Ads

Minggu, 25 Agustus 2019

Mutiara Hitam Jilid 060

Namun bagi seorang tokoh besar seperti Bu-tek Siu-lam, tentu saja kepandaian seperti ini tidak ada artinya sama sekali, termasuk kepandaian luar yang kasar. Ilmu Tiat-ciang atau semacam Tiat-see-ciang adalah ilmu gwa-kang atau ilmu luar yang dikuasai seseorang hanya dengan latihan-latihan berat mempergunakan kekuatan kulit daging, maka bagi seorang berilmu seperti Bu-tek Siu-lam, pukulan itu hanya keras dan kuat saja, sama sekali tidak mengandung hawa sakti yang boleh dipandang. Tingkat Bu-tek Siu-lam jauh lebih tinggi karena tokoh ini sudah tidak lagi membutuhkan tenaga kasar untuk mempergunakan kepandaiannya.

Seseorang yang sudah menguasai ilmu silat tinggi, tidak lagi membutuhkan bantuan tenaga kasar, melainkan lebih mengandalkan hawa sakti dari dalam tubuhnya untuk dipergunakan secara tepat. Seorang ahli ilmu silat tinggi mendasarkan tenaga dalam yang sifatnya lunak dan lembut, seperti pasir atau tanah seperti air, atau lunak ulet seperti karet.

Kalau seorang yang mengandalkan tenaga kasar menggunakan tenaganya seperti besi sifatnya, apakah yang dapat ia lakukan terhadap sifat lunak dan lemas itu? Besi dapat menghancurkan batu atau benda-benda lain karena keras bertemu keras, akan tetapi kalau besi dipukulkan karet, takkan ada artinya bahkan memukul diri sendiri, kalau dihantamkan pasir, tanah atau air yang tak melawan, akan lenyap dan tenaga pukulannya akan tersedot tanpa guna.

“Wuuuuttt.... desss!”

Pukulan tangan Tiat-ciang yang dilancarkan Hoan-lokai itu tepat sekali mengenai perut Bu-tek Siu-lam. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hati Hoan-lokai ketika ia merasa betapa tangannya itu amblas atau tenggelam ke dalam perut, sama sekali tidak menemui perlawanan seperti orang memukul kapas.

Namun Hoan-lokai adalah seorang ahli silat yang sudah banyak pengalaman. Ia segera maklum bahwa orang aneh kejam seperti iblis ini adalah seorang ahli Iwee-keh (tenaga dalam), maka ia cepat-cepat menggunakan tangan kirinya menghantam ke arah dada.

“Wuuuuttt.... dukkk!”

Kali ini dada itu dibusungkan penuh hawa sakti sehingga pukulan tangan kiri Hoan-lokai seperti memukul karet dan membalik. Untung bahwa Hoan-lokai tadi menggunakan siasat, hanya menggunakan setengah tenaganya, sedangkan tenaga setengahnya lagi ia pergunakan untuk mencabut lengan kanan yang “menancap” ke dalam perut. Ia berhasil dan tubuhnya terhuyung ke belakang.

“Ha-ha-hi-hi-he-hehh....!” Bu-tek Siu-lam tertawa, suara ketawanya genit sekali, berirama dan berlagu seperti orang bernyanyi! “Jembel busuk, apakah kau hendak memberontak? Teman-temanmu mengangkatku sebagai Bengcu, kenapa engkau sendiri hendak melawan aku?”

“Manusia iblis! Kau bukan manusia, engkau setan. Engkau akan menyeret Hek-coa Kai-pang ke dalam neraka!”

Dengan kemarahan meluap, Hoan-lokai sudah menerjang maju lagi. Di tangan kanannya tampak seekor ular hitam yang panjangnya semeter lebih. Ular itu mendesis-desis dan kepalanya menyambar, mendahului tangan Hoan-lokai, ke arah leher Bu-tek Siu-lam. Namun tokoh aneh itu hanya tersenyum dan sekali dua jari tangan kirinya menyambar ke depan, leher ular itu telah putus karena telah digunting kedua buah jari tangannya tadi!

Hoan-lokai melempar bangkai ular hitamnya dan hatinya marah bercampur duka. Ular hitam itu bukan sembarang ular, melainkan binatang peliharaannya. Sesuai dengan nama perkumpulan Hek-coa Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Ular Hitam), maka semenjak dahulu para pemimpinnya tentu memelihara ular hitam yang mempunyai dua kegunaan.

Pertama adalah dipelihara untuk diambil racunnya yang dapat dicampur dengan obat penguat tubuh, kedua kalinya di waktu amat perlu dapat dipakai sebagai senjata yang ampuh karena ular hitam ini beracun. Kini ular yang sudah dipeliharanya bertahun-tahun itu demikian mudah terbunuh! Sambil memekik keras Hoan-lokai lalu menerjang maju dan kali ini kedua kepalan tangannya secara berbareng, dengan pengerahan tenaga Tiat-ciang-kang sekuatnya, menghantam perut.

“Wuuuttt.... ceppp....!”

Dua buah kepalan tangan Hoan-lokai masuk ke perut karena sama sekali tidak dielakkan oleh Bu-tek Siu-lam! Akan tetapi segera kakek pengemis itu meronta-ronta dan mukanya menjadi pucat sekali, keringatnya keluar memenuhi muka yang berkerut-kerut.

Jelas bahwa ia menderita nyeri yang hebat. Kedua kepalan tangannya yang masuk ke dalam perut lawan itu seperti dibakar api panasnya. Rasa panas menjalar melalui lengan terus ke seluruh tubuh. Ia berusaha untuk meronta, mengerahkan seluruh tenaga untuk mencabut keluar kedua tangannya, namun sia-sia belaka. Bu-tek Siu-lam hanya tertawa, suara ketawanya lucu menyeramkan.

“Pergilah!”






Bentaknya nyaring dan tubuh Hoan-lokai terdorong ke belakang ketika Bu-tek Siu-lam mengerahkan tenaga.

Akan tetapi sebelum tangannya terlepas dari “cengkeraman” perut, terlebih dahulu terdengar suara “pletok-pletok!” dua kali dan ketika kedua tangan itu sudah bebas, ternyata tulang-tulang tangannya sudah remuk dan patah-patah! Kedua lengan itu tergantung lumpuh dan rasa nyeri menusuk sampai ke jantung dan tulang sumsum.

Muka Hoan-lokai menyeramkan sekali. Rasa nyeri membuat mukanya pucat penuh keringat, dan garis-garis keriputnya makin dalam, matanya merah dan basah, mulutnya menyeringai. Dia memang seorang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi karena kecerdikannya kurang, maka Hoan-lokai tak dapat sadar bahwa kini ia berhadapan dengan lawan yang jauh lebih tinggi ilmunya.

Saking hebatnya rasa sakit yang dideritanya, ia menjadi makin marah dan nekat. Dengan pekik yang menyeramkan ia lalu menerjang maju lagi, kedua lengannya bergantungan lumpuh, dan kini ia menyerang dengan menggunakan kepalanya! Serudukan seperti ini sama sekali tak boleh dipandang ringan karena dengan kepalanya, Hoan-lokai sanggup menyeruduk roboh sebuah dinding tembok yang kuat!

Akan tetapi Bu-tek Siu-lam hanya berdiri dengan tegak sambil tertawa ha-ha-hi-hi, memasang perutnya yang sengaja ia busungkan untuk diseruduk lawan. Tak dapat dihindarkan lagi tubrukan antara kepala dan perut itu.

“Suppp!”

Kepala itu dengan tepat menghantam perut dan tiba-tiba perut yang tadinya membusung itu serentak mengempis sehingga kepala Hoan-lokai tersedot masuk ke rongga perut! Aneh sekali kejadian ini. Kepala menancap di perut sampai dalam sehingga mata dan hidung Hoan-lokai tak tampak, hanya mulutnya yang tampak menggigit-gigit bibir seperti menahan kesakitan hebat. Kedua lengan yang tangannya remuk itu bergerak-gerak seperti meronta, demikian pula kedua kakinya menendang-nendang tanah di bawahnya.

Biarpun semua orang yang hadir belum pernah menyaksikan ilmu yang sehebat itu, yaitu menggunakan perut menangkap kepala orang, namun semua sudah dapat menduga betapa kepala Hoan-lokai, seperti kedua tangannya tadi, akan menjadi remuk tergencet!

Pada saat itu, dari bawah puncak gunung terdengar suara orang tertawa, suara ketawanya keras sekali dan terbahak-bahak terpingkal-pingkal seakan-akan orang itu melihat sesuatu yang amat lucu.

Terdengar lucu sekali, akan tetapi semua pengemis yang berkumpul di dekat puncak menjadi kaget dan berdiri bulu tengkuk mereka karena suara ketawa ini bergema di empat penjuru dan mendatangkan hawa dingin yang membuat jantung seakan-akan berhenti berdetik.

Mereka saling pandang dengan melongo. Belum lenyap suara gema ketawa itu, tiba-tiba muncul orangnya. Amat tidak patut dengan suara ketawanya. Kalau suara ketawanya besar dan dalam, panjang dan bergema, sepatutnya suara seorang raksasa tinggi besar, orangnya ternyata biasa saja, bahkan kurang daripada ukuran biasa. Kecil kurus, sedemikian kurusnya seperti cecak kering, tinggal kulit membungkus tulang-tulang yang kecil, sudah amat tua sehingga sukar ditaksir berapa usianya.

Rambutnya hanya sedikit di atas kepalanya yang kecil, alisnya tebal panjang menutupi matanya yang hanya tampak sebagai dua bayangan hitam. Namun kumisnya yang melintang di tengah muka yang sempit itu amat panjang. Punggungnya dilingkari sabuk yang aneh dan lucu pula karena sabuk itu penuh dengan dompet-dompet kecil berjajar di sekeliling perutnya. Di punggungnya tampak sebuah bambu yang panjangnya dua kaki, diikat di punggung dengan tali. Bajunya berlengan pendek sebatas pangkal lengan, celananya panjang kakinya telanjang. Benar-benar seorang yang aneh dan lucu sekali. Apalagi kalau orang melihat mukanya, muka yang kelihatan serius dan galak, pantasnya ia pemarah sehingga sama sekali tidak cocok dengan suara ketawa terkekeh-kekeh yang keluar dari mulutnya sedangkan mulut itu sendiri tidak tertawa!

Berbareng dengan munculnya kakek yang aneh ini, dari bawah puncak muncul pula serombongan orang yang beraneka macam bentuk dan pakaiannya, akan tetapi sebuah bendera yang dipegang oleh seorang di antara mereka bertuliskan huruf Thian-liong-pang dengan gambar seekor liong (naga). Kiranya rombongan itu adalah rombongan perkumpulan Thian-liong-pang yang sudah kita kenal, yaitu perkumpulan yang diselewengkan oleh Sin-seng Losu dan dua belas orang murid-muridnya, yaitu yang terkenal dengan julukan Dua Belas Ekor Naga!

Melihat rombongan ini, mudahlah diduga sekarang siapa adanya kakek kecil kurus yang aneh itu. Dia bukan lain adalah Siauw bin Lo-mo (Iblis Tua Muka Tertawa)! Siauw-bin Lo-mo yang belum lama ini menggemparkan dunia persilatan. Sebetulnya, julukannya Iblis Tua Muka Tertawa kurang tepat karena biarpun suaranya kalau tertawa seperti orang terpingkal-pingkal, akan tetapi mukanya sama sekali tak pernah memperlihatkan senyum sedikit pun, apalagi ketawa!

Kedua kaki orang aneh ini tidak tampak bergerak, akan tetapi tahu-tahu ia sudah berada di depan Bu-tek Siu-lam, yaitu di belakang tubuh Hoan-lokai yang kepalanya masih “menancap” dalam perut Bu-tek Siu-lam.

Melihat datangnya orang kate kecil ini, Bu-tek Siu-lam sama sekali tidak memandang mata dan ia masih tersenyum-senyum bangga sedangkan kedua kaki Hoan-lokai masih berkelojotan dalam usahanya membebaskan kepalanya dari perut lawan. Kepalanya terasa makin panas seperti akan meledak dan sakitnya tak dapat diceritakan lagi saking hebatnya.

“Huah-hah-heh-heh-heh!” Siauw-bin Lo-mo tertawa bergelak tanpa menggerakkan bibir atau membuka mulut. Suara ketawa itu seperti keluar dari dalam perutnya yang kecil! “Gunung di barat takkan dapat berjumpa dengan laut di selatan akan tetapi setan dari barat hari ini bertemu dengan iblis dari selatan. Huah-hah-hah-hah! Aku mendengar kau yang berjuluk Bu-tek Siu-lam, jangan kau bermain-main seorang diri!”

Setelah berkata demikian, kaki kiri Siauw-bin Lo mo diangkat dan ditendangkan ke arah pantat Hoan-lokai.

“Bukkk!”

Tendangan ini kelihatannya hanya tendangan biasa saja, akan tetapi kelirulah kalau orang mengira demikian, karena tendangan kaki telanjang yang kecil itu mengandung tenaga sakti yang hebat sehingga Hoan-lokai yang ditendang pantatnya itu tiba-tiba merasa betapa serangkum tenaga yang berhawa panas memasuki tubuhnya dan berkumpul di pusar.

Sebagai seorang ahli silat tinggi tentu saja Hoan-lokai maklum bahwa ada orang yang membantunya, maka cepat ia mengerahkan tenaga panas itu dari pusar terus ke atas, keluar dari kepalanya untuk melawan gencatan perut Bu-tek Siu-lam yang hebat.

Kaget sekali Bu-tek Siu-lam. Hawa panas yang keluar dari kepala Hoan-lokai itu amat hebat dan kalau ia melawannya keras sama keras, dia terancam bahaya karena perut merupakan bagian tubuh yang lemah dan gawat. Kalau sampai sebuah diantara isi perutnya terluka, hebatlah akibatnya. Tentu saja ia tidak mau mengambil resiko berat ini dan sambil berseru keras ia membusungkan perutnya sehingga tubuh Hoan-lokai bagaikan sebuah peluru meluncur ke arah manusia kate yang lihai itu.

Sambil tertawa-tawa Siauw-bin Lo-mo menggerakkan tangan kirinya dan sekali tangan ini bergerak entah bagaimana tubuh Hoan-lokai yang menyambar ke arahnya itu tiba-tiba membalik dan kini dengan kecepatan yang tak kalah besarnya meluncur dan menyambar kembali ke arah Bu-tek Siu-lam! Kiranya sekarang ternyata bahwa Si Kecil ini sama sekali tidak bermaksud menolong Hoan-lokai, melainkan tadi melalui tubuh Hoan-lokai hendak mencoba-coba kepandaian Si Iblis Banci!

Kasihan sekali nasib Hoan-lokai. Dia boleh jadi tergolong seorang tokoh yang berkepandaian tinggi diantara para anggauta Hek-coa Kai-pang, akan tetapi di tangan dua orang aneh ini, ia seolah-olah menjadi seekor kelinci di antara dua ekor harimau buas! Sama sekali tidak berdaya dan kepalanya pening pandang matanya berkunang-kunang ketika tubuhnya kini menjadi semacam bola yang ditendang pergi datang oleh hawa pukulan kedua orang aneh itu.

Tanpa menyentuh tubuhnya, dua orang aneh itu hanya dengan dorongan tangan dari jauh, dapat membuat tubuhnya terlempar ke sana ke mari! Sambil mempermainan tubuh Hoan-lokai yang beterbangan pulang pergi di udara, dua orang itu sudah bercakap-cakap seenaknya!

“Heh manusia kerdil, melihat bahwa kau sudah mengenal namaku dan memiliki kepandaian yang tidak buruk, kau tentu bukan sembarang orang. Siapakah kau dan apakah nyawamu rangkap maka kau berani mencoba untuk main-main dengan aku?” Bu-tek Siu-lam bertanya, sikapnya masih memandang rendah dan mengejek.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar