Kakek ini mengangguk-angguk, hatinya senang karena wanita ini cocok dengan usulnya.
“Memang tak perlu ada Bengcu, lebih penting lagi mencari pengganti Thian-te Liok-kwi yang dulu menjagoi dunia. Apa salahnya kalau sekarang terdapat Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tanding)?”
Kam Sian Eng tidak suka akan sebutan Kwi atau Setan, maka ia sengaja memilih sebutan Sian (Dewa), yang selain lebih gagah dan baik, juga sama dengan namanya! Wanita ini di waktu mudanya dahulu sudah banyak melihat lawan yang amat tangguh, oleh karena itu setelah sekarang keluar dari tempat sembunyi, ia merasa lebih aman jika berkawan dengan empat orang yang berkepandaian tinggi, berwatak aneh dan cocok dengan wataknya sendiri ini. Empat orang ini tidak segan-segan membunuh orang, seenaknya saja, dan ini pun cocok dengan pendapatnya. Orang yang tidak menyenangkan hati, orang yang lemah, memang boleh saja dibunuh!
“Kalau begitu tidak bertanding?” Thai-lek Kauw-ong bertanya kecewa.
“Perlu apa bertanding kalau di antara kita bukan musuh?” tanya Kam Sian Eng.
Biarpun wanita ini mengalami gangguan jiwa dan wataknya sudah berubah karena kehancuran hati di waktu mudanya ditambah dengan latihan-latihan samadhi dan lweekang yang menyeleweng, namun ia tidak kehilangan kecerdikannya, bahkan menjadi makin cerdik. Sian Eng tahu bahwa bertanding menghadapi empat orang ini, biarpun ia tidak takut, namun bukan merupakan hal yang ringan dan tidak akan mudah mencapai kemenangan. Selain itu juga tidak ada gunanya.
“Huah-ha-ha-ha, betul sekali ucapan Sian-toanio. Cocok.... cocok!”
Kata Siauw-bin Lo-mo yang diam-diam merasa jerih terhadap Thai-lek Kauw-ong, apalagi setelah muncul wanita ini yang aneh dan memiliki kepandaian yang menggiriskan hati.
“Betul! Memang kita segolongan, perlu apa bertempur?”
Kata pula Pak-sin-ong yang cita-citanya memang ingin mencari teman-teman yang kuat untuk membantunya melanjutkan cita-cita merampas Kerajaan Khitan.
“Segolongan?” Sian Eng bertanya. “Golongan apa?”
“Hi-hik, sahabatku yang manis. Golongan apalagi? Tentu saja golongan kaum sesat, hi-hik!” kata, Bu-tek Siu-lam sambil mesam-mesem genit.
Sian Eng sudah banyak melihat orang aneh, akan tetapi melihat sikap genit laki-laki gagah dan tampan ini, ia menjadi muak dan geli. Ia juga tersenyum dari balik kerudungnya, senyum geli. Senyum ini oleh Thai-lek Kai-ong dikira senyum karena setuju disebut golongan sesat, maka kakek gundul yang kosen ini lalu menepuk-nepuk dadanya.
“Huh, memang benar! Banyak orang menyebut aku seorang sesat. Memang aku sesat! Biarlah mereka menyebutku begitu dan hendak kulihat, bagaimanakah macamnya orang yang tidak sesat?”
“Hemm, mau tahu orang yang tidak sesat? Di antaranya, yang paling menonjol namanya adalah Suling Emas! Dia menganggap jagoan nomor satu di dunia, memandang rendah golongan kita! Aku paling benci kepada Suling Emas dan mengharap bantuan kalian berempat untuk menandinginya karena memang ia memiliki ilmu kepandaian yang lihai sekali.”
Berkata demikian, Jin-cam Khoa-ong atau Pak-sin-ong mengepal kedua tinju dan mukanya membayangkan kebencian hebat. Mengapa Pak-sin-ong membenci Suling Emas? Bukan lain karena Pak-sin-ong masih saudara sepupu Hek-giam-lo seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang menjadi musuh besar Suling Emas. Bahkan beberapa kali Hek-giam-lo dikalahkan Suling Emas sehingga terjadi permusuhan antara kedua tokoh ini (baca cerita CINTA BERNODA DARAH). Selain menaruh dendam karena saudara sepupunya ini, juga pasukan Pak-sin-ong pernah dipukul mundur ketika pasukan ini menyerang Khitan dan pada waktu itu Suling Emas masih berada di Khitan.
Sejenak wajah cantik di balik kerudung itu menjadi merah, sepasang mata yang aneh itu mengeluarkan sinar berapi. Akan tetapi hanya sebentar. Tadinya Sian Eng marah mendengar orang bertopi itu memusuhi Suling Emas. Suling Emas adalah Kam Bu Song, kakak tirinya. Akan tetapi ia sudah tidak merasai lagi cinta kasih antara saudara, apalagi karena semenjak kecil memang tak pernah bertemu dengan kakak tirinya itu (baca cerita CINTA BERNODA DARAH). Maka ia hanya tersenyum dingin dan diam-diam di dalam hatinya ia menertawai Pak-sin-ong karena mana mungkin orang ini dapat melawan kakak tirinya itu!
“Huah-ha-ha-ha, memang sekeluarga itu orang-orang sombong, menganggap diri sendiri bersih dan orang lain kotor! Suling Emas disebut sebagai pendekar sakti, padahal ibunya adalah Tok-siauw-kwi yang jahatnya melebihi Thian-te Liok-kwi! Dari manakah datangnya Tok-siauw-kwi? Bukan lain dia adalah seorang gadis puteri pendiri Beng-kauw di selatan. Perkumpulan Agama Beng-kauw juga merupakan perkumpulan yang menamakan dirinya kaum putih atau kaum lurus, lawan kaum sesat. Aku menghormat mendiang Tok-siauw-kwi yang tidak suka berpura-pura seperti tokoh-tokoh Beng-kauw! Kuharap kalian berempat suka membantuku kelak mengobrak-abrik Beng-kauw yang sombong!” kata Siauw-bin Lo-mo yang mendendam sakit hati terhadap Beng-kauw.
“Hemm, aku setuju membantumu, Siauw-bin Lo-mo. Aku pun benci kepada Beng-kauw,” kata Sian Eng.
Dia pernah mendengar dahulu betapa antara Beng-kauw dan Tok-siauw-kwi terdapat hal-hal yang bertentangan sehingga hidup iblis betina itu menjadi sengsara (baca cerita SULING EMAS). Karena ia mendapatkan ilmu-ilmunya dari kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kwi, maka ia mengganggap iblis betina itu sebagai gurunya dan ia pun merasa tidak suka kepada Beng-kauw, sungguhpun kakak kandungnya Kam Bu Sin, menjadi mantu ketua Beng-kauw! Memang pikiran Sian Eng sudah menjadi aneh sekali dan pertimbangannya sudah kacau balau. Ia hanya menurutkan perasaannya saja tanpa memperdulikan hal-hal lain lagi.
“Hemm, kalau semua setuju dengan pendapat Sian–toanio, biarlah kita tidak saling bertanding. Untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih berjasa dan lebih unggul, mari dalam setahun sejak saat ini kita berlumba, berbanyak-banyak membasmi orang-orang yang memusuhi golongan kita. Setahun kemudian kita berkumpul lagi disini dan dia yang paling banyak membasmi orang-orang yang memusuhi kita, dialah yang berhak menjadi tokoh pertama!” Thai-lek Kauw-ong berkata.
Tiga orang kakek yang lain mengangguk-angguk, dan biarpun Sian-Eng tidak ikut mengangguk, ia sudah menjawab cepat-cepat.
“Baiklah, dan sekarang aku pergi lebih dulu!”
Baru saja habis kata-katanya, tubuhnya sudah berkelebat dan lenyap dari situ dengan cepat sekali. Empat orang kakek itu tidak mencegah, hanya memandang sampai bayangan Sian Eng lenyap dari pandang mata mereka. Sunyi sejenak, kemudian terdengar suara Bu-tek Siu-lam.
“Hi-hik, aku tak begitu percaya kepada perempuan itu. Pandang mata dan sikapnya menunjukkan bahwa dia bukan seorang yang waras otaknya. Akan tetapi dia cantik, dan bentuk tubuhnya.... hemm....!” ia terkekeh genit.
“Ilmu kepandaiannya lumayan,”
Kata Siauw-bin Lo-mo yang dalam hatinya suka kepada Sian Eng karena wanita itu tadi menyatakan sanggup membantunya menghadapi Beng-kauw. Mendapat seorang pembantu seperti wanita aneh itu sungguh amat menyenangkan dan berharga.
“Biarpun tidak ada Bengcu, namun kita berempat, berlima dengan Sian-toanio tadi, sudah berjanji untuk saling bantu. Karena itu, kuharap saja kelak apabila aku membutuhkan bantuan, Samwi (Tuan Bertiga) tidak akan segan-segan untuk turun tangan membantuku, termasuk golongan yang mendukung Sam-wi,” kata Pak-sin-ong. “Tentu saja Sam-wi dapat mengandalkan aku dan pasukan-pasukanku di utara apabila Sam-wi sewaktu-waktu perlu bantuan.”
Berbeda dengan yang lain-lain, Pak-sin-ong ini memiliki cita-cita yang lebih besar, yaitu merampas kerajaan, oleh karena itu tentu saja yang penting baginya adalah kuatnya pasukan untuk melaksanakan cita-citanya menggempur Kerajaan Khitan. Urusan pribadi baginya adalah urusan kecil.
Pada saat itu, tiba-tiba empat orang sakti ini berdiam dan mengerling ke arah selatan karena pendengaran mereka yang tajam dapat menangkap langkah kaki yang halus dari arah ini. Tak lama kemudian, muncullah seorang wanita yang usianya kira-kira dua puluh tujuh sampai tiga puluh tahun.
Wanita ini memakai pakaian serba merah dari sutera tipis sehingga membayangkan bentuk tubuhnya yang menggairahkan dan wajahnya berbentuk lonjong manis. Apalagi sepasang matanya amat indah bentuknya lebar dan sinarnya penuh semangat. Sayang bahwa wajah yang manis ini membayangkan kekerasan hati dan tak pernah tersenyum.
Yang amat menarik perhatian adalah rambutnya, rambut yang amat hitam mengkilap dan panjang tebal dibiarkan terurai begitu saja di belakang punggungnya sampai ke pinggulnya yang besar. Sebatang pedang tampak tersembul gagangnya dari balik rambut di punggung. Wanita itu lebih kelihatan agung dan gagah daripada cantik, sungguhpun kemanisan wajahnya tidak akan dilewatkan begitu saja oleh setiap orang laki-laki.
“Maaf, saya mewakili Guruku untuk menghadiri pertemuan di hari ini dan belajar kenal dengan Bengcu baru!”
Kata wanita itu sambil berdiri tegak dan mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai tanda penghormatan.
“Hi-hik, kalau Gurumu secantik engkau, mengapa tidak kau ajak sekalian datang ke sini, manis?”
Kata Bu-tek Siu-lam sambil tertawa dan pandang matanya seperti hendak menelan wanita pakaian merah itu.
Tiga orang kakek yang lain hanya tersenyum mengejek dan wanita itu mulai merah kedua pipinya yang putih sehingga menyaingi pakaiannya. Sepasang matanya yang lebar itu terbuka makin lebar dan sinar matanya menyambar penuh selidik ke arah Bu-tek Siu-lam, kemudian terdengar suaranya yang nyaring.
“Kalau saya tidak keliru sangka, Lo-cianpwe ini tentulah yang berjuluk Bu-tek Siu-lam, bukan? Terimalah hormat saya Po Leng In mewakili guru saya Siang-mou Sin-ni!”
Sambil berkata demikian ia melangkah maju dan kembali mengangkat kedua tangan ke depan dada.
Bu-tek Siu-lam yang memang memandang rendah semua orang tertawa mengejek lalu berkata,
“Ah, kiranya murid Siang-mou Sin-ni. Aku mendengar bahwa Siang-mou Sin-ni orangnya cantik jelita dan rambutnya harum, suka bersahabat dengan laki-laki tampan. Nah, cocok mempunyai murid seperti engkau. Siapa namamu tadi? Po Leng In? Nama yang indah, seindah orangnya dan seperti juga Gurumu engkau tentu suka bersahabat dengan aku, bukan?” Berkata demikian, Bu-tek Siu-lam menggerakkan tangannya menyambar ke depan.
Wanita yang bernama Po Leng In itu terkejut sekali dan berusaha menghindar, namun ia kalah cepat dan tangan kirinya sudah tertangkap. Sejenak wanita itu menyambarkan sinar matanya ke arah muka Bu-tek Siu-lam yang hanya tertawa-tawa mengejek, bahkan kemudian Bu-tek Siu-lam membuka mulut bernyanyi dan.... suaranya adalah suara wanita atau suara yang sengaja dikecilkan seperti suara wanita!
“Wanita adalah bunga harum, alangkah sayang kalau tidak dicium! Wanita adalah intan gemilang, alangkah sayang kalau tidak ditimang!”
Baru saja berhenti suara nyanyiannya, mukanya sudah bergerak ke depan dan “ngokk” pipi kanan Po Leng In tahu-tahu sudah diciumnya sampai mengeluarkan suara keras.
Po Leng In adalah murid terkasih Siang-mou Sin-ni, murid nomor satu yang paling pandai diantara semua saudara seperguruannya. Karena itu dia memiliki ilmu kepandaian yang paling tinggi diantara murid-murid Siang-mou Sin-ni dan karena kepandaiannya ini, dimana-mana ia disegani dan ditakuti orang. Tak pernah ada orang laki-laki berani mengganggunya setelah banyak diantara mereka dia bunuh secara kejam dan ganas karena berani kurang ajar terhadap dirinya.
Sekarang ia mengalami perlakuan seperti ini dari Bu-tek Siu-lam, tentu saja seketika mukanya yang tadinya merah kini berubah pucat dan sepasang matanya seperti mengeluarkan cahaya berkilat.
“Lepas....!”
Jeritnya dengan suara melengking nyaring dan dari belakang punggungnya menyambar sinar hitam melalui atas kepalanya ke depan.
“Siuuuuttt.... plakkk!”
Itulah rambut hitam yang menyambar dan melecut, cepat dan tak terduga-duga datangnya, menyambar ke depan mengenai tangan Bu-tek Siu-lam yang memegang pergelangan tangan kirinya.
Bu-tek Siu-lam adalah seorang yang lihai dan tinggi ilmu silatnya. Akan tetapi karena ia tadi memandang rendah dan sama sekali tidak menduga akan diserang dengan lecutan rambut, ia tidak sempat menghindar dan kulit punggung tangan kanannya yang putih mulus dan memakai gelang emas itu terkena lecutan ujung rambut sehingga kelihatan jalur-jalur merah biru!
“Memang tak perlu ada Bengcu, lebih penting lagi mencari pengganti Thian-te Liok-kwi yang dulu menjagoi dunia. Apa salahnya kalau sekarang terdapat Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tanding)?”
Kam Sian Eng tidak suka akan sebutan Kwi atau Setan, maka ia sengaja memilih sebutan Sian (Dewa), yang selain lebih gagah dan baik, juga sama dengan namanya! Wanita ini di waktu mudanya dahulu sudah banyak melihat lawan yang amat tangguh, oleh karena itu setelah sekarang keluar dari tempat sembunyi, ia merasa lebih aman jika berkawan dengan empat orang yang berkepandaian tinggi, berwatak aneh dan cocok dengan wataknya sendiri ini. Empat orang ini tidak segan-segan membunuh orang, seenaknya saja, dan ini pun cocok dengan pendapatnya. Orang yang tidak menyenangkan hati, orang yang lemah, memang boleh saja dibunuh!
“Kalau begitu tidak bertanding?” Thai-lek Kauw-ong bertanya kecewa.
“Perlu apa bertanding kalau di antara kita bukan musuh?” tanya Kam Sian Eng.
Biarpun wanita ini mengalami gangguan jiwa dan wataknya sudah berubah karena kehancuran hati di waktu mudanya ditambah dengan latihan-latihan samadhi dan lweekang yang menyeleweng, namun ia tidak kehilangan kecerdikannya, bahkan menjadi makin cerdik. Sian Eng tahu bahwa bertanding menghadapi empat orang ini, biarpun ia tidak takut, namun bukan merupakan hal yang ringan dan tidak akan mudah mencapai kemenangan. Selain itu juga tidak ada gunanya.
“Huah-ha-ha-ha, betul sekali ucapan Sian-toanio. Cocok.... cocok!”
Kata Siauw-bin Lo-mo yang diam-diam merasa jerih terhadap Thai-lek Kauw-ong, apalagi setelah muncul wanita ini yang aneh dan memiliki kepandaian yang menggiriskan hati.
“Betul! Memang kita segolongan, perlu apa bertempur?”
Kata pula Pak-sin-ong yang cita-citanya memang ingin mencari teman-teman yang kuat untuk membantunya melanjutkan cita-cita merampas Kerajaan Khitan.
“Segolongan?” Sian Eng bertanya. “Golongan apa?”
“Hi-hik, sahabatku yang manis. Golongan apalagi? Tentu saja golongan kaum sesat, hi-hik!” kata, Bu-tek Siu-lam sambil mesam-mesem genit.
Sian Eng sudah banyak melihat orang aneh, akan tetapi melihat sikap genit laki-laki gagah dan tampan ini, ia menjadi muak dan geli. Ia juga tersenyum dari balik kerudungnya, senyum geli. Senyum ini oleh Thai-lek Kai-ong dikira senyum karena setuju disebut golongan sesat, maka kakek gundul yang kosen ini lalu menepuk-nepuk dadanya.
“Huh, memang benar! Banyak orang menyebut aku seorang sesat. Memang aku sesat! Biarlah mereka menyebutku begitu dan hendak kulihat, bagaimanakah macamnya orang yang tidak sesat?”
“Hemm, mau tahu orang yang tidak sesat? Di antaranya, yang paling menonjol namanya adalah Suling Emas! Dia menganggap jagoan nomor satu di dunia, memandang rendah golongan kita! Aku paling benci kepada Suling Emas dan mengharap bantuan kalian berempat untuk menandinginya karena memang ia memiliki ilmu kepandaian yang lihai sekali.”
Berkata demikian, Jin-cam Khoa-ong atau Pak-sin-ong mengepal kedua tinju dan mukanya membayangkan kebencian hebat. Mengapa Pak-sin-ong membenci Suling Emas? Bukan lain karena Pak-sin-ong masih saudara sepupu Hek-giam-lo seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang menjadi musuh besar Suling Emas. Bahkan beberapa kali Hek-giam-lo dikalahkan Suling Emas sehingga terjadi permusuhan antara kedua tokoh ini (baca cerita CINTA BERNODA DARAH). Selain menaruh dendam karena saudara sepupunya ini, juga pasukan Pak-sin-ong pernah dipukul mundur ketika pasukan ini menyerang Khitan dan pada waktu itu Suling Emas masih berada di Khitan.
Sejenak wajah cantik di balik kerudung itu menjadi merah, sepasang mata yang aneh itu mengeluarkan sinar berapi. Akan tetapi hanya sebentar. Tadinya Sian Eng marah mendengar orang bertopi itu memusuhi Suling Emas. Suling Emas adalah Kam Bu Song, kakak tirinya. Akan tetapi ia sudah tidak merasai lagi cinta kasih antara saudara, apalagi karena semenjak kecil memang tak pernah bertemu dengan kakak tirinya itu (baca cerita CINTA BERNODA DARAH). Maka ia hanya tersenyum dingin dan diam-diam di dalam hatinya ia menertawai Pak-sin-ong karena mana mungkin orang ini dapat melawan kakak tirinya itu!
“Huah-ha-ha-ha, memang sekeluarga itu orang-orang sombong, menganggap diri sendiri bersih dan orang lain kotor! Suling Emas disebut sebagai pendekar sakti, padahal ibunya adalah Tok-siauw-kwi yang jahatnya melebihi Thian-te Liok-kwi! Dari manakah datangnya Tok-siauw-kwi? Bukan lain dia adalah seorang gadis puteri pendiri Beng-kauw di selatan. Perkumpulan Agama Beng-kauw juga merupakan perkumpulan yang menamakan dirinya kaum putih atau kaum lurus, lawan kaum sesat. Aku menghormat mendiang Tok-siauw-kwi yang tidak suka berpura-pura seperti tokoh-tokoh Beng-kauw! Kuharap kalian berempat suka membantuku kelak mengobrak-abrik Beng-kauw yang sombong!” kata Siauw-bin Lo-mo yang mendendam sakit hati terhadap Beng-kauw.
“Hemm, aku setuju membantumu, Siauw-bin Lo-mo. Aku pun benci kepada Beng-kauw,” kata Sian Eng.
Dia pernah mendengar dahulu betapa antara Beng-kauw dan Tok-siauw-kwi terdapat hal-hal yang bertentangan sehingga hidup iblis betina itu menjadi sengsara (baca cerita SULING EMAS). Karena ia mendapatkan ilmu-ilmunya dari kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kwi, maka ia mengganggap iblis betina itu sebagai gurunya dan ia pun merasa tidak suka kepada Beng-kauw, sungguhpun kakak kandungnya Kam Bu Sin, menjadi mantu ketua Beng-kauw! Memang pikiran Sian Eng sudah menjadi aneh sekali dan pertimbangannya sudah kacau balau. Ia hanya menurutkan perasaannya saja tanpa memperdulikan hal-hal lain lagi.
“Hemm, kalau semua setuju dengan pendapat Sian–toanio, biarlah kita tidak saling bertanding. Untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih berjasa dan lebih unggul, mari dalam setahun sejak saat ini kita berlumba, berbanyak-banyak membasmi orang-orang yang memusuhi golongan kita. Setahun kemudian kita berkumpul lagi disini dan dia yang paling banyak membasmi orang-orang yang memusuhi kita, dialah yang berhak menjadi tokoh pertama!” Thai-lek Kauw-ong berkata.
Tiga orang kakek yang lain mengangguk-angguk, dan biarpun Sian-Eng tidak ikut mengangguk, ia sudah menjawab cepat-cepat.
“Baiklah, dan sekarang aku pergi lebih dulu!”
Baru saja habis kata-katanya, tubuhnya sudah berkelebat dan lenyap dari situ dengan cepat sekali. Empat orang kakek itu tidak mencegah, hanya memandang sampai bayangan Sian Eng lenyap dari pandang mata mereka. Sunyi sejenak, kemudian terdengar suara Bu-tek Siu-lam.
“Hi-hik, aku tak begitu percaya kepada perempuan itu. Pandang mata dan sikapnya menunjukkan bahwa dia bukan seorang yang waras otaknya. Akan tetapi dia cantik, dan bentuk tubuhnya.... hemm....!” ia terkekeh genit.
“Ilmu kepandaiannya lumayan,”
Kata Siauw-bin Lo-mo yang dalam hatinya suka kepada Sian Eng karena wanita itu tadi menyatakan sanggup membantunya menghadapi Beng-kauw. Mendapat seorang pembantu seperti wanita aneh itu sungguh amat menyenangkan dan berharga.
“Biarpun tidak ada Bengcu, namun kita berempat, berlima dengan Sian-toanio tadi, sudah berjanji untuk saling bantu. Karena itu, kuharap saja kelak apabila aku membutuhkan bantuan, Samwi (Tuan Bertiga) tidak akan segan-segan untuk turun tangan membantuku, termasuk golongan yang mendukung Sam-wi,” kata Pak-sin-ong. “Tentu saja Sam-wi dapat mengandalkan aku dan pasukan-pasukanku di utara apabila Sam-wi sewaktu-waktu perlu bantuan.”
Berbeda dengan yang lain-lain, Pak-sin-ong ini memiliki cita-cita yang lebih besar, yaitu merampas kerajaan, oleh karena itu tentu saja yang penting baginya adalah kuatnya pasukan untuk melaksanakan cita-citanya menggempur Kerajaan Khitan. Urusan pribadi baginya adalah urusan kecil.
Pada saat itu, tiba-tiba empat orang sakti ini berdiam dan mengerling ke arah selatan karena pendengaran mereka yang tajam dapat menangkap langkah kaki yang halus dari arah ini. Tak lama kemudian, muncullah seorang wanita yang usianya kira-kira dua puluh tujuh sampai tiga puluh tahun.
Wanita ini memakai pakaian serba merah dari sutera tipis sehingga membayangkan bentuk tubuhnya yang menggairahkan dan wajahnya berbentuk lonjong manis. Apalagi sepasang matanya amat indah bentuknya lebar dan sinarnya penuh semangat. Sayang bahwa wajah yang manis ini membayangkan kekerasan hati dan tak pernah tersenyum.
Yang amat menarik perhatian adalah rambutnya, rambut yang amat hitam mengkilap dan panjang tebal dibiarkan terurai begitu saja di belakang punggungnya sampai ke pinggulnya yang besar. Sebatang pedang tampak tersembul gagangnya dari balik rambut di punggung. Wanita itu lebih kelihatan agung dan gagah daripada cantik, sungguhpun kemanisan wajahnya tidak akan dilewatkan begitu saja oleh setiap orang laki-laki.
“Maaf, saya mewakili Guruku untuk menghadiri pertemuan di hari ini dan belajar kenal dengan Bengcu baru!”
Kata wanita itu sambil berdiri tegak dan mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai tanda penghormatan.
“Hi-hik, kalau Gurumu secantik engkau, mengapa tidak kau ajak sekalian datang ke sini, manis?”
Kata Bu-tek Siu-lam sambil tertawa dan pandang matanya seperti hendak menelan wanita pakaian merah itu.
Tiga orang kakek yang lain hanya tersenyum mengejek dan wanita itu mulai merah kedua pipinya yang putih sehingga menyaingi pakaiannya. Sepasang matanya yang lebar itu terbuka makin lebar dan sinar matanya menyambar penuh selidik ke arah Bu-tek Siu-lam, kemudian terdengar suaranya yang nyaring.
“Kalau saya tidak keliru sangka, Lo-cianpwe ini tentulah yang berjuluk Bu-tek Siu-lam, bukan? Terimalah hormat saya Po Leng In mewakili guru saya Siang-mou Sin-ni!”
Sambil berkata demikian ia melangkah maju dan kembali mengangkat kedua tangan ke depan dada.
Bu-tek Siu-lam yang memang memandang rendah semua orang tertawa mengejek lalu berkata,
“Ah, kiranya murid Siang-mou Sin-ni. Aku mendengar bahwa Siang-mou Sin-ni orangnya cantik jelita dan rambutnya harum, suka bersahabat dengan laki-laki tampan. Nah, cocok mempunyai murid seperti engkau. Siapa namamu tadi? Po Leng In? Nama yang indah, seindah orangnya dan seperti juga Gurumu engkau tentu suka bersahabat dengan aku, bukan?” Berkata demikian, Bu-tek Siu-lam menggerakkan tangannya menyambar ke depan.
Wanita yang bernama Po Leng In itu terkejut sekali dan berusaha menghindar, namun ia kalah cepat dan tangan kirinya sudah tertangkap. Sejenak wanita itu menyambarkan sinar matanya ke arah muka Bu-tek Siu-lam yang hanya tertawa-tawa mengejek, bahkan kemudian Bu-tek Siu-lam membuka mulut bernyanyi dan.... suaranya adalah suara wanita atau suara yang sengaja dikecilkan seperti suara wanita!
“Wanita adalah bunga harum, alangkah sayang kalau tidak dicium! Wanita adalah intan gemilang, alangkah sayang kalau tidak ditimang!”
Baru saja berhenti suara nyanyiannya, mukanya sudah bergerak ke depan dan “ngokk” pipi kanan Po Leng In tahu-tahu sudah diciumnya sampai mengeluarkan suara keras.
Po Leng In adalah murid terkasih Siang-mou Sin-ni, murid nomor satu yang paling pandai diantara semua saudara seperguruannya. Karena itu dia memiliki ilmu kepandaian yang paling tinggi diantara murid-murid Siang-mou Sin-ni dan karena kepandaiannya ini, dimana-mana ia disegani dan ditakuti orang. Tak pernah ada orang laki-laki berani mengganggunya setelah banyak diantara mereka dia bunuh secara kejam dan ganas karena berani kurang ajar terhadap dirinya.
Sekarang ia mengalami perlakuan seperti ini dari Bu-tek Siu-lam, tentu saja seketika mukanya yang tadinya merah kini berubah pucat dan sepasang matanya seperti mengeluarkan cahaya berkilat.
“Lepas....!”
Jeritnya dengan suara melengking nyaring dan dari belakang punggungnya menyambar sinar hitam melalui atas kepalanya ke depan.
“Siuuuuttt.... plakkk!”
Itulah rambut hitam yang menyambar dan melecut, cepat dan tak terduga-duga datangnya, menyambar ke depan mengenai tangan Bu-tek Siu-lam yang memegang pergelangan tangan kirinya.
Bu-tek Siu-lam adalah seorang yang lihai dan tinggi ilmu silatnya. Akan tetapi karena ia tadi memandang rendah dan sama sekali tidak menduga akan diserang dengan lecutan rambut, ia tidak sempat menghindar dan kulit punggung tangan kanannya yang putih mulus dan memakai gelang emas itu terkena lecutan ujung rambut sehingga kelihatan jalur-jalur merah biru!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar