Ads

Minggu, 25 Agustus 2019

Mutiara Hitam Jilid 059

Senja hari di malam tahun baru. Untuk kedua kalinya dalam beberapa bulan itu, puncak Cheng-liong-san yang biasanya sunyi sepi itu kini ramai dikunjungi orang. Akan tetapi tidak seperti dahulu pada pertama kalinya, kini kaum sesat dengan pasukan-pasukannya yang datang berbondong-bondong, tidak langsung naik ke puncak, melainkan bergerombol dan berkumpul menjadi beberapa kelompok di lereng gunung.

Puncak Cheng-liong-san tetap sunyi. Siapakah berani lancang naik ke puncak sebelum datuk-datuk yang mereka pilih tiba? Hari itu adalah hari penentuan, hari pertemuan para datuk kaum sesat yang dipilih oleh golongan masing-masing untuk menentukan siapa diantara mereka yang patut dipilih menjadi bengcu atau pemimpin besar kaum sesat.

Datuk pertama yang muncul di puncak adalah seorang yang amat aneh. Dia berjalan seorang diri, mendaki puncak sambil bernyanyi-nyanyi. Nyanyinya amat aneh pula, dengan kata-kata asing yang lucu, sedangkan lagunya juga lucu sekali, sehingga suaranya yang bergema di seluruh lembah dan terdengar oleh para kaum sesat, membuat mereka terheran-heran dan tersenyum-senyum geli.

Suara tinggi kecil seperti suara perempuan. Kalau tidak melihat orangnya, mendengar suaranya tentu orang mengira dia seorang wanita. Akan tetapi ternyata dia itu seorang laki-laki yang bertubuh tinggi tegap, dengan tubuh berotot dan sepatutnya ia seorang laki-laki yang memiliki tubuh gagah. Wajahnya tampan sekali, dengan hidung yang agak terlalu mancung dan mata yang warna hitamnya tercampur biru, kulitnya putih halus seperti kulit wanita, rambutnya panjang dibiarkan terurai di belakang punggung. Dan lenggangnya, lenggangnya genit dan lemah-gemulai seperti lenggang seorang wanita berpantat besar yang genit sekali.

Bibirnya yang terlalu manis bentuknya untuk seorang pria itu selalu tersenyum-senyum dan bergerak-gerak dibuat-buat agar nampak makin manis. Pakaiannya juga aneh, amat mewah terbuat dari sutera beraneka warna yang halus, lehernya digantungi kalung permata yang besar-besar. Kuku jari-jari tangannya runcing terpelihara dan diberi merah-merah!

Inilah dia Bu-tek Siu-lam, datuk yang dipilih para pengemis untuk menjadi bengcu. Julukan Siu-lam (Laki-laki Tampan) memang ada benarnya, hanya sayang ketampanannya itu membuat ia menjadi genit seperti perempuan, beraksi seperti perempuan dan tingkah lakunya tiada bedanya dengan seorang wadam (banci). Sebuah gunting besar yang mengkilap putih terselip di pinggangnya.

Setelah tiba di puncak, Bu-tek Siu-lam menghentikan nyanyiannya, memandang ke kanan kiri lalu berdongak ke atas. Mulutnya terbuka dan terdengarlah suara suitan yang keras sekali sehingga mengumandang ke seluruh lembah dan lereng gunung. Suitan panjang ini disusul suaranya yang merdu dan kecil namun nyaring sekali.

“Heiiii! Mana dia iblis-iblis palsu dari empat penjuru yang katanya hendak beraksi? Kalau benar bisa menandingi Bu-tek Siu-lam, aku rela menganggapnya sebagai bengcu dan bersahabat dengannya, hi-hi-hik!”

Setelah berkata demikian, Bu-tek Siu-lam yang sukar ditaksir berapa usianya ini berdiri dengan tubuh digerak-gerakan kemayu!

Mendengar suara datuk mereka ini, rombongan pengemis yang dipimpin oleh Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang mulai berani mendaki puncak, akan tetapi mereka ini pun hanya berkumpul di bawah puncak dari mana mereka dapat memandang datuk mereka dengan penuh harapan.

Diantara kaum sesat yang berkumpul disekitar Pegunungan Cheng-liong-san, terdapat pula puluhan orang yang datang hanya karena tertarik hatinya dan ingin menonton apa sesungguhnya yang menyebabkan banyak sekali orang mendatangi bukit yang sunyi itu. Mereka ini adalah orang-orang petani, beberapa orang pelancong dan ada juga beberapa orang kang-ouw yang menjadi ingin tahu sekali.

Ketika rombongan pengemis mulai mendaki bukit, orang-orang ini yang tidak tahu akan bahaya dan sama sekali tidak tahu dan tidak mengenal orang aneh di atas puncak, ikut pula naik untuk menonton.

Kedatangan rombongan bukan pengemis ini tak terlepas dari pandangan mata Bu-tek Siu-lam yang tajam. Ia segera menghadap ke arah tiga puluh lebih orang-orang yang ingin menonton itu, lalu berkata, suaranya manis sekali terdengarnya, sungguhpun dengan dialek asing.

“Siapakah jago kalian? Mana dia? Suruh dia naik kesini!”

Akan tetapi tentu saja puluhan orang itu tidak ada yang mengerti apa yang dimaksudkannya karena mereka itu bukan rombongan tertentu, dan sama sekali tidak punya jago. Karena tidak ada yang menjawabnya, Bu-tek Siu-lam diam-diam menjadi marah, menganggap mereka itu tidak sopan dan tidak menghormatinya.






Tiba-tiba ia tertawa dan tahu-tahu tubuhnya yang tinggi itu sudah melayang turun dari puncak, tiba diantara puluhan orang yang menonton itu. Para penonton ini tidak menyangka buruk, bahkan menjadi girang dapat melihat orang aneh itu dari dekat. Mereka tersenyum-senyum kepada Bu-tek Siu-lam karena orang aneh yang tampan dan genit ini pun tertawa-tawa.

Akan tetapi secara mendadak suara ketawa mereka terhenti ketika Bu-tek Siu-lam menangkap seorang diantara mereka yang terdekat, menangkap gelung rambut orang itu, seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan kuat. Sekali sambar dengan tangan kanan, laki-laki itu dijambak rambutnya dan digantung. Laki-laki itu terkejut dan berteriak kesakitan.

“Hi-hik, inikah jago kalian? Atau ada yang lain lagi?”

Bu-tek Siu-lam bertanya sambil tertawa-tawa dan mengangkat-angkat tubuh yang tergantung di tangan kanannya itu.

Karena kesakitan, orang itu menjadi marah sekali. Betapapun juga, dia adalah seorang laki-laki yang kuat dan pernah belajar silat, maka tentu saja tidak mau dihina oleh orang aneh ini.

“Bedebah! Lepaskan aku!” teriaknya dan tangan kirinya menghantam ke arah dada Bu-tek Siu-lam.

“Crakkk!”

Laki-laki itu menjerit dan darah menyembur dari lengan kirinya yang sudah buntung sebatas siku karena pukulannya tadi ditangkis dengan guntingan, dilakukan oleh tangan kiri Bu-tek Siu-lam yang entah kapan sudah mencabut guntingnya! Saking sakitnya, Laki-laki itu meronta-ronta dan menjadi nekat, menggunakan tangan kanan dan kedua kakinya menghantam dan menendang agar terlepas dari cengkeraman orang aneh itu.

“Crak-crak-crak!”

Sungguh hebat pemandangan itu. Mengerikan sekali! Laki-laki yang tergantung itu kini buntung semua lengan dan kakinya! Darah bercucuran dan Laki-laki itu matanya mendelik, mukanya pucat tak berdarah lagi, agaknya sudah tewas di saat itu juga, atau pingsan! Kejadian ini membuat para penonton menjadi panik, ada yang lari, ada yang jatuh bangun, ada pula yang seketika menjadi lumpuh tak dapat lari saking takutnya.

“Hayo mana jagomu. Inikah? Crak-crak! Atau ini? Crak-crak-crak!”

Sambil tertawa-tawa Bu-tek Siu-lam mengerjakan guntingnya setelah melemparkan korban pertama ke atas tanah. Ia tidak menggunting badan atau leher, melainkan kaki dan tangan sehingga sebentar saja belasan orang sudah bergelimpangan dengan kaki tangan buntung! Darah membanjir dan mereka yang menjadi korban kebiadaban ini berkelojotan dan mati karena kehabisan darah!

“Heeii, anak-anakku semua kaum kai-pang! Lihat, beginilah akan kuperlakukan terhadap musuh-musuh kita kalau aku menjadi Bengcu!”

Para pengemis itu biarpun tadinya merasa ngeri menyaksikan kekejaman yang luar biasa itu, namun karena mereka sendiri adalah golongan kaum sesat yang berwatak kejam dan senang melihat orang lain bukan golongannya menderita, lalu bersorak girang.

“Hidup Locianpwe Bu-tek Siu-lam!”

“Tidak ada yang dapat melawan kegagahan Locianpwe!”

Demikianlah teriakan-teriakan mereka dan Bu-tek Siu-lam berdiri sambil tersenyum bangga dan puas. Sementara itu sisa para penonton yang panik dan ketakutan itu kini melarikan diri ke sebelah barat menjauhi rombongan pengemis yang mendaki puncak dari sebelah timur. Hati mereka lega karena orang aneh kejam itu tidak mengejar mereka, agaknya Bu-tek Siu-lam yang sudah membunuh belasan orang untuk mendemonstrasikan kepandaian dan kekejamannya telah puas.

Diantara rombongan pengemis itu terdapat seorang pengemis tua yang terkenal dengan julukan Tiat-ciang Lo-kai (Pengemis Tua Tangan Besi) dan namanya hanya disebut Hoan-lokai. Dia adalah tokoh pengemis semenjak mudanya, dan semenjak dahulu menjadi tokoh Hek-coa Kai-pang.

Perkumpulan Hek-coa Kai-pang ini sudah mengalami banyak sekali perubahan, dari pimpinan orang baik-baik sampai pimpinan orang-orang sesat. Akan tetapi Hoan-lokai tidak pernah ambil peduli, selalu dia setia kepada Hek-coa kai-pang. Hal ini adalah karena Hoan-lokai mempunyai penyakit pikun dan tak mau tahu akan segala urusan. Pendeknya, ia hanya tahu bahwa ia harus setia terhadap perkumpulannya yang didirikan oleh seorang pamannya dahulu.

Begitu bodoh dan tidak normal pikiran Hoan-lokai ini sehingga ia tidak tahu lagi apakah perkumpulannya berada di tangan pimpinan baik-baik atau sesat. Kali ini ia pun ikut rombongan hanya untuk menonton dan sama sekali tidak tahu macam apa orang yang dipilih perkumpulannya sebagai bengcu. Maka tadi pun ia hanya ikut bergerak kalau rombongannya bergerak.

Akan tetapi, begitu menyaksikan kekejaman yang amat luar biasa dan di luar batas perikemanusiaan ini, semangatnya tergugah dan kemarahannya membuat mukanya merah dan matanya melotot. Apalagi ketika melihat betapa para pengemis yang menjadi anggauta-anggauta perkumpulannya kini sambil tersenyum-senyum memuji orang kejam aneh itu mulai menyeret mayat-mayat yang bergelimpangan dan melemparkan mayat-mayat itu ke dalam jurang atas perintah Bu-tek Siu-lam, ia menjadi makin penasaran.

Kalau ia melihat anak buah merampok atau memeras, ia masih tidak peduli karena betapapun juga yang dirampok dan diperas tentulah orang yang kaya. Akan tetapi menyaksikan pembunuhan-pembunuhan tanpa alasan terhadap orang-orang yang sama sekali tidak berdosa, benar-benar ini menembus kebodohannya dan membuat hatinya memberontak.

“Hei, kau ini mengapa begini kejam seperti iblis?” bentaknya sambil meloncat maju ke depan Bu-tek Siu-lam.

“Hoan-lokai, jangan sembrono....!”

“Hoan-lokai, jangan kurang ajar terhadap calon bengcu....!”

Teriakan-teriakan peringatan para pimpinan Hek-coa Kai-pang ini tidak dipedulikan oleh Hoan-lokai yang sudah menjadi marah sekali. Ia sudah meloncat naik ke bagian paling atas dari puncak itu, berhadapan dengan Bu-tek Siu-lam.

Ketika semua orang memandang dan melihat betapa kedua tangan pengemis ini berubah menjadi hijau, mereka terkejut dan mengeluarkan teriakan kaget. Warna hijau pada kedua tangan ini menjadi tanda bahwa Tiat-ciang Lo-kai ini sudah mengerahkan semua tenaga Tiat-ciang pada kedua tangan! Jarang sekali kakek itu menggunakan ilmunya dan biarpun semua orang tahu akan keampuhan kedua tangannya, namun belum pernah mereka melihat Hoan-lokai mengerahkan tenaga Tiat-ciang sampai kedua tangan menjadi hijau!

Kini tak seorang pun mengeluarkan suara, hanya memandang ke atas puncak dengan muka pucat dan mata terbelalak. Betapapun juga, kejadian ini menegangkan hati dan menyenangkan, karena mereka mendapat kesempatan untuk menyaksikan kelihaian orang yang hendak mereka angkat menjadi bengcu itu. Tentang keselamatan Hoan-lokai, siapa peduli? Kakek ini biarpun memiliki ilmu tinggi, namun bodoh dan tidak tahu urusan. Kematiannya pun takkan merugikan siapa-siapa.

Sementara itu, ketika Bu-tek Siu-lam melihat majunya seorang pengemis tua bermuka jelek yang kedua tangannya hijau, ia hanya tertawa dan menyelipkan guntingnya di pinggang. Ia tahu akan sikap kakek pengemis itu yang marah, dan tahu pula bahwa kedua tangan yang hijau itu mengandung tenaga mujijat, namun Bu-tek Siu-lam agaknya sama sekali tidak memandang mata.

“Kau mau apa?”

Tanya Bu-tek Siu-lam dengan sikap angkuh sambil memandang pengemis itu dengan kepala dimiringkan.

“Kau ini manusia apakah iblis? Kalau manusia, mengapa kau membunuhi orang sekejam itu tanpa alasan?” tanya Hoan-lokai dengan muka merah dan mata melotot.

Bu-tek Siu-lam tertawa terbahak-bahak. Kepalanya mendongak ke atas dan ia sama sekali tidak peduli lagi bahwa kakek pengemis itu sudah melangkah maju dengan sikap mengancam sekali. Kemudian tanpa memberi peringatan lagi karena marahnya melihat sikap orang aneh itu yang amat sombong, Hoan-lokai sudah menggerakkan tangan kanannya menghantam ke arah perut Bu-tek Siu-lam.

Pukulan ini keras sekali, sesuai dengan sifat ilmu pukulan Tiat-ciang-kang. Dengan ilmu pukulan seperti ini, pengemis tua itu sanggup memukul hancur sepotong batu, karena tangannya seperti besi saja keras dan kuatnya.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar