Waktu berjalan dengan amat cepatnya. Kalau tidak diperhatikan, sang waktu melesat seperti sebatang anak panah lepas dari busurnya, walaupun kalau diperhatikan sang waktu dapat merayap seperti seekor siput.
Kita kembali kepada Silani, puteri kepala suku Khitan yang ditinggalkan suaminya, Tao Seng. Setelah ditinggalkan, Silani melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat dan montok. Sesuai dengan apa yang dipesankan Pangeran Tao Seng, anak itu diberi nama Tao Keng Han. Anak itu dirawat dengan baik-baik oleh Silani, akan tetapi suaminya yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang menjemputnya. Tentu saja hal ini membuat Silani berduka sekali. Ia merasa disia-siakan.
Juga Khalaban, kepala suku Khi-tan itu marah sekali. Akan tetapi apa yang dapat dia lakukan? Tao Seng adalah seorang pangeran dari kerajaan besar. Kalau Tao Seng tidak datang, apa yang dapat dia lakukan? Dengan prihatin Khalaban lalu mendidik cucunya.
Dalam hal ini Kalucin berjasa besar. Pemuda Khitan yang mencinta Silani memenuhi janjinya kepada Tao Seng. Dia menjaga dan melindungi Silani dan anaknya, bahkan ketika Keng Han mulai besar, dia sendiri yang membimbing dan mengajarkan ilmu silat dan gulat kepada anak itu.
Khalaban yang tidak ingin kelak dicela oleh mantunya, mengingat bahwa cucunya adalah keturunan pangeran, lalu mengundang seorang guru sastra dan mengajarkan ilmu kesusastraan kepada Keng Han agar kelak kalau anak itu dibawa ayahnya ke kota raja tidak akan memalukan ayahnya.
Kebetulan sekali, pada waktu Keng Han berusia sepuluh tahun, di daerah itu muncul seorang kakek yang pandai. Dia adalah Gosang Lama, seorang Lama Jubah Kuning yang diusir dari Tibet dan merantau sampai ke daerah itu. Setelah mengetahui bahwa pendeta Lama ini seorang yang sakti, Khalaban menyambutnya dengan penuh kehormatan, bahkan lalu mengangkatnya menjadi guru bagi Keng Han.
Gosang Lama tentu saja menjadi girang sekali. Dia adalah seorang buruan yang membutuhkan tempat persembunyian yang aman dan menyenangkan, maka di perkampungan Khitan itulah dia mendapatkan tempat yang baik, di mana dia dihormati dan segala kebutuhannya dipenuhi.
Ketika dia diangkat menjadi guru bagi cucu kepala suku Khitan itu, dia menerima hanya untuk mendapatkan kedudukan yang baik saja, hanya sedikit memperhatikan Keng Han yang dianggapnya seorang bocah Khitan biasa yang bodoh.
Akan tetapi setelah dia mulai mengajarkan silat dan sastra kepada anak itu, dia terkagum-kagum. Belum pernah dia melihat anak yang memiliki kecerdasan dan bakat demikian hebat. Terutama sekali dalam ilmu silat, ternyata Keng Han bertulang baik dan berbakat besar. Tentu saja Gosan Lama menjadi bersemangat sekali mengajarkan ilmu-ilmunya kepada murid ini.
Sejak berusia sepuluh tahun Keng Han menerima gemblengan Gosang Lama. Selama lima tahun dia belajar sastra dan silat sehingga dalam usia lima belas tahun, dia telah menjadi seorang pemuda yang pandai silat dan sastra. Juga dari Kalucin yang dianggap sebagai pamannya sendiri, dia dilatih ilmu gulat dan dalam usia lima belas tahun tidak ada seorang pun pemuda di Khitan yang mampu menandinginya, baik dalam ilmu bela diri atau ilmu gulat.
Melihat puteranya telah mulai dewasa, pada suatu hari Silani memanggil putera-nya itu ke dalam kamarnya.
“Keng Han, sejak engkau masih kecil engkau selalu menanyakan di mana ayahmu dan aku selalu mengelak untuk memberitahu!”
“Ya, kenapa, Ibu? Kenapa Ibu seolah menyembunyikan keadaan Ayah dariku? Siapakah Ayah? Di mana dia? Apakah dia masih hldup?”
“Sekarang engkau sudah mulai dewasa, kukira engkau boleh mengetahui semua, anakku. Ketahuilah, bahwa ayahmu masih hidup dan berada jauh di selatan, di kota raja kerajaan Ceng-tiauw. Ketika dahulu aku menikah dengan ayahmu, ayahmu itu seorang pangeran, anakku. Seorang pangeran mahkota kerajaan Ceng!”
“Ahhh....! Aku.... putera seorang pangeran mahkota?” tanya Keng Han dengan kaget.
Pamannya Kalucin, kalau dia tanya tentang ayahnya, juga tidak mau menjelaskan dan menyuruh dia bertanya kepada ibunya. Demikian pula kakeknya. Hanya mereka pernah mengatakan bahwa ayahnya seorang bangsawan. Siapa kira, ayahnya seorang pangeran! Dan pangeran mahkota pula, calon kaisar!
“Berat, anakku. Engkau keturunan Kaisar kerajaan Ceng! Telah lima belas tahun ayahmu meninggalkan kita, mungkin sekarang dia telah menjadi kaisar! Dahulu ayahmu bernama Tao Seng dan benda inilah yang ditinggalkannya untuk kita. Ini merupakan tanda keluarganya, anakku. Kalau engkau membawa benda ini dan pergi ke kota raja Ceng di selatan, engkau pasti akan diterimanya”.
Silani menyerahkan pedang bengkok pemberian suaminya itu. Keng Han menerima pedang itu dengan tangan gemetar. Sebatang pedang bengkok yang indah sekali, gagangnya terhias emas permata, demikian pula sarungnya. Ketika pedang itu dicabutnya, nampak sinar berkilat, tanda bahwa pedang itu tajam bukan main.
Di dalam hati pemuda itu timbul gejolak perasaan yang bermacam-macam. Ada rasa girang dan bangga bahwa dia adalah putera pangeran yang mungkin kini telah menjadi kaisar! Menjadi putera kaisar, hati siapa tidak akan merasa bangga? Akan tetapi di samping perasaan girang dan bangga ini, terdapat perasaan penasaran dan marah sekali. Kenapa ayahnya meninggalkan ibunya sampai lima belas tahun padahal menurut ibunya, ayahnya itu berjanji akan menjemput ibunya dan memboyongnya ke istana? Ayahnya telah menyia-nyiakan ibunya! Dan hal ini membuatnya penasaran dan marah, menimbulkan dendam. Dia akan mencari ayahnya dan kalau ayahnya tidak mau memboyong ibunya ke istana, entah apa yang akan dilakukannya terhadap laki-laki itu!
Selagi ibu dan anak ini bercakap-cakap, Kalucin muncul dan berkata,
“Keng Han, engkau dipanggil kakekmu. Ada pembicaraan penting dengan gurumu.”
Keng Han lalu meninggalkan ibunya, pergi bersama Kalucin menghadap Khalaban, kakeknya yang telah berusia enam puluh lima tahun itu. Ternyata di situ sudah hadir pula Gosang Lama yang kelihatan berwajah sedih dan bingung.
“Kakek, ada urusan apakah memanggilku? Ada apakah dengan Suhu?” Keng Han memandang kepada gurunya.
Kita kembali kepada Silani, puteri kepala suku Khitan yang ditinggalkan suaminya, Tao Seng. Setelah ditinggalkan, Silani melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat dan montok. Sesuai dengan apa yang dipesankan Pangeran Tao Seng, anak itu diberi nama Tao Keng Han. Anak itu dirawat dengan baik-baik oleh Silani, akan tetapi suaminya yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang menjemputnya. Tentu saja hal ini membuat Silani berduka sekali. Ia merasa disia-siakan.
Juga Khalaban, kepala suku Khi-tan itu marah sekali. Akan tetapi apa yang dapat dia lakukan? Tao Seng adalah seorang pangeran dari kerajaan besar. Kalau Tao Seng tidak datang, apa yang dapat dia lakukan? Dengan prihatin Khalaban lalu mendidik cucunya.
Dalam hal ini Kalucin berjasa besar. Pemuda Khitan yang mencinta Silani memenuhi janjinya kepada Tao Seng. Dia menjaga dan melindungi Silani dan anaknya, bahkan ketika Keng Han mulai besar, dia sendiri yang membimbing dan mengajarkan ilmu silat dan gulat kepada anak itu.
Khalaban yang tidak ingin kelak dicela oleh mantunya, mengingat bahwa cucunya adalah keturunan pangeran, lalu mengundang seorang guru sastra dan mengajarkan ilmu kesusastraan kepada Keng Han agar kelak kalau anak itu dibawa ayahnya ke kota raja tidak akan memalukan ayahnya.
Kebetulan sekali, pada waktu Keng Han berusia sepuluh tahun, di daerah itu muncul seorang kakek yang pandai. Dia adalah Gosang Lama, seorang Lama Jubah Kuning yang diusir dari Tibet dan merantau sampai ke daerah itu. Setelah mengetahui bahwa pendeta Lama ini seorang yang sakti, Khalaban menyambutnya dengan penuh kehormatan, bahkan lalu mengangkatnya menjadi guru bagi Keng Han.
Gosang Lama tentu saja menjadi girang sekali. Dia adalah seorang buruan yang membutuhkan tempat persembunyian yang aman dan menyenangkan, maka di perkampungan Khitan itulah dia mendapatkan tempat yang baik, di mana dia dihormati dan segala kebutuhannya dipenuhi.
Ketika dia diangkat menjadi guru bagi cucu kepala suku Khitan itu, dia menerima hanya untuk mendapatkan kedudukan yang baik saja, hanya sedikit memperhatikan Keng Han yang dianggapnya seorang bocah Khitan biasa yang bodoh.
Akan tetapi setelah dia mulai mengajarkan silat dan sastra kepada anak itu, dia terkagum-kagum. Belum pernah dia melihat anak yang memiliki kecerdasan dan bakat demikian hebat. Terutama sekali dalam ilmu silat, ternyata Keng Han bertulang baik dan berbakat besar. Tentu saja Gosan Lama menjadi bersemangat sekali mengajarkan ilmu-ilmunya kepada murid ini.
Sejak berusia sepuluh tahun Keng Han menerima gemblengan Gosang Lama. Selama lima tahun dia belajar sastra dan silat sehingga dalam usia lima belas tahun, dia telah menjadi seorang pemuda yang pandai silat dan sastra. Juga dari Kalucin yang dianggap sebagai pamannya sendiri, dia dilatih ilmu gulat dan dalam usia lima belas tahun tidak ada seorang pun pemuda di Khitan yang mampu menandinginya, baik dalam ilmu bela diri atau ilmu gulat.
Melihat puteranya telah mulai dewasa, pada suatu hari Silani memanggil putera-nya itu ke dalam kamarnya.
“Keng Han, sejak engkau masih kecil engkau selalu menanyakan di mana ayahmu dan aku selalu mengelak untuk memberitahu!”
“Ya, kenapa, Ibu? Kenapa Ibu seolah menyembunyikan keadaan Ayah dariku? Siapakah Ayah? Di mana dia? Apakah dia masih hldup?”
“Sekarang engkau sudah mulai dewasa, kukira engkau boleh mengetahui semua, anakku. Ketahuilah, bahwa ayahmu masih hidup dan berada jauh di selatan, di kota raja kerajaan Ceng-tiauw. Ketika dahulu aku menikah dengan ayahmu, ayahmu itu seorang pangeran, anakku. Seorang pangeran mahkota kerajaan Ceng!”
“Ahhh....! Aku.... putera seorang pangeran mahkota?” tanya Keng Han dengan kaget.
Pamannya Kalucin, kalau dia tanya tentang ayahnya, juga tidak mau menjelaskan dan menyuruh dia bertanya kepada ibunya. Demikian pula kakeknya. Hanya mereka pernah mengatakan bahwa ayahnya seorang bangsawan. Siapa kira, ayahnya seorang pangeran! Dan pangeran mahkota pula, calon kaisar!
“Berat, anakku. Engkau keturunan Kaisar kerajaan Ceng! Telah lima belas tahun ayahmu meninggalkan kita, mungkin sekarang dia telah menjadi kaisar! Dahulu ayahmu bernama Tao Seng dan benda inilah yang ditinggalkannya untuk kita. Ini merupakan tanda keluarganya, anakku. Kalau engkau membawa benda ini dan pergi ke kota raja Ceng di selatan, engkau pasti akan diterimanya”.
Silani menyerahkan pedang bengkok pemberian suaminya itu. Keng Han menerima pedang itu dengan tangan gemetar. Sebatang pedang bengkok yang indah sekali, gagangnya terhias emas permata, demikian pula sarungnya. Ketika pedang itu dicabutnya, nampak sinar berkilat, tanda bahwa pedang itu tajam bukan main.
Di dalam hati pemuda itu timbul gejolak perasaan yang bermacam-macam. Ada rasa girang dan bangga bahwa dia adalah putera pangeran yang mungkin kini telah menjadi kaisar! Menjadi putera kaisar, hati siapa tidak akan merasa bangga? Akan tetapi di samping perasaan girang dan bangga ini, terdapat perasaan penasaran dan marah sekali. Kenapa ayahnya meninggalkan ibunya sampai lima belas tahun padahal menurut ibunya, ayahnya itu berjanji akan menjemput ibunya dan memboyongnya ke istana? Ayahnya telah menyia-nyiakan ibunya! Dan hal ini membuatnya penasaran dan marah, menimbulkan dendam. Dia akan mencari ayahnya dan kalau ayahnya tidak mau memboyong ibunya ke istana, entah apa yang akan dilakukannya terhadap laki-laki itu!
Selagi ibu dan anak ini bercakap-cakap, Kalucin muncul dan berkata,
“Keng Han, engkau dipanggil kakekmu. Ada pembicaraan penting dengan gurumu.”
Keng Han lalu meninggalkan ibunya, pergi bersama Kalucin menghadap Khalaban, kakeknya yang telah berusia enam puluh lima tahun itu. Ternyata di situ sudah hadir pula Gosang Lama yang kelihatan berwajah sedih dan bingung.
“Kakek, ada urusan apakah memanggilku? Ada apakah dengan Suhu?” Keng Han memandang kepada gurunya.
“Keng Han, gurumu berpamit hendak meninggalkan kita hari ini juga.”
Tentu saja Keng Han menjadi terkejut dan memandang kepada gurunya dengan mata terbelalak.
“Eh, kenapa, Suhu? Kenapa Suhu hendak pergi secara mendadak?”
“Tidak apa-apa, Keng Han. Hanya aku menganggap sudah terlalu lama aku tinggal di sini, sudah lima tahun. Aku akan melanjutkan perjalananku merantau.”
“Akan tetapi Suhu sudah tua, kenapa tidak tinggal saja di sini selamanya? Kami sudah menganggap Suhu seperti keluarga sendiri!” bantah Keng Han yang menyayang gurunya yang telah banyak mengajar ilmu kepadanya.
“Engkau benar, Keng Han. Akan tetapi aku harus melanjutkan perjalananku, waktunya berpisah telah tiba dan tidak ada apa pun yang boleh membatalkan niatku untuk pergi.”
Mendengar ucapan yang tegas itu, Keng Han tidak berani membantah lagi. Maka terpaksa dia pun membantu gurunya berkemas. Gurunya membawa buntalan pakaian dan sekantung emas pernberian kakeknya untuk bekal di jalan.
Biarpun Gosang Lama menolaknya, akan tetapi Khalaban memaksanya sehingga akhirnya Gosang Lama menerimanya juga. Setelah selesai berkemas, berangkatlah Gosang Lama meninggalkan perkampungan itu diantar oleh Khalaban, Keng Han dan Kalucin sampai ke luar daerah perkampungan mereka. Kemudian pendeta berjubah kuning itu pergi ke selatan dengan cepatnya. Sedih juga hati Keng Han ditinggalkan gurunya itu.
Tiga hari kemudian, pada suatu pagi muncul tiga orang pendeta dengan pakaian yang sama dengan yang dipakai Gosang Lama, hanya bedanya tiga orang pendeta yang usianya sekitar enam puluh tahunan ini berjubah warna merah. MeIihat ada tiga orang pendeta datang, Khalaban sendiri keluar menyambut, ditemani oleh Keng Han dan juga Kalucin yang kini menjadi pembantu utama dari Khalaban.
Khalaban membungkuk kepada tiga orang pendeta itu dan berkata ramah,
“Selamat datang di perkampungan kami. Sam-wi (kalian bertiga) hendak mencari siapakah dan ada kepentingan apakah berkunjung ke tempat kami?”
Tiga orang pendeta yang kepalanya gundul itu menoleh ke kanan kiri seperti orang yang mencari-cari, kemudian seorang di antara mereka yang berjenggot panjang bertanya,
“Apakah di sini terdapat seorang pendeta Lama jubah kuning yang bernama Gosang Lama?”
“Ah, Gosang Lama? Sudah tiga hari yang lalu dia pergi meninggalkan perkampungan kami ini!” kata Khalaban terus terang.
“Hemmm, sayang sekali. Agaknya dia telah mengetahui akan kedatangan kita, maka lebih dulu melarikan diri. Keparat!” kata pendeta itu dengan gemas.
Mendengar makian ini, Keng Han mengerutkan alisnya dan melangkah maju.
“Kenapa kalian bertiga memaki guruku? Kalau dia berada di sini kalian mau apa?” bentaknya.
Tiga orang pendeta itu memandang kepada Keng Han dan seorang di antara mereka berkata,
“Hemmm, engkau muridnya? Kalau dia berada di sini, tentu kami akan menangkapnya.”
“Ditangkap? Kenapa?” Keng Han bertanya penuh penasaran.
“Dia adalah seorang pelarian dari negeri kami. Dia harus ditangkap dan dihukum.”
“Hei, orang muda! Kalau engkau muridnya, engkau tentu mengetahui ke mana dia pergi bersembunyi!” kata pendeta yang jenggotnya panjang. “Hayo beritahukan kepada kami!” Berkata demikian, pendeta itu menjulurkan tangannya menangkap pundak Keng Han.
Keng Han yang sudah marah sekali itu cepat mengelak, bahkan lalu menubruk maju sambil memukul ke arah perut pendeta itu. Pendeta itu tidak mengelak dan pukulan itu tepat mengenai perutnya.
“Bukkk....!”
Keras sekali pukulan Keng Han akan tetapi pendeta yang terpukul perutnya itu tidak apa-apa, sebaliknya Keng Han yang memegangi kepalan tangan kanan dengan tangan kiri. Tulang-tulang jari tangannya rasanya patah-patah seperti memukul baja saja. Dan sebelum dia dapat mengelak, pendeta itu mendorongnya dan tubuh Keng Han terdorong dan roboh terjengkang.
Khalaban cepat maju memberi hormat. Orang tua ini maklum bahwa dia berhadapan dengan tiga orang pendeta yang lihai.
“Harap maafkan cucu kami ini. Biarpun dia menjadi murid Gosang Lama, akan tetapi dia tidak tahu dimana adanya Gosang Lama. Kemarin dulu dia berpamit dari kami untuk melanjutkan perjalanan ke selatan, entah ke mana dia tidak memberitahu. Harap jangan memaksa kami!”
Mendengar kata kepala suku itu dan melihat betapa banyaknya orang Khitan berdatangan mengepung tempat itu, tiga orang pendeta itu pun agaknya maklum bahwa kalau mereka menggunakan kekerasan tentu akan berhadapan dengan ratusan orang Khitan, maka tiga orang itu lalu mengangguk dan pergi dari situ tanpa bicara lagi.
Peristiwa itu menggores dalam-dalam di hati Keng Han. Dia kehilangan gurunya dan tiga hari kemudian dia mendapat kenyataan bahwa semua ilmu yang sudah pernah dipelajarinya dari Gosang Lama, ternyata sedikit sekali gunanya. Melawan seorang pendeta tua saja dia tidak mampu menang dan dikalahkan dalam segebrakan saja!
Gosang Lama, memang pernah mengatakan kepadanya bahwa ilmu silat di dunia ini tidak ada batasnya dan banyak terdapat orang pandai di dunia ini. Kenyataan ini menghapus kebanggaan dirinya bahwa dia merupakan pemuda terkuat di perkampungannya. Dia harus mencari guru lagi yang lebih pandai. Dia harus pergi merantau mencari guru pandai, dan juga merantau ke selatan mencari ayahnya!
Keng Han pernah mendengar dari ibunya tentang lahirnya sebuah pulau yang menimbulkan gelombang besar di laut utara.
“Hampir saja ayah dan ibumu celaka dalam gelombang besar itu,” Ibunya menceritakan. “Kalau kami tidak mengikat diri di tiang layar, tentu ibumu dan ayahmu sudah terlempar keluar ditelan gelombang lautan. Dan menurut cerita tukang perahu, pulau yang baru lahir itu adalah yang dahulu disebut Pulau Es. Dan ayahmu pernah bercerita kepadaku bahwa pulau itu dahulu menjadi tempat tinggal keluarga yang sakti luar biasa.”
Kisah yang diceritakan ibunya ini menarik perhatiannya. Bagaimana hatinya tidak akan tertarik? Peristiwa aneh itu dialami oleh ibu dan ayahnya sendiri dan mendengar bahwa pulau itu dahulunya dihuni manusia-manusia sakti, hatinya amat tertarik. Keng Han baru berusia lima belas tahun. Jiwa petualangan sedang berkembang dengan suburnya dalam hatinya. Maka dia lalu menghadap ibunya dan menyatakan bahwa dia hendak pergi ke selatan untuk mencari ayahnya, sama sekali tidak menceritakan keinginannya mengunjungi pulau aneh itu karena tentu ibunya tidak akan mengijinkannya.
Mendengar puteranya akan pergi mencari ayahnya, Silani tidak dapat melarangnya, hanya berpesan agar puteranya berhati-hati dan. agar pedang bengkok itu disimpannya baik-baik dan jangan sampai hilang sebelum bertemu dengan ayahnya.
Khalaban dan Kalucin memberi banyak nasihat kepada pemuda remaja itu. Tadinya Kalucin hendak menemani keponakannya merantau, akan tetapi niatnya itu ditolak keras oleh Keng Han.
“Paman, aku sudah besar dan aku hendak merantau mencari pengalaman. Bagaimana aku akan dapat menambah pengalaman dan pengetahuan kalau dikawal oleh Paman? Dan aku sudah cukup kuat untuk menjaga diri sendiri.” bantahnya dan Kalucin tidak dapat berkata apa-apa lagi karena dalam kenyataannya dia sendiri pun tidak akan menang melawan kekuatan dan kepandaian keponakannya itu.
Tao Keng Han berangkat diantar oleh kakeknya dan Kalucin sampai keluar perkampungan, dan diantar pula oleh tangis ibunya yang tentu saja merasa kehilangan sekali. Akan tetapi Silani yakin bahwa kepergian puteranya itu penting sekali. Puteranya itu harus dapat bertemu dengan ayahnya, puteranya harus dapat mencapai kedudukan tinggi. Bagi dirinya sendiri, ia sudah menerima nasib. Biarlah ia tidak dijemput ke istana asalkan puteranya dapat diterima oleh ayahnya dan puteranya menjadi seorang pangeran! Dengan adanya harapan ini hatinya yang sedih ditinggal pergi puteranya menjadi terhibur.
Harapan memang suatu perasaan yang luar biasa kuatnya. Harapan dapat menimbulkan gairah hidup. Kalau masih mempunyai harapan, maka orang mampu menanggung segala derita yang bagaimana berat pun. Sebaliknya orang yang sudah kehabisan harapan, yang putus harapan, akan mudah melakukan hal-hal yang tidak benar. Bahkan banyak orang membunuh diri karena sudah putus harapan.
Akan tetapi sebaliknya, harapan yang terlalu digantungi dapat pula menimbulkan kekecewaan pada akhirnya karena hanya orang yang berharap sajalah yang akan kecewa kalau harapannya tidak terkabul!
Karena itu, orang tidak boleh putus harapan akan tetapi juga tidak baik kalau terlalu mengharap sesuatu secara berlebihan. Harapan yang terlalu berlebihan merupakan keinginan nafsu yang tidak akan pernah terpuaskan. Kalau harapan itu terpenuhi sekalipun, biasanya tidak seindah yang diharapkan, atau tidak terasa sebaik yang diharapkan atau diinginkan karena keinginan sudah menghendaki hal laln lagi yang dianggap lebih baik.
Akan tetapi bagi seorang yang dilanda kedukaan seperti Silani, yang berduka karena tidak dijemput suaminya setelah lewat lima belas tahun lebih, dan yang kemudian berduka karena ditinggal pergi puteranya, amatlah perlu adanya harapan itu. Harapan agar puteranya dapat bertemu dengan ayah kandungnya dan dapat diterima sebagai seorang pangeran!
Setelah keluar dari perkampungan Khitan, Keng Han tidak langsung menuju ke selatan seperti yang disangka ibunya, dan kakeknya, melainkan dia membelok ke timur karena dia hendak lebih dulu pergi ke pantai lautan timur untuk mencari pulau yang diceritakan ibunya itu.
Keng Han melakukan perjalanan yang amat sukar, melalui pegunungan yang seolah-olah tiada habis-habisnya. Dia naik turun gunung dan bahkan sampai berhari-hari tidak bertemu pedusunan. Akan tetapi, sebagai seorang Khitan dia sudah berpengalaman hidup menyendiri itu, dapat berburu binatang untuk makan dan bermalam di atas pohon besar. Beberapa kali dia bertemu binatang buas, akan tetapi berkat ketangkasannya, dia dapat selalu membunuh binatang buas yang mengancamnya.
Akhirnya tibalah dia di pantai lautan timur. Dia bermalam di sebuah dusun nelayan dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah duduk termenung di tepi pantai. Keadaan pantai masih sepi sekali, para nelayan belum membuat persiapan di hari itu. Pagi masih gelap dan amat dinginnya, membuat orang malas untuk keluar dari rumah.
Akan tetapi Keng Han yang duduk di atas pasir pantai itu terpesona. Dia memandang jauh ke timur, ke arah lautan dan dia melihat pemandangan yang amat menakjubkan.
Mula-mula langit di timur, terutama di atas lautan, nampak merah seolah kebakaran. Warna merah lagit itu bertepi kuning emas dan di sana sini nampak awan putih kebiruan. Indah sekali Bagian pintu gerbang sorga dalam dongeng. Kemudian muncullah yang terindah dari segalanya yang terindah di saat itu. Sebuah bola api yang besar sekali, warnanya merah darah, tersembul perlahan-lahan keluar dari dalam lautan.
Hampir dia lupa bahwa itu adalah sang matahari! Seperti seekor mahluk yang aneh yang muncul dari dalam lautan. Bola api merah itu cepat sekali, nampak naik dari permukaan laut, lalu nampak semua. Bulat tanpa cacat, membawa cahaya merah yang masih lembut. Akan tetapi semakin tinggi dia naik, semakin cerah warnanya, bukan darah lagi, melainkan merah bercampur keemasan dan mulai mengeluarkan sinar. Dan sinarnya mulai membuat jalan jalur kemerahan di permukaan lautan yang tenang. Indah sekali. Besar sekali. Agung sekali!
Bersama munculnya Sang Matahari, kehidupan pun mulailah. Nampak binatang malam seperti kelelawar beterbangan di udara, agaknya bergegas pulang ke sarang takut kesiangan karena sinar matahari yang cerah akan membuat mereka buta.
Sebaliknya, burung-burung camar mulai beterbangan pula, rendah dipermukaan laut, mencari ikan. Beberapa orang nelayan mulai nampak di tepi laut, berpakaian tebal menahan dingin, ada yang mulai membenahi perahu, membetulkan jala dalam persiapan mereka mencari nafkah di hari itu.
Kekusaan Tuhan bekerja setiap saat, di mana-mana. Kebesaran dan keindahannya dapat disaksikan di mana-mana, di sekeliling kita, di dalam diri kita sendiri.
Sayang sekali, mata kita seolah buta dan tidak melihat semua itu, tidak dapat menikmati dan mensyukuri semua itu. Jiwa kita yang seharusnya selalu kontak dan berhubungan dengan kekuasaan Tuhan, seolah tertutup oleh nalsu, bergelimang nafsu sehingga kita selalu menghendaki yang menyenangkan dan memuaskan nafsu belaka.
Keng Han terpesona, tenggelam ke dalam semua keindahan itu, bahkan dia sudah lupa akan dirinya sendiri yang seolah-olah telah bersatu dengan semua keindahan itu, bahkan menjadi sebagian dari keindahan itu sendiri.
Keramaian yang makin terjadi di pantai itu, kesibukan para nelayan dan naiknya matahari pagi yang kini sinarnya mulai tak tertahankan oleh pandang mata, menyadarkannya dari lamunan. Apalagi ketika terdengar suara ribut-ribut di sebelah sana. dia mengangkat muka memandang. Ternyata suara ribut-rlbut itu terjadi antara tiga orang pendatang yang pakaiannya ringkas seperti ahli-ahli silat dan belasan orang nelayan yang ribut mulut.
“Kami tidak peduli!” kata seorang di antara tiga pendatang itu. “Kalian harus menyerahkan sebuah perahu untuk kami pinjam dan sekalian mengantar kami ke pulau itu. Habis perkara!”
“Tapi hal itu tidak mungkin kami lakukan!” bantah seorang nelayan yang masih muda. “Kami adalah nelayan-nelayan yang harus mencari makan setiap hari. Kami harus membayar hutang-hutang kami kepada Juragan Lui setiap hari. Bagaimana kami dapat mengantar kalian bertiga ke pulau kosong itu?”
“Kamu berani membantah?”
Seorang di antara tiga pendatang itu melangkah maju dan sebuah pukulan mengenai dada pemuda nelayan itu sehingga dia terpelanting roboh.
“Siapa yang tidak menurut akan kami hajar dan siapa yang akan membela kalian? Juragan Lui itu jangan dihiraukan!”
“Hei, siapa berani memandang rendah Juragan Lui?” terdengar seseorang berteriak dan muncullah dua orang yang dari pakaiannya juga bukan nampak sebagai nelayan, melainkan lebih mirip jagoan dengan pakaian yang ringkas. “Kami yang akan membela para nelayan ini!”
Tiga orang pendatang itu menoleh dan menjadi marah.
“Siapakah kalian berdua yang berani mencampuri urusan kami?” Bentak seorang di antara mereka yang hidungnya pesek dan mulutnya besar.
“Kami adalah pembantu Juragan Lui. Kehidupan para nelayan ini sepenuhnya ditanggung oleh Juragan Lui dan hasil tangkapan ikan mereka harus diserahkan kepada Juragan Lui untuk membayar hutang mereka. Kalau kalian mengganggu mereka, bagaimana mereka dapat mencari ikan? Kalian tiga orang asing pergilah dari dusun ini dan jangan membuat ribut di sini atau kami akan menghajar kalian!”
“Ah, kalian ini jagoan-jagoan tukang pukul Juragan Lui agaknya! Hendak kami lihat sampai di mana kelihaian kalian maka berani membuka mulut besar kepada kami!”
Tiga orang itu lalu maju menyerang dua orang tukang pukul itu dan terjadilah perkelahian. Akan tetapi ternyata dua orang tukang pukul itu tidak mampu menandingi tiga orang itu sehingga mereka dipukul jatuh bangun dan melarikan diri, ditertawakan tiga orang pendatang itu. Para nelayan menjadi semakin ketakutan.
“Hayo cepat sediakan sebuah perahu yang baik dan layarkan ke pulau kosong itu!” kata si hidung pesek dengan nada sombong. “Cepat kerjakan, atau kalian ingin kami menghajar kalian semua?”
“Perlahan dulu! Jangan ada yang mengerjakan perintah tiga orang liar ini!” tiba-tiba terdengar seruan dan muncullah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun yang memegang sebatang huncwe yang masih mengepulkan uap dari tembakau yang membara.
Disebut tiga orang liar, tiga orang pendatang itu tentu saja marah sekali dan mereka segera menghadapi orang setengah tua itu. Orang itu berpakaian bagus seperti seorang pedagang, tubuhnya tinggi kurus dan pandang matanya tajam.
“Juragan Lui, kami dipaksa untuk melayarkan mereka ke pulau kosong dan mereka memukul kami!” kata nelayan yang tadi dipukul. “Juga dua orang pembantu Juragan Lui telah mereka hajar!”
Mendengar ini, si hidung pesek tertawa,
“Ha-ha-ha, kiranya engkau yang disebut Juragan Lui? Tentu engkau ini lintah darat yang menguras tenaga para nelayan untuk mengisi padat kantung uangmu, memberi pinjaman dengan bunga berlipat ganda. Kalian berani memaki kami orang liar? Engkau sudah bosan hidup rupanya!”
“Hemmm, kalian bertiga yang bosan hidup!” bentak Juragan Lui sambil menyedot huncwenya meniupkan asap tembakau yang berbau apak itu ke arah mereka.
“Keparat, berani kau!”
Si hidung pesek itu menerjang dengan pukulan tangan kanannya. Akan tetapi dengan mudahnya Juragan Lui mengelak, kemudian menangkap siku tangan yang memukul dan sekali puntir dan mendorong, orang itu sudah roboh menelungkup mencium tanah.
Dua orang kawannya menjadi marah bukan main.
“Jahanam yang bosan hidup!” bentak mereka dan mereka meloloskan golok dari pinggang mereka.
Juga si hidung pesek yang ketika jatuh menelungkup itu hidungnya menjadi tambah pesek karena membentur tanah, kini meloncat, membersihkan mukanya dari tanah dan mencabut goloknya. Tanpa banyak cakap lagi tiga orang itu lalu menyerang Juragan Lui dengan golok mereka.
Biarpun pakaiannya seperti pedagang dan tubuhnya tinggi kurus nampak lemah, kiranya Juragan Lui bukan seorang yang lemah. Cepat sekali tubuhnya bergerak dan dia sudah dapat menghindarkan diri dari bacokan-bacokan golok dengan mengelak kesana-sini. Kemudian dia mengambil huncwe yang panjangnya selengan tangan itu dari mulutnya dan mulailah dia membalas dengan mempergunakan huncwe itu sebagai senjata.
“Trang-tranggg....!”
Dua batang golok tertangkis huncwe dan dua orang pe¬megang golok itu terhuyung ke belakang. Orang ke tiga yang membacokkan goloknya ke arah leher Juragan Lui terhuyung ke depan ketika goloknya mengenai tempat kosong dan tiba-tiba saja ujung hun¬cwe telah menyodok dadanya.
“Dukkk....!”
Orang itu mengaduh, goloknya terlepas dan dia pun roboh bergulingan, nampak kesakitan. Dua orang kawannya menjadi marah dan kembali mereka menyerang dari kanan kiri. Namun gerakan juragan Lui terlalu gesit bagi mereka dan setelah mengelak, hun¬cwe itu berkelebat dua kali dan dua orang pengeroyok itu pun roboh tertusuk huncwe bagian dada dan perut mereka.
Tiga orang itu merangkak bangun dan melarikan diri. Tentu saja kemenangan Juragan Lul ini membuat para nelayan menjadi lega dan gembira. Mereka memuji-muji kegagahan Juragan Lui yang menjadi bangga dan sambil menyedot huncwenya lalu mengepulkan dari mulut dia berkata bangga.
“Hemmm, segala macam bangsat kecil berani mengganggu wilayahku. Baru mengenal kelihaian Juragan Lui sekarang Hayo kalian berkemas dan bekerja!”
Para nelayan lalu sibuk mempersiapkan diri untuk mulai pergi mencari ikan. Akan tetapi Keng Han yang sejak tadi melihat semua peristiwa itu dengan hati tertarik, melihat datangnya beberapa orang berlarian menuju ke tempat itu dan hatinya merasa khawatir.
Tentu saja Keng Han menjadi terkejut dan memandang kepada gurunya dengan mata terbelalak.
“Eh, kenapa, Suhu? Kenapa Suhu hendak pergi secara mendadak?”
“Tidak apa-apa, Keng Han. Hanya aku menganggap sudah terlalu lama aku tinggal di sini, sudah lima tahun. Aku akan melanjutkan perjalananku merantau.”
“Akan tetapi Suhu sudah tua, kenapa tidak tinggal saja di sini selamanya? Kami sudah menganggap Suhu seperti keluarga sendiri!” bantah Keng Han yang menyayang gurunya yang telah banyak mengajar ilmu kepadanya.
“Engkau benar, Keng Han. Akan tetapi aku harus melanjutkan perjalananku, waktunya berpisah telah tiba dan tidak ada apa pun yang boleh membatalkan niatku untuk pergi.”
Mendengar ucapan yang tegas itu, Keng Han tidak berani membantah lagi. Maka terpaksa dia pun membantu gurunya berkemas. Gurunya membawa buntalan pakaian dan sekantung emas pernberian kakeknya untuk bekal di jalan.
Biarpun Gosang Lama menolaknya, akan tetapi Khalaban memaksanya sehingga akhirnya Gosang Lama menerimanya juga. Setelah selesai berkemas, berangkatlah Gosang Lama meninggalkan perkampungan itu diantar oleh Khalaban, Keng Han dan Kalucin sampai ke luar daerah perkampungan mereka. Kemudian pendeta berjubah kuning itu pergi ke selatan dengan cepatnya. Sedih juga hati Keng Han ditinggalkan gurunya itu.
Tiga hari kemudian, pada suatu pagi muncul tiga orang pendeta dengan pakaian yang sama dengan yang dipakai Gosang Lama, hanya bedanya tiga orang pendeta yang usianya sekitar enam puluh tahunan ini berjubah warna merah. MeIihat ada tiga orang pendeta datang, Khalaban sendiri keluar menyambut, ditemani oleh Keng Han dan juga Kalucin yang kini menjadi pembantu utama dari Khalaban.
Khalaban membungkuk kepada tiga orang pendeta itu dan berkata ramah,
“Selamat datang di perkampungan kami. Sam-wi (kalian bertiga) hendak mencari siapakah dan ada kepentingan apakah berkunjung ke tempat kami?”
Tiga orang pendeta yang kepalanya gundul itu menoleh ke kanan kiri seperti orang yang mencari-cari, kemudian seorang di antara mereka yang berjenggot panjang bertanya,
“Apakah di sini terdapat seorang pendeta Lama jubah kuning yang bernama Gosang Lama?”
“Ah, Gosang Lama? Sudah tiga hari yang lalu dia pergi meninggalkan perkampungan kami ini!” kata Khalaban terus terang.
“Hemmm, sayang sekali. Agaknya dia telah mengetahui akan kedatangan kita, maka lebih dulu melarikan diri. Keparat!” kata pendeta itu dengan gemas.
Mendengar makian ini, Keng Han mengerutkan alisnya dan melangkah maju.
“Kenapa kalian bertiga memaki guruku? Kalau dia berada di sini kalian mau apa?” bentaknya.
Tiga orang pendeta itu memandang kepada Keng Han dan seorang di antara mereka berkata,
“Hemmm, engkau muridnya? Kalau dia berada di sini, tentu kami akan menangkapnya.”
“Ditangkap? Kenapa?” Keng Han bertanya penuh penasaran.
“Dia adalah seorang pelarian dari negeri kami. Dia harus ditangkap dan dihukum.”
“Hei, orang muda! Kalau engkau muridnya, engkau tentu mengetahui ke mana dia pergi bersembunyi!” kata pendeta yang jenggotnya panjang. “Hayo beritahukan kepada kami!” Berkata demikian, pendeta itu menjulurkan tangannya menangkap pundak Keng Han.
Keng Han yang sudah marah sekali itu cepat mengelak, bahkan lalu menubruk maju sambil memukul ke arah perut pendeta itu. Pendeta itu tidak mengelak dan pukulan itu tepat mengenai perutnya.
“Bukkk....!”
Keras sekali pukulan Keng Han akan tetapi pendeta yang terpukul perutnya itu tidak apa-apa, sebaliknya Keng Han yang memegangi kepalan tangan kanan dengan tangan kiri. Tulang-tulang jari tangannya rasanya patah-patah seperti memukul baja saja. Dan sebelum dia dapat mengelak, pendeta itu mendorongnya dan tubuh Keng Han terdorong dan roboh terjengkang.
Khalaban cepat maju memberi hormat. Orang tua ini maklum bahwa dia berhadapan dengan tiga orang pendeta yang lihai.
“Harap maafkan cucu kami ini. Biarpun dia menjadi murid Gosang Lama, akan tetapi dia tidak tahu dimana adanya Gosang Lama. Kemarin dulu dia berpamit dari kami untuk melanjutkan perjalanan ke selatan, entah ke mana dia tidak memberitahu. Harap jangan memaksa kami!”
Mendengar kata kepala suku itu dan melihat betapa banyaknya orang Khitan berdatangan mengepung tempat itu, tiga orang pendeta itu pun agaknya maklum bahwa kalau mereka menggunakan kekerasan tentu akan berhadapan dengan ratusan orang Khitan, maka tiga orang itu lalu mengangguk dan pergi dari situ tanpa bicara lagi.
Peristiwa itu menggores dalam-dalam di hati Keng Han. Dia kehilangan gurunya dan tiga hari kemudian dia mendapat kenyataan bahwa semua ilmu yang sudah pernah dipelajarinya dari Gosang Lama, ternyata sedikit sekali gunanya. Melawan seorang pendeta tua saja dia tidak mampu menang dan dikalahkan dalam segebrakan saja!
Gosang Lama, memang pernah mengatakan kepadanya bahwa ilmu silat di dunia ini tidak ada batasnya dan banyak terdapat orang pandai di dunia ini. Kenyataan ini menghapus kebanggaan dirinya bahwa dia merupakan pemuda terkuat di perkampungannya. Dia harus mencari guru lagi yang lebih pandai. Dia harus pergi merantau mencari guru pandai, dan juga merantau ke selatan mencari ayahnya!
Keng Han pernah mendengar dari ibunya tentang lahirnya sebuah pulau yang menimbulkan gelombang besar di laut utara.
“Hampir saja ayah dan ibumu celaka dalam gelombang besar itu,” Ibunya menceritakan. “Kalau kami tidak mengikat diri di tiang layar, tentu ibumu dan ayahmu sudah terlempar keluar ditelan gelombang lautan. Dan menurut cerita tukang perahu, pulau yang baru lahir itu adalah yang dahulu disebut Pulau Es. Dan ayahmu pernah bercerita kepadaku bahwa pulau itu dahulu menjadi tempat tinggal keluarga yang sakti luar biasa.”
Kisah yang diceritakan ibunya ini menarik perhatiannya. Bagaimana hatinya tidak akan tertarik? Peristiwa aneh itu dialami oleh ibu dan ayahnya sendiri dan mendengar bahwa pulau itu dahulunya dihuni manusia-manusia sakti, hatinya amat tertarik. Keng Han baru berusia lima belas tahun. Jiwa petualangan sedang berkembang dengan suburnya dalam hatinya. Maka dia lalu menghadap ibunya dan menyatakan bahwa dia hendak pergi ke selatan untuk mencari ayahnya, sama sekali tidak menceritakan keinginannya mengunjungi pulau aneh itu karena tentu ibunya tidak akan mengijinkannya.
Mendengar puteranya akan pergi mencari ayahnya, Silani tidak dapat melarangnya, hanya berpesan agar puteranya berhati-hati dan. agar pedang bengkok itu disimpannya baik-baik dan jangan sampai hilang sebelum bertemu dengan ayahnya.
Khalaban dan Kalucin memberi banyak nasihat kepada pemuda remaja itu. Tadinya Kalucin hendak menemani keponakannya merantau, akan tetapi niatnya itu ditolak keras oleh Keng Han.
“Paman, aku sudah besar dan aku hendak merantau mencari pengalaman. Bagaimana aku akan dapat menambah pengalaman dan pengetahuan kalau dikawal oleh Paman? Dan aku sudah cukup kuat untuk menjaga diri sendiri.” bantahnya dan Kalucin tidak dapat berkata apa-apa lagi karena dalam kenyataannya dia sendiri pun tidak akan menang melawan kekuatan dan kepandaian keponakannya itu.
Tao Keng Han berangkat diantar oleh kakeknya dan Kalucin sampai keluar perkampungan, dan diantar pula oleh tangis ibunya yang tentu saja merasa kehilangan sekali. Akan tetapi Silani yakin bahwa kepergian puteranya itu penting sekali. Puteranya itu harus dapat bertemu dengan ayahnya, puteranya harus dapat mencapai kedudukan tinggi. Bagi dirinya sendiri, ia sudah menerima nasib. Biarlah ia tidak dijemput ke istana asalkan puteranya dapat diterima oleh ayahnya dan puteranya menjadi seorang pangeran! Dengan adanya harapan ini hatinya yang sedih ditinggal pergi puteranya menjadi terhibur.
Harapan memang suatu perasaan yang luar biasa kuatnya. Harapan dapat menimbulkan gairah hidup. Kalau masih mempunyai harapan, maka orang mampu menanggung segala derita yang bagaimana berat pun. Sebaliknya orang yang sudah kehabisan harapan, yang putus harapan, akan mudah melakukan hal-hal yang tidak benar. Bahkan banyak orang membunuh diri karena sudah putus harapan.
Akan tetapi sebaliknya, harapan yang terlalu digantungi dapat pula menimbulkan kekecewaan pada akhirnya karena hanya orang yang berharap sajalah yang akan kecewa kalau harapannya tidak terkabul!
Karena itu, orang tidak boleh putus harapan akan tetapi juga tidak baik kalau terlalu mengharap sesuatu secara berlebihan. Harapan yang terlalu berlebihan merupakan keinginan nafsu yang tidak akan pernah terpuaskan. Kalau harapan itu terpenuhi sekalipun, biasanya tidak seindah yang diharapkan, atau tidak terasa sebaik yang diharapkan atau diinginkan karena keinginan sudah menghendaki hal laln lagi yang dianggap lebih baik.
Akan tetapi bagi seorang yang dilanda kedukaan seperti Silani, yang berduka karena tidak dijemput suaminya setelah lewat lima belas tahun lebih, dan yang kemudian berduka karena ditinggal pergi puteranya, amatlah perlu adanya harapan itu. Harapan agar puteranya dapat bertemu dengan ayah kandungnya dan dapat diterima sebagai seorang pangeran!
Setelah keluar dari perkampungan Khitan, Keng Han tidak langsung menuju ke selatan seperti yang disangka ibunya, dan kakeknya, melainkan dia membelok ke timur karena dia hendak lebih dulu pergi ke pantai lautan timur untuk mencari pulau yang diceritakan ibunya itu.
Keng Han melakukan perjalanan yang amat sukar, melalui pegunungan yang seolah-olah tiada habis-habisnya. Dia naik turun gunung dan bahkan sampai berhari-hari tidak bertemu pedusunan. Akan tetapi, sebagai seorang Khitan dia sudah berpengalaman hidup menyendiri itu, dapat berburu binatang untuk makan dan bermalam di atas pohon besar. Beberapa kali dia bertemu binatang buas, akan tetapi berkat ketangkasannya, dia dapat selalu membunuh binatang buas yang mengancamnya.
Akhirnya tibalah dia di pantai lautan timur. Dia bermalam di sebuah dusun nelayan dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah duduk termenung di tepi pantai. Keadaan pantai masih sepi sekali, para nelayan belum membuat persiapan di hari itu. Pagi masih gelap dan amat dinginnya, membuat orang malas untuk keluar dari rumah.
Akan tetapi Keng Han yang duduk di atas pasir pantai itu terpesona. Dia memandang jauh ke timur, ke arah lautan dan dia melihat pemandangan yang amat menakjubkan.
Mula-mula langit di timur, terutama di atas lautan, nampak merah seolah kebakaran. Warna merah lagit itu bertepi kuning emas dan di sana sini nampak awan putih kebiruan. Indah sekali Bagian pintu gerbang sorga dalam dongeng. Kemudian muncullah yang terindah dari segalanya yang terindah di saat itu. Sebuah bola api yang besar sekali, warnanya merah darah, tersembul perlahan-lahan keluar dari dalam lautan.
Hampir dia lupa bahwa itu adalah sang matahari! Seperti seekor mahluk yang aneh yang muncul dari dalam lautan. Bola api merah itu cepat sekali, nampak naik dari permukaan laut, lalu nampak semua. Bulat tanpa cacat, membawa cahaya merah yang masih lembut. Akan tetapi semakin tinggi dia naik, semakin cerah warnanya, bukan darah lagi, melainkan merah bercampur keemasan dan mulai mengeluarkan sinar. Dan sinarnya mulai membuat jalan jalur kemerahan di permukaan lautan yang tenang. Indah sekali. Besar sekali. Agung sekali!
Bersama munculnya Sang Matahari, kehidupan pun mulailah. Nampak binatang malam seperti kelelawar beterbangan di udara, agaknya bergegas pulang ke sarang takut kesiangan karena sinar matahari yang cerah akan membuat mereka buta.
Sebaliknya, burung-burung camar mulai beterbangan pula, rendah dipermukaan laut, mencari ikan. Beberapa orang nelayan mulai nampak di tepi laut, berpakaian tebal menahan dingin, ada yang mulai membenahi perahu, membetulkan jala dalam persiapan mereka mencari nafkah di hari itu.
Kekusaan Tuhan bekerja setiap saat, di mana-mana. Kebesaran dan keindahannya dapat disaksikan di mana-mana, di sekeliling kita, di dalam diri kita sendiri.
Sayang sekali, mata kita seolah buta dan tidak melihat semua itu, tidak dapat menikmati dan mensyukuri semua itu. Jiwa kita yang seharusnya selalu kontak dan berhubungan dengan kekuasaan Tuhan, seolah tertutup oleh nalsu, bergelimang nafsu sehingga kita selalu menghendaki yang menyenangkan dan memuaskan nafsu belaka.
Keng Han terpesona, tenggelam ke dalam semua keindahan itu, bahkan dia sudah lupa akan dirinya sendiri yang seolah-olah telah bersatu dengan semua keindahan itu, bahkan menjadi sebagian dari keindahan itu sendiri.
Keramaian yang makin terjadi di pantai itu, kesibukan para nelayan dan naiknya matahari pagi yang kini sinarnya mulai tak tertahankan oleh pandang mata, menyadarkannya dari lamunan. Apalagi ketika terdengar suara ribut-ribut di sebelah sana. dia mengangkat muka memandang. Ternyata suara ribut-rlbut itu terjadi antara tiga orang pendatang yang pakaiannya ringkas seperti ahli-ahli silat dan belasan orang nelayan yang ribut mulut.
“Kami tidak peduli!” kata seorang di antara tiga pendatang itu. “Kalian harus menyerahkan sebuah perahu untuk kami pinjam dan sekalian mengantar kami ke pulau itu. Habis perkara!”
“Tapi hal itu tidak mungkin kami lakukan!” bantah seorang nelayan yang masih muda. “Kami adalah nelayan-nelayan yang harus mencari makan setiap hari. Kami harus membayar hutang-hutang kami kepada Juragan Lui setiap hari. Bagaimana kami dapat mengantar kalian bertiga ke pulau kosong itu?”
“Kamu berani membantah?”
Seorang di antara tiga pendatang itu melangkah maju dan sebuah pukulan mengenai dada pemuda nelayan itu sehingga dia terpelanting roboh.
“Siapa yang tidak menurut akan kami hajar dan siapa yang akan membela kalian? Juragan Lui itu jangan dihiraukan!”
“Hei, siapa berani memandang rendah Juragan Lui?” terdengar seseorang berteriak dan muncullah dua orang yang dari pakaiannya juga bukan nampak sebagai nelayan, melainkan lebih mirip jagoan dengan pakaian yang ringkas. “Kami yang akan membela para nelayan ini!”
Tiga orang pendatang itu menoleh dan menjadi marah.
“Siapakah kalian berdua yang berani mencampuri urusan kami?” Bentak seorang di antara mereka yang hidungnya pesek dan mulutnya besar.
“Kami adalah pembantu Juragan Lui. Kehidupan para nelayan ini sepenuhnya ditanggung oleh Juragan Lui dan hasil tangkapan ikan mereka harus diserahkan kepada Juragan Lui untuk membayar hutang mereka. Kalau kalian mengganggu mereka, bagaimana mereka dapat mencari ikan? Kalian tiga orang asing pergilah dari dusun ini dan jangan membuat ribut di sini atau kami akan menghajar kalian!”
“Ah, kalian ini jagoan-jagoan tukang pukul Juragan Lui agaknya! Hendak kami lihat sampai di mana kelihaian kalian maka berani membuka mulut besar kepada kami!”
Tiga orang itu lalu maju menyerang dua orang tukang pukul itu dan terjadilah perkelahian. Akan tetapi ternyata dua orang tukang pukul itu tidak mampu menandingi tiga orang itu sehingga mereka dipukul jatuh bangun dan melarikan diri, ditertawakan tiga orang pendatang itu. Para nelayan menjadi semakin ketakutan.
“Hayo cepat sediakan sebuah perahu yang baik dan layarkan ke pulau kosong itu!” kata si hidung pesek dengan nada sombong. “Cepat kerjakan, atau kalian ingin kami menghajar kalian semua?”
“Perlahan dulu! Jangan ada yang mengerjakan perintah tiga orang liar ini!” tiba-tiba terdengar seruan dan muncullah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun yang memegang sebatang huncwe yang masih mengepulkan uap dari tembakau yang membara.
Disebut tiga orang liar, tiga orang pendatang itu tentu saja marah sekali dan mereka segera menghadapi orang setengah tua itu. Orang itu berpakaian bagus seperti seorang pedagang, tubuhnya tinggi kurus dan pandang matanya tajam.
“Juragan Lui, kami dipaksa untuk melayarkan mereka ke pulau kosong dan mereka memukul kami!” kata nelayan yang tadi dipukul. “Juga dua orang pembantu Juragan Lui telah mereka hajar!”
Mendengar ini, si hidung pesek tertawa,
“Ha-ha-ha, kiranya engkau yang disebut Juragan Lui? Tentu engkau ini lintah darat yang menguras tenaga para nelayan untuk mengisi padat kantung uangmu, memberi pinjaman dengan bunga berlipat ganda. Kalian berani memaki kami orang liar? Engkau sudah bosan hidup rupanya!”
“Hemmm, kalian bertiga yang bosan hidup!” bentak Juragan Lui sambil menyedot huncwenya meniupkan asap tembakau yang berbau apak itu ke arah mereka.
“Keparat, berani kau!”
Si hidung pesek itu menerjang dengan pukulan tangan kanannya. Akan tetapi dengan mudahnya Juragan Lui mengelak, kemudian menangkap siku tangan yang memukul dan sekali puntir dan mendorong, orang itu sudah roboh menelungkup mencium tanah.
Dua orang kawannya menjadi marah bukan main.
“Jahanam yang bosan hidup!” bentak mereka dan mereka meloloskan golok dari pinggang mereka.
Juga si hidung pesek yang ketika jatuh menelungkup itu hidungnya menjadi tambah pesek karena membentur tanah, kini meloncat, membersihkan mukanya dari tanah dan mencabut goloknya. Tanpa banyak cakap lagi tiga orang itu lalu menyerang Juragan Lui dengan golok mereka.
Biarpun pakaiannya seperti pedagang dan tubuhnya tinggi kurus nampak lemah, kiranya Juragan Lui bukan seorang yang lemah. Cepat sekali tubuhnya bergerak dan dia sudah dapat menghindarkan diri dari bacokan-bacokan golok dengan mengelak kesana-sini. Kemudian dia mengambil huncwe yang panjangnya selengan tangan itu dari mulutnya dan mulailah dia membalas dengan mempergunakan huncwe itu sebagai senjata.
“Trang-tranggg....!”
Dua batang golok tertangkis huncwe dan dua orang pe¬megang golok itu terhuyung ke belakang. Orang ke tiga yang membacokkan goloknya ke arah leher Juragan Lui terhuyung ke depan ketika goloknya mengenai tempat kosong dan tiba-tiba saja ujung hun¬cwe telah menyodok dadanya.
“Dukkk....!”
Orang itu mengaduh, goloknya terlepas dan dia pun roboh bergulingan, nampak kesakitan. Dua orang kawannya menjadi marah dan kembali mereka menyerang dari kanan kiri. Namun gerakan juragan Lui terlalu gesit bagi mereka dan setelah mengelak, hun¬cwe itu berkelebat dua kali dan dua orang pengeroyok itu pun roboh tertusuk huncwe bagian dada dan perut mereka.
Tiga orang itu merangkak bangun dan melarikan diri. Tentu saja kemenangan Juragan Lul ini membuat para nelayan menjadi lega dan gembira. Mereka memuji-muji kegagahan Juragan Lui yang menjadi bangga dan sambil menyedot huncwenya lalu mengepulkan dari mulut dia berkata bangga.
“Hemmm, segala macam bangsat kecil berani mengganggu wilayahku. Baru mengenal kelihaian Juragan Lui sekarang Hayo kalian berkemas dan bekerja!”
Para nelayan lalu sibuk mempersiapkan diri untuk mulai pergi mencari ikan. Akan tetapi Keng Han yang sejak tadi melihat semua peristiwa itu dengan hati tertarik, melihat datangnya beberapa orang berlarian menuju ke tempat itu dan hatinya merasa khawatir.