Sekilas pandang, ia kaget dan heran. Kakek itu kepalanya besar dan seperti kepala orang dewasa, akan tetapi tubuhnya kecil pendek seperti tubuh seorang anak berusia belasan tahun! Maklum bahwa kakek yang tubuhnya aneh ini seorang sakti, ia lalu menjatuhkan diri kembali, berlutut di depan kakek itu.
“Demikianlah, Mutiara Hitam. Semenjak saat itu aku menjadi murid Bu-tek Lo-jin selama seratus hari. Aku tidak menerima ilmu silat baru dari Guruku yang aneh itu, akan tetapi semua ilmu silat yang pernah kupelajari ia lihat dan ia beri petunjuk. Semenjak itu, baru terbuka mataku akan ilmu yang sebenarnya.” Hauw Lam mengakhiri ceritanya.
Kwi Lan mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tertarik sekali akan semua pengalaman Hauw Lam dan diam-diam ia merasa girang bahwa putera bibinya ini benar-benar seorang pemuda yang perkasa dan juga kalau ia tak salah duga, berbudi baik.
Perasaan hangat memenuhi dadanya ketika ia menatap wajah yang tampan dan jenaka itu. Ia sudah merasa tertarik sekali, seakan-akan ia berhadapan dengan kakak kandungnya sendiri. Perasaan ini mungkin timbul karena semenjak kecilnya ia sudah menganggap Bibi Bi Li seperti ibu kandungnya. Betapa tidak? Bibi Bi Li yang memeliharanya semenjak ia belum mengerti apa-apa, yang menghiburnya kalau ia menangis, yang memberinya makan kalau ia lapar dan memberinya minum kalau ia haus. Dan pemuda ini adalah anak kandung Bibi Bi Li! Apa bedanya dengan kakaknya sendiri?
“Wah, kau melamunkan apa?”
Tiba-tiba Kwi Lan terkejut oleh seruan ini, sampai ia tersentak kaget. Ia mendongkol juga akan watak pemuda ini yang ugal-ugalan dan kadang-kadang kasar.
“Kenapa kau membentak-bentak orang?”
Hauw Lam tertawa.
“Siapa membentak-bentak? Aku hanya bertanya. Mengapa engkau melamun sedangkan aku sudah menanti sejak tadi memasang telinga setajam-tajamnya!”
“Menanti apa? Memasang telinga untuk apa?”
“Waduh, bagaimana ini? Sejak tadi sampai letih mulutku bercerita tentang riwayatku, tentang nama dan pengalamanku. Setelah aku selesai, kini kau bertanya aku menanti apa dan memasang telinga untuk apa? Tentu saja untuk mendengarkan ceritamu, tentang nama dan keadaanmu, tentang riwayat hidupmu!” jawab Hauw Lam, penasaran.
Mendengar ini, Kwi Lan menarik napas panjang. Ia tidak ingin menyebut-nyebut tentang Bibi Kam Sian Eng, tidak mau pula bercerita tentang ibu kandungnya, Ratu Khitan yang belum pernah dilihatnya itu. Ia mau bercerita tentang Bi Li, akan tetapi merasa belum tiba saatnya. Maka ia lalu berkata,
“Perlu apa banyak cerita? Namaku, engkau sudah tahu.”
“Siapa?”
“Mutiara Hitam.”
“Wah, kenapa kau suka sekali mempermainkan aku? Aku sudah menceritakan namaku sendiri, Tang Hauw Lam....”
“Tapi aku mengenalmu sebagal Berandal saja, cukup. Dan kau mengenalku sebagai Mutiara Hitam. Apa artinya nama? Nama apa pun, juga apa bedanya? Yang penting mengenal orangnya dan melihat wataknya. Nama hanya kosong belaka!”
Hauw Lam menggaruk-garuk belakang telinganya dan mulutnya menggumam lirih,
“Nama itu kosong belaka....! Eh, Mutiara Hitam, semuda ini kau sudah sepandai itu berfilsafat? Ataukah.... kau pernah patah hati?”
“Patah hati? Bagaimana hati bisa patah? Apakah hati itu seperti kayu kering.... macam ini?”
Kwi Lan mematahkan sebatang ranting kayu. Melihat wajah gadis itu bersungguh-sungguh, mau tidak mau Hauw Lam tertawa.
“Sudahlah, tidak gampang mengajak kau bicara. Tidak mau menceritakan nama ya sudah, sedikitnya kau tuturkan riwayatmu yang tentu menarik sekali.”
“Aku tidak punya riwayat. Lebih baik kau lanjutkan ceritamu. Kau tadi bilang bahwa kau sebatang kara. Mana Ayah dan Ibumu?”
Untuk sesaat wajah yang jenaka dan lucu itu diselimuti awan kedukaan. Akan tetapi hanya sebentar saja karena kembali wajah yang tampan itu menjadi cerah ketika menjawab,
“Ibuku telah meninggal dunia dan....”
“Siapa bilang Ibumu meninggal dunia?”
“Lho! Kenapa marah?”
Hauw Lam bertanya mendengar suara pertanyaan yang membentak itu dan melihat wajah yang masam.
“Siapa bilang Ibumu meninggal dunia?”
Kwi Lan mengulang. Pemuda itu melongo. Dara yang cantik jelita seperti bidadari, yang gagah perkasa, akan tetapi yang anehnya bukan main, memiliki watak yang sukar sekali dijajaki, sukar diduga.
“Yang bilang? Tentu saja Ayahku. Ayahku yang bilang bahwa Ibu telah meninggal dunia.”
Sudah berada di ujung lidah Kwi Lan untuk menyangkal, untuk menyatakan bahwa ayah pemuda itu bohong akan tetapi dapat ditahannya.
“Dan Ayahmu dimana dia?”
“Ayah? Ayah tidak sayang kepadaku. Ketika aku berusia lima tahun, Ayah meninggalkan aku di kelenteng Bukit Kim-liong-san dan semenjak itu aku tidak pernah bertemu lagi dengan dia. Nah, sudah lengkap kini riwayatku, sekarang ganti engkau....”
Ucapan Hauw Lam terhenti karena tiba-tiba terdengar derap suara kaki kuda, disusul suara orang. Tak lama kemudian muncullah tujuh orang penunggang kuda. Pakaian, topi, dan bahasa mereka membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang asing. Kuda yang mereka tunggangi adalah kuda besar dan baik.
Akan tetapi tujuh ekor kuda tunggang mereka itu seperti tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan seekor kuda yang dituntun oleh seorang diantara mereka. Kuda yang dituntun ini lebih tinggi, tubuhnya ramping dilingkari otot-otot yang kuat. Keempat kakinya merit kecil dan bulunya hitam mulus dan mengkilap. Sepasang matanya lebar dan bercahaya.
“Kuda betina yang hebat!”
Hauw Lam terdengar memuji dengan suara lantang, matanya memandang ke arah kuda hitam itu penuh kekaguman. Akan tetapi Kwi Lan yang tidak mengerti tentang kuda, tidak tahu apanya yang hebat pada kuda hitam itu, maka ia tidak memperhatikannya. Sebaliknya, ia tertarik kepada tujuh orang laki-laki yang menunggang kuda. Mereka itu rata-rata berusia sekitar empat puluhan tahun, bertubuh tegap dan tinggi, membayangkan ketangkasan dan kekuatan. Wajah mereka gagah dan agak hitam oleh sinar matahari.
Sementara itu, tujuh orang ini pun menahan kendali kuda ketika mereka melihat Hauw Lam dan Kwi Lan. Akan tetapi pandang mata semua orang ini ditujukan kepada Kwi Lan, dan agaknya tidak ada perbedaan antara pandang mata mereka terhadap Kwi Lan dengan pandang mata Hauw Lam terhadap kuda hitam. Penuh kekaguman!
Pandang mata mereka yang penuh getaran nafsu itu agaknya terasa pula oleh Kwi Lan, membuat dara ini menjadi jengah dan marah di dalam hati. Akan tetapi karena mereka itu tidak mengeluarkan kata-kata, Kwi Lan menahan kemarahannya dan mencabuti beberapa helai rumput hijau sambil menundukkan muka, kadang-kadang saja melirik ke arah mereka. Ia masih tetap duduk di atas akar pohon.
Akan tetapi Hauw Lam sudah meloncat berdiri. Pemuda ini banyak sudah merantau dan banyak pula pengalamannya. Melihat sikap dan pandang mata tujuh orang itu kepada temannya, ia merasa mendongkol pula. Akan tetapi wajahnya berseri dan ia tersenyum lebar ketika berkata,
“Salam, sobat-sobat yang bersua di jalan!”
“Salam!” Tujuh orang itu menjawab, suara mereka rata-rata besar parau.
Senyum di mulut Hauw Lam melebar dan ia melangkah mendekati kuda hitam. Setelah kini dekat dan memandang penuh perhatian, ia menjadi makin kagum. Benar-benar seekor kuda yang hebat, pikirnya. Ketika ia mencoba untuk menepuk-nepuk leher kuda hitam itu, si Kuda hitam meringkik dan hampir saja tangan Hauw Lam digigitnya kalau pemuda ini tidak cepat-cepat menarik kembali tangannya.
“Kuda hebat....!” ia memuji pula. “Sobat, apakah kuda hitam ini hendak dijual? Kalau hendak dijual, berapakah harganya?”
Orang yang menuntun kuda membelalakkan matanya kepada Hauw Lam, kemudian ia tertawa sehingga tampak betapa dua buah gigi atasnya ompong. Enam orang temannya hanya berdiri memandang. Kemudian Si Ompong berpaling dan menterjemahkan ucapan Hauw Lam tadi dalam bahasa mereka. Seketika meledaklah ketawa enam orang itu sehingga keadaan hutan yang tadinya sunyi kini menjadi riuh dengan suara ketawa mereka. Lalu disusul mereka bertujuh saling bicara riuh rendah sambil tertawa-tawa.
“Orang muda, tahukah engkau kuda apakah ini, darimana dan hendak dibawa kemana?” Akhirnya Si Ompong yang menjadi juru bicara berkata dengan suara pelo dan kaku. “Kuda ini adalah kuda keturunan langsung dari Hek-liong-ma milik pribadi Ratu kami!”
“Siapakah Ratu kalian yang mulia?” Hauw Lam bertanya, tertarik karena ia tidak mengerti bahasa mereka.
“Ratu kami adalah Sang Ratu di Khitan.”
“Ohhh....!”
Suara seruan kaget ini keluar dari mulut Kwi Lan. Akan tetapi ketika Hauw Lam menengok, gadis ini sudah dapat menekan perasaannya kembali dan hanya memandang penuh perhatian.
“Dan tahukah engkau kuda ini hendak kami bawa kemana? Akan kami antarkan ke Yen-an sebagai barang sumbangan kepada ketua baru dari Thian-liong-pang!”
Diam-diam Hauw Lam terkejut juga. Kiranya bukan kuda sembarangan dan ia maklum bahwa tujuh orang ini sengaja menyebut nama Thian-liong-pang untuk membuat ia kaget dan jerih. Akan tetapi ia berpura-pura tidak mengenal Thian-liong-pang bahkan ia lalu berkata,
“Wah, barang sumbangan saja mengapa kuda yang begini bagus? Yang kalian tunggangi itu semua juga sudah lebih dari cukup untuk sumbangan. Yang hitam ini kalau boleh, harap jual kepadaku.”
Tiba-tiba seorang diantara mereka berbicara dengan bahasa mereka, suaranya lantang dan telunjuknya menuding-nuding ke arah Kwi Lan yang masih duduk di atas akar pohon. Begitu selesai ia berbicara, tujuh orang itu tertawa bergelak-gelak. Semua kuda mereka kaget dan meringkik-ringkik sambil berdiri di atas kedua kaki belakang sehingga hampir saja dua orang diantara mereka terlempar ke bawah. Hal ini membuat mereka tertawa makin riuh rendah.
“Orang muda, mengertikah engkau apa yang dimaksudkan teman-temanku? Ha-ha-ha! Engkau sendiri sudah memiliki seekor kuda betina yang demikian cantik jelita, mengapa masih ingin membeli kuda hitam ini? Apakah artinya kuda hitam ini kalau dibandingkan dengan kudamu yang putih kuning dan cantik molek itu? Ha-ha-ha!”
Kembali tujuh orang itu tertawa-tawa karena mereka tahu bahwa temannya Si Ompong sudah menterjemahkan ucapan mereka.
Tentu saja Hauw Lam menjadi marah dan mendongkol sekali. Akan tetapi Kwi Lan lebih marah lagi. Tadinya ia tidak mengerti apa artinya ucapan mereka, akan tetapi karena mereka bertujuh semua memandang kepadanya dan menuding-nudingkan telunjuk ke arahnya, tahulah ia bahwa dia sesungguhnya yang disebut kuda betina putih kuning! Ia disamakan dengan kuda! Keparat!
Bagaikan seekor harimau ia meloncat bangun, kedua tangannya bergerak dan melesatlah sinar hijau dari kedua tangannya menyambar ke arah muka tujuh orang itu.
Seketika lenyap suara ketawa mereka, terganti suara jeritan dan mereka bertujuh terguling roboh dari atas kuda! Namun dengan gerakan yang amat cekatan mereka bertujuh sudah meloncat bangun lagi dan ramailah mereka berkata-kata dalam bahasa yang tidak dimengerti Hauw Lam maupun Kwi Lan.
Kini Hauw Lam yang melongo dan memandang mereka dengan muka terheran-heran. Kiranya sinar kehijauan yang melesat dari kedua tangan Mutiara Hitam tadi adalah rumput-rumput yang tadi dicabutinya sambil duduk di atas akar pohon.
“Demikianlah, Mutiara Hitam. Semenjak saat itu aku menjadi murid Bu-tek Lo-jin selama seratus hari. Aku tidak menerima ilmu silat baru dari Guruku yang aneh itu, akan tetapi semua ilmu silat yang pernah kupelajari ia lihat dan ia beri petunjuk. Semenjak itu, baru terbuka mataku akan ilmu yang sebenarnya.” Hauw Lam mengakhiri ceritanya.
Kwi Lan mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia tertarik sekali akan semua pengalaman Hauw Lam dan diam-diam ia merasa girang bahwa putera bibinya ini benar-benar seorang pemuda yang perkasa dan juga kalau ia tak salah duga, berbudi baik.
Perasaan hangat memenuhi dadanya ketika ia menatap wajah yang tampan dan jenaka itu. Ia sudah merasa tertarik sekali, seakan-akan ia berhadapan dengan kakak kandungnya sendiri. Perasaan ini mungkin timbul karena semenjak kecilnya ia sudah menganggap Bibi Bi Li seperti ibu kandungnya. Betapa tidak? Bibi Bi Li yang memeliharanya semenjak ia belum mengerti apa-apa, yang menghiburnya kalau ia menangis, yang memberinya makan kalau ia lapar dan memberinya minum kalau ia haus. Dan pemuda ini adalah anak kandung Bibi Bi Li! Apa bedanya dengan kakaknya sendiri?
“Wah, kau melamunkan apa?”
Tiba-tiba Kwi Lan terkejut oleh seruan ini, sampai ia tersentak kaget. Ia mendongkol juga akan watak pemuda ini yang ugal-ugalan dan kadang-kadang kasar.
“Kenapa kau membentak-bentak orang?”
Hauw Lam tertawa.
“Siapa membentak-bentak? Aku hanya bertanya. Mengapa engkau melamun sedangkan aku sudah menanti sejak tadi memasang telinga setajam-tajamnya!”
“Menanti apa? Memasang telinga untuk apa?”
“Waduh, bagaimana ini? Sejak tadi sampai letih mulutku bercerita tentang riwayatku, tentang nama dan pengalamanku. Setelah aku selesai, kini kau bertanya aku menanti apa dan memasang telinga untuk apa? Tentu saja untuk mendengarkan ceritamu, tentang nama dan keadaanmu, tentang riwayat hidupmu!” jawab Hauw Lam, penasaran.
Mendengar ini, Kwi Lan menarik napas panjang. Ia tidak ingin menyebut-nyebut tentang Bibi Kam Sian Eng, tidak mau pula bercerita tentang ibu kandungnya, Ratu Khitan yang belum pernah dilihatnya itu. Ia mau bercerita tentang Bi Li, akan tetapi merasa belum tiba saatnya. Maka ia lalu berkata,
“Perlu apa banyak cerita? Namaku, engkau sudah tahu.”
“Siapa?”
“Mutiara Hitam.”
“Wah, kenapa kau suka sekali mempermainkan aku? Aku sudah menceritakan namaku sendiri, Tang Hauw Lam....”
“Tapi aku mengenalmu sebagal Berandal saja, cukup. Dan kau mengenalku sebagai Mutiara Hitam. Apa artinya nama? Nama apa pun, juga apa bedanya? Yang penting mengenal orangnya dan melihat wataknya. Nama hanya kosong belaka!”
Hauw Lam menggaruk-garuk belakang telinganya dan mulutnya menggumam lirih,
“Nama itu kosong belaka....! Eh, Mutiara Hitam, semuda ini kau sudah sepandai itu berfilsafat? Ataukah.... kau pernah patah hati?”
“Patah hati? Bagaimana hati bisa patah? Apakah hati itu seperti kayu kering.... macam ini?”
Kwi Lan mematahkan sebatang ranting kayu. Melihat wajah gadis itu bersungguh-sungguh, mau tidak mau Hauw Lam tertawa.
“Sudahlah, tidak gampang mengajak kau bicara. Tidak mau menceritakan nama ya sudah, sedikitnya kau tuturkan riwayatmu yang tentu menarik sekali.”
“Aku tidak punya riwayat. Lebih baik kau lanjutkan ceritamu. Kau tadi bilang bahwa kau sebatang kara. Mana Ayah dan Ibumu?”
Untuk sesaat wajah yang jenaka dan lucu itu diselimuti awan kedukaan. Akan tetapi hanya sebentar saja karena kembali wajah yang tampan itu menjadi cerah ketika menjawab,
“Ibuku telah meninggal dunia dan....”
“Siapa bilang Ibumu meninggal dunia?”
“Lho! Kenapa marah?”
Hauw Lam bertanya mendengar suara pertanyaan yang membentak itu dan melihat wajah yang masam.
“Siapa bilang Ibumu meninggal dunia?”
Kwi Lan mengulang. Pemuda itu melongo. Dara yang cantik jelita seperti bidadari, yang gagah perkasa, akan tetapi yang anehnya bukan main, memiliki watak yang sukar sekali dijajaki, sukar diduga.
“Yang bilang? Tentu saja Ayahku. Ayahku yang bilang bahwa Ibu telah meninggal dunia.”
Sudah berada di ujung lidah Kwi Lan untuk menyangkal, untuk menyatakan bahwa ayah pemuda itu bohong akan tetapi dapat ditahannya.
“Dan Ayahmu dimana dia?”
“Ayah? Ayah tidak sayang kepadaku. Ketika aku berusia lima tahun, Ayah meninggalkan aku di kelenteng Bukit Kim-liong-san dan semenjak itu aku tidak pernah bertemu lagi dengan dia. Nah, sudah lengkap kini riwayatku, sekarang ganti engkau....”
Ucapan Hauw Lam terhenti karena tiba-tiba terdengar derap suara kaki kuda, disusul suara orang. Tak lama kemudian muncullah tujuh orang penunggang kuda. Pakaian, topi, dan bahasa mereka membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang asing. Kuda yang mereka tunggangi adalah kuda besar dan baik.
Akan tetapi tujuh ekor kuda tunggang mereka itu seperti tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan seekor kuda yang dituntun oleh seorang diantara mereka. Kuda yang dituntun ini lebih tinggi, tubuhnya ramping dilingkari otot-otot yang kuat. Keempat kakinya merit kecil dan bulunya hitam mulus dan mengkilap. Sepasang matanya lebar dan bercahaya.
“Kuda betina yang hebat!”
Hauw Lam terdengar memuji dengan suara lantang, matanya memandang ke arah kuda hitam itu penuh kekaguman. Akan tetapi Kwi Lan yang tidak mengerti tentang kuda, tidak tahu apanya yang hebat pada kuda hitam itu, maka ia tidak memperhatikannya. Sebaliknya, ia tertarik kepada tujuh orang laki-laki yang menunggang kuda. Mereka itu rata-rata berusia sekitar empat puluhan tahun, bertubuh tegap dan tinggi, membayangkan ketangkasan dan kekuatan. Wajah mereka gagah dan agak hitam oleh sinar matahari.
Sementara itu, tujuh orang ini pun menahan kendali kuda ketika mereka melihat Hauw Lam dan Kwi Lan. Akan tetapi pandang mata semua orang ini ditujukan kepada Kwi Lan, dan agaknya tidak ada perbedaan antara pandang mata mereka terhadap Kwi Lan dengan pandang mata Hauw Lam terhadap kuda hitam. Penuh kekaguman!
Pandang mata mereka yang penuh getaran nafsu itu agaknya terasa pula oleh Kwi Lan, membuat dara ini menjadi jengah dan marah di dalam hati. Akan tetapi karena mereka itu tidak mengeluarkan kata-kata, Kwi Lan menahan kemarahannya dan mencabuti beberapa helai rumput hijau sambil menundukkan muka, kadang-kadang saja melirik ke arah mereka. Ia masih tetap duduk di atas akar pohon.
Akan tetapi Hauw Lam sudah meloncat berdiri. Pemuda ini banyak sudah merantau dan banyak pula pengalamannya. Melihat sikap dan pandang mata tujuh orang itu kepada temannya, ia merasa mendongkol pula. Akan tetapi wajahnya berseri dan ia tersenyum lebar ketika berkata,
“Salam, sobat-sobat yang bersua di jalan!”
“Salam!” Tujuh orang itu menjawab, suara mereka rata-rata besar parau.
Senyum di mulut Hauw Lam melebar dan ia melangkah mendekati kuda hitam. Setelah kini dekat dan memandang penuh perhatian, ia menjadi makin kagum. Benar-benar seekor kuda yang hebat, pikirnya. Ketika ia mencoba untuk menepuk-nepuk leher kuda hitam itu, si Kuda hitam meringkik dan hampir saja tangan Hauw Lam digigitnya kalau pemuda ini tidak cepat-cepat menarik kembali tangannya.
“Kuda hebat....!” ia memuji pula. “Sobat, apakah kuda hitam ini hendak dijual? Kalau hendak dijual, berapakah harganya?”
Orang yang menuntun kuda membelalakkan matanya kepada Hauw Lam, kemudian ia tertawa sehingga tampak betapa dua buah gigi atasnya ompong. Enam orang temannya hanya berdiri memandang. Kemudian Si Ompong berpaling dan menterjemahkan ucapan Hauw Lam tadi dalam bahasa mereka. Seketika meledaklah ketawa enam orang itu sehingga keadaan hutan yang tadinya sunyi kini menjadi riuh dengan suara ketawa mereka. Lalu disusul mereka bertujuh saling bicara riuh rendah sambil tertawa-tawa.
“Orang muda, tahukah engkau kuda apakah ini, darimana dan hendak dibawa kemana?” Akhirnya Si Ompong yang menjadi juru bicara berkata dengan suara pelo dan kaku. “Kuda ini adalah kuda keturunan langsung dari Hek-liong-ma milik pribadi Ratu kami!”
“Siapakah Ratu kalian yang mulia?” Hauw Lam bertanya, tertarik karena ia tidak mengerti bahasa mereka.
“Ratu kami adalah Sang Ratu di Khitan.”
“Ohhh....!”
Suara seruan kaget ini keluar dari mulut Kwi Lan. Akan tetapi ketika Hauw Lam menengok, gadis ini sudah dapat menekan perasaannya kembali dan hanya memandang penuh perhatian.
“Dan tahukah engkau kuda ini hendak kami bawa kemana? Akan kami antarkan ke Yen-an sebagai barang sumbangan kepada ketua baru dari Thian-liong-pang!”
Diam-diam Hauw Lam terkejut juga. Kiranya bukan kuda sembarangan dan ia maklum bahwa tujuh orang ini sengaja menyebut nama Thian-liong-pang untuk membuat ia kaget dan jerih. Akan tetapi ia berpura-pura tidak mengenal Thian-liong-pang bahkan ia lalu berkata,
“Wah, barang sumbangan saja mengapa kuda yang begini bagus? Yang kalian tunggangi itu semua juga sudah lebih dari cukup untuk sumbangan. Yang hitam ini kalau boleh, harap jual kepadaku.”
Tiba-tiba seorang diantara mereka berbicara dengan bahasa mereka, suaranya lantang dan telunjuknya menuding-nuding ke arah Kwi Lan yang masih duduk di atas akar pohon. Begitu selesai ia berbicara, tujuh orang itu tertawa bergelak-gelak. Semua kuda mereka kaget dan meringkik-ringkik sambil berdiri di atas kedua kaki belakang sehingga hampir saja dua orang diantara mereka terlempar ke bawah. Hal ini membuat mereka tertawa makin riuh rendah.
“Orang muda, mengertikah engkau apa yang dimaksudkan teman-temanku? Ha-ha-ha! Engkau sendiri sudah memiliki seekor kuda betina yang demikian cantik jelita, mengapa masih ingin membeli kuda hitam ini? Apakah artinya kuda hitam ini kalau dibandingkan dengan kudamu yang putih kuning dan cantik molek itu? Ha-ha-ha!”
Kembali tujuh orang itu tertawa-tawa karena mereka tahu bahwa temannya Si Ompong sudah menterjemahkan ucapan mereka.
Tentu saja Hauw Lam menjadi marah dan mendongkol sekali. Akan tetapi Kwi Lan lebih marah lagi. Tadinya ia tidak mengerti apa artinya ucapan mereka, akan tetapi karena mereka bertujuh semua memandang kepadanya dan menuding-nudingkan telunjuk ke arahnya, tahulah ia bahwa dia sesungguhnya yang disebut kuda betina putih kuning! Ia disamakan dengan kuda! Keparat!
Bagaikan seekor harimau ia meloncat bangun, kedua tangannya bergerak dan melesatlah sinar hijau dari kedua tangannya menyambar ke arah muka tujuh orang itu.
Seketika lenyap suara ketawa mereka, terganti suara jeritan dan mereka bertujuh terguling roboh dari atas kuda! Namun dengan gerakan yang amat cekatan mereka bertujuh sudah meloncat bangun lagi dan ramailah mereka berkata-kata dalam bahasa yang tidak dimengerti Hauw Lam maupun Kwi Lan.
Kini Hauw Lam yang melongo dan memandang mereka dengan muka terheran-heran. Kiranya sinar kehijauan yang melesat dari kedua tangan Mutiara Hitam tadi adalah rumput-rumput yang tadi dicabutinya sambil duduk di atas akar pohon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar