Ads

Minggu, 04 Agustus 2019

Mutiara Hitam Jilid 017

Kwi Lan makin kagum dan terheran-heran. Timbul keinginan hatinya untuk bertemu dengan Suling Emas, walaupun hanya untuk mendengar tiupan sulingnya yang sepuluh kali lebih hebat daripada tiupan suling pemuda ini.

“Wah, alangkah goblok!”

Pemuda itu yang sudah menyimpan sulingnya kembali, meloncat bangun sambil menampar kepalanya. Kwi Lan ikut terkejut dan ikut meloncat bangun.

“Ada apa lagi?”

Pemuda itu tertawa.
“Alangkah goblok aku. Lihat, kita bicara sudah setengah hari, banyak nama tokoh-tokoh dunia hitam dan putih sudah kuperkenalkan, malah aku sudah meniup suling untukmu dan kau sudah menaruh kepercayaan penuh kepadaku. Akan tetapi, kita masih belum saling mengenal nama! Padahal aku merasa seakan-akan sudah mengenal Nona selama bertahun-tahun, seolah-olah kita sudah saling bersahabat lama sekali. Bolehkah aku mengetahui nama besar Nona yang mulia?”

Kwi Lan tersenyum. Terhadap seorang pemuda seperti ini, tak mungkin ia dapat membencinya. Pemuda ini berandalan memang, aneh pula, akan tetapi tidak terbayang watak kurang ajar baik dalam kata-kata maupun dalam pandang mata kepadanya. Ilmu silatnya agaknya tinggi, banyak pengetahuannya tentang dunia kang-ouw, budinya baik dan masih ditambah pandai bersuling lagi!

“Mengapa masih bertanya lagi? Bukankah namaku Mutiara Hitam dan engkau Setan Berandalan?”

Pemuda itu tertawa geli kemudian berkata sungguh-sungguh,
“Biarpun kita bukan orang lemah, namun kita belumlah seperti kakek-kakek dan nenek-nenek yang suka memakai nama julukan dan menyembunyikan nama sendiri! Nona yang baik, sudilah memperkenalkan nama besar dan she (nama keturunan) yang terhormat.”

“Kau sendiri siapa? Kau yang ingin berkenalan, seharusnya kau yang lebih dulu memperkenalkan nama.”

Pemuda itu mengangguk-angguk.
“Nona benar. Maafkan aku yang pelupa. Nah, namaku Hauw Lam, she Tang. Tang Hauw Lam, nama yang bagus, sesuai dengan orangnya, bukan?”

Sambil berkata demikian, sengaja pemuda itu pasang aksi menggoyang-goyangkan kedua pundak. Segala hal dilakukan sambil melucu.

Akan tetapi kali ini Kwi Lan tidak merasa lucu, melainkan kaget bukan main. Kalau saja ia tidak memiliki batin yang kuat, tentu ia akan kelihatan kaget sekali pada mukanya. Namun muka yang cantik jelita itu tenang saja, hanya jantungnya yang berdebar-debar keras. Jadi inikah putera Bi Li? Putera Tang Sun dan Phang Bi Li yang disangka lenyap setelah gurunya, ketua kelenteng di Kim-liong-san, meninggal dunia?

Inikah yang dicari-cari oleh Bi Li, bahkan yang telah ia janjikan kepada Bibi Bi Li untuk bantu mencari? Sungguh tidak disangka-sangka! Akan tetapi, betapapun juga ia merasa girang bahwa putera Bibi Bi Li yang amat sayang kepadanya itu ternyata adalah seorang yang berilmu tinggi, yang berbudi baik seperti Ibunya, dan yang lucu seperti.... entah siapa yang menurunkan sifat lucu kepada pemuda ini. Akan tetapi, untuk sementara Kwi Lan tidak akan membuka rahasia ini.

“Aku sebatang kara,” Hauw Lam melanjutkan, “dan Guruku yang terakhir adalah seorang kakek yang sakti dan aneh yang dahulu merupakan orang ke dua setelah Bu Kek Siansu, seorang kakek yang hidup di dalam kuburan, tidak pernah keluar dari kuburan itu! Kakek itu sudah sangat tua, sukar ditaksir lagi berapa usianya, akan tetapi sifatnya ugal-ugalan dan seenaknya sendiri....“

“Seperti engkau!” Kwi Lan memotong.

Hauw Lam tertawa dan mengangguk.
“Ya, aku banyak meniru sifat-sifatnya itu, sifat yang amat baik. Manusia hidup satu kali di dunia, kalau tidak bergembira mau apa lagi? Keadaan baik diterima dengan gembira, akan menjadi lebih menyenangkan, sebaliknya keadaan buruk kalau diterima dengan gembira, akan terasa ringan! Aku hanya menerima petunjuk Beliau selama seratus hari, akan tetapi gemblengan selama tiga bulan itu begitu jauh lebih berharga daripada ajaran kuterima belasan tahun dari guru-guru yang lain.”

“Siapa nama Gurumu yang aneh. itu?”






“Julukan Beliau adalah Bu-tek Lo-jin. Menurut Beliau memang aku berjodoh menjadi muridnya.”

Hauw Lam kemudian menuturkan pengalamannya menjadi murid kakek sakti itu yang didengarkan Kwi Lan penuh perhatian.

Ketika Hauw Lam berusia lima tahun, setelah selama itu ia diajak merantau oleh Tang Sun, ayahnya, yang mencari ibunya, ia dititipkan oleh ayahnya kepada Gwat Kim Hosiang ketua kelenteng di Bukit Kim-liong-san. Karena ketika berpisah dari ayahnya ia baru berusia lima tahun, maka wajah ayahnya pun tidak begitu teringat olehnya. Apalagi ibunya meninggalkannya ketika ia berusia tiga bulan!

Sepuluh tahun lamanya ia tinggal di kelenteng Bukit Kim-liong-san, menjadi kacung kelenteng membantu pekerjaan para hwesio dan karena bakatnya memang baik sekali, ketua kelenteng itu, Gwat Kim Hosiang murid Go-bi-pai, telah menurunkan semua ilmunya kepada Hauw Lam.

Ketika ia berusia lima belas tahun dan telah mewarisi ilmu kepandaian suhunya, ketua kelenteng itu meninggal dunia. Hauw Lam lalu meninggalkan kelenteng dan pergi merantau.

Anak muda ini suka akan ilmu silat, maka dengan bekal pelajaran dari Gwat Kim Hosiang yang membuat ia mencapai dasar-dasar ilmu silat tinggi, ia dapat memperdalam ilmunya, Hauw Lam pandai merendah sehingga pandai ia mengambil hati beberapa tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi sehingga banyak pula ia menerima petunjuk.

Pada suatu hari, perantauannya membawanya ke selatan. Ia telah berusia tujuh belas tahun dan ketika ia melewati sebuah hutan, keadaan yang sunyi membuatnya menjadi keisengan dan dikeluarkanlah sulingnya. Memang semenjak kecil ketika ia tinggal di kelenteng Kim-liong-san, seorang hwesio yang pandai menyuling mengajarnya menyuling dan Hauw Lam amat suka meniup suling. Kini ia berjalan perlahan sambil meniup sulingnya. Tiba-tiba, ketika melewati segundukan tanah ia roboh terguling!

Hauw Lam kaget sekali, kedua kakinya adalah anggauta badan yang terlatih. Diserang lawan saja tidak mudah terguling bagaimana sekarang bisa terguling tanpa sebab? Ia tadi merasa kakinya ada yang tarik dengan tenaga luar biasa. Sambil meloncat bangun, ia memutar tubuh mempersiapkan kedua tangan untuk menangkis atau memukul dan memandang ke sekeliling.

Akan tetapi tidak ada apa-apa di sekeliling tempat itu. Ia memandang ke bawah. Tanah di bawah kakinya menonjol, merupakan gundukan tanah seperti tempat kuburan orang. Tiba-tiba bulu tengkuknya meremang. Setankah yang menggodanya tadi? Setan dalam kuburan yang marah karena kuburan itu tanpa sengaja terinjak olehnya? Hauw Lam boleh jadi gagah perkasa dan tidak pernah merasa takut menghadapi lawan yang tangguh. Akan tetapi sekali ini, biarpun belum gelap, baru menjelang senja, berada seorang diri di hutan sunyi dan merasa diserang dari dalam kuburan, ia merasa ngeri karena seram dan takut.

Tanpa berpikir panjang lagi Hauw Lam menggerakkan kedua kaki hendak lari dari tempat yang menyeramkan itu, akan tetapi baru selangkah ia lari, kembali tubuhnya roboh terguling! Timbul kemarahan hatinya yang amat sangat, melebihi ketakutannya. Belum pernah selamanya ia diperhina seperti ini. Kali ini ia melompat bangun berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, memasang kuda-kuda, membusungkan dada melebarkan mata mengatasi rasa seram sambil memaki-maki.

“Setan atau iblis atau siluman dari mana berani mengganggu Siauw-ya (Tuan Muda) yang sedang lewat? Kalau manusia, jawablah, kalau siluman muncullah dan mari kita bertanding sepuluh ribu jurus melawan Tang Hauw Lam!”

Ia petentang-petenteng, memaki-maki sambil menantang-nantang sampai beberapa lama. Namun sunyi tiada jawaban, juga tiada suara maupun sesuatu. Hanya angin yang lewat menggerakkan daun-daun pohon menimbulkan suara bisik-bisik seperti banyak mahluk tak tampak bersendau gurau.

Rasa seram kembali menyelubungi hati Hauw Lam, mengatasi kemarahannya dan semua bulu di tubuhnya berdiri satu-satu. Tak salah lagi tentu setan, pikirnya. Ketika ia roboh yang kedua kalinya tadi terasa benar betapa ada hawa pukulan yang mengait kakinya.

Kini ia memaki-maki lagi, akan tetapi diam-diam ia mengerahkan kedua kakinya. Ia ingin mengikat perhatian “siluman” yang mengganggunya dengan makiannya kemudian menggunakan saat “siluman” itu lengah, sekali meloncat jauh pergi dari situ. Setelah siap, sambil memaki-maki, mendadak ia menggerakkan kakinya meloncat jauh.

Girang hatinya karena akalnya ini berhasil, buktinya ketika ia meloncat, tidak ada yang menjegal kakinya lagi. Akan tetapi, selagi ia merasa girang dan tubuhnya masih melayang di atas, tiba-tiba tubuhnya itu tanpa dapat Ia kuasai lagi, tertarik ke bawah dan terbanting di atas tanah! Ketika ia mendapat kenyataan bahwa ia terbanting kembali di atas gundukan tanah, ia makin kaget dan berseru,

“Celaka.... mati aku di tangan siluman....!”

“Heh-heh, siapa bilang mati itu celaka? Hidup sekedar hidup itulah yang celaka, apalagi hidup menghamba nafsu, lebih-lebih celaka!”

Hauw Lam terkejut sekali. Karena suara itu terdengar dari bawah, ia lalu memandang ke bawah dan.... hampir ia terjengkang roboh kembali ketika melihat sebuah kepala di atas tanah!

Kepala yang berdiri sebatas leher di atas tanah yang rambutnya riap-riapan, mukanya penuh cambang bauk, matanya melotot. Dengan muka pucat Hauw Lam memandang kepala itu, mengucek-ucek kedua matanya, memandang lagi dan bergidik. Kedua kakinya terasa lemas dan lumpuh, seluruh tubuhnya menggigil. Sambil menahan kedua kakinya agar tidak roboh saking lemas, Hauw Lam menghadap ke arah kepala di atas tanah lalu menjura dan berkata, suaranya gemetar,

“Saya...., Tang Hauw Lam.... selamanya ingin menjadi orang baik-baik...., harap anda jangan mengganggu saya....”

Kepala itu bergerak, menengadah dan matanya yang melotot itu menatap tajam, kemudian terdengar suara dari balik kumis tebal yang menyembunyikan mulut,

“Tidak mengganggu, hah? Kau menginjak-injak dan melangkahi kepalaku, masih bisa bilang tindak mengganggu?”

Melihat kepala itu bergerak-gerak dan mendengar mulut di balik kumis dapat bicara seperti manusia, mulai berangsur hilanglah rasa ngeri dan takut dari hati Hauw Lam. Ia memandang lebih teliti lagi. Kepala itu di atas tanah dan lehernya tersembul keluar dari tanah, agaknya tubuhnya terpendam.

Kakek tua renta ini tadi bicara tentang “kepalaku”, hal ini hanya berarti bahwa kakek itu masih mempunyai bagian tubuh yang lain. Andai kata ia seorang siluman dan tubuhnya hanya kepala itu saja, tentu tidak akan menyebut kepalaku. Pula, setelah kini ia memandang penuh perhatian, biarpun muka itu buruk penuh cambang bauk dan tertutup rambut yang riap-riapan, namun jelas bahwa itu kepala manusia, hanya entah bagaimana tubuh kakek itu terpendam ke dalam tanah kuburan dan entah bagaimana pula kepala itu tiba-tiba muncul sedangkan tadinya tidak ada apa-apa disitu. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kepala itu dan berkata.

“Locianpwe (Orang Tua Gagah), mohon maaf sebanyaknya apabila boanpwe (saya yang bodoh) telah melakukan kesalahan terhadap Locianpwe karena sesungguhnya boanpwe tidak tahu bahwa Locianpwe berada disini dan tidak sengaja....”

“Wah-wah, membekuk-bekuk lidah pun tidak ada gunanya! Masa begini caranya orang minta maaf? Mulutnya bilang minta maaf akan tetapi berlutut di sebelah atas kepalaku? Terlalu.... terlalu....!” Kepala itu mengomel panjang pendek.

Hauw Lam membelalakkan matanya. Kakek ini terlalu aneh dan agaknya seorang yang suka berkelakar. Ia sendiri adalah seorang pemuda yang jenaka dan selalu riang gembira maka biarpun ia merasa mendongkol atas sikap kakek yang tidak puas dengan permintaan maafnya itu, ia memutar otak mencari akal.

“Baiklah, Locianpwe. Saya akan mohon maaf dan memberi hormat sepatutnya”.

Setelah berkata demikian Hauw Lam lalu mencabut goloknya dan dengan senjata ini ia menggali tanah di depan kepala itu. Dengan pengerahan tenaga dalam, cepat ia dapat menggali sampai dalam, dan ia lalu masuk ke dalam lubang itu sehingga kini yang tampak diluar tanah hanyalah kepalanya saja yang ia angguk-anggukkan sambil mengulangi permintaan maafnya.

Mulut kakek itu tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, bagus sekali. Kau cocok untuk menjadi muridku. Kau banyak akal, tidak mudah putus asa dan menghadapi segala rintangan hidup dengan wajah gembira. Hayo naik!”

Begitu kakek ini mengeluarkan kata-kata tubuh Hauw Lam mencelat ke atas. Pemuda ini kaget sekali dan menggerakkan tenaga untuk mengatur keseimbangan tubuh. Ketika ia berhasil turun dengan berdiri di atas tanah, ternyata kakek itu sudah keluar dari dalam tanah, kini duduk bersila di atas tanah.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar