Ads

Senin, 12 Agustus 2019

Mutiara Hitam Jilid 033

Pemuda itu memandang marah. Dua pasang mata saling pandang dan saling tentang, akan tetapi pemuda itu lebih dahulu menurunkan pandang matanya, menghela napas dan berkata, nada suaranya penuh penyesalan.

"Engkau membunuh Huang-ho Tai-ong memang sudah sepatutnya karena dia mempunyai niat buruk terhadap dirimu. Akan tetapi tiga orang Thian-liong-pang di dalam guha itu, mengapa kau menyiksa mereka? Dan mengapa pula engkau dan temanmu membikin kacau di Thian-liong-pang ketika diadakan upacara pengangkatan ketua baru?”

"Huh! Orang sendiri biar kotor dianggap bersih selalu! Tiga orang itu bukan manusia, mereka hanya tiga ekor anjing busuk yang patut dibunuh seratus kali! Mereka itu hendak.... hendak.... berbuat kurang ajar, mereka seperti anjing-anjing yang kotor....!”

Pemuda itu menghela napas.
"Ah, sudah kusangka demikian....! Makin lama makin rusaklah nama Thian-liong-pang bersama rusaknya watak mereka....! Ah, Nona, sekarang aku tahu mengapa kau membunuh mereka, akan tetapi tetap saja kau terlalu ganas. Membunuh dengan dorongan kebencian dan kemarahan bukanlah sikap seorang gagah.”

Kwi Lan makin marah dan penasaran. Ia membanting kaki kanannya dan menghardik.
"Kau ini seorang tokoh Thian-liong-pang, apa kau kira seorang gagah? Apakah Thian-liong-pang perkumpulan orang gagah? Huh! Kulihat dengan mata sendiri bahwa Thian-liong-pang hanyalah perkumpulan orang-orang jahat. Dalam pesta perayaan untuk mengangkat ketua baru, yang datang adalah orang-orang dari golongan hitam. Bahkan ada yang menyumbangkan dua belas orang gadis culikan! Dan ketuanya diangkat dengan upacara penyembelihan dan penyiraman darah anjing. Perkumpulan apa ini? Dan kau yang menjadi tokohnya masih berani bicara tentang sikap seorang gagah?”

Aneh sekali. Pemuda yang tadinya bersikap marah dan penuh teguran kepada Kwi Lan, setelah menghadapi kata-kata yang pedas ini tiba-tiba saja berubah air mukanya. Ia mengerutkan keningnya, wajahnya yang tampan menjadi gelap, kemudian ia menjatuhkan diri duduk di atas tanah, menarik napas panjang berkali-kali dan mengeluh.

"Disalahgunakan.... disalahgunakan....!” Dan ia pun menangis!

Kwi Lan tercengang menyaksikan perubahan ini. Dia sendiri memang keras hati, mau membawa kehendak sendiri dan berwatak aneh, namun dia bukan seorang yang tidak mengenal budi. Melihat keadaan pemuda ini, hatinya pun menjadi lunak, dan tanpa disadarinya, ia sudah duduk pula di atas sebuah batu, di depan pemuda itu lalu berkata.

"Aku tidak bermaksud memaki dan menyinggungmu. Aku hanya memaki Thian-liong-pang. Biarpun kau seorang tokoh Thian-liong-pang, kulihat engkau lain daripada mereka. Engkau sudah menolongku tadi dan budimu itu sungguh amat besar, membuat aku bersyukur dan berterima kasih sekali. Engkau sudah menentang Huang-ho Tai-ong, dan dalam keadaan terancam bahaya hebat, engkau sudah memulihkan totokan pada tubuhku dengan sambitan batu kerikil.”

Pemuda itu menyusut air matanya dan mengangkat muka memandang Kwi Lan. Kemudian berkata dengan suara berduka.

"Aku tidak peduli andaikata kau mencaci maki diriku. Dan aku tentu akan menyerangmu andaikata makianmu terhadap Thian-liong-pang tidak benar. Akan tetapi apa yang kau katakan adalah benar dan keadaan Thian-liong-pang seperti itulah yang menghancurkan hatiku. Aku rela mati untuk Thian-liong-pang, akan tetapi dengan keadaan Thian-liong-pang seperti sekarang ini.... bagaimana mungkin aku membelanya? Aku malu sekali, sedih, tapi.... tidak berdaya....!”

Timbul rasa suka di hati Kwi Lan terhadap pemuda ini. Ternyata pemuda ini selain memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti telah dibuktikannya tadi dengan sambitan kerikil dan dengan sepak terjangnya dikeroyok oleh Huang-ho Tai-ong dan anak buahnya, juga memiliki kesetiaan namun tidak ikut menyeleweng seperti tokoh-tokoh lain dari perkumpulannya itu. Dengan suara halus ia berkata.

"Dari percakapan tiga ekor anjing tadi aku mendengar bahwa kau bernama Siangkoan Li dan menjadi cucu luar Si Kakek Sin-seng Losu. Seorang seperti kau ini bagaimanakah bisa berada di tengah-tengah mereka yang kotor seperti mereka itu?”

Siangkoan Li menundukkan mukanya.
"Nona, bagaimana aku dapat bercerita tentang keadaanku sebagai seorang diantara tokoh-tokoh dunia hitam kepada seorang gadis gagah perkasa, seorang pendekar seperti engkau ini?”






"Pendekar? Siapa bilang aku pendekar?”

"Ah, tidak perlu kau merendahkan diri. Kau tentulah seorang Lihiap (Pendekar Wanita) dari perguruan tinggi yang terkenal maka kau berani menentang Thian-liong-pang. Kau hidup di dunia yang bersih, yang menjunjung tinggi kegagahan, yang selalu bertindak membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan. Sebaliknya aku, aku hidup bergelimang dosa dan kejahatan, hidup di dunia kotor dan hitam....”

"Ihhh, kau ngaco tidak karuan. Siapa bilang aku pendekar? Aku sama sekali bukan seorang lihiap. Aku seorang perantau, tidak datang dari perguruan manapun juga. Guruku bukan orang terkenal, dan andaikata kuberitahukan juga engkau pasti tak pernah mendengar namanya.

Aku sama sekali bukan penegak kebenaran dan keadilan, bukan pendekar dan aku hanya bertindak menurut suara hatiku saja. Yang memusuhi aku, tentu akan kumusuhi kembali, yang baik kepadaku, tentu akan kubaiki kembali. Engkau baik kepadaku, telah menolongku, tentu saja tidak mungkin kau kuanggap musuh. Siangkoan Li, aku ingin sekali mendengar bagaimana kau bisa terlibat dalam Thianliong-pang.”

Mula-mula pemuda itu memandang Kwi Lan dengan sinar mata heran dan tidak percaya, kemudian berkata perlahan.

"Ah, kalau begitu ada persamaan antara kita. Hanya bedanya, engkau bebas dan aku terikat....”

Ia meraba permata kuning yang menghias dahinya. Kemudian ia melonjorkan kakinya, duduk dengan enak dan mulai bercerita.

Thian-liong-pang tadinya merupakan perkumpulan orang-orang gagah, sisa dari Kerajaan Hou-han yang telah ditaklukkan oleh Kerajaan Sung. Orang-orang gagah yang berjiwa patriot membentuk perkumpulan Thian-liong-pang dengan cita-cita merebut kembali wilayah Hou-han yang sudah tertumpas musuh.

Perkumpulan ini dipimpin oleh seorang muda yang gagah perkasa, yang bernama Siangkoan Bu, putera seorang bekas panglima Kerajaan Hou-han. Di bawah pimpinan Siangkoan Bu inilah para orang gagah di Hou-han mengadakan pertempuran gerilya dan sering kali melakukan perongrongan terhadap Kerajaan Sung.

Karena perkumpullan ini membutuhkan banyak tenaga orang-orang gagah, tentu saja sukar untuk mengadakan penyaringan sehingga banyak pula orang-orang dari dunia hitam yang memiliki kepandaian, masuk pula menjadi anggauta. Diantara mereka ini terdapat seorang pelarian dari barat, bekas seorang pendeta yang bukan lain adalah Sin-seng Losu bersama puterinya yang cantik dan berkepandaian tinggi pula. Hal yang lumrah terjadilah, Siangkoan Bu jatuh cinta kepada puteri Sinseng Losu dan kemudian mereka menikah. Dari pernikahan ini lahirlah Siangkoan Li.

Sin-seng Losu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi sehingga Ketua Thian-liong-pang yaitu mantunya sendiri, mengangkatnya sebagai guru untuk para anggauta Thian-liong-pang. Dengan kedudukan ini, ditambah kenyataan bahwa dia adalah ayah mertua Siangkoan Bu, maka Sin-seng Losu merupakan orang ke dua setelah mantunya di dalam perkumpulan.

Kekuasaannya tinggi dan mulailah timbul penjilat-penjilat, yaitu orang-orang dari dunia hitam yang menyelundup masuk ke dalam Thian-liong-pang. Mulailah Sin-seng Losu menyimpang daripada jalan bersih menjadi hamba nafsu dan makin tua menjadi makin gila.

Orang-orang gagah yang melihat gejala-gejala busuk mulai tumbuh dalam Thian-liong-pang, menjadi marah dan tidak senang sekali. Akan tetapi oleh karena segan terhadap Siangkoan Bu, seorang patriot sejati yang dihormat dan disegani, mereka masih dapat menahan sabar.

Tentu saja, sebagai seorang yang bijaksana, Siangkoan Bu maklum pula akan keadaan ayah mertuanya yang menyeleweng dan didukung oleh banyak anggauta yang berasal dari dunia hitam. Orang gagah ini menjadi serba susah. Mau ditindak, kakek itu adalah ayah mertuanya. Tidak ditindak, dapat merusak nama baik perkumpulan. Akhirnya, Siangkoan Bu yang pada suatu hari berhasil merampas tiga belas butir permata kuning milik pembesar tinggi yang berkuasa di Hou-han dan yang menjadi boneka Kerajaan Sung, lalu menggunakan permata-permata kuning itu sebagai tanda kekuasan.

Ia memilih tiga belas orang tokoh pimpinan Thian-liong-pang, di antaranya dia sendiri dan ayah mertuanya di tambah sebelas orang tokoh lain yang ia tahu adalah orang-orang gagah dan patriot-patriot sejati, sebagai dewan pimpinan yang memakai hiasan dari permata kuning dan mereka yang memakai tanda ini berhak untuk mengambil keputusan demi kebaikan Thian-liong-pang, di antaranya berhak menghukum para anggauta yang menyeleweng!

Dengan adanya peraturan ini, Sin-seng Losu merasa tersudut dan tidak berani lagi melakukan penyelewengan-penyelewengan secara berterang. Akan tetapi malapetaka menimpa keluarga Siangkoan Bu dan Thian-liong-pang pada umumnya. Ketika terjadi bentrokan dengan jagoan-jagoan Kerajaan Sung, Siangkoan Bu dan isterinya tewas dalam pertempuran hebat.

Semenjak itulah, kekuasaan tertinggi jatuh ke tangan Sin-seng Losu. Dan karena ilmu kepandaiannya paling tinggi ditambah dua belas orang muridnya yang paling ia sayang, yaitu para penjilat terdiri dari Thai-lek-kwi Ma Kiu dan yang lain-lain, tidak ada tokoh lain yang berani menentangnya. Bahkan satu demi satu para patriot mengundurkan diri sehingga tiga belas buah permata kuning terjatuh ke tangan Sin-seng Losu yang mengangkat diri menjadi Ketua Thian-liong-pang.

"Demikianlah, Nona. Sebuah permata, yaitu bekas milik Ayah, oleh Gwa-kong (Kakek Luar) diberikan kepadaku untuk kupakai, sedangkan yang dua belas diberikan kepada para suheng, murid Gwakong.”

"Cap-ji-liong itu?”

"Benar, kami diharuskan sumpah setia sebelum menerima permata ini, dan hal itu memang menjadi peraturan perkumpulan kami.”

Hening sejenak setelah pemuda itu selesai bercerita. Diam-diam Kwi Lan merasa kasihan kepada Siangkoan Li. Pemuda ini yatim piatu dan terpaksa hidup di antara orang-orang jahat dan merasa tidak berdaya karena yang mengepalai orang-orang jahat itu adalah kakek luarnya sendiri! Di samping kenyataan ini, juga ia telah bersumpah setia sebagai pemakai permata kuning, setia terhadap Thian-liong-pang yang kini berubah menjadi dunia hitam! Pantas saja pemuda ini selalu bersedih, wajahnya tak pernah berseri karena batinnya tertekan selalu.

"Aku seorang anggauta dunia hitam, Nona. Bahkan seorang tokohnya karena aku masih cucu luar orang pertama Thian-liong-pang. Sebetulnya tidak patut bagi seorang macam aku untuk menceritakan semua ini kepada seorang seperti Nona. Akan tetapi.... aku tidak bisa diam saja melihat kau dirobohkan orang dengan cara pengecut, karena itu.... biarpun merupakan penghinaan terhadap perkumpulan, aku.... aku nekat turun tangan....”

Kwi Lan memegang kedua tangan pemuda itu.
"Siangkoan Li, kalau begitu.... yang menolong aku dan Berandal keluar dari sumur itu.... engkaulah orangnya?”

Siangkoan Li menundukkan mukanya yang menjadi merah.
"Aku seorang pengkhianat kotor.... aku.... aku akan menebus dosa, akan menanti sampai Gwa-kong kembali....! Hidup bagiku sudah memuakkan, lebih baik menyusul Ayah Ibu....”

"Siangkoan Li, mengapa seorang gagah seperti kau ini bisa mengucapkan kata-kata pengecut seperti itu? Orang yang bosan hidup, yang mengharapkan kematian, adalah seorang pengecut yang tidak berani menentang kesulitan hidup, demikian kata Guruku. Biarpun semua orang menganggapmu sebagai seorang tokoh dunia hitam, akan tetapi aku, Kam Kwi Lan, menganggapmu seorang sahabat yang baik dan gagah!”

"Kam Kwi Lan? Itukah namamu, Nona....?”

Kwi Lan terkejut. Karena merasa kasihan, ia sampai memperkenalkan namanya secara tak sadar. Karena sudah terlanjur, ia lalu berkata,

"Benar, itulah namaku. Nama julukan Mutiara Hitam adalah pemberian Si Berandal.”

"Si Berandal? Pemuda tampan yang datang bersamamu? Dia tampan dan lihai sekali. Dimana dia sekarang?”

"Dia pergi mencari Ibu kandungnya. Siangkoan Li, kau tadi mengatakan bahwa kau akan menebus dosa menanti kembalinya Sin-seng Losu. Apa yang hendak kau lakukan?”

Dalam percakapan tadi ketika Si Nona memperkenalkan nama, pada wajah yang tampan itu tampak sedikit cahaya gembira, akan tetapi mendengar pertanyaan itu, kembali wajahnya menjadi muram. Sejenak ia tidak menjawab, melainkan memandang ke arah pohon-pohon yang mulai tampak karena tanpa mereka sadari, sang malam telah mulai diusir oleh sinar matahari pagi. Kicau burung menyambut datangnya fajar.

"Aku harus mengakui perbuatanku di depan mereka, harus berani menebus dosaku dan menerima hukuman.”

"Ah, mengapa begitu? Tinggalkan saja Thian-liong-pang dan mereka yang hidup bergelimang kejahatan!” teriak Kwi Lan penasaran.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar