Ads

Jumat, 02 Agustus 2019

Mutiara Hitam Jilid 015

Ouw Kiu makin pucat.
“Saya.... saya tidak mempunyai cukup harga untuk menyebut-nyebut nama besar Beliau, hanya saya mengerti bahwa Beliau merupakan seorang tokoh besar yang amat dihormati Thian-liong-pang”. Suaranya agak gemetar dan matanya lirak-lirik ke kanan kiri penuh kekhawatiran.

“Sudah, pergilah dan bawa mayat temanmu. Mengingat Thian-liong-pang kami memaafkanmu dan bulan depan kalau tiada halangan, kami akan datang menonton keramaian di Yen-an.”

Ouw Kiu menjura mengucapkan terima kasih, kemudian menyambar mayat sutenya dan pergi dari situ dengan langkah terpincang-pincang. Kwi Lan membalikkan tubuh terus lari pergi pula dari tempat itu.

Akan tetapi belum jauh ia pergi, ia mendengar suara orang berlari di belakangnya. Ketika melirik dan melihat bahwa yang mengikutinya adalah pemuda itu, Kwi Lan lalu mengerahkan ginkangnya dan berlari makin cepat. Setelah lari agak jauh, ia melirik ke belakang. Kiranya pemuda itu masih saja mengikuti di belakangnya, hanya terpisah tiga meter!

Kwi Lan penasaran dan mengerahkan seluruh tenaganya, lari secepat terbang. Pemuda itupun mengerahkan tenaganya. Beberapa lama mereka berlari-larian cepat sampai puluhan li jauhnya. Akhirnya terdengar pemuda itu berkata dengan napas memburu.

“Waduh...., berat nih! Eh, Mutiara Hitam, apakah engkau takut padaku maka melarikan diri?”

Kalau pemuda itu mengeluarkan ucapan lain, agaknya Kwi Lan tidak akan mempedulikannya dan akan berlari terus. Akan tetapi dikatakan takut merupakan pantangan besar baginya, maka cepat ia mengerem larinya, berhenti dengan tiba-tiba sehingga pemuda yang membalap di belakangnya itu hampir saja menubruknya kalau tidak cepat-cepat membuang diri ke samping dan berjungkir balik dua kali. Gerakan pemuda ini amat lucu, akan tetapi juga indah dan membuktikan kegesitannya yang luar biasa.

“Takut? Siapa bilang aku takut padamu?”

Kwi Lan bertanya, memandang tajam dan mengangkat muka membusungkan dada, sikapnya menantang.

“Tentu saja aku yang bilang....!” Pemuda itu berhenti dan mengatur napasnya yang agak terengah-engah. “Wah, bisa putus napasku kalau diajak balapan lari gila-gilaan seperti tadi! Aku tidak bilang kau takut, aku tadi bertanya apakah engkau takut kepadaku.”

“Aku tidak takut! Apamu yang kutakuti?” Kwi Lan membentak.

“Kalau tidak takut mengapa lari seperti dikejar setan? Aku.... aku mau bicara denganmu, aku ingin jalan bersama, kenapa kau melarikan diri?”

“Aku lari, atau jalan, atau tidur, bukan urusanmu. Aku tidak ada urusan denganmu, aku tidak ingin berjalan bersama, tidak ingin bicara denganmu.”

“Wah-wah-wah, kenapa begini galak? Sungguh tidak berbudi....”

“Aku tidak berhutang budi kepadamu! Kau mau apa?”

Pemuda itu menyeringai dan senyumnya yang lebar itu lucu sekali, seperti senyum orang mengunyah garam, sehingga diam-diam Kwi Lan menjadi geli.

“Kau memang tidak berhutang budi kepadaku. Akan tetapi engkau hutang kacang! Hayo menyangkallah kalau mampu! Bukankah kau berhutang kacang asin garing yang gurih dan wangi, tidak satu, tidak pula dua atau tiga, melainkan tiga genggam yang isinya banyak!”

“Hanya dua genggam!” bentak Kwi Lan.

“Dua genggam banyak juga namanya. Lebih dua puluh! Hayo kau bayar kembali hutangmu itu, baru di antara kita tidak ada sangkut paut lagi!”

Kwi Lan tertegun dan melengak. Ia menoleh ke kanan ke kiri, tak berdaya. Darimana ia bisa mendapatkan kacang asin di dalam hutan itu? Dan yang sudah masuk perutnya pun tidak mungkin dikeluarkan lagi. Betapapun juga, ia kalah benar.






Memang tak dapat ia menyangkal bahwa ia tadi telah makan dua genggam kacang asin pemuda itu. Baru sekarang Kwi Lan merasa kalah debat. Biasanya, menghadapi suhengnya, Suma Kiat ia selalu menang berdebat sampai suhengnya kewalahan. Akan tetapi sekarang ia benar-benar bingung, tak tahu harus melawan secara bagaimana. Akhirnya Kwi Lan menggerakkan kepala keras-keras untuk menyingkap gumpalan rambut yang jatuh ke mukanya, sebuah kebiasaan atau gerakan yang biasa ia lakukan tanpa sadar apabila ia merasa malu, bingung atau marah.

“Kau memang manusia berandalan, ugal-ugalan, tidak tahu malu menyebut-nyebut urusan dua genggam kacang asin yang tidak ada harganya! Cih!”

“Kau yang sombong, galak, tidak menghargai orang. Diajak jalan bersama dan bicara saja tidak sudi, seperti tidak ingat saja betapa tadi di atas pohon ikut duduk dan makan kacang....“ Pemuda itu merengut.

“Sudahlah! Betul aku telah berhutang dua genggam kacang padamu. Nah, sekarang apa yang hendak kau bicarakan.”

Wajah pemuda itu sekaligus berseri kembali seperti biasa, sepasang matanya bersinar-sinar penuh keriangan. Memang wajah yang amat tampan dan melihat wajah ini, sukarlah bagi Kwi Lan untuk mempertahankan kemendongkolan hatinya. Wajah itu amat segar dan riang, tidak hanya mata dan bibir yang selalu membayangkan senyum gembira, bahkan alis yang tebal itu bergerak-gerak lucu, bulu mata ikut bergetar seperti menari-nari.

Wajah yang tampan, wajah yang lucu dan gembira! Seperti awan tipis disapu angin, lenyaplah rasa panas di hati Kwi Lan dan gadis ini lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol, membereskan rambutnya dan mengusap peluh di leher dengan ujung lengan baju.

“Gerah, ya? Memang hawanya panas, apalagi kalau dipakai lari-lari cepat, bisa mandi keringat kita.”

Tangannya merogoh dalam baju dan ketika ditarik keluar, ternyata ia telah memegang sebuah guci panjang berisi air jernih dan dingin. Gerakannya cepat dan kelihatannya seperti seorang pelawak main sulap saja. Dibukanya tutup guci dan dengan tersenyum ia berkata,

“Isinya air jernih dan bersih. Guci ini bukan sembarang guci, melainkan guci wasiat dan air yang disimpan disini, makin lama tidak makin kotor malah makin jernih, berbau harum dan timbul rasa manis, juga menjadi dingin segar. Minumlah, Nona.” Ia menyodorkan guci itu kepada Kwi Lan.

Air yang tampak jernih berkilau, muka yang tampak riang dan menawarkan dengan penuh kejujuran, hawa yang panas, semua ini membuat Kwi Lan bernafsu sekali untuk meneguk air segar itu. Tanpa berkata apa-apa ia menerima guci, mendekatkan bibir guci yang halus kepada bibirnya sendiri yang lebih halus lagi, akan tetapi pada saat itu pandang mata mereka bentrok dan cepat-cepat Kwi Lan menurunkan lagi guci air itu ke bawah, tidak jadi minum.

“Kenapa....?”

Kwi Lan mengerling dengan pandang mata tajam.
“Apakah air ini juga akan dianggap hutang? Lebih baik mati kehausan daripada minum air hutangan!” Ia menyerahkan kembali guci itu kepada pemiliknya.

Pemuda itu tertawa bergelak, memperlihatkan deretan gigi yang terpelihara rapi dan putih.

“Apakah benar-benar engkau begini pemarah dan galak? Ah, aku tidak percaya, kau hanya pura-pura bersikap galak saja!”

“Siapa tidak akan marah kalau kau begini ugal-ugalan? Dua genggam kacang asin saja digugat-gugat, dijadikan alasan....”

Pemuda itu tiba-tiba berdiri dan menjura sampai jidatnya hampir menyentuh tanah, seperti seorang melakukan penghormatan kepada ratu.

“Hamba mohon beribu ampun atas segala kesalahan hamba terhadap tuan putri yang mulia....”

“Heiii! Bagaimana engkau tahu bahwa....?”

Kwi Lan tiba-tiba menghentikan kata-katanya. Sikap pemuda ugal-ugalan yang melawak itu sejenak mengingatkan ia akan ibu kandungnya yang menjadi ratu di Khitan sehingga timbul dugaan dan kecurigaannya bahwa pemuda aneh ini tahu bahwa dia anak ratu. Akan tetapi melihat wajah pemuda itu berbalik menjadi kaget dan heran, ia menahan kata-katanya, kemudian melanjutkan.

“Sudahlah! Jangan kau main-main seperti badut. Sebetulnya engkau mau apakah? Mengapa mengejarku dan hendak bicara apa dengan aku?”

Pemuda itu menarik muka sungguh-sungguh, akan tetapi tetap saja mukanya yang kekanak-kanakan itu berseri ketika ia menyodorkan guci airnya.

“Harap nona suka minum dulu air ini agar percaya bahwa Nona tidak lagi marah kepadaku.”

Kwi Lan menerima guci itu dan meneguk isinya. Memang air yang amat dingin dan segar sehingga hilanglah hausnya, terasa amat puas dan nikmat.

“Enak benar air ini,” katanya memuji sambil mengembalikan guci.

Pemuda itupun meneguk air, kemudian menutup guci dan menyimpannya kembali ke balik bajunya.

“Nona, terus terang saja, begitu bertemu denganmu, aku sudah menjadi sangat tertarik dan kagum. Gerakanmu jelas menunjukkan bahwa engkau memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, sikapmu terbuka dan tegas. Benar-benar hebat sekali. Setelah bertemu dengan seorang seperti Nona, bagaimana aku dapat berpisah begitu saja tanpa lebih dahulu bicara dan mengikat persahabatan? Apalagi melihat sikap Nona yang sama sekali tidak memandang mata kepada Thian-liong-pang dan terutama sekali berani memaki seorang tokoh besar seperti Bu-tek Siu-lam, benar-benar hebat sekali dan tentulah Nona seorang yang memiliki kedudukan sejajar dengan tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw pada waktu ini.”

“Ngawur dan ngaco! Selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan macamnya Bu-tek Siu-lam dan aku merasa heran sekali mengapa Ouw Kiu si Brewok tadi kelihatan begitu ketakutan ketika nama Bu-tek Siu-lam disebut-sebut.”

“Apalagi dia, aku sendiri pun hampir terjengkang karena kaget mendengar engkau berani memaki-maki Bu-tek Siu-lam!”

“Huh, orang macam apakah Bu-tek Siu-lam itu? Aku hanya pernah mendengar dari mulut pengemis-pengemis Hek-peng Kai-pang bahwa dia yang melindungi semua pengemis golongan hitam yang katanya datang dari dunia barat. Perlu apa takut terhadap badut macam dia?”

“Aihh.... aihh...., agaknya Nona belum banyak tahu akan tokoh-tokoh dunia kang-ouw pada waktu ini! Sehingga nama besar Bu-tek Siu-lam pun belum dikenalnya betul. Nona, agaknya engkau merupakan seorang perantau yang baru, belum lama turun gunung....“

Kwi Lan merasa betapa pipinya panas. Hatinya juga panas karena rahasianya diketahui. Dengan lain kata-kata pemuda ini hendak mengejeknya, mengatakan bahwa ia masih hijau, masih belum berpengalaman sehingga tidak mengenal tokoh-tokoh besar!

“Hemm, kalau engkau...., sudah banyak pengalaman, ya? Sudah puluhan tahun merantau?”

Kwi Lan sengaja mengatakan puluhan tahun padahal usia pemuda itu paling banyak sama dengan usianya sendiri, sembilan belas tahun!

Akan tetapi pemuda itu tidak merasakan ejekan ini agaknya. Wajahnya serius ketika ia menjawab,

“Semenjak lahir aku sudah merantau, Nona.”

“Dan aku...., sebelum lahir sudah merantau!”

Potong Kwi Lan, matanya menyinarkan kemarahan, bibirnya tersenyum manis, senyum marah. Memang ciri khas gadis ini, makin marah ia, makin manis senyumnya!

Pemuda ini menatap wajahnya penuh selidik, tiba-tiba wajahnya yang serius itu kembali berseri seperti biasa.

“Aih, kiranya Nona juga suka berkelakar. Mana bisa sebelum lahir sudah merantau!”

“Mengapa tidak bisa kalau kau pun sudah merantau sejak lahir? Tentu kau akan mendongeng bahwa begitu lahir engkau sudah pandai tertawa, pandai berlari cepat, dan pandai.... membual?”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar