dan ia mengangguk. Bahkan diam-diam ia merasa gembira karena dengan membayangi Cia Ceng Sun, berarti dia selalu dekat dengan kekasihnya itu, walaupun ia tidak boleh memperlihatkan diri. Dan memang perlu untuk diketahui siapa sebenarnya kekasihnya itu yang menyanggupi ayahnya untuk menghadirkan keluarga kaisar dalam pesta pernikahannya!
Dia pun cepat berkemas, lalu mengajak empat orang pelayannya yang ia percaya, yaitu empat orang gadis yang berpakaian kuning, merah, biru dan putih. Mereka berlima lalu cepat meninggalkan perkampungan Pao-beng-pai dan dengan mudah mereka dapat menyusul Cia Ceng Sun dan membayangi pemuda itu dari jauh.
Cia Ceng Sun sudah keluar dari Bankwi-kok (Lembah Selaksa Setan) melalui jalan keluar yang sudah diberi tanda-tanda sehingga dia tidak akan tersesat ke dalam daerah yang berbahaya penuh rahasia, dan dia kini tiba di lereng paling rendah dari Kwi-san (Bukit Setan). Sunyi saja di situ. Matahari sudah naik tinggi dan sinarnya mulai terasa hangat di badan.
Tiba-tiba Cia Ceng Sun yang penglihatan dan pendengarannya tajam dan peka, melihat berkelebatnya bayangan di balik semak-semak di sebelah kirinya. Dia berhenti, menoleh ke kiri dan membentak.
“Siapa mengintai di sana? Keluarlah dan jangan bersembunyi seperti binatang liar!”
Sesosok bayangan melompat keluar dari kiri, disusul bayangan lain melayang dari kanan dan dia telah berhadapan dengan dua orang laki-laki yang berusia kurang lebih empat puluh lima tahun. Dua orang itu segera memberi hormat kepadanya dengan berlutut sebelah kaki.
“Mohon maaf kalau hamba berdua mengejutkan hati Pangeran,” kata seorang di antara mereka yang kumisnya tebal.
“Hamba berdua diutus ayah Paduka, Pangeran Cia Yan, untuk menjemput Paduka dan mengawal Paduka pulang sekarang juga karena ada urusan penting.” kata orang ke dua yang kepalanya botak.
“Ssttt !”
Pangeran Cia Sun atau Cia Ceng Sun menaruh telunjuk ke depan bibir untuk memberi isyarat agar kedua orang itu menahan kata-kata mereka, lalu menoleh ke sekeliling.
“Harap Paduka jangan khawatir, Pangeran. Kami berdua telah melakukan pemeriksaan dan tempat ini sunyi.” kata si kumis tebal.
“Andaikata ada yang melihatnya juga, siapa yang akan berani mengganggu Paduka?” sambung si botak.
Tentu saja kedua orang pengawal istana ini merasa heran melihat sikap sang pangeran. Kenapa mesti bersikap begitu hati-hati dan takut? Dia seorang pangeran. Siapa akan berani mengganggunya tentu akan berhadapan dengan pasukan pemerintah!
Pangeran Cia Sun mengerutkan alisnya.
“Ada urusan penting apakah sampai kalian diutus mencari aku? Aku bisa pulang sendiri!” katanya tak senang. “Pula, bagaimana kalian dapat tahu bahwa aku berada di sini?”
Si kumis tebal tersenyum bangga.
“Pangeran, tidak percuma kami berdua menjadi jagoan istana, pengawal-pengawal yang dipercaya. Ketika Paduka pergi ayah Paduka Pangeran Cia Yan memerintahkan kami berdua untuk membayangi Paduka dari jauh dan menjaga keselamatan Paduka. Tugas ini amat mudah karena Paduka memiliki ilmu kepandaian tinggi dan cukup kuat untuk membela diri sendiri. Maka kami hanya menyebar anak buah untuk membayangi dari jauh. Kami mengetahui bahwa Paduka hadir pula di dalam pertemuan Pao-beng-pai walaupun kami tidak mungkin dapat masuk ke tempat berbahaya itu.”
“Untung kalian tidak masuk, kalau hal itu terjadi, selain kalian celaka, tentu penyamaranku akan gagal pula. Lalu bagaimana?” tanya sang pangeran.
Kini si Botak yang melanjutkan.
“Kami merasa khawatir karena setelah semua tamu keluar dari Ban-kwi-tok, Paduka tidak keluar-keluar. Kami merasa bahwa tentu ada sesuatu yang terjadi maka cepat kami mengirim laporan kepada ayah Paduka. Dan kami menerima perintah agar menjemput Paduka dan mengajak Paduka pulang secepatnya. Ayah Paduka tidak berkenan mendengar Paduka bergaul dengan orang-orang kangouw yang mencurigakan itu, juga Paduka ditunggu karena ada tamu penting.”
“Siapa tamu penting itu?”
Dua orang pengawal itu saling pandang dan tersenyum penuh arti.
“Paduka tentu akan senang sekali kalau tiba di rumah. Tunangan Paduka telah menanti bersama orang tuanya.”
“Tunanganku ? Jangan bicara sembarangan!”
“Hamba tidak berbohong. Pendekar wanita Si Bangau Merah.”
“Ahhh! Sudahlah, kalian ini sungguh menjengkelkan. Bukankah kalian juga tahu bahwa aku pandai menjaga diri sendiri? Seperti anak kecil saja, di jemput dan dikawal!”
Tiba-tiba sang pangeran terkejut dan membalikkan tubuh dengan cepat, juga dua orang pengawalnya memutar tubuh ke kanan dan terbelalak. Di situ, di hadapan mereka, telah berdiri lima orang gadis yang cantik-cantik, yang empat orang berpakaian empat macam warna, dan yang di depan luar biasa cantiknya, pakaiannya berkembang, rambutnya digelung ke atas dan dihias sebuah tiara kecil, tangan kirinya memegang sebatang hudtim atau kebutan berbulu merah dengan gagang emas, sepasang matanya mencorong memandang kepada Pangeran Cia Sun seperti mengeluarkan api!
“Pangeran Cia Sun!” terdengar suaranya dingin sekali. “Menyerahlah untuk menjadi tawanan kami!”
“Eng-moi !” Pangeran Cia Sun berseru sambil melangkah maju untuk mendekati gadis kekasihnya itu.
“Diam! Engkau tak berhak menyebutku seperti itu!” bentak Siangkoan Eng marah.
Si kumis tebal dan si botak menjadi marah. Mereka meloncat ke depan Pangeran Cia Sun seperti melindunginya dan menghadapi lima orang gadis cantik.
“Apakah kalian telah menjadi gila Beliau ini adalah Pangeran Cia Sun, cucu Sribaginda Kaisar! Beranikah kalian bersikap kurang hormat kepada beliau? Apakah kalian sudah bosan hidup?”
Kedua orang pengawal itu sudah mencabut pedang mereka untuk melindungi sang pangeran.
“Bereskan mereka!” kata Siangkoan Eng dan empat orang pelayannya sudah berloncatan menghadapi dua orang pengawal itu sambil mencabut pedang mereka. “Kalian yang sudah bosan hidup!” bentak nona baju kuning dan ia memimpin penyerangan kepada dua orang jagoan istana itu.
Terjadilah pertanding seru dan hebat. Dua orang jagoan istana itu terkejut setengah mati karena mendapat kenyataan bahwa empat orang gadis cantik itu lihai bukan main menggerakkan pedang mereka dan sebentar saja mereka berdua terdesak dan terkepung, harus memutar pedang secepatnya untuk melindungi diri.
Sementara itu, Siangkoan Eng maju menghampiri Pangeran Cia Sun dan membentak lagi.
“Menyerahtah atau terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!”
“Eng-moi, ingatlah aku…aku..”
“Tidak perlu banyak cakap lagi!” bentak Siangkoan Eng dan ia sudah menyerang dengan kebutannya, menotok ke arah leher Cia Sun.
Pangeran ini mengelak, akan tetapi Eng Eng menyerang terus, bahkan semakin hebat.
“Eng-moi ah, engkau keterlaluan, tidak memberi kesempatan kepadaku “ kata sang pangeran yang terus mengelak sampai beberapa kali.
“Engkau mata-mata busuk, pengkhianat, manusia berhati palsu, tidak perlu bicara lagi!”
Kini penyerangan semakin hebat sehingga terpaksa Pangeran Cia Sun menangkis cengkeraman tangan kanan gadis itu. Begitu kedua lengan bertemu, dia hampir terjengkang!
Cia Sun terkejut dan baru dia yakin benar bahwa dalam pertandingan tempo hari, gadis itu selalu mengalah. Kini buktinya, pertemuan tenaga mereka membuktikan bahwa gadis itu jauh lebih kuat dari padanya.
Kini Cia Sun yang melawan setengah hati, tidak mau membalas serangan, hanya mengelak dan menangkis saja.
“Engkau keliru, Eng-moi. Aku memang pangeran yang menyamar menjadi orang biasa untuk dapat leluasa memperdalam pengetahuan dan pengalaman, aku tidak berniat buruk, aku bertemu denganmu dan jatuh cinta “
Karena bicara, maka pertahanan pangeran itu kurang kuat dan sebuah totokan jari tangan kanan Eng Eng membuat dia terkulai dan roboh lemas tak mampu bergerak lagi! Dan pada saat itu pun, dua orang pengawal itu roboh mandi darah dan tewas di ujung pedang empat orang gadis pelayan Eng Eng.
“Belenggu kedua tangannya dan bawa pulang, masukkan ke dalam kamar tahanan dan jangan ganggu dia sampai ayah pulang.”
Katanya kepada empat orang gadis pelayan yang segera meringkus Cia Sun yang sudah tidak mampu bergerak, membelenggu kedua tangan ke belakang lalu menggotongnya seperti seekor kijang yang baru saja ditangkap oleh sekawanan pemburu.
Mayat kedua orang pengawal itu ditinggalkan begitu saja oleh mereka. Sepuluh menit kemudian, barulah beberapa orang muncul dan membawa pergi dua jenazah jagoan istana itu. Mereka adalah anak buah yang tadi tidak berani muncul. Sang pangeran yang perkasa dan dua orang jagoan istana itu saja tidak mampu menandingi lawan, apalagi mereka yang hanya anak buah biasa.
Bagaimanapun juga, dia seorang pangeran dan tentu saja memiliki wibawa yang besar sehingga menghadapi ketua Pao-beng-pai itu pun dia dapat bersikap tenang.
“Hemmm, soal apakah yang hendak kau bicarakan, Cia sicu?”
“Soal saya dan adik Eng Eng. Harap Lo-cian-pwe berdua mengetahui bahwa kami berdua telah bersepakat untuk saat ini mengaku terus terang kepada Ji-wi (Anda Sekalian) bahwa kami saling mencinta dan sudah mengambil keputusan untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Saya segera akan pergi dan mengirim seorang wali untuk melakukan pinangan kepada Ji-wi, secara resmi.”
Mendengar pinangan yang diajukan begitu tiba-tiba dengan pengakuan bahwa pemuda itu sudah saling mencinta dengan puteri mereka dalam waktu tidak lebih dari tiga hari, suami isteri itu saling pandang. Siangkoan Kok menoleh kepada puterinya yang juga sedang memandang kepadanya dengan sikap yang tenang pula.
“Eng Eng, benarkah apa yang dikatakan Cia Ceng Sun tadi? Bahwa kalian saling mencinta dan engkau setuju untuk menjadi isterinya?”
Dengan sikap gagah dan penuh tanggung jawab, Eng Eng mengangguk dan berkata,
“Benar, Ayah. Kurasa usiaku sudah lebih dari cukup untuk berumah tangga sekarang dan dialah pilihan hatiku. “
Siangkoan Kok tertawa bergelak dan sukar menduga apakah suara tawa itu karena gembira atau karena geli atau untuk mengejek.
“Ha-ha-ha-ha-ha! Orang muda she Cia! Engkau tahu bahwa Eng Eng adalah puteri tunggal kami yang sangat kami sayang. Ia puteri ketua Paobeng-pai, cantik dan tinggi ilmunya, lebih tinggi daripada ilmu yang kau kuasai. Kalau ia menghendaki jodoh seorang pangeran sekalipun, hal itu bukan mustahil akan terlaksana. Eng Eng kaya raya, berilmu tinggi dan cantik! Dan engkau ini siapakah berani hendak berjodoh dengannya?. Dari keturunan apa? Engkau cukup tampan, dan biarpun tidak selihai puteriku, kepandaianmu lumayan dan tidak memalukan. Akan tetapi selain itu, apalagi yang dapat kau berikan kepada puteri kami?”
Panas juga rasanya perut Cia Ceng Sun mendengar ucapan laki-laki yang akan menjadi ayah mertuanya itu. Betapa dia diremehkan dan dipandang rendah!
“Apa yang Lo-cian-pwe minta? Kalau Lo-cian-pwe mengajukan syarat, tentu akan saya coba untuk memenuhinya.” katanya sederhana, namun sikapnya tegas.
Mendengar ucapan yang nadanya menantang itu, Eng Eng mengerutkan alisnya dan merasa khawatir, bahkan ia mengerling ke arah kekasihnya dan mengedipkan mata mencegah, namun sia-sia karena pemuda itu sudah mengeluarkan kata-katanya.
“Ha-ha-ha-ha-ha, bagus, bagus! Seorang gadis seperti Eng Eng memang tidak sepatutnya didapatkan dengan mudah seperti orang memetik buah apel dari pohon saja! Nah, permintaanku tidak banyak. Pertama engkau harus dapat memberi tanda mata yang patut bagi seorang calon isteri macam Eng Eng, dan ke dua, dalam pesta pernikahan kalian nanti, aku minta agar keluarga Kaisar menjadi tamunya!”
“Ayah!! Permintaan itu keterlaluan!” teriak Eng Eng, dan Ibunya juga berseru kaget.
“Aih, mana ada permintaan seperti itu? Yang pertama mungkin dapat dilaksanakan, akan tetapi yang ke dua mustahil! Kita ini apa dan siapa, minta keluarga kaisar menjadi tamu dalam pesta pernikahan anak kita?” kata Lauw Cu Si.
“Sudahlah, kalian jangan ribut-ribut. Semua ini kulakukan demi menaikkan derajat anak kita, berarti naiknya derajat kita pula! Bagaimana, Cia-sicu, sanggupkah engkau memenuhi kedua permintaan itu?”
“Saya sanggup!!” kata Cia Ceng Sun dengan suara lantang dan tegas sehingga mengejutkan tiga orang itu yang kini memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak.
“Sun-koko! Bagaimana engkau berani menyanggupi syarat yang mustahil itu?” teriak Eng Eng.
“Tenanglah, Eng-moi. Demi cintaku kepadamu, aku akan berani menyeberangi lautan api sekalipun. Akan kuusahakan sedapat mungkin untuk kelak mengundang keluarga kaisar. Aku mempunyai banyak kenalan di antara para pembesar dan juga penghuni istana!”
“Ha-ha-ha, bagus sekali! Setidaknya, kesanggupanmu sudah membuktikan adanya cinta kasihmu yang besar terhadap anak kami Cia-sicu. Sekarang, tanda mata apa yang pantas kau berikan kepada Eng Eng sebelum engkau pergi mengirimi wakil untuk melakukan pinangan resmi?”
“Harap Lo-cian-pwe sekalian menunggu sebentar, akan saya ambil dari kamar saya.”
Pemuda itu lalu bangkit dan meninggalkan ruangan makan. Ketika Eng Eng hendak mengejar, baru saja ia bangkit ayahnya melarang.
“Eng Eng, engkau harus pandai menghargai diri sendiri. Tunggu saja di sini, kita lihat bersama apa yang dapat dia berikan kepadamu. Engkau tidak ingin kelak kecewa dengan pilihanmu, bukan? Biarkan Ayah yang mengujinya!”
Eng Eng tidak jadi bangkit. Ia pun tahu bahwa sikap ayahnya yang begitu keras bukan karena ayahnya tidak suka mempunyai mantu Cia Ceng Sun, melainkan karena ayahnya ingin mendapatkan mantu yang benar-benar mencintainya, seorang mantu yang berani dan pandai.
Agak lama pemuda itu pergi dan ketika dia masuk kembali ke dalam ruangan itu, ternyata dia telah berganti pakaian dan telah membawa buntalan pakaiannya.
“Sun-koko! Engkau... hendak pergi...?”
Eng Eng terkejut sekali karena sebelumnya kekasihnya tidak mengatakan hendak pergi sekarang juga.
“Benar, Eng-moi. Aku harus cepat berusaha untuk memenuhi permintaan ayahmu, yaitu mengirim wali untuk meminang, dan mempersiapkan agar kelak keluarga istana dapat menghadiri pesta pernikahan kita.” Dia lalu menghadapi Siangkoan Kok dan mengeluarkan sebuah benda dari dalam saku bajunya. “Lo-cianpwe, untuk sementara ini, saya tidak mampu memberikan sesuatu yang lebih berharga daripada ini. Harap Lo-cian-pwe sekalian tidak merasa kecewa dengan pemberian tanda mata yang tidak berharga ini.”
Ketika Siangkoan Kok menerima benda itu, dia dan isterinya yang duduk di dekatnya terbelalak kagum.
“Tidak berharga?“ seru Lauw Cu Si. “Wah ! Belum pernah selama hidupku melihat kalung mutiara seindah ini!”
Siangkoan Kok, seorang keturunan bangsawan, juga terbelalak kagum. Dia mengenal barang yang amat berharga dan langka sehingga terlontar pertanyaannya penuh keheranan.
“Dari mana engkau memperoleh benda mustika seperti ini?”
“Lo-cian-pwe, sudah saya katakan bahwa saya mewarisi harta kekayaan orang tua saya, dan itu merupakan satu di antara benda peninggalan itu.”
“Nah, Ayah jangan memandang rendah kepada Sun-koko!” Eng Eng juga berseru, bangga sekali walaupun diam-diam ia juga merasa heran bahwa kekasihnya memiliki simpanan benda yang demikian langka dan berharga, yang dikatakannya tadi “tidak berharga.” Kalau kalung seperti itu tidak berharga, lalu yang berharga itu yang bagaimana?
Siangkoan Kok setelah memeriksa benda berharga itu, lalu menyerahkannya kepada isterinya yang kini mendapat giliran mengaguminya bersama Eng Eng, lalu berkata kepada pemuda itu.
“Baik, tanda mata itu kami terima dan kami anggap cukup pantas. Sekarang pergilah untuk mengirim utusan dan wali untuk melakukan pinangan resmi, kemudian atur agar dalam pesta pernikahannya, keluarga kaisar dapat hadir. Kalau engkau membohongi kami, awas aku tidak akan mengampunimu.”
“Baik, Lo-cian-pwe. Nah, saya minta diri. Eng-moi, aku pergi dulu dan doakan saja agar usahaku berhasil.”
“Selamat jalan, Koko, dan jangan terlalu lama membiarkan aku menunggumu di sini.” kata gadis itu.
Setelah memberi hormat, Cia Ceng Sun lalu pergi meninggalkan rumah itu. Tiba-tiba Siangkoan Kok lalu berkata kepada puterinya,
“Eng Eng, aku mempunyai urusan penting, karena itu engkau harus dapat mewakill aku. Kau bawa beberapa anak buah yang boleh diandalkan, dan kau bayangi pemuda itu.”
“Ayah! Apa artinya ini? Kami sudah saling mencinta!”
“Anak bodoh! Justeru karena engkau mencintanya, engkau harus mengenal betul siapa dia! Bayangi dia dan buktikan sendiri bagaimana dia berusaha untuk dapat kelak menghadirkan keluarga istana di dalam pesta pernikahanmu. Jangan sampai kita dibohongi dan ditipu. Mengerti? Jangan percaya dulu sebelum melihat buktinya, betapapun cintamu kepadanya. Engkau tidak ingin kelak hidup sengsara, bukan? Dan ingat, engkau bayangi dia, jangan bantu dan jangan perlihatkan diri, jangan khianati ayahmu karena semua ini demi kebaikan masa depanmu sendiri.”'
Eng Eng mengerti dan ia mengangguk. Bahkan diam-diam ia merasa gembira karena dengan membayangi Cia Ceng Sun, berarti dia selalu dekat dengan kekasihnya itu, walaupun ia tidak boleh memperlihatkan diri. Dan memang perlu untuk diketahui siapa sebenarnya kekasihnya itu yang menyanggupi ayahnya untuk menghadirkan keluarga kaisar dalam pesta pernikahannya!
Dia pun cepat berkemas, lalu mengajak empat orang pelayannya yang ia percaya, yaitu empat orang gadis yang berpakaian kuning, merah, biru dan putih. Mereka berlima lalu cepat meninggalkan perkampungan Pao-beng-pai dan dengan mudah mereka dapat menyusul Cia Ceng Sun dan membayangi pemuda itu dari jauh.
Cia Ceng Sun sudah keluar dari Bankwi-kok (Lembah Selaksa Setan) melalui jalan keluar yang sudah diberi tanda-tanda sehingga dia tidak akan tersesat ke dalam daerah yang berbahaya penuh rahasia, dan dia kini tiba di lereng paling rendah dari Kwi-san (Bukit Setan). Sunyi saja di situ. Matahari sudah naik tinggi dan sinarnya mulai terasa hangat di badan.
Tiba-tiba Cia Ceng Sun yang penglihatan dan pendengarannya tajam dan peka, melihat berkelebatnya bayangan di balik semak-semak di sebelah kirinya. Dia berhenti, menoleh ke kiri dan membentak.
“Siapa mengintai di sana? Keluarlah dan jangan bersembunyi seperti binatang liar!”
Sesosok bayangan melompat keluar dari kiri, disusul bayangan lain melayang dari kanan dan dia telah berhadapan dengan dua orang laki-laki yang berusia kurang lebih empat puluh lima tahun. Dua orang itu segera memberi hormat kepadanya dengan berlutut sebelah kaki.
“Mohon maaf kalau hamba berdua mengejutkan hati Pangeran,” kata seorang di antara mereka yang kumisnya tebal.
“Hamba berdua diutus ayah Paduka, Pangeran Cia Yan, untuk menjemput Paduka dan mengawal Paduka pulang sekarang juga karena ada urusan penting.” kata orang ke dua yang kepalanya botak.
“Ssttt !”
Pangeran Cia Sun atau Cia Ceng Sun menaruh telunjuk ke depan bibir untuk memberi isyarat agar kedua orang itu menahan kata-kata mereka, lalu menoleh ke sekeliling.
“Harap Paduka jangan khawatir, Pangeran. Kami berdua telah melakukan pemeriksaan dan tempat ini sunyi.” kata si kumis tebal.
“Andaikata ada yang melihatnya juga, siapa yang akan berani mengganggu Paduka?” sambung si botak.
Tentu saja kedua orang pengawal istana ini merasa heran melihat sikap sang pangeran. Kenapa mesti bersikap begitu hati-hati dan takut? Dia seorang pangeran. Siapa akan berani mengganggunya tentu akan berhadapan dengan pasukan pemerintah!
Pangeran Cia Sun mengerutkan alisnya.
“Ada urusan penting apakah sampai kalian diutus mencari aku? Aku bisa pulang sendiri!” katanya tak senang. “Pula, bagaimana kalian dapat tahu bahwa aku berada di sini?”
Si kumis tebal tersenyum bangga.
“Pangeran, tidak percuma kami berdua menjadi jagoan istana, pengawal-pengawal yang dipercaya. Ketika Paduka pergi ayah Paduka Pangeran Cia Yan memerintahkan kami berdua untuk membayangi Paduka dari jauh dan menjaga keselamatan Paduka. Tugas ini amat mudah karena Paduka memiliki ilmu kepandaian tinggi dan cukup kuat untuk membela diri sendiri. Maka kami hanya menyebar anak buah untuk membayangi dari jauh. Kami mengetahui bahwa Paduka hadir pula di dalam pertemuan Pao-beng-pai walaupun kami tidak mungkin dapat masuk ke tempat berbahaya itu.”
“Untung kalian tidak masuk, kalau hal itu terjadi, selain kalian celaka, tentu penyamaranku akan gagal pula. Lalu bagaimana?” tanya sang pangeran.
Kini si Botak yang melanjutkan.
“Kami merasa khawatir karena setelah semua tamu keluar dari Ban-kwi-tok, Paduka tidak keluar-keluar. Kami merasa bahwa tentu ada sesuatu yang terjadi maka cepat kami mengirim laporan kepada ayah Paduka. Dan kami menerima perintah agar menjemput Paduka dan mengajak Paduka pulang secepatnya. Ayah Paduka tidak berkenan mendengar Paduka bergaul dengan orang-orang kangouw yang mencurigakan itu, juga Paduka ditunggu karena ada tamu penting.”
“Siapa tamu penting itu?”
Dua orang pengawal itu saling pandang dan tersenyum penuh arti.
“Paduka tentu akan senang sekali kalau tiba di rumah. Tunangan Paduka telah menanti bersama orang tuanya.”
“Tunanganku ? Jangan bicara sembarangan!”
“Hamba tidak berbohong. Pendekar wanita Si Bangau Merah.”
“Ahhh! Sudahlah, kalian ini sungguh menjengkelkan. Bukankah kalian juga tahu bahwa aku pandai menjaga diri sendiri? Seperti anak kecil saja, di jemput dan dikawal!”
Tiba-tiba sang pangeran terkejut dan membalikkan tubuh dengan cepat, juga dua orang pengawalnya memutar tubuh ke kanan dan terbelalak. Di situ, di hadapan mereka, telah berdiri lima orang gadis yang cantik-cantik, yang empat orang berpakaian empat macam warna, dan yang di depan luar biasa cantiknya, pakaiannya berkembang, rambutnya digelung ke atas dan dihias sebuah tiara kecil, tangan kirinya memegang sebatang hudtim atau kebutan berbulu merah dengan gagang emas, sepasang matanya mencorong memandang kepada Pangeran Cia Sun seperti mengeluarkan api!
“Pangeran Cia Sun!” terdengar suaranya dingin sekali. “Menyerahlah untuk menjadi tawanan kami!”
“Eng-moi !” Pangeran Cia Sun berseru sambil melangkah maju untuk mendekati gadis kekasihnya itu.
“Diam! Engkau tak berhak menyebutku seperti itu!” bentak Siangkoan Eng marah.
Si kumis tebal dan si botak menjadi marah. Mereka meloncat ke depan Pangeran Cia Sun seperti melindunginya dan menghadapi lima orang gadis cantik.
“Apakah kalian telah menjadi gila Beliau ini adalah Pangeran Cia Sun, cucu Sribaginda Kaisar! Beranikah kalian bersikap kurang hormat kepada beliau? Apakah kalian sudah bosan hidup?”
Kedua orang pengawal itu sudah mencabut pedang mereka untuk melindungi sang pangeran.
“Bereskan mereka!” kata Siangkoan Eng dan empat orang pelayannya sudah berloncatan menghadapi dua orang pengawal itu sambil mencabut pedang mereka. “Kalian yang sudah bosan hidup!” bentak nona baju kuning dan ia memimpin penyerangan kepada dua orang jagoan istana itu.
Terjadilah pertanding seru dan hebat. Dua orang jagoan istana itu terkejut setengah mati karena mendapat kenyataan bahwa empat orang gadis cantik itu lihai bukan main menggerakkan pedang mereka dan sebentar saja mereka berdua terdesak dan terkepung, harus memutar pedang secepatnya untuk melindungi diri.
Sementara itu, Siangkoan Eng maju menghampiri Pangeran Cia Sun dan membentak lagi.
“Menyerahtah atau terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!”
“Eng-moi, ingatlah aku…aku..”
“Tidak perlu banyak cakap lagi!” bentak Siangkoan Eng dan ia sudah menyerang dengan kebutannya, menotok ke arah leher Cia Sun.
Pangeran ini mengelak, akan tetapi Eng Eng menyerang terus, bahkan semakin hebat.
“Eng-moi ah, engkau keterlaluan, tidak memberi kesempatan kepadaku “ kata sang pangeran yang terus mengelak sampai beberapa kali.
“Engkau mata-mata busuk, pengkhianat, manusia berhati palsu, tidak perlu bicara lagi!”
Kini penyerangan semakin hebat sehingga terpaksa Pangeran Cia Sun menangkis cengkeraman tangan kanan gadis itu. Begitu kedua lengan bertemu, dia hampir terjengkang!
Cia Sun terkejut dan baru dia yakin benar bahwa dalam pertandingan tempo hari, gadis itu selalu mengalah. Kini buktinya, pertemuan tenaga mereka membuktikan bahwa gadis itu jauh lebih kuat dari padanya.
Kini Cia Sun yang melawan setengah hati, tidak mau membalas serangan, hanya mengelak dan menangkis saja.
“Engkau keliru, Eng-moi. Aku memang pangeran yang menyamar menjadi orang biasa untuk dapat leluasa memperdalam pengetahuan dan pengalaman, aku tidak berniat buruk, aku bertemu denganmu dan jatuh cinta “
Karena bicara, maka pertahanan pangeran itu kurang kuat dan sebuah totokan jari tangan kanan Eng Eng membuat dia terkulai dan roboh lemas tak mampu bergerak lagi! Dan pada saat itu pun, dua orang pengawal itu roboh mandi darah dan tewas di ujung pedang empat orang gadis pelayan Eng Eng.
“Belenggu kedua tangannya dan bawa pulang, masukkan ke dalam kamar tahanan dan jangan ganggu dia sampai ayah pulang.”
Katanya kepada empat orang gadis pelayan yang segera meringkus Cia Sun yang sudah tidak mampu bergerak, membelenggu kedua tangan ke belakang lalu menggotongnya seperti seekor kijang yang baru saja ditangkap oleh sekawanan pemburu.
Mayat kedua orang pengawal itu ditinggalkan begitu saja oleh mereka. Sepuluh menit kemudian, barulah beberapa orang muncul dan membawa pergi dua jenazah jagoan istana itu. Mereka adalah anak buah yang tadi tidak berani muncul. Sang pangeran yang perkasa dan dua orang jagoan istana itu saja tidak mampu menandingi lawan, apalagi mereka yang hanya anak buah biasa.
**** 013 ****