Ads

Kamis, 22 Agustus 2019

Mutiara Hitam Jilid 053

Bukan main hebatnya gerakan kedua orang kakek yang sudah amat tua ini. Begitu keduanya turun ke atas papan panggung, sambil tertawa-tawa mereka menggerakkan kedua tangan ke sekeliling dan.... tubuh para pimpinan pengemis yang tadinya berhadapan dan cekcok saling maki itu seperti layang-layang putus talinya, terlempar ke bawah panggung!

Dan hebatnya, kedua orang kakek itu tidak pilih-pilih orang, siapa saja yang tadi saling maki memenuhi panggung itu mereka lemparkan turun. Mereka itu berjumlah belasan orang, hampir dua puluh, dan rata-rata adalah pimpinan kai-pang yang memiliki kepandaian tinggi.

Ketika dua orang kakek aneh ini muncul dan menyergap, belasan orang itu sudah berusaha menerjang dan memukul roboh dua orang kakek pengacau, bahkan banyak diantara mereka yang menggunakan tongkat besi menggebuk. Memang terdengar suara bak-bik-buk ketika tongkat-tongkat itu mengenai tubuh dua orang kakek ini, akan tetapi sama sekali tidak dirasakannya, dan tanpa dapat dicegah lagi semua orang itu telah mereka lempar-lemparkan dengan cara yang luar biasa mudahnya. Dalam waktu beberapa menit saja, delapan belas orang pimpinan para pengemis baju bersih dan baju butut itu telah dilempar turun dari atas panggung!

“Dua orang iblis dari mana berani mengacau pertemuan Khong-sim Kai-pang?”

Teriakan ini keluar dari mulut Gak-lokai dan Ciam-lokai yang sudah melompat maju dan menerjang dengan tongkat mereka.

Suling Emas terlampau heran dan kaget menyaksikan munculnya dua orang kakek luar biasa itu sehingga ia tidak sempat mencegah majunya Gak-lokai dan Ciam-lokai. Dengan muka berubah Suling Emas bangkit dari kursinya, memandang dengan mata terbelalak. Hampir ia tidak percaya akan pandang matanya sendiri bahwa dua orang kakek yang muncul itu bukan lain adalah Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong! Dua orang kakek yang sakti itu tiba-tiba saja muncul di situ. Apakah kehendaknya? Benarkah mereka menghendaki menjadi raja pengemis?

Teringatlah Suling Emas pada pertemuannya dengan kedua orang tokoh ini puluhan tahun yang lalu. Ketika itu pun dua orang kakek ini mengacau Khitan dan ingin menjadi raja di Khitan (baca cerita CINTA BERNODA DARAH). Hanya dengan susah payah, setelah dibantu Lin Lin (Ratu Yalina di Khitan), Liu Hwee puteri Ketua Beng-kauw, dan Kauw Bian Cin-jin tokoh Beng-kauw, ia berhasil mengusir dua orang kakek itu.

Kini secara tiba-tiba dan tak terduga-duga dua orang kakek ini muncul lagi dan begitu muncul telah mengacaukan keadaan dengan sepak terjang mereka yang aneh. Melihat bahwa mereka berdua itu tidak memilih bulu, merobohkan semua pengemis baik yang berpakaian butut maupun yang bersih, jelas bahwa mereka ini bukan penggerak kaum sesat dan tidak mewakili mana-mana, hanya bergerak menurutkan kata hati mereka sendiri yang aneh luar biasa!

Terjangan Gak-lokai dan Ciam-lokai dahsyat sekali. Mereka ini memang merupakan dua orang tokoh Khong-sim Kai-pang yang sudah tinggi tingkat ilmu silatnya, apalagi dalam beberapa hari ini mereka telah mendapat petunjuk dari Suling Emas, maka tentu saja terjangan mereka itu amat hebat. Akan tetapi, dengan gerakan yang tenang sekali, dua orang kakek aneh di atas panggung itu menggeser kaki dan terjangan kedua lokai itu hanya mengenai angin belaka.

“Ha-ha-ha-ha! Bagus sekali! Makin banyak muncul tokoh jembel makin baik. Hayo naiklah, keroyoklah kami, ha-ha-ha!” seru Lam-kek Sian-ong Si Muka Merah.

“Bagus sekali, Ang-bin Siauwte (Adik Muka Merah)! Baru sekarang kita bisa berkelahi dengan enak!”

Dua orang kakek itu terkekeh-kekeh dan menghadapi terjangan Gak-lokai dan Ciam-lokai seenaknya saja dengan tangan kosong. Si Kakek Muka Merah menghadapi Ciam-lokai, sedangkan kakek muka putih menghadapi Gak-lokai. Mereka ini memang merupakan dua orang tokoh yang berwatak luar biasa. Makin tua makin gila dan sejak dahulu mereka amat doyan berkelahi! Tidak ada kesenangan yang lebih menggembirakan hati mereka melebihi perkelahian yang ramai.

Melihat terjangan dua orang pengemis bertongkat itu, mereka sudah bergembira karena mengira tentu akan menghadapi lawan tangguh karena mereka pun maklum bahwa di dunia pengemis terdapat banyak orang-orang berilmu tinggi. Akan tetapi mereka kecewa sekali ketika mendapat kenyataan bahwa dua orang tokoh Khong-sim Kai-pang yang menyerang mereka itu sama sekali bukan tandingan mereka!

“Ho-ha-ha, kiranya jembel busuk tidak ada harganya!”

Lam-kek Sian-ong Si Muka Merah terbahak-bahak dan pada saat Ciam-lokai memukulkan tongkatnya ke arah dada, ia menyambut dengan kepalan tangannya.

“Krakkk!!”

Tongkat di tangan Ciam-lokai itu patah-patah menjadi beberapa potong dan setiap kali pengemis tua itu menghantamkan tongkatnya selalu disambut kepalan dan terpotong-potong lagi!






Sementara itu, Pak-kek Sian-ong yang menghadapi Gak-lokai juga merasa kecewa. Akan tetapi berbeda dengan Si Muka Merah yang mendemonstrasikan tenaga Yang-kang dahsyat dan amat kuatnya itu, ia mengeluarkan keahliannya, yaitu tenaga Im yang lemas dan halus.

Ketika Gak lokai menghantamnya dengan tongkat, ia menyambut dengan telapak tangan dan.... tubuh Gak-lokai bersama tongkatnya mencelat ke atas. Gak-lokai terkejut, namun karena ia pun seorang yang lihai biarpun tubuhnya mencelat ke atas, ia bergerak di udara dan menghantamkan tongkatnya ke arah kepala Pak-kek Sian-ong. Kakek muka putih ini lagi-lagi menyambut dengan telapak tangan dan sekali lagi tubuh Gak-lokai mencelat ke atas. Berkali-kali hal ini terjadi sehingga tubuh Gak-lokai bagaikan sebuah bal yang dipermainkan lawan.

“Iblis-iblis tua, berani kau mempermainkan Khong-sim Kai-pang?”

Bentakan halus ini keluar dari mulut Yu Siang Ki. Pemuda ini menjadi marah ketika menyaksikan betapa dua orang kakek aneh itu mengacaukan pertemuan kai-pang yang mempunyai maksud baik itu. Apalagi ketika melihat betapa Gak-lokai dan Ciam-lokai dipermainkan, ia segera tahu bahwa dua orang tokoh pengemis itu bukanlah lawan dua orang kakek yang datang mengacau.

Ia sendiri belum tentu dapat mengalahkan dua orang kakek yang sakti itu, namun melihat usaha persatuan yang diadakan Khong-sim Kai-pang itu terancam bahaya, ia segera meloncat naik, menegur dan sekaligus ia melemparkan hiasan bunga yang biasanya menghias topinya.

Lontaran itu bukanlah sembarang lontaran, melainkan serangan yang hebat dan yang mengancam jalan darah di dekat siku Lam-kek Sian-ong. Siang Ki sengaja menyerang kakek muka merah karena melihat betapa kakek muka merah ini amat dahsyat kedua tangannya dan pada saat itu keadaan Ciam-lokai amat berbahaya. Sekali saja tangan kakek muka merah itu berhasil menonjok tubuh Ciam-lokai, tentu tokoh Khong-sim Kai-pang itu akan roboh tewas!

“Aihh....!”

Kakek muka merah itu mengeluarkan seruan kaget ketika lengannya terasa kesemutan karena jalan darah di sikunya secara tepat sekali tertusuk gagang hiasan bunga. Tadi ia melihat benda ini menyambar, akan tetapi tentu saja ia memandang rendah. Siapa kira, totokan gagang bunga itu cukup mengandung tenaga Iwee-kang yang dahsyat sehingga lengannya kesemutan, ia terheran-heran. Ini bukan sambitan orang biasa. Maka ia berseru kaget dan memutar tubuh menghadapi Yu Siang Ki.

Keheranannya bertambah ketika ia mendapat kenyataan bahwa yang menyambitnya hanya seorang pemuda tampan yang masih amat muda. Pada saat itu, Ciam-lokai yang merasa marah dan penasaran, menggunakan sisa tongkatnya menusuk dari belakang, mengarah lambung dan menusuk di bagian yang mematikan.

“Dukk!”

Tusukan tongkat itu tepat mengenai lambung, akan tetapi membalik seperti menusuk karet yang keras saja. Ciam-lokai kaget sekali akan tetapi sebelum hilang kagetnya, tiba-tiba tubuhnya sudah melayang jauh turun ke bawah panggung karena pada saat itu kaki Lam-kek Sian-ong sudah melakukan gerakan menyepak (menendang ke belakang) persis seperti gerakan kaki kuda.

Tanpa menoleh kakek muka merah itu mampu menendang Ciam-lokai yang lihai itu sampai terlempar ke bawah panggung. Hal ini benar-benar membuktikan bahwa kesaktiannya memang luar biasa.

Yu Siang Ki maklum akan hal ini maka pemuda ini tidak berani sembrono. Tadi pun menyaksikan sambitannya yang tepat mengenai jalan darah itu tidak melumpuhkan lengan kakek muka merah, ia sudah tahu bahwa lawannya benar-benar sakti. Kini pemuda itu sudah menyambar tongkatnya dan berseru keras.

“Tak seorang pun boleh menghina Khong-sim Kai-pang!”

Ia lalu menggerakkan tongkat dan menerjang dengan gerakan yang mantap dan penuh tenaga sin-kang.

“Hua-ha-ha, bagus, bagus! Eh, Pek-bin-twako (Kakak Muka Putih)! Kau lihat lawanku ini biarpun masih muda, baru berharga untuk diajak main-main!”

Ia bicara sambil menggerakkan tubuh mengelak. Sekali lihat saja Lam-kek Sian-ong mengerti bahwa ilmu tongkat pemuda ini hebat dan tak boleh dipandang ringan, maka timbullah kegembiraannya untuk melayani Yu Siang Ki.

“Eh, Kakek tua, kau mundurlah. Kau bukan lawan iblis ini!”

Inilah suara Kwi Lan. Ketika gadis ini melihat Yu Siang Ki sudah melompat naik ke atas panggung dan turun tangan, ia pun tidak mau tinggal diam. Tentu saja ia pun mengenal dua orang kakek itu. Ia tahu bahwa mereka itu, Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, guru Siangkoan Li, adalah dua orang kakek yang sakti.

Tentu Yu Siang Ki tidak mengenal mereka maka pemuda itu secara gegabah berani maju. Kalau tidak ia bantu, mana mungkin Yu Siang Ki dapat menandingi dua orang kakek itu. Biarpun ia maklum bahwa dengan bantuannya sekalipun amat sukar untuk mendapat kemenangan, namun ia tidak bisa membiarkan sahabatnya menghadapi bahaya seorang diri. Maka ia pun lalu meloncat tinggi ke udara. Ia anggap bahwa gerakan Gak-lokai yang dibuat permainan oleh Pak-kek Sian-ong itu hanya akan menghalangi dan membuatnya tidak leluasa, maka sekali meloncat, ia sudah mengeluarkan ucapan tadi dan tahu-tahu diudara ia sudah menjambret leher baju Gak-lokai dan melemparkan kakek itu ke bawah panggung!

Gerakan ini tentu saja kelihatan hebat luar biasa. Inilah demonstrasi ginkang yang hebat, juga sekali jambret saja ia dapat melemparkan seorang tokoh seperti Gak-lokai sudah membuktikan betapa lihainya gadis ini!

Semua pengemis yang menyaksikan ini menjadi makin bengong dan bingung. Bahkan Suling Emas sendiri yang tadi terkejut melihat munculnya pengemis muda yang berani menentang Lam-kek Sian-ong, kini melongo menyaksikan munculnya seorang gadis remaja yang bagaikan seekor naga muda kini sudah menerjang Pak-kek Sian-ong dengan pedangnya!

“Ho-ho-ho, Ang-bin Siauwte kau bilang lawanmu hebat? Kau lihat ini, Nona muda yang galak ini apakah kalah hebatnya?”

Pak-kek Sian-ong berkata demikian, akan tetapi cepat mengelak dari gulungan sinar pedang yang menyambar-nyambar dahsyat. Pertandingan di atas panggung kini benar-benar mengagumkan dan membuat para pengemis terlongong keheranan. Dua orang kakek tua renta itu dengan gerakan-gerakan aneh dan ringan menghadapi seorang pengemis muda yang memutar tongkat secara hebat dan seorang gadis cantik yang memainkan pedang secara ganas.

Gak-lokai dan Ciam-lokai juga sudah bangun. Untung bahwa tadi mereka tidak terbanting hebat dan juga tidak terluka. Hati mereka menjadi gentar karena maklum bahwa orang-orang yang sedang bertanding di atas panggung itu adalah orang-orang sakti yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi daripada kepandaian mereka.

Suling Emas sejak tadi sudah bangkit berdiri. Matanya tajam menonton pertandingan, menimbang dan menilainya. Sebentar ia memandang ke arah pengemis muda yang menghadapi Lam-kek Sian-ong, sebentar kemudian ia memandang ke arah gadis cantik yang menerjang Pak-kek Sian-ong. Ia makin terheran-heran.

Pengemis muda itu ilmu tongkatnya hebat dan tinggi, tenaganya kuat dan memiliki kecepatan gerak yang membuktikan bahwa dia bukan ahli silat sembarangan. Diam-diam ia menjadi kagum sekali dan ia merasa seperti pernah mengenal ilmu tongkat yang dimainkan pemuda itu. Kalau dasarnya sudah jelas ilmu silat dari pantai timur, akan tetapi siapakah pernah mainkan tongkat seperti ini? Ia lupa lagi.

Namun kekagumannya terhadap pemuda tampan itu tidak ada artinya ketika ia menonton pertempuran antara kakek muka putih dan gadis cantik. Suling Emas melongo dan benar-benar ia terheran-heran menyaksikan sepak terjang gadis itu. Ilmu silat apa gerangan yang dimainkan oleh gadis dengan pedang kayunya itu? Dalam hal Ilmu pedang, setidaknya telah mengenal dasar-dasarnya. Akan tetapi gerakan pedang yang dimainkan gadis itu benar-benar membuat ia terlongong. Gerak kakinya seperti gerak kaki ilmu silat Siauw-lim-pai, tegap dan digeser-geser kuat. Akan tetapi ketika sambaran pedang diimbangi tendangan kaki, maka tendangan itu bukanlah tendangan ilmu sliat Siauw-lim-pai, lebih mirip tendangan ilmu silat utara Go-bi-pai.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar