Kalau saja ia tidak cepat-cepat mengerahkan kekuatan ke punggung tangannya, tentu kulit punggung tangan itu sudah mengeluarkan darah karena luka. Ia berseru kaget dan menarik tangannya sambil melangkah mundur setindak, kesempatan ini dipergunakan Po Leng In untuk menarik kembali tangan kirinya yang tadi terpegang.
Po Leng In kini sudah menggerakkan kepalanya sehingga rambut panjang yang tadinya tergantung di belakang punggung, kini pecah menjadi dua gumpalan dan tergantung di depan, melengkung pada dadanya, dan begitu tangan kanan bergerak, ia sudah memegang sebatang pedang yang kecil panjang dan amat tajam sehingga mengeluarkan sinar berkilauan.
Sikapnya galak, matanya penuh kemarahan, dan biarpun ia maklum bahwa lawannya adalah seorang cianpwe yang ilmunya amat tinggi, namun sinar mata wanita ini menyatakan bahwa ia akan melawan dengan nekat.
Bu-tek Siu-lam hanya terenyum, matanya bersinar-sinar dan ia berkata,
“Hi-hi-hik! Kau berani melawan aku? Hi-hik, murid Siang-mo Sin-ni cantik manis dan berhati baja! Hendak kulihat apakah benar-benar hatimu terbuat daripada baja!”
Tiga orang kakek yang lain hanya menonton tidak mau mencampuri urusan ini. Selain mengingat bahwa baru saja mereka mengaku telah “bersaudara” atau bersahabat dengan Bu-tek Siu-lam, juga mereka bertiga tidak peduli akan Siang-mouw Sin-ni yang menjadi seorang diantara Thian-te Liok-kwi yang sudah “jatuh” itu.
Kini yang menguasai dunia kaum sesat adalah Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tak Terlawan), bukan lagi Thian-te Liok-kwi (Enam Iblis Bumi Langit)! Di samping itu, mereka bertiga bukanlah orang-orang yang berwatak lemah dan perasa sehingga melihat kejadian yang bagi orang lain mengerikan, menyeramkan, jahat atau tidak adil, bagi mereka ini adalah biasa saja!
Kalau Bu-tek Siu-lam suka kepada perempuan dan bisa mendapatkannya, biarlah ia mendapatkannya dan memperlakukannya sesuka hati, apalagi perempuan itu tiada sangkut pautnya dengan mereka bertiga! Bahkan Pak-sin-ong sudah mencibirkan bibirnya dan meninggalkan tempat itu, turun dari puncak diikuti oleh pasukannya yang terdiri dari orang-orang Khitan dan Mongol. Juga Siauw-bin Lo-mo yang tidak suka lagi bermain perempuan, menjadi jemu dan meninggalkan puncak untuk kembali kesini setahun kemudian seperti yang telah mereka janjikan.
Thai-lek Kauw-ong seorang yang masih berada disitu, malah kini raksasa gundul ini duduk di atas batu hitam menonton sambil menyeringai lebar. Dia seorang perantau yang tidak mempunyai pengikut, tentu saja ia seenaknya dan tidak tergesa-gesa. Apalagi, ia pun sudah mendengar akan nama besar Siang-mou Sin-ni sehingga ia ingin menyaksikan sampai dimana kelihaian murid iblis betina itu.
Adapun para pengemis yang menjadi pengikut Bu-tek Siu-lam, masih belum hilang kagetnya karena beberapa orang teman mereka tadi tewas menjadi korban sambaran daun-daun secara mengerikan sehingga mereka masih menggerombol di belakang pohon besar, tidak berani lagi sembrono memperlihatkan diri, hanya menanti sampai datuk mereka muncul.
Po Leng In adalah seorang murid terkasih Siang-mou Sin-ni, selain lihai juga sudah banyak pengalaman. Selagi “orang muda”, ia bersikap tahu diri dan tidak mau turun tangan lebih dulu melakukan penyerangan. Ejekan Bu-tek Siu-lam tadi dijawabnya dengan singkat dan tenang,
“Saya yang muda tidak berani terhadap Cianpwe, akan tetapi sebagai wakil Guru, perbuatan Cianpwe terhadap saya seperti terhadap Guru dan saya harus membela kehormatan Guru saya.”
Sebagai murid Siang-mou Sin-ni yang cabul dan genit, tentu saja Po Leng In sedikit banyak mewarisi watak gurunya dan dia bukanlah seorang gadis baik-baik yang menjunjung tinggi serta menghargai kesusilaan. Tidak, Po Leng In yang manis ini sudah banyak mengalami hubungan dengan pria, akan tetapi tentu saja ia selalu memilih pria tampan dan menyenangkan hatinya. Bu-tek Siu-lam memang tampan dan gagah, akan tetapi sikapnya yang genit dan banci itu menjijikkan hati Po Leng In.
Tiba-tiba wajah Bu-tek Siu-lam yang tadinya tertawa-tawa itu berubah beringas, matanya seperti mata harimau marah, lebih lagi, seperti mata iblis, kulit mukanya yang kini menjadi menyeramkan itu berubah dan suaranya penuh wibawa ketika ia memberi perintah.
“Buka bajumu!”
Muka Po Leng In menjadi pucat sekali, matanya terbelalak memandang sejenak ia tak bergerak seperti berubah menjadi arca, kemudian ia dapat memaksakan lehernya bergerak, kepalanya menggeleng. Mereka berdiri berhadapan, beradu pandang dan makin lama Po Leng In menjadi makin pucat.
“Buka! Buka bajumu!”
Po Leng In menggeleng kepala keras-keras tanpa dapat mengeluarkan suara. Ketakutan mencekik lehernya.
“Hemm.... hemm....!”
Terdengar suara Thai-lek Kauw-ong yang agaknya merasa tertarik dengan permainan kawannya ini. Ini adalah permainan yang baru, belum pernah dilihatnya. Matanya terbuka lebar-lebar memandang dan hatinya bertanya-tanya maukah wanita itu melakukan perintah Bu-tek Siu-lam atau tidak.
“Perempuan muda, dengar baik-baik. Sebetulnya sudah sejak tadi kau menggeletak tanpa nyawa dengan rongga dada kehilangan hati kalau saja aku tidak tertarik melihat matamu yang indah. Hayo buka bajumu agar kulihat. Kalau tubuhmu seindah matamu, aku suka mengampunimu dan membiarkan hatimu tetap di dalam dada”.
Mungkin karena Bu-tek Siu-lam sudah mulai bicara dan tertawa lagi, berkurang rasa takut di hati Po Leng In, bahkan timbul lagi kemarahan dan kenekatannya.
“Bu-tek Siu-lam engkau terlalu menghina orang! Biarlah aku mewakili Guruku memberi hajaran kepadamu!”
Kata-kata itu tertutup dengan gerakan pedang. Cepat sekali gerakan pedangnya, sehingga tak tampak bentuk pedangnya, berubah menjadi sinar kehijauan yang meluncur cepat menuju ke leher Bu-tek Siu-lam, dibarengi hawa dingin. Itulah tanda bahwa pedang itu tajam luar biasa dan digerakkan oleh tenaga sinkang yang tak boleh dipandang ringan!
Bu-tek Siu-lam cukup ahli untuk mengenal serangan berbahaya. Ia mengeluarkan suara terkekeh mengejek sambil menggeser langkah menarik tubuh atas mengelak. Akan tetapi sebelum ia sempat turun tangan membalas, tangan kiri Po Leng In yang kecil sudah menyambar dari bawah. Tentu saja gerakan ini amat cepat karena memang merupakan kelanjutan daripada jurus serangan pertama tadi.
Kini tangan kiri itu dengan jari-jari terbuka mencengkeram ke arah bawah pusar. Sebuah serangan yang keji, dahsyat dan jika berhasil mendatangkan maut! Memang hebat dan keji jurus ini karena jurus ini adalah ciptaan Tok-siauw-kwi Si Iblis Betina dan yang diajarkan kepada Siang-mou Sin-ni. Siang-mou Sin-ni dahulu memang pernah bersahabat dengan Tok-siuw-kwi dan menerima pelajaran beberapa macam ilmu silat tinggi, di antaranya adalah penggunaan rambut panjang sebagai senjata.
Akibat serangan tangan kiri yang berjari kecil halus itu mengagetkan kedua pihak. Bu-tek Siu-lam terkejut akan tetapi celana di bawah pusar sudah kena dicengkeram dan Po Leng In terkejut karena keadaan lawannya itu tidak seperti laki-laki biasa! Kalau lawannya seorang laki-laki biasa, tentu saat itu sudah tewas oleh cengkeramannya.
Bu-tek Siu-lam kaget dan marah, akan tetapi ia terkekeh dan tahu-tahu tangannya sudah menerkam ke arah leher Po Leng In. Hebat terkaman ini. Po Leng In cepat menarik tangan kirinya yang mencengkeram celana kosong itu, merendahkan tubuh dan menggerakkan kepalanya sehingga dua gumpalan rambut panjang menyambar dari kanan kiri dadanya, gumpalan rambut kiri menotok jalan darah di iga kanan lawan sedangkan gumpalan rambut kanan menyambar ke arah muka Bu-tek Siu-lam!
“Hemm, boleh juga murid Siang-mou Sin-ni!” terdengar Thai-lek Kauw-ong berseru memuji.
Pujian itu memanaskan perut Bu-tek Siu-lam. Dan memang ia sendiri pun sudah marah dan penasaran. Kalau ia sebagai seorang diantara lima “dewa” yang menggantikan kedudukan enam “iblis” kini tak dapat cepat mengalahkan murid dari seorang diantara enam iblis, kemana ia harus menaruh mukanya?
Kini melihat serangan dua gumpalan rambut disusul dengan sinar hijau pedang lawan membabat kaki, ia mengeluarkan suara ketawa, membiarkan gumpalan rambut kiri menotok iganya yang sudah ia “tutup” jalan darahnya, kemudian secepat elang menyambar kelenci, ia sudah menangkap gumpalan rambut yang menyambar ke arah mukanya lalu mengangkat tangan kiri yang menangkap rambut itu tinggi-tinggi di atas kepalanya. Karena iblis banci ini memang bertubuh tinggi sekali dan Po Leng In hanya setinggi pundaknya, tentu saja Po Leng In terangkat ke atas!
Po Leng In kaget dan mengenali bahaya. Sambil berseru “lepaskan” kedua kakinya bergantian menendang, namun didahului jari tangan kanan Bu-tek Siu-lam yang menyambar pinggang menggencet jalan darah pusat sehingga seluruh tubuh wanita itu seketika menjadi lemas! Dengan amat mudah pedangnya yang tajam itu kini sudah pindah ke tangan Bu-tek Siu-lam.
“Hi-hi-hi-hik! Kau lihat, Kauw-ong! Apakah murid Siang-mou Sin-ni ini amat hebat?”
“Hemm, tak ada gunanya!” Thai-kek Kauw-ong menjawab sebal.
“Hi-hik, siapa bilang tidak ada gunanya? Rambutnya harum sekali!” Bu-tek Siu-lam mencium rambut yang panjang itu, menyedot-nyedot dengan lagak genit. “Dan kita lihat apakah jantungnya terbuat daripada baja!”
Pedang ditangan kanannya bergerak dan “brett!” pedang itu berubah menjadi sinar hijau yang mengitari tubuh atas Po Leng In dan di lain saat baju atas wanita itu sudah robek-robek dan berjatuhan ke bawah, membuat tubuh bagian atas sebatas pinggang tidak berpakaian lagi!
Diam-diam Thai-lek Kauw-ong yang menonton permainan ini memuji. Hebat juga Si Banci ini. Menggerakkan pedang sedemikian cepat sehingga merobek semua baju luar dan dalam tanpa sedikit pun menggores kulit orang!
Po Leng In sudah tertotok lemas, akan tetapi ia masih sadar dan tahu bencana hebat yang menimpa dirinya. Sebagai seorang murid kepala Siang-mou Sin-ni yang biasa mempermainkan pria sesuka hatinya, kali ini ia dipermainkan orang, mengalami penghinaan seperti itu, tentu saja hebat penderitaan ini. Mukanya menjadi merah sampai terus ke leher dan dadanya yang tidak tertutup apa-apa, matanya memandang penuh kebencian dan sama sekali tidak membayangkan rasa takut. Hal ini membikin Bu-tek Siu-lam marah sekali.
Biasanya kalau iblis ini mempermainkan orang dan sebelum membunuhnya, ia senang sekali melihat orang itu menggeliat-geliat ketakutan atau karena nyeri. Itulah sebabnya ketika tadi membunuh orang menggunakan guntingnya, ia tidak segera menggunting leher, melainkan menggunting kaki tangan.
Iblis ini memang seorang yang kejam sekali dan hatinya senang kalau melihat orang lain menderita. Kalau melihat betapa Po Leng In sama sekali tidak takut dan bahkan memandangnya penuh kemarahan dan kebencian, tentu saja ia menjadi marah dan merasa terhina!
“Hendak kulihat sampai dimana ketabahanmu!”
Gumamnya dan sekali pedangnya bergerak, ia telah membabat putus rambut yang panjang itu!
Po Leng In adalah seorang wanita yang seperti gurunya, amat menyayang rambut panjangnya, maka tanpa disadarinya ia menjerit ketika rambutnya terpotong dan tubuhnya terbanting ke atas tanah dalam keadaan telentang!
“Hi-hik! Kauw-ong, mari kita lihat bagaimana macam hati perempuan ini!”
Sambil berkata demikian, Bu-tek Siu-lam berjongkok dan mendekatkan ujung pedang ke dada kiri Po Leng In yang berkulit halus putih. Alangkah marahnya tokoh banci ini ketika melihat jeritan tadi hanya dilakukan karena tak sadar, buktinya kini wanita itu masih memandangnya penuh kebencian dan sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut biarpun ujung pedang sudah menempel di kulit dada!
“Hi-hi-hik, akan kuiris perlahan-lahan, kukupas dulu kulit luarnya, baru dagingnya dan kubuat lubang yang cukup untuk tanganku merogoh dan mencabut jantungnya!”
Kembali Thai-lek Kauw-ong kagum. Teman barunya itu benar-benar hebat, mempunyai perasaan dan hati yang dingin membeku sehingga dapat melakukan kekejaman yang tiada batasnya. Hal ini membuktikan bahwa Bu-tek Siu-lam sudah melakukan latihan yang amat tinggi dalam menguasai hati dan perasaannya.
Pada saat maut sudah siap mencabut nyawa Po Leng In, tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring.
“Mahluk keji tak berjantung! Kau ini terang bukan manusia karena tidak mempunyai perikemanusiaan yang akan mencegah manusia berbuat serendah itu. Juga bukan binatang karena tidak mempunyai peri kebinatangan yang membuat binatang hanya membunuh untuk dimakan. Kau ini tentu iblis! Iblis pengecut yang hanya berani menghina seorang lawan yang lemah dan tak mampu melawan. Ih, Si Muka Tebal tak tahu malu! Lebih baik mampus saja daripada hidup tidak tahu malu!”
Po Leng In kini sudah menggerakkan kepalanya sehingga rambut panjang yang tadinya tergantung di belakang punggung, kini pecah menjadi dua gumpalan dan tergantung di depan, melengkung pada dadanya, dan begitu tangan kanan bergerak, ia sudah memegang sebatang pedang yang kecil panjang dan amat tajam sehingga mengeluarkan sinar berkilauan.
Sikapnya galak, matanya penuh kemarahan, dan biarpun ia maklum bahwa lawannya adalah seorang cianpwe yang ilmunya amat tinggi, namun sinar mata wanita ini menyatakan bahwa ia akan melawan dengan nekat.
Bu-tek Siu-lam hanya terenyum, matanya bersinar-sinar dan ia berkata,
“Hi-hi-hik! Kau berani melawan aku? Hi-hik, murid Siang-mo Sin-ni cantik manis dan berhati baja! Hendak kulihat apakah benar-benar hatimu terbuat daripada baja!”
Tiga orang kakek yang lain hanya menonton tidak mau mencampuri urusan ini. Selain mengingat bahwa baru saja mereka mengaku telah “bersaudara” atau bersahabat dengan Bu-tek Siu-lam, juga mereka bertiga tidak peduli akan Siang-mouw Sin-ni yang menjadi seorang diantara Thian-te Liok-kwi yang sudah “jatuh” itu.
Kini yang menguasai dunia kaum sesat adalah Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tak Terlawan), bukan lagi Thian-te Liok-kwi (Enam Iblis Bumi Langit)! Di samping itu, mereka bertiga bukanlah orang-orang yang berwatak lemah dan perasa sehingga melihat kejadian yang bagi orang lain mengerikan, menyeramkan, jahat atau tidak adil, bagi mereka ini adalah biasa saja!
Kalau Bu-tek Siu-lam suka kepada perempuan dan bisa mendapatkannya, biarlah ia mendapatkannya dan memperlakukannya sesuka hati, apalagi perempuan itu tiada sangkut pautnya dengan mereka bertiga! Bahkan Pak-sin-ong sudah mencibirkan bibirnya dan meninggalkan tempat itu, turun dari puncak diikuti oleh pasukannya yang terdiri dari orang-orang Khitan dan Mongol. Juga Siauw-bin Lo-mo yang tidak suka lagi bermain perempuan, menjadi jemu dan meninggalkan puncak untuk kembali kesini setahun kemudian seperti yang telah mereka janjikan.
Thai-lek Kauw-ong seorang yang masih berada disitu, malah kini raksasa gundul ini duduk di atas batu hitam menonton sambil menyeringai lebar. Dia seorang perantau yang tidak mempunyai pengikut, tentu saja ia seenaknya dan tidak tergesa-gesa. Apalagi, ia pun sudah mendengar akan nama besar Siang-mou Sin-ni sehingga ia ingin menyaksikan sampai dimana kelihaian murid iblis betina itu.
Adapun para pengemis yang menjadi pengikut Bu-tek Siu-lam, masih belum hilang kagetnya karena beberapa orang teman mereka tadi tewas menjadi korban sambaran daun-daun secara mengerikan sehingga mereka masih menggerombol di belakang pohon besar, tidak berani lagi sembrono memperlihatkan diri, hanya menanti sampai datuk mereka muncul.
Po Leng In adalah seorang murid terkasih Siang-mou Sin-ni, selain lihai juga sudah banyak pengalaman. Selagi “orang muda”, ia bersikap tahu diri dan tidak mau turun tangan lebih dulu melakukan penyerangan. Ejekan Bu-tek Siu-lam tadi dijawabnya dengan singkat dan tenang,
“Saya yang muda tidak berani terhadap Cianpwe, akan tetapi sebagai wakil Guru, perbuatan Cianpwe terhadap saya seperti terhadap Guru dan saya harus membela kehormatan Guru saya.”
Sebagai murid Siang-mou Sin-ni yang cabul dan genit, tentu saja Po Leng In sedikit banyak mewarisi watak gurunya dan dia bukanlah seorang gadis baik-baik yang menjunjung tinggi serta menghargai kesusilaan. Tidak, Po Leng In yang manis ini sudah banyak mengalami hubungan dengan pria, akan tetapi tentu saja ia selalu memilih pria tampan dan menyenangkan hatinya. Bu-tek Siu-lam memang tampan dan gagah, akan tetapi sikapnya yang genit dan banci itu menjijikkan hati Po Leng In.
Tiba-tiba wajah Bu-tek Siu-lam yang tadinya tertawa-tawa itu berubah beringas, matanya seperti mata harimau marah, lebih lagi, seperti mata iblis, kulit mukanya yang kini menjadi menyeramkan itu berubah dan suaranya penuh wibawa ketika ia memberi perintah.
“Buka bajumu!”
Muka Po Leng In menjadi pucat sekali, matanya terbelalak memandang sejenak ia tak bergerak seperti berubah menjadi arca, kemudian ia dapat memaksakan lehernya bergerak, kepalanya menggeleng. Mereka berdiri berhadapan, beradu pandang dan makin lama Po Leng In menjadi makin pucat.
“Buka! Buka bajumu!”
Po Leng In menggeleng kepala keras-keras tanpa dapat mengeluarkan suara. Ketakutan mencekik lehernya.
“Hemm.... hemm....!”
Terdengar suara Thai-lek Kauw-ong yang agaknya merasa tertarik dengan permainan kawannya ini. Ini adalah permainan yang baru, belum pernah dilihatnya. Matanya terbuka lebar-lebar memandang dan hatinya bertanya-tanya maukah wanita itu melakukan perintah Bu-tek Siu-lam atau tidak.
“Perempuan muda, dengar baik-baik. Sebetulnya sudah sejak tadi kau menggeletak tanpa nyawa dengan rongga dada kehilangan hati kalau saja aku tidak tertarik melihat matamu yang indah. Hayo buka bajumu agar kulihat. Kalau tubuhmu seindah matamu, aku suka mengampunimu dan membiarkan hatimu tetap di dalam dada”.
Mungkin karena Bu-tek Siu-lam sudah mulai bicara dan tertawa lagi, berkurang rasa takut di hati Po Leng In, bahkan timbul lagi kemarahan dan kenekatannya.
“Bu-tek Siu-lam engkau terlalu menghina orang! Biarlah aku mewakili Guruku memberi hajaran kepadamu!”
Kata-kata itu tertutup dengan gerakan pedang. Cepat sekali gerakan pedangnya, sehingga tak tampak bentuk pedangnya, berubah menjadi sinar kehijauan yang meluncur cepat menuju ke leher Bu-tek Siu-lam, dibarengi hawa dingin. Itulah tanda bahwa pedang itu tajam luar biasa dan digerakkan oleh tenaga sinkang yang tak boleh dipandang ringan!
Bu-tek Siu-lam cukup ahli untuk mengenal serangan berbahaya. Ia mengeluarkan suara terkekeh mengejek sambil menggeser langkah menarik tubuh atas mengelak. Akan tetapi sebelum ia sempat turun tangan membalas, tangan kiri Po Leng In yang kecil sudah menyambar dari bawah. Tentu saja gerakan ini amat cepat karena memang merupakan kelanjutan daripada jurus serangan pertama tadi.
Kini tangan kiri itu dengan jari-jari terbuka mencengkeram ke arah bawah pusar. Sebuah serangan yang keji, dahsyat dan jika berhasil mendatangkan maut! Memang hebat dan keji jurus ini karena jurus ini adalah ciptaan Tok-siauw-kwi Si Iblis Betina dan yang diajarkan kepada Siang-mou Sin-ni. Siang-mou Sin-ni dahulu memang pernah bersahabat dengan Tok-siuw-kwi dan menerima pelajaran beberapa macam ilmu silat tinggi, di antaranya adalah penggunaan rambut panjang sebagai senjata.
Akibat serangan tangan kiri yang berjari kecil halus itu mengagetkan kedua pihak. Bu-tek Siu-lam terkejut akan tetapi celana di bawah pusar sudah kena dicengkeram dan Po Leng In terkejut karena keadaan lawannya itu tidak seperti laki-laki biasa! Kalau lawannya seorang laki-laki biasa, tentu saat itu sudah tewas oleh cengkeramannya.
Bu-tek Siu-lam kaget dan marah, akan tetapi ia terkekeh dan tahu-tahu tangannya sudah menerkam ke arah leher Po Leng In. Hebat terkaman ini. Po Leng In cepat menarik tangan kirinya yang mencengkeram celana kosong itu, merendahkan tubuh dan menggerakkan kepalanya sehingga dua gumpalan rambut panjang menyambar dari kanan kiri dadanya, gumpalan rambut kiri menotok jalan darah di iga kanan lawan sedangkan gumpalan rambut kanan menyambar ke arah muka Bu-tek Siu-lam!
“Hemm, boleh juga murid Siang-mou Sin-ni!” terdengar Thai-lek Kauw-ong berseru memuji.
Pujian itu memanaskan perut Bu-tek Siu-lam. Dan memang ia sendiri pun sudah marah dan penasaran. Kalau ia sebagai seorang diantara lima “dewa” yang menggantikan kedudukan enam “iblis” kini tak dapat cepat mengalahkan murid dari seorang diantara enam iblis, kemana ia harus menaruh mukanya?
Kini melihat serangan dua gumpalan rambut disusul dengan sinar hijau pedang lawan membabat kaki, ia mengeluarkan suara ketawa, membiarkan gumpalan rambut kiri menotok iganya yang sudah ia “tutup” jalan darahnya, kemudian secepat elang menyambar kelenci, ia sudah menangkap gumpalan rambut yang menyambar ke arah mukanya lalu mengangkat tangan kiri yang menangkap rambut itu tinggi-tinggi di atas kepalanya. Karena iblis banci ini memang bertubuh tinggi sekali dan Po Leng In hanya setinggi pundaknya, tentu saja Po Leng In terangkat ke atas!
Po Leng In kaget dan mengenali bahaya. Sambil berseru “lepaskan” kedua kakinya bergantian menendang, namun didahului jari tangan kanan Bu-tek Siu-lam yang menyambar pinggang menggencet jalan darah pusat sehingga seluruh tubuh wanita itu seketika menjadi lemas! Dengan amat mudah pedangnya yang tajam itu kini sudah pindah ke tangan Bu-tek Siu-lam.
“Hi-hi-hi-hik! Kau lihat, Kauw-ong! Apakah murid Siang-mou Sin-ni ini amat hebat?”
“Hemm, tak ada gunanya!” Thai-kek Kauw-ong menjawab sebal.
“Hi-hik, siapa bilang tidak ada gunanya? Rambutnya harum sekali!” Bu-tek Siu-lam mencium rambut yang panjang itu, menyedot-nyedot dengan lagak genit. “Dan kita lihat apakah jantungnya terbuat daripada baja!”
Pedang ditangan kanannya bergerak dan “brett!” pedang itu berubah menjadi sinar hijau yang mengitari tubuh atas Po Leng In dan di lain saat baju atas wanita itu sudah robek-robek dan berjatuhan ke bawah, membuat tubuh bagian atas sebatas pinggang tidak berpakaian lagi!
Diam-diam Thai-lek Kauw-ong yang menonton permainan ini memuji. Hebat juga Si Banci ini. Menggerakkan pedang sedemikian cepat sehingga merobek semua baju luar dan dalam tanpa sedikit pun menggores kulit orang!
Po Leng In sudah tertotok lemas, akan tetapi ia masih sadar dan tahu bencana hebat yang menimpa dirinya. Sebagai seorang murid kepala Siang-mou Sin-ni yang biasa mempermainkan pria sesuka hatinya, kali ini ia dipermainkan orang, mengalami penghinaan seperti itu, tentu saja hebat penderitaan ini. Mukanya menjadi merah sampai terus ke leher dan dadanya yang tidak tertutup apa-apa, matanya memandang penuh kebencian dan sama sekali tidak membayangkan rasa takut. Hal ini membikin Bu-tek Siu-lam marah sekali.
Biasanya kalau iblis ini mempermainkan orang dan sebelum membunuhnya, ia senang sekali melihat orang itu menggeliat-geliat ketakutan atau karena nyeri. Itulah sebabnya ketika tadi membunuh orang menggunakan guntingnya, ia tidak segera menggunting leher, melainkan menggunting kaki tangan.
Iblis ini memang seorang yang kejam sekali dan hatinya senang kalau melihat orang lain menderita. Kalau melihat betapa Po Leng In sama sekali tidak takut dan bahkan memandangnya penuh kemarahan dan kebencian, tentu saja ia menjadi marah dan merasa terhina!
“Hendak kulihat sampai dimana ketabahanmu!”
Gumamnya dan sekali pedangnya bergerak, ia telah membabat putus rambut yang panjang itu!
Po Leng In adalah seorang wanita yang seperti gurunya, amat menyayang rambut panjangnya, maka tanpa disadarinya ia menjerit ketika rambutnya terpotong dan tubuhnya terbanting ke atas tanah dalam keadaan telentang!
“Hi-hik! Kauw-ong, mari kita lihat bagaimana macam hati perempuan ini!”
Sambil berkata demikian, Bu-tek Siu-lam berjongkok dan mendekatkan ujung pedang ke dada kiri Po Leng In yang berkulit halus putih. Alangkah marahnya tokoh banci ini ketika melihat jeritan tadi hanya dilakukan karena tak sadar, buktinya kini wanita itu masih memandangnya penuh kebencian dan sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut biarpun ujung pedang sudah menempel di kulit dada!
“Hi-hi-hik, akan kuiris perlahan-lahan, kukupas dulu kulit luarnya, baru dagingnya dan kubuat lubang yang cukup untuk tanganku merogoh dan mencabut jantungnya!”
Kembali Thai-lek Kauw-ong kagum. Teman barunya itu benar-benar hebat, mempunyai perasaan dan hati yang dingin membeku sehingga dapat melakukan kekejaman yang tiada batasnya. Hal ini membuktikan bahwa Bu-tek Siu-lam sudah melakukan latihan yang amat tinggi dalam menguasai hati dan perasaannya.
Pada saat maut sudah siap mencabut nyawa Po Leng In, tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring.
“Mahluk keji tak berjantung! Kau ini terang bukan manusia karena tidak mempunyai perikemanusiaan yang akan mencegah manusia berbuat serendah itu. Juga bukan binatang karena tidak mempunyai peri kebinatangan yang membuat binatang hanya membunuh untuk dimakan. Kau ini tentu iblis! Iblis pengecut yang hanya berani menghina seorang lawan yang lemah dan tak mampu melawan. Ih, Si Muka Tebal tak tahu malu! Lebih baik mampus saja daripada hidup tidak tahu malu!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar