Tak lama kemudian, lima orang telah tiba di situ, dipimpin seorang yang mukanya hitam seperti dilumuri arang dan tubuhnya tinggi besar. Orang ini membawa sebatang golok besar telanjang yang berkilauan saking tajamnya, dan empat orang kawannya juga membawa golok tergantung di pinggang masing-masing. si muka hitam berteriak dengan suara lantang.
“Siapa yang bernama Juragan Lui?”
Para nelayan yang tadinya sibuk be¬kerja itu menjadi panik melihat munculnya lima orang itu. Akan tetapi Juragan Lui dengan tenang menghampiri mereka dan dengan alis berkerut dia pun menegur.
“Siapakah kalian dan mau apa mencari Juragan Lui? Akulah orangnya!” Dan dia mengepulkan asap huncwe dari mulutnya.
Si muka hitam melangkah maju menghampiri dan mengelebatkan golok besarnya.
“Jadi engkau yang bernama Juragan Lui? Engkau telah berani memukul tiga orang anak buahku, maka aku sendiri, Hek Houw (Harimau Hitam) datang untuk menghukummu!”
“Hemmm, bagus! Anak buahmu yang berani melakukan pengacauan di wilayahku dan engkau hendak membela mereka? Huncweku tentu tidak akan mengampunimu. Ataukah engkau akan melakukan pengeroyokan dengan empat orang kawanmu? Aku pun dapat mengerahkan semua orangku untuk mengeroyok. Katakan, engkau menghendaki keroyokan banyak orang atau hendak bertanding satu lawan satu sebagaimana layaknya orang gagah?”
“Ha-ha-ha, si lintah darat Lui masih dapat bicara tentang orang gagah. Mari kita bertanding satu lawan satu, dan kalau aku menang, engkau harus menyediakan perahu-perahu untuk kami tiga puluh orang pergi ke pulau kosong!”
“Hemmm, kiranya kalian sebangsa perampok. Bagaimana kalau engkau yang kalah?”
“Aku Si Harimau Hitam, kalah olehmu. Ha-ha-ha, jangan mimpi! Kalau aku kalah, aku dan kawan-kawanku tidak akan mengganggu dusun ini lagi.”
“Bagus! Mari kita mulai!”
Dua orang itu lalu memasang kuda-¬kuda. Si muka hitam, mengangkat goloknya tinggi di atas kepala sedangkan tangan kirinya ditekuk di depan dada. Juragan Lui dengan sikapnya yang tenang melentangkan huncwenya di depan dada.
“Lihat seranganku!” bentak si muka hitam yang menyerang lebih dulu dengan goloknya.
Golok itu menyambar dahsyat ke arah kepala Juragan Lui. Yang diserang menggerakkan huncwenya menangkis.
“Tranggggg....!!”
Pertemuan antara kedua tenaga dahsyat itu hebat sekali dan nampak api berpercikan keluar dari tempat tembakau huncwe itu dan keduanya mundur dua langkah. Ini menunjukkan bahwa kedua orang itu memiliki tenaga yang berimbang.
Agaknya Hek Houw menjadi penasaran sekali. Dia adalah seorang kepala perampok yang sudah terkenal di daerah itu dan baru sekali ini bertemu tanding yang seimbang dalam diri seorang juragan nelayan! Karena marah, dia lalu menyerang lagi dan menggerakkan goloknya dengan hebat, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh ilmu goloknya.
Akhirnya, Juragan Lui terdesak juga oleh permainan golok yang amat cepat dan kuat itu. Senjatanya berupa huncwe itu tidak menguntungkan, hanya dapat dipakai untuk menotok saja, se¬dangkan golok lawan dapat dipergunakan untuk membacok dan menusuk.
“Sing-sing-singgg....!”
Golok, itu menyambar-nyambar sehingga Juragan Lui terpaksa harus berloncatan ke sana kemari untuk menghindarkan diri. Dia tidak mendapat kesempatan lagi untuk balas menyerang saking cepatnya serangan lawan yang bertubi-tubi.
“Trakkk....!”
Tiba-tiba golok itu tertahan di udara oleh sebatang kayu ranting. Si Harimau Hitam merasa betapa tangannya kesemutan dan goloknya seolah tertahan dan melekat pada ranting kayu itu. Dia cepat menarik goloknya dan melangkah mundur.
Ternyata yang memegang sebatang ranting dan yang menahan goloknya itu adalah seorang pemuda remaja yang tampan dan gagah. Seorang pemuda yang usianya paling banyak lima belas tahun, bermata lebar, hidungnya mancung dan mulutnya senyum-senyum.
Pemuda itu adalah Tao Keng Han. Tadinya dia hanya nonton saja perkelahian yang terjadi itu, akan tetapi melihat betapa Juragan Lui terdesak dan terancam, dia tidak dapat tinggal diam saja lalu memungut sepotong ranting dan turun tangan menangkis golok yang menyambar-nyambar itu.
“Keparat! Engkau bocah tak tahu diri, siapakah engkau yang berani menangkis golokku?”
Keng Han tersenyum.
“Siapa aku tidaklah penting, akan tetapi engkau hendak memaksakan kehendak agar ditaati orang lain. Itu merupakan perbuatan jahat yang harus kutentang. Orang-orang ini adalah para nelayan yang harus bekerja mencari nafkah, mengapa engkau mengganggu mereka dan memaksa mereka untuk mengantarmu berlayar?”
“Anak kecil kau tahu apa! Hayo pergi dari sini atau akan kupenggal batang lehermu?”
“Siapa yang bernama Juragan Lui?”
Para nelayan yang tadinya sibuk be¬kerja itu menjadi panik melihat munculnya lima orang itu. Akan tetapi Juragan Lui dengan tenang menghampiri mereka dan dengan alis berkerut dia pun menegur.
“Siapakah kalian dan mau apa mencari Juragan Lui? Akulah orangnya!” Dan dia mengepulkan asap huncwe dari mulutnya.
Si muka hitam melangkah maju menghampiri dan mengelebatkan golok besarnya.
“Jadi engkau yang bernama Juragan Lui? Engkau telah berani memukul tiga orang anak buahku, maka aku sendiri, Hek Houw (Harimau Hitam) datang untuk menghukummu!”
“Hemmm, bagus! Anak buahmu yang berani melakukan pengacauan di wilayahku dan engkau hendak membela mereka? Huncweku tentu tidak akan mengampunimu. Ataukah engkau akan melakukan pengeroyokan dengan empat orang kawanmu? Aku pun dapat mengerahkan semua orangku untuk mengeroyok. Katakan, engkau menghendaki keroyokan banyak orang atau hendak bertanding satu lawan satu sebagaimana layaknya orang gagah?”
“Ha-ha-ha, si lintah darat Lui masih dapat bicara tentang orang gagah. Mari kita bertanding satu lawan satu, dan kalau aku menang, engkau harus menyediakan perahu-perahu untuk kami tiga puluh orang pergi ke pulau kosong!”
“Hemmm, kiranya kalian sebangsa perampok. Bagaimana kalau engkau yang kalah?”
“Aku Si Harimau Hitam, kalah olehmu. Ha-ha-ha, jangan mimpi! Kalau aku kalah, aku dan kawan-kawanku tidak akan mengganggu dusun ini lagi.”
“Bagus! Mari kita mulai!”
Dua orang itu lalu memasang kuda-¬kuda. Si muka hitam, mengangkat goloknya tinggi di atas kepala sedangkan tangan kirinya ditekuk di depan dada. Juragan Lui dengan sikapnya yang tenang melentangkan huncwenya di depan dada.
“Lihat seranganku!” bentak si muka hitam yang menyerang lebih dulu dengan goloknya.
Golok itu menyambar dahsyat ke arah kepala Juragan Lui. Yang diserang menggerakkan huncwenya menangkis.
“Tranggggg....!!”
Pertemuan antara kedua tenaga dahsyat itu hebat sekali dan nampak api berpercikan keluar dari tempat tembakau huncwe itu dan keduanya mundur dua langkah. Ini menunjukkan bahwa kedua orang itu memiliki tenaga yang berimbang.
Agaknya Hek Houw menjadi penasaran sekali. Dia adalah seorang kepala perampok yang sudah terkenal di daerah itu dan baru sekali ini bertemu tanding yang seimbang dalam diri seorang juragan nelayan! Karena marah, dia lalu menyerang lagi dan menggerakkan goloknya dengan hebat, mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh ilmu goloknya.
Akhirnya, Juragan Lui terdesak juga oleh permainan golok yang amat cepat dan kuat itu. Senjatanya berupa huncwe itu tidak menguntungkan, hanya dapat dipakai untuk menotok saja, se¬dangkan golok lawan dapat dipergunakan untuk membacok dan menusuk.
“Sing-sing-singgg....!”
Golok, itu menyambar-nyambar sehingga Juragan Lui terpaksa harus berloncatan ke sana kemari untuk menghindarkan diri. Dia tidak mendapat kesempatan lagi untuk balas menyerang saking cepatnya serangan lawan yang bertubi-tubi.
“Trakkk....!”
Tiba-tiba golok itu tertahan di udara oleh sebatang kayu ranting. Si Harimau Hitam merasa betapa tangannya kesemutan dan goloknya seolah tertahan dan melekat pada ranting kayu itu. Dia cepat menarik goloknya dan melangkah mundur.
Ternyata yang memegang sebatang ranting dan yang menahan goloknya itu adalah seorang pemuda remaja yang tampan dan gagah. Seorang pemuda yang usianya paling banyak lima belas tahun, bermata lebar, hidungnya mancung dan mulutnya senyum-senyum.
Pemuda itu adalah Tao Keng Han. Tadinya dia hanya nonton saja perkelahian yang terjadi itu, akan tetapi melihat betapa Juragan Lui terdesak dan terancam, dia tidak dapat tinggal diam saja lalu memungut sepotong ranting dan turun tangan menangkis golok yang menyambar-nyambar itu.
“Keparat! Engkau bocah tak tahu diri, siapakah engkau yang berani menangkis golokku?”
Keng Han tersenyum.
“Siapa aku tidaklah penting, akan tetapi engkau hendak memaksakan kehendak agar ditaati orang lain. Itu merupakan perbuatan jahat yang harus kutentang. Orang-orang ini adalah para nelayan yang harus bekerja mencari nafkah, mengapa engkau mengganggu mereka dan memaksa mereka untuk mengantarmu berlayar?”
“Anak kecil kau tahu apa! Hayo pergi dari sini atau akan kupenggal batang lehermu?”
“Hemmm, hendak kulihat bagaimana caranya engkau memenggal batang leherku, sebaliknya aku akan mematahkan batang hidungmu!” kata Keng Han.
Dia tadi sudah menyaksikan pertandingan antara kepala perampok ini dengan Juragan Lui dan melihat betapa dangkal penilainnya, gerakan kepala perampok itu hanya mengandalkan tenaga luar saja dan lamban baginya, maka dia merasa yakin akan mampu mengalahkannya. Mendengar ucapan pemuda remaja itu, Harimau Hitam menjadi marah sekali. Dia mengayun goloknya dengan penuh sambil membentak.
“Hyaaaaattt....!”
Akan tetapi bacokan itu luput karena dengan lincahnya Keng Han sudah mengelak. Anak ini sudah menerima gemblengan ilmu silat dari Gosang Lama yang tingkatnya jauh lebih tinggi daripada ilmu golok penjahat itu, maka Keng Han dapat mempermainkannya. Setelah enam tujuh kali dia mengelak dari sambaran golok kepala perampok itu, Keng Han mulai menggerakkan ranting kayu di tangannya.
“Prat-prat!!”
Dua kali ranting kayu menyambar dan tak dapat dihindarkan lagi muka kepala perampok itu terkena lecutan ujung ranting kayu sehingga nampak dua jalur merah pada kedua pipinya! Rasa nyeri dan pedih membuat dia semakin marah dan mengamuk seperti harimau terluka. Namun, semakin hebat dia mengamuk semakin sering pula ranting kayu itu melecut dan beberapa kali mengenai batang hidungnya sehingga tulang batang hidung yang tidak keras itu menjadi patah-patah dan berdarah!
Melihat kepala perampok itu tidak menjadi jera bahkan mengamuk semakin ganas, Keng Han lalu menggerakkan tongkatnya dua kali ke arah lutut. Dia menotok kedua lutut Harimau Hitam itu dan kepala perampok itu jatuh berlutut!
Empat orang anak buahnya yang tidak berani mencampuri karena di situ selain terdapat Juragan Lui, juga terdapat banyak sekali nelayan, segera membantu ketua mereka, mengangkatnya bangun dan memapahnya pergi dari situ tanpa banyak cakap lagi.
Para nelayan menyambut kemenangan Keng Han dengan sorak dan tepuk tangan. Juragan Lui segera menghampiri Keng Han dan memberi hormat sambil berkata,
“Siauw-hiap (Pendekar Muda) sungguh lihai, mengagumkan sekali dan terima kasih atas pertolonganmu tadi.”
Akan tetapi Keng Han yang tadi telah bertanya-tanya dan mendapat keterangan beberapa orang nelayan siapa adanya Juragan Lui itu, sudah berkata dengan ketus kepadanya,
“Engkau juga bukan orang baik-baik, Juragan Lui!”
Mendengar ini, Juragan Lui terbelalak dan berseru,
“Engkau keliru, orang muda! Aku adalah penolong seluruh nelayan di daerah ini! Siapa yang memberi modal kepada mereka untuk memperbaiki jala dan perahu! Aku! Siapa yang memberi mereka makan dan pakaian di waktu angin besar tidak memungkinkan mereka mencari nafkah? Aku! Kalau tidak ada aku, mereka tentu banyak yang sudah kelaparan!”
“Hemmm, memang baik sekali kalau engkau menolong mereka dari kesukaran. Akan tetapi engkau menolong dengan pamrih untuk menarik keuntungan sebesarnya. Kalau musim menangkap ikan tiba, engkau mengharuskan mereka menyerahkan seluruh hasil tangkapan ikan kepadamu. Engkau memperhitungkan bantuan-bantuanmu sebagai hutang dengan bunga berlipat ganda. Itu bukan pertolongan namanya, melainkan pemerasan! Engkau sepertl lintah darat, tidak lebih baik daripada kepala perampok tadi!”
“Itu fitnah! Engkau lancang mulut dan perlu dihajar, orang muda!” kata Juragan Lui dengan marah sekali.
“Benarkah? Aku atau engkau yang perlu dihajar?” Keng Han mengejek.
Karena merasa dihina di depan banyak, orang, Juragan Lui segera menyerang dengan huncwenya. Serangannya cepat dan berbahaya, namun bagi Keng Han serangan itu tidak ada artinya. Dia mengelak dan sekali tongkatnya bergerak, ujung tongkatnya telah menotok pergelangan tangan yang memegang huncwe sehingga pipa tembakau itu terlepas dari pegangan tangan Juragan Lui.
Para tukang pukulnya yang ketika itu sudah berkumpul di situ dan ada belasan orang banyaknya sudah siap membantu juragan mereka, akan tetapi Keng Han menodongkan ujung rantingnya ke leher Juragan Lui dan membentak,
“Mundur kalian semua! Atau, aku akan membunuh juragan kalian ini lebih dulu, baru membunuh kalian!”
Juragan Lui yang ditodong lehernya maklum bahwa sekali tongkat itu bergerak menotok, dia akan tewas. Dengan ketakutan dia lalu berkata, suaranya gemetar.
“Ampunkan aku, Siauw-hiap. Aku akan mentaati semua permintaanmu.”
Keng Han menarik tongkatnya.
“Aku tidak menghendaki apa pun darimu, akan tetapi mulai sekarang engkau tidak boleh memeras para nelayan. Kalau memberi pinjaman, mintalah bayaran dengan bunga yang wajar saja sehingga para nelayan berkesempatan untuk menaikkan taraf kehidupan mereka. Mereka itu manusia, sama dengan engkau dan aku yang membutuhkan kesejahteraan dan kesenangan, bukan sekedar makan saja. Kalau lain kali aku melihat engkau masih memeras mereka, aku akan membunuhmu!”
“Baik, Siauw-hiap. Aku akan melaksanakan perintahmu.”
“Sekarang, aku ingin menyewa sebuah perahu dengan tukang perahu yang dapat mengantar aku ke Pulau Es yang muncul belasan tahun yang lalu.”
Wajah Juragan Lui menjadi pucat.
“Ah, akan tetapi di antara kami tidak ada yang berani ke sana, Siauw-hiap.”
“Mengapa tidak berani?” tanya Keng Han dengan heran.
“Karena.... karena pulau itu berhantu!”
“Berhantu? Apakah ada yang pernah melihat hantu di pulau itu?”
“Melihat sih belum, akan tetapi kabar yang tersiar di mana-mana bahwa pulau itu berhantu. Sudah beberapa orang nelayan yang berani mencari ikan agak dekat dengan pulau itu, kedapatan mati, mati dengan tubuh hangus seperti dibakar! Nah, siapa lagi yang melakukan hal ini kalau bukan hantu? Kami.... maafkan, Siauw-hiap, tidak ada di antara kami yang berani.”
“Aku yang menanggung keselamatannya. Orang yang mengantarku ke sana tidak perlu ikut mendarat, cukup mengantar sampai aku tiba di sana saja. Setelah aku mengadakan penelitian di sana, dia lalu boleh mengantar aku kembali dan untuk itu aku mau membayar sewa perahu dan upah yang memadai.”
Mendengar ini, Juragan Lui lalu menoleh ke belakang, ke arah para nelayan dan bertanya,
“Kalian semua telah mendengar permintan Siauw-hiap ini, apakah ada diantara kalian yang sanggup mengantarkan dia ke pulau itu?”
Para nelayan itu nampak ketakutan, saling pandang dan menggeleng kepala. Akan tetapi seorang nelayan yang berusia lima puluh tahun segera melangkah maju dan berkata,
“Biarlah saya yang akan mengantar Siauw-hiap ini ke sana! Dia sudah melepas budi kepada kami, memperbaiki nasib kami, maka sebagai tanda terima kasih biar saya mengantar dia ke sana!”
Orang-orang bertepuk tangan memuji ketika ada seorang di antara mereka yang berani mengajukan diri. Orang itu bernama Ji Koan, seorang nelayan kawakan yang sejak kecil sudah menjadi nelayan di tempat itu.
“Terima kasih, Paman.” kata Keng Han. “Siapakah nama, Paman?”
“Namaku Ji Koan, Siauw-hiap.”
“Paman Ji, berapa sewa perahumu? Aku akan membayarnya lebih dulu.”
“Tidak usah, Siauw-hiap. Soal sewanya mudah nanti saja kalau Siauw-hiap sudah berhasil sampai ke pulau itu dan kembali dengan selamat ke sini. Kapan berangkat, Siauw-hiap?”
“Sekarang juga, Paman Ji. Dan jangan sebut aku siauw-hiap. Namaku Tao Keng Han.”
“Baiklah, Tao-kongcu. Nah, saya sudah siap. Itu perahuku yang layarnya kuning.” kata Ji Koan dengan nada gembira dan bangga bahwa dia satu-satunya orang yang berani mengantar pemuda perkasa itu ke Pulau Hantu.
Semua ini dia lakukan karena rasa terima kasihnya. Berkat sepak terjang pemuda itu, kehidupan para nelayan di situ akan menjadi jauh lebih baik. Para nelayan yang lain membantu ketika Ji Koan membuat persiapan dan ketika perahu berangkat berlayar, semua orang memandang dan mengikuti perahu itu dengan sinar mata penuh ketegangan, juga kekhawatiran.
Akan tetapi Ji Koan adalah seorang nelayan yang tidak berkeluarga, hidup sebatang kara saja di dunia ini sehingga tidak ada anggota keluarga yang mengkhawatirkannya.
Semua penduduk perkampungan nelayan itu dicekam ketakutan kalau orang bicara tentang Pulau Hantu, demikian mereka menamakan pulau kosong itu. Rasa takut adalah suatu perasaan yang timbul apabila orang menghadapi sesuatu yang belum terjadi. Kalau orang membayangkan hal-hal yang hebat, malapetaka yang akan menimpanya di masa depan, maka orang itu akan dicekam perasaan takut.
Takut dan khawatir hanya merupakan permainan dari pikiran kita sendiri yang membayangkan hal-¬hal yang belum tiba, memikirkan masa depan dan mengkhayalkan kejadian-kejadian mengerikan yang mungkin menimpa diri kita.
Kalau kejadian itu sudah datang menimpa kita, maka rasa takut itu pun tidak akan ada lagi, yang ada rasa takut membayangkan hal lain yang mungkin datang menimpa kita, yang lebih hebat lagi. Kalau ada wabah mengamuk, kita yang belum terkena penyakit tentu menjadi ketakutan kalau membayangkan bahwa kita akan terkena penyakit itu. Akan tetapi kalau penyakit benar-benar sudah menimpa kita, kita tidak lagi takut menghadapi penyakit yang sudah diderita, yang kita takuti mungkin kematian yang belum tiba.
Pendeknya, segala hal yang belum datang dan mungkin menimpa diri kita di masa depan, memikirkan atau membayangkan hal itulah yang menimbulkan perasaan takut dan ngeri. Seperti orang takut akan han¬tu, setan, iblis dan sebagainya. Karena kita belum pernah melihatnya, belum pernah bertemu, kita lalu membayangkan hal-hal yang mengerikan kalau bertemu benar-benar. Andaikata kita sudah ber¬temu dengan Iblis seperti kita melihat mahluk-mahluk lainnya pasti tidak ada lagi rasa takut itu.
Kalau kita tidak membayangkan hal-hal yang belum da¬tang, tidak membayangkan masa depan, maka kita hanya akan menghadapi saat ini, peristiwa yang kita hadapi sekarang ini dan kita bebas daripada rasa takut akan masa depan. Orang yang begini adalah seorang yang waspada dan pasti akan mampu menghadapi segala hal yang dialaminya, dan orang yang bebas dari rasa takut adalah seorang yang berbahagia.
Lebih baik kita menyerahkan segala hal yang belum datang itu kepada Tuhan, karena Tuhan yang mengatur segala apa yang terjadi di dunia ini! Dengan penyerahan dan kepasrahan yang total kita melangkah dalam kehidupan ini dan tidak takut akan tertimpa apapun juga. Apa pun yang terjadi, kalau kita menerimanya sebagai kehendak Tuhan kita akan terbebas dari segala penyesalan dan duka.
Bukan berarti kita lalu mandeg dan menjadi malas, menyerahkan segalanya kepada Tuhan tanpa berusaha. Tidak! Kita berikhtiar sekuat kemampuan kita untuk mendapatkan yang terbaik, akan tetapi dengan landasan penyerahan seutuhnya sehingga apa pun yang kita hasilkan, itulah anugerah dari Tuhan. Bahkan ke¬gagalan dalam usaha kita pun merupakan anugerah terselubung dan kesalahannya harus kita cari dalam sepak terjang kita sendiri!
Pagi itu udara amat cerah, matahari pagi hangat dan cerah, langit bersih hanya terdapat sedikit awan putih yang berarak dengan indahnya. Air laut juga tenang dan angin berhembus lembut, membuat perahu yang ditumpangi Keng Han meluncur dengan sempurna.
Keng Han merasa gembira sekali. Dia teringat akan cerita ibunya ketika bertamasya dengan ayahnya, juga naik perahu berlayar di sepanjang lautan ini. Ah, seperti apa macam pria yang menjadi ayahnya? Menurut ibunya, ayahnya seorang pangeran yang berwajah tampan dan gagah. Kata ibunya, tubuhnya sedang, dahinya lebar, alisnya tebal dan matanya seperti mata burung Hong, hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersungging senyuman, pakaiannya indah!
Ah, betapa akan bangga hatinya kalau dia bertemu dengan ayahnya. Dan ayah serta ibunya menyaksikan ketika pulau yang kini disebut Pulau Hantu oleh para nelayan itu “lahir”!
Mendengar kelahiran sebuah pulau dari ibunya sudah timbul keinginan tahunya untuk berkunjung ke pulau aneh itu, apalagi sekarang pulau itu bahkan disebut Pulau Hantu oleh para nelayan. Cerita ini tidak membuatnya takut, bahkan menambah keinginan tahunya. Benar-benarkah ada hantu di pulau itu? Atau bahkan, benar-benarkah ada hantu di dunia ini? Hantu seperti dalam dongeng, yang bentuknya aneh-aneh dan mengerikan?
Setelah berlayar selama setengah hari dan matahari sudah naik tinggi, tiba-tiba Ji Koan berseru.
“Itulah dia.... Pulau Hantu....!” ketika menyebut pulau itu, suaranya berubah menjadi bisikan.
Keng Han yang sedang melamun menjadi kaget dan cepat memandang nelayan itu yang menudingkan telunjuknya ke kiri. Dia menengok dan melihat sebuah pulau, tak jauh lagi dari situ. Pulau itu tidak terlalu besar, memanjang dan berwarna hijau kehitaman. Agaknya pulau itu tidak gundul, melainkan ditumbuhi banyak pohon-pohonan.
Padahal, ibunya pernah bercerita bahwa kabarnya pulau itu dahulunya disebut Pulau Es yang lenyap di telan air lautan puluhan tahun yang lalu dan lima belas tahun yang lalu lahir atau timbul kembali muncul dari dalam lautan. Dia tidak dapat mengira-ngirakan apa yang sesungguhnya telah terjadi di dasar lautan itu, mengapa ada pulau dapat lenyap ditelan air dan kini muncul kembali dalam bentuk lain. Kalau dulu menjadi Pulau Es, kini menjadi Pulau Hantu yang banyak pohon-pohonnya.
“Ah, kelihatan pulau biasa saja, mengapa disebut Pulau Hantu? Paman Ji Koan, arahkan perahu mendekat.”
“Tao-kongcu.... saya.... saya takut....!”
“Aih, apa yang ditakuti? Mari, biar aku yang mengemudikan perahu!” katanya dan Keng Han mengambil oper kemudi dari tangan Ji Koan.
Tadi dia sudah belajar dari nelayan itu dan karena dia memang seorang pemuda yang cerdik maka sebentar saja dia sudah dapat menguasai kepandaian itu. Kini dia mengemudikan perahu mendekati pulau. Setelah dekat baru nampak bahwa pulau itu di bagian tengahnya gundul dan terdapat bagian menonjol seperti bukit, dan pohon--pohon yang tumbuh itu hanya tumbuh di bagian pinggirnya saja.
Karena sudah dekat dengan daratan yang berbatu-batu, Ji Koan menggulung layarnya dan melanjutkan luncuran perahu dengan menggunakan dayung. Dibantu oleh Keng Han, dia mendayung perahunya ke daratan pulau dengan muka pucat ketakutan. Tiba-tiba dia menuding ke air.
“Kongcu, lihat.!”
Dia berseru dengan suara gemetar dan tangannya yang memegang dayung menggigil. Keng Han melihat ke air dan dia pun bergidik. Terdapat banyak sekali ular berenang di dekat perahu. Ular-ular yang berwarna merah darah, yang kecil sebesar kelingking jari tangan, yang besar seperti ibu jari kaki panjangnya, paling panjang dua kaki.
Ular-ular itu berenang dengan cepat dan lincah sekali. Tiba-tiba dua ekor ular sebesar jari telunjuk meloncat dari air menuju ke atas perahu. Ji Koan berteriak, akan tetapi Keng Han menggunakan dayungnya menghantam dan dua ekor ular Itu terjatuh lagi ke air, menggeliat-geliat sekarat. Lalu terjadi hal yang mengerikan. Dua ekor ular itu menjadi mangsa kawan-kawannya sendiri, tubuh mereka hancur lebur dibuat rebutan.
Agaknya ular-ular laut yang merah ini ganas seperti ikan-ikan hiu yang akan menyerang kawan sendiri kalau kawan ini terluka dan mencium darah. Ji Koan gemetar seluruh tubuhnya.
“Kongcu.... mari kita kembali saja.” Dia mengeluh ketakutan.
Akan tetapi pengalaman itu bagi Keng Han menambah keinginan tahunya.
“Tidak, Paman. Kita terus ke pulau, mendarat!” katanya sambil menggerakkan dayunnya dengan penuh tenaga.
Ji Koan tidak dapat membantah lagi dan terpaksa ikut pula mendayung, biarpun pandang matanya ditujukan ke arah air di mana ular-ular itu masih mengikuti perahu dan bahkan berenang di kanan kiri perahu. Hatinya diliputi rasa ngeri yang hebat sehingga mukanya pucat dan matanya terbelalak.
“Lihat itu, Paman!” tiba-tiba Keng Han menuding ke depan.
Ji Koan memandang dan dia terkejut, juga heran melihat banyak perahu di pantai. Ada tujuh buah perahu kecil dan sebuah perahu besar.
“Saya takut mendarat, Kongcu.”
“Kalau begitu, tinggallah saja di perahu ini, di dekat pantai biar aku sendiri yang mendarat. Akan tetapi tunggu, jangan pergi sebelum aku kembali.”
“Baik, Kongcu.” kata Ji Koan yang masih ketakutan.
Keng Han lalu membawa buntalan pakaiannya yang diikatkan di punggungnya dan meloncat dari perahu itu ke atas sebuah batu besar, lalu dari batu melompat ke batu lain sampai akhirnya dia dapat mendarat.
Tadinya, tepi pantai itu terhalang oleh batu-batu besar sehingga dia tidak dapat melihat apa yang terjadi di balik batu-batu itu. Akan tetapi sekarang dia dapat menyaksikan pemandangan yang amat mengerikan. Juga suara air memecah pada batu-batu karang membuat dia tidak dapat mendengar suara yang keluar dari tempat itu, dan baru sekarang dia dapat mendengarnya.
Di tempat itu terjadi pertempuran. Seorang kakek yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, yang semua rambutnya sudah putih seperti kapas, sedang mengamuk dikeroyok oleh kurang lebih tiga puluh orang yang dia kenali dipimpin oleh si Harimau Hitam yang pernah dihajarnya di dusun para nelayan itu.
Sungguh mengherankan bahwa mereka dapat demikian cepat tiba di tempat itu, agaknya mereka mendapatkan perahu-perahu entah dari mana dan lebih dulu berlayar sampai ke pulau kosong itu, bertemu dengan raksasa rambut putih dan terjadi pertempuran di antara mereka.
Akan tetapi Keng Han terbelalak melihat pertempuran itu. Kakek raksasa rambut putih itu sungguh ganas bukan main. Kemana saja tangannya menyambar, tentu ada pengeroyok yang roboh dan orang yang roboh ini menggigil seperti kedinginan, lalu berkelojotan dan mati!
Seluruh tubuh mereka putih membiru dan berkeriput seperti direndam air es saja. Tidak ada yang sampai dipukul dua kali. Sekali saja sudah cukup membuat mereka tewas. Itu pun bukan pukulan yang langsung mengenai badan, hanya hawa pukulannya saja yang menyambar!
Tiga puluh orang perampok yang dipimpin oleh Hek Houw itu mengeroyok dengan nekat, akan tetapi satu demi satu roboh dan tewas. Melihat ini, Hek Houw dan tujuh orang sisa anak buahnya hendak melarikan diri karena gemetar menghadapi kakek raksasa yang amat ganas dan lihai itu, akan tetapi kakek itu tertawa bergelak dan sekali kedua tangannya didorongkan ke depan dengan kedua kaki ditekuk ke bawah, delapan orang itu roboh semua dan berkelojotan, menggigil dan tewas tak lama kemudian.
“Ha-ha-ha-ha-ha, segala macam cacing tanah berani melawanku. Aku Swathai Lo-kwi (Iblis Tua Lautan Salju), tidak ada yang mampu menandingi! Ha-ha-ha, mampuslah kalian semua, ha-ha-ha!”
Dia tadi sudah menyaksikan pertandingan antara kepala perampok ini dengan Juragan Lui dan melihat betapa dangkal penilainnya, gerakan kepala perampok itu hanya mengandalkan tenaga luar saja dan lamban baginya, maka dia merasa yakin akan mampu mengalahkannya. Mendengar ucapan pemuda remaja itu, Harimau Hitam menjadi marah sekali. Dia mengayun goloknya dengan penuh sambil membentak.
“Hyaaaaattt....!”
Akan tetapi bacokan itu luput karena dengan lincahnya Keng Han sudah mengelak. Anak ini sudah menerima gemblengan ilmu silat dari Gosang Lama yang tingkatnya jauh lebih tinggi daripada ilmu golok penjahat itu, maka Keng Han dapat mempermainkannya. Setelah enam tujuh kali dia mengelak dari sambaran golok kepala perampok itu, Keng Han mulai menggerakkan ranting kayu di tangannya.
“Prat-prat!!”
Dua kali ranting kayu menyambar dan tak dapat dihindarkan lagi muka kepala perampok itu terkena lecutan ujung ranting kayu sehingga nampak dua jalur merah pada kedua pipinya! Rasa nyeri dan pedih membuat dia semakin marah dan mengamuk seperti harimau terluka. Namun, semakin hebat dia mengamuk semakin sering pula ranting kayu itu melecut dan beberapa kali mengenai batang hidungnya sehingga tulang batang hidung yang tidak keras itu menjadi patah-patah dan berdarah!
Melihat kepala perampok itu tidak menjadi jera bahkan mengamuk semakin ganas, Keng Han lalu menggerakkan tongkatnya dua kali ke arah lutut. Dia menotok kedua lutut Harimau Hitam itu dan kepala perampok itu jatuh berlutut!
Empat orang anak buahnya yang tidak berani mencampuri karena di situ selain terdapat Juragan Lui, juga terdapat banyak sekali nelayan, segera membantu ketua mereka, mengangkatnya bangun dan memapahnya pergi dari situ tanpa banyak cakap lagi.
Para nelayan menyambut kemenangan Keng Han dengan sorak dan tepuk tangan. Juragan Lui segera menghampiri Keng Han dan memberi hormat sambil berkata,
“Siauw-hiap (Pendekar Muda) sungguh lihai, mengagumkan sekali dan terima kasih atas pertolonganmu tadi.”
Akan tetapi Keng Han yang tadi telah bertanya-tanya dan mendapat keterangan beberapa orang nelayan siapa adanya Juragan Lui itu, sudah berkata dengan ketus kepadanya,
“Engkau juga bukan orang baik-baik, Juragan Lui!”
Mendengar ini, Juragan Lui terbelalak dan berseru,
“Engkau keliru, orang muda! Aku adalah penolong seluruh nelayan di daerah ini! Siapa yang memberi modal kepada mereka untuk memperbaiki jala dan perahu! Aku! Siapa yang memberi mereka makan dan pakaian di waktu angin besar tidak memungkinkan mereka mencari nafkah? Aku! Kalau tidak ada aku, mereka tentu banyak yang sudah kelaparan!”
“Hemmm, memang baik sekali kalau engkau menolong mereka dari kesukaran. Akan tetapi engkau menolong dengan pamrih untuk menarik keuntungan sebesarnya. Kalau musim menangkap ikan tiba, engkau mengharuskan mereka menyerahkan seluruh hasil tangkapan ikan kepadamu. Engkau memperhitungkan bantuan-bantuanmu sebagai hutang dengan bunga berlipat ganda. Itu bukan pertolongan namanya, melainkan pemerasan! Engkau sepertl lintah darat, tidak lebih baik daripada kepala perampok tadi!”
“Itu fitnah! Engkau lancang mulut dan perlu dihajar, orang muda!” kata Juragan Lui dengan marah sekali.
“Benarkah? Aku atau engkau yang perlu dihajar?” Keng Han mengejek.
Karena merasa dihina di depan banyak, orang, Juragan Lui segera menyerang dengan huncwenya. Serangannya cepat dan berbahaya, namun bagi Keng Han serangan itu tidak ada artinya. Dia mengelak dan sekali tongkatnya bergerak, ujung tongkatnya telah menotok pergelangan tangan yang memegang huncwe sehingga pipa tembakau itu terlepas dari pegangan tangan Juragan Lui.
Para tukang pukulnya yang ketika itu sudah berkumpul di situ dan ada belasan orang banyaknya sudah siap membantu juragan mereka, akan tetapi Keng Han menodongkan ujung rantingnya ke leher Juragan Lui dan membentak,
“Mundur kalian semua! Atau, aku akan membunuh juragan kalian ini lebih dulu, baru membunuh kalian!”
Juragan Lui yang ditodong lehernya maklum bahwa sekali tongkat itu bergerak menotok, dia akan tewas. Dengan ketakutan dia lalu berkata, suaranya gemetar.
“Ampunkan aku, Siauw-hiap. Aku akan mentaati semua permintaanmu.”
Keng Han menarik tongkatnya.
“Aku tidak menghendaki apa pun darimu, akan tetapi mulai sekarang engkau tidak boleh memeras para nelayan. Kalau memberi pinjaman, mintalah bayaran dengan bunga yang wajar saja sehingga para nelayan berkesempatan untuk menaikkan taraf kehidupan mereka. Mereka itu manusia, sama dengan engkau dan aku yang membutuhkan kesejahteraan dan kesenangan, bukan sekedar makan saja. Kalau lain kali aku melihat engkau masih memeras mereka, aku akan membunuhmu!”
“Baik, Siauw-hiap. Aku akan melaksanakan perintahmu.”
“Sekarang, aku ingin menyewa sebuah perahu dengan tukang perahu yang dapat mengantar aku ke Pulau Es yang muncul belasan tahun yang lalu.”
Wajah Juragan Lui menjadi pucat.
“Ah, akan tetapi di antara kami tidak ada yang berani ke sana, Siauw-hiap.”
“Mengapa tidak berani?” tanya Keng Han dengan heran.
“Karena.... karena pulau itu berhantu!”
“Berhantu? Apakah ada yang pernah melihat hantu di pulau itu?”
“Melihat sih belum, akan tetapi kabar yang tersiar di mana-mana bahwa pulau itu berhantu. Sudah beberapa orang nelayan yang berani mencari ikan agak dekat dengan pulau itu, kedapatan mati, mati dengan tubuh hangus seperti dibakar! Nah, siapa lagi yang melakukan hal ini kalau bukan hantu? Kami.... maafkan, Siauw-hiap, tidak ada di antara kami yang berani.”
“Aku yang menanggung keselamatannya. Orang yang mengantarku ke sana tidak perlu ikut mendarat, cukup mengantar sampai aku tiba di sana saja. Setelah aku mengadakan penelitian di sana, dia lalu boleh mengantar aku kembali dan untuk itu aku mau membayar sewa perahu dan upah yang memadai.”
Mendengar ini, Juragan Lui lalu menoleh ke belakang, ke arah para nelayan dan bertanya,
“Kalian semua telah mendengar permintan Siauw-hiap ini, apakah ada diantara kalian yang sanggup mengantarkan dia ke pulau itu?”
Para nelayan itu nampak ketakutan, saling pandang dan menggeleng kepala. Akan tetapi seorang nelayan yang berusia lima puluh tahun segera melangkah maju dan berkata,
“Biarlah saya yang akan mengantar Siauw-hiap ini ke sana! Dia sudah melepas budi kepada kami, memperbaiki nasib kami, maka sebagai tanda terima kasih biar saya mengantar dia ke sana!”
Orang-orang bertepuk tangan memuji ketika ada seorang di antara mereka yang berani mengajukan diri. Orang itu bernama Ji Koan, seorang nelayan kawakan yang sejak kecil sudah menjadi nelayan di tempat itu.
“Terima kasih, Paman.” kata Keng Han. “Siapakah nama, Paman?”
“Namaku Ji Koan, Siauw-hiap.”
“Paman Ji, berapa sewa perahumu? Aku akan membayarnya lebih dulu.”
“Tidak usah, Siauw-hiap. Soal sewanya mudah nanti saja kalau Siauw-hiap sudah berhasil sampai ke pulau itu dan kembali dengan selamat ke sini. Kapan berangkat, Siauw-hiap?”
“Sekarang juga, Paman Ji. Dan jangan sebut aku siauw-hiap. Namaku Tao Keng Han.”
“Baiklah, Tao-kongcu. Nah, saya sudah siap. Itu perahuku yang layarnya kuning.” kata Ji Koan dengan nada gembira dan bangga bahwa dia satu-satunya orang yang berani mengantar pemuda perkasa itu ke Pulau Hantu.
Semua ini dia lakukan karena rasa terima kasihnya. Berkat sepak terjang pemuda itu, kehidupan para nelayan di situ akan menjadi jauh lebih baik. Para nelayan yang lain membantu ketika Ji Koan membuat persiapan dan ketika perahu berangkat berlayar, semua orang memandang dan mengikuti perahu itu dengan sinar mata penuh ketegangan, juga kekhawatiran.
Akan tetapi Ji Koan adalah seorang nelayan yang tidak berkeluarga, hidup sebatang kara saja di dunia ini sehingga tidak ada anggota keluarga yang mengkhawatirkannya.
Semua penduduk perkampungan nelayan itu dicekam ketakutan kalau orang bicara tentang Pulau Hantu, demikian mereka menamakan pulau kosong itu. Rasa takut adalah suatu perasaan yang timbul apabila orang menghadapi sesuatu yang belum terjadi. Kalau orang membayangkan hal-hal yang hebat, malapetaka yang akan menimpanya di masa depan, maka orang itu akan dicekam perasaan takut.
Takut dan khawatir hanya merupakan permainan dari pikiran kita sendiri yang membayangkan hal-¬hal yang belum tiba, memikirkan masa depan dan mengkhayalkan kejadian-kejadian mengerikan yang mungkin menimpa diri kita.
Kalau kejadian itu sudah datang menimpa kita, maka rasa takut itu pun tidak akan ada lagi, yang ada rasa takut membayangkan hal lain yang mungkin datang menimpa kita, yang lebih hebat lagi. Kalau ada wabah mengamuk, kita yang belum terkena penyakit tentu menjadi ketakutan kalau membayangkan bahwa kita akan terkena penyakit itu. Akan tetapi kalau penyakit benar-benar sudah menimpa kita, kita tidak lagi takut menghadapi penyakit yang sudah diderita, yang kita takuti mungkin kematian yang belum tiba.
Pendeknya, segala hal yang belum datang dan mungkin menimpa diri kita di masa depan, memikirkan atau membayangkan hal itulah yang menimbulkan perasaan takut dan ngeri. Seperti orang takut akan han¬tu, setan, iblis dan sebagainya. Karena kita belum pernah melihatnya, belum pernah bertemu, kita lalu membayangkan hal-hal yang mengerikan kalau bertemu benar-benar. Andaikata kita sudah ber¬temu dengan Iblis seperti kita melihat mahluk-mahluk lainnya pasti tidak ada lagi rasa takut itu.
Kalau kita tidak membayangkan hal-hal yang belum da¬tang, tidak membayangkan masa depan, maka kita hanya akan menghadapi saat ini, peristiwa yang kita hadapi sekarang ini dan kita bebas daripada rasa takut akan masa depan. Orang yang begini adalah seorang yang waspada dan pasti akan mampu menghadapi segala hal yang dialaminya, dan orang yang bebas dari rasa takut adalah seorang yang berbahagia.
Lebih baik kita menyerahkan segala hal yang belum datang itu kepada Tuhan, karena Tuhan yang mengatur segala apa yang terjadi di dunia ini! Dengan penyerahan dan kepasrahan yang total kita melangkah dalam kehidupan ini dan tidak takut akan tertimpa apapun juga. Apa pun yang terjadi, kalau kita menerimanya sebagai kehendak Tuhan kita akan terbebas dari segala penyesalan dan duka.
Bukan berarti kita lalu mandeg dan menjadi malas, menyerahkan segalanya kepada Tuhan tanpa berusaha. Tidak! Kita berikhtiar sekuat kemampuan kita untuk mendapatkan yang terbaik, akan tetapi dengan landasan penyerahan seutuhnya sehingga apa pun yang kita hasilkan, itulah anugerah dari Tuhan. Bahkan ke¬gagalan dalam usaha kita pun merupakan anugerah terselubung dan kesalahannya harus kita cari dalam sepak terjang kita sendiri!
Pagi itu udara amat cerah, matahari pagi hangat dan cerah, langit bersih hanya terdapat sedikit awan putih yang berarak dengan indahnya. Air laut juga tenang dan angin berhembus lembut, membuat perahu yang ditumpangi Keng Han meluncur dengan sempurna.
Keng Han merasa gembira sekali. Dia teringat akan cerita ibunya ketika bertamasya dengan ayahnya, juga naik perahu berlayar di sepanjang lautan ini. Ah, seperti apa macam pria yang menjadi ayahnya? Menurut ibunya, ayahnya seorang pangeran yang berwajah tampan dan gagah. Kata ibunya, tubuhnya sedang, dahinya lebar, alisnya tebal dan matanya seperti mata burung Hong, hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersungging senyuman, pakaiannya indah!
Ah, betapa akan bangga hatinya kalau dia bertemu dengan ayahnya. Dan ayah serta ibunya menyaksikan ketika pulau yang kini disebut Pulau Hantu oleh para nelayan itu “lahir”!
Mendengar kelahiran sebuah pulau dari ibunya sudah timbul keinginan tahunya untuk berkunjung ke pulau aneh itu, apalagi sekarang pulau itu bahkan disebut Pulau Hantu oleh para nelayan. Cerita ini tidak membuatnya takut, bahkan menambah keinginan tahunya. Benar-benarkah ada hantu di pulau itu? Atau bahkan, benar-benarkah ada hantu di dunia ini? Hantu seperti dalam dongeng, yang bentuknya aneh-aneh dan mengerikan?
Setelah berlayar selama setengah hari dan matahari sudah naik tinggi, tiba-tiba Ji Koan berseru.
“Itulah dia.... Pulau Hantu....!” ketika menyebut pulau itu, suaranya berubah menjadi bisikan.
Keng Han yang sedang melamun menjadi kaget dan cepat memandang nelayan itu yang menudingkan telunjuknya ke kiri. Dia menengok dan melihat sebuah pulau, tak jauh lagi dari situ. Pulau itu tidak terlalu besar, memanjang dan berwarna hijau kehitaman. Agaknya pulau itu tidak gundul, melainkan ditumbuhi banyak pohon-pohonan.
Padahal, ibunya pernah bercerita bahwa kabarnya pulau itu dahulunya disebut Pulau Es yang lenyap di telan air lautan puluhan tahun yang lalu dan lima belas tahun yang lalu lahir atau timbul kembali muncul dari dalam lautan. Dia tidak dapat mengira-ngirakan apa yang sesungguhnya telah terjadi di dasar lautan itu, mengapa ada pulau dapat lenyap ditelan air dan kini muncul kembali dalam bentuk lain. Kalau dulu menjadi Pulau Es, kini menjadi Pulau Hantu yang banyak pohon-pohonnya.
“Ah, kelihatan pulau biasa saja, mengapa disebut Pulau Hantu? Paman Ji Koan, arahkan perahu mendekat.”
“Tao-kongcu.... saya.... saya takut....!”
“Aih, apa yang ditakuti? Mari, biar aku yang mengemudikan perahu!” katanya dan Keng Han mengambil oper kemudi dari tangan Ji Koan.
Tadi dia sudah belajar dari nelayan itu dan karena dia memang seorang pemuda yang cerdik maka sebentar saja dia sudah dapat menguasai kepandaian itu. Kini dia mengemudikan perahu mendekati pulau. Setelah dekat baru nampak bahwa pulau itu di bagian tengahnya gundul dan terdapat bagian menonjol seperti bukit, dan pohon--pohon yang tumbuh itu hanya tumbuh di bagian pinggirnya saja.
Karena sudah dekat dengan daratan yang berbatu-batu, Ji Koan menggulung layarnya dan melanjutkan luncuran perahu dengan menggunakan dayung. Dibantu oleh Keng Han, dia mendayung perahunya ke daratan pulau dengan muka pucat ketakutan. Tiba-tiba dia menuding ke air.
“Kongcu, lihat.!”
Dia berseru dengan suara gemetar dan tangannya yang memegang dayung menggigil. Keng Han melihat ke air dan dia pun bergidik. Terdapat banyak sekali ular berenang di dekat perahu. Ular-ular yang berwarna merah darah, yang kecil sebesar kelingking jari tangan, yang besar seperti ibu jari kaki panjangnya, paling panjang dua kaki.
Ular-ular itu berenang dengan cepat dan lincah sekali. Tiba-tiba dua ekor ular sebesar jari telunjuk meloncat dari air menuju ke atas perahu. Ji Koan berteriak, akan tetapi Keng Han menggunakan dayungnya menghantam dan dua ekor ular Itu terjatuh lagi ke air, menggeliat-geliat sekarat. Lalu terjadi hal yang mengerikan. Dua ekor ular itu menjadi mangsa kawan-kawannya sendiri, tubuh mereka hancur lebur dibuat rebutan.
Agaknya ular-ular laut yang merah ini ganas seperti ikan-ikan hiu yang akan menyerang kawan sendiri kalau kawan ini terluka dan mencium darah. Ji Koan gemetar seluruh tubuhnya.
“Kongcu.... mari kita kembali saja.” Dia mengeluh ketakutan.
Akan tetapi pengalaman itu bagi Keng Han menambah keinginan tahunya.
“Tidak, Paman. Kita terus ke pulau, mendarat!” katanya sambil menggerakkan dayunnya dengan penuh tenaga.
Ji Koan tidak dapat membantah lagi dan terpaksa ikut pula mendayung, biarpun pandang matanya ditujukan ke arah air di mana ular-ular itu masih mengikuti perahu dan bahkan berenang di kanan kiri perahu. Hatinya diliputi rasa ngeri yang hebat sehingga mukanya pucat dan matanya terbelalak.
“Lihat itu, Paman!” tiba-tiba Keng Han menuding ke depan.
Ji Koan memandang dan dia terkejut, juga heran melihat banyak perahu di pantai. Ada tujuh buah perahu kecil dan sebuah perahu besar.
“Saya takut mendarat, Kongcu.”
“Kalau begitu, tinggallah saja di perahu ini, di dekat pantai biar aku sendiri yang mendarat. Akan tetapi tunggu, jangan pergi sebelum aku kembali.”
“Baik, Kongcu.” kata Ji Koan yang masih ketakutan.
Keng Han lalu membawa buntalan pakaiannya yang diikatkan di punggungnya dan meloncat dari perahu itu ke atas sebuah batu besar, lalu dari batu melompat ke batu lain sampai akhirnya dia dapat mendarat.
Tadinya, tepi pantai itu terhalang oleh batu-batu besar sehingga dia tidak dapat melihat apa yang terjadi di balik batu-batu itu. Akan tetapi sekarang dia dapat menyaksikan pemandangan yang amat mengerikan. Juga suara air memecah pada batu-batu karang membuat dia tidak dapat mendengar suara yang keluar dari tempat itu, dan baru sekarang dia dapat mendengarnya.
Di tempat itu terjadi pertempuran. Seorang kakek yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, yang semua rambutnya sudah putih seperti kapas, sedang mengamuk dikeroyok oleh kurang lebih tiga puluh orang yang dia kenali dipimpin oleh si Harimau Hitam yang pernah dihajarnya di dusun para nelayan itu.
Sungguh mengherankan bahwa mereka dapat demikian cepat tiba di tempat itu, agaknya mereka mendapatkan perahu-perahu entah dari mana dan lebih dulu berlayar sampai ke pulau kosong itu, bertemu dengan raksasa rambut putih dan terjadi pertempuran di antara mereka.
Akan tetapi Keng Han terbelalak melihat pertempuran itu. Kakek raksasa rambut putih itu sungguh ganas bukan main. Kemana saja tangannya menyambar, tentu ada pengeroyok yang roboh dan orang yang roboh ini menggigil seperti kedinginan, lalu berkelojotan dan mati!
Seluruh tubuh mereka putih membiru dan berkeriput seperti direndam air es saja. Tidak ada yang sampai dipukul dua kali. Sekali saja sudah cukup membuat mereka tewas. Itu pun bukan pukulan yang langsung mengenai badan, hanya hawa pukulannya saja yang menyambar!
Tiga puluh orang perampok yang dipimpin oleh Hek Houw itu mengeroyok dengan nekat, akan tetapi satu demi satu roboh dan tewas. Melihat ini, Hek Houw dan tujuh orang sisa anak buahnya hendak melarikan diri karena gemetar menghadapi kakek raksasa yang amat ganas dan lihai itu, akan tetapi kakek itu tertawa bergelak dan sekali kedua tangannya didorongkan ke depan dengan kedua kaki ditekuk ke bawah, delapan orang itu roboh semua dan berkelojotan, menggigil dan tewas tak lama kemudian.
“Ha-ha-ha-ha-ha, segala macam cacing tanah berani melawanku. Aku Swathai Lo-kwi (Iblis Tua Lautan Salju), tidak ada yang mampu menandingi! Ha-ha-ha, mampuslah kalian semua, ha-ha-ha!”