Ads

Rabu, 25 September 2019

Mutiara Hitam Jilid 140

Bu-tek Lo-jin mengerutkan kening berpikir-pikir, kemudian setelah mengerti duduknya persoalan ia tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha, kalau begitu kau tipu mereka mentah-mentah!"

"Bukan menipu, Suhu, melainkan ini akal anak kecil. Hanya orang goblok dan tolol saja yang dapat diakali permainan kanak-kanak macam ini. Dan di dunia ini terlalu banyak orang tolol dan goblok."

"Ha-ha-ha, orang-orang yang punya kedudukan tinggi bisa diakali. Kau lihat nanti, Hauw Lam. Aku tidak mau kalah denganmu. Kau lihat nanti bagaimana aku permainkan mereka dengan akal anak kecil juga. Lihat ini!"

Setelah berkata demikian, Bu-tek Lo-jin menggunakan jari kelingkingnya mengorek-ngorek ke dalam lubang hidungnya, mengeluarkan upil (tahi hidung) dan mengumpulkan lalu memelintir-lintirnya menjadi semacam pel.

"Ah, terlalu sedikit," katanya tertawa. "Hayo kau keluarkan punyamu. Kau juga, Suling Emas, dan kau.... eh, jembel muda."

Hauw Lam mengedipkan mata kepada Siang Ki agar pemuda itu suka memenuhi permintaan kakek itu. Akan tetapi tanpa diberi tanda juga Siang Ki tentu akan mentaatinya karena pemuda ini sudah cukup berpengalaman untuk mengenal seorang sakti yang aneh seperti Bu-tek Lo-jin. Tanpa ragu-ragu ia pun lalu mengorek lubang hidungnya.

Suling Emas tersenyum kepada kakek nakal itu. Kalau dia mentaati permintaannya, berarti dia sudah kena dipermainkan juga, maka ia lalu mengambil kotoran tanah yang menempel di bawah sepatunya,

"Bu-tek Lo-jin, dicampur dengan kotoran ini tentu lebih lezat rasanya," Ia menyerahkan segelintir tanah kotor yang diambilnya dari bawah sepatu.

"Ha-ha-ha, bagus, bagus! Memang tahi hidung saja kurang banyak," ia lalu menuding dan menghitung baju-baju merah di bawah, "Wah, ada dua puluh orang bersama Bouw Lek si tolol. Biar kutambah lumpur!"

Kakek ini lalu mengumpulkan tanah dari bawah kakinya, dicampur dengan tahi hidung yang ia terima dari Siang Ki, Hauw Lam, dan dia sendiri, ditambah pula dengan debu-debu yang menempel pada genteng. Karena debu-debu itu kering, ia lalu meludahinya, dan mengepal-ngepal campuran ini menjadi sekepal kecil yang warnanya tidak karuan, agak kehitaman, kemerahan dan abu-abu!

"Asap sudah buyar, lihat, Pangeran dan Puteri kelihatan bingung kehilangan kita. Mari turun!" kata Suling Emas yang melayang turun, diikuti dua orang pemuda dan kakek nakal.

Suling Emas lebih dulu mengambil sulingnya yang menancap di dahi Siauw-bin Lo-mo yang sudah tewas. Melihat empat orang ini melayang turun, Pangeran Talibu dan Puteri Mimi bersorak dan lari menghampiri. Sorak-sorai terdengar keras sekali dan kini bermunculan perajurit-perajurit Khitan yang sudah berhasil menyapu bersih orang-orang Hsi-hsia.

Bouw Lek Couwsu bersama sembilan belas orang murid pilihan kini berdiri bingung, dikurung di tengah-tengah. Pangeran Talibu mengeluarkan aba-aba kepada para perajurit yang segera mengurung tempat itu dan tak seorang pun diantara mereka berani turun tangan.

Para perajurit ini bersorak girang melihat bahwa pangeran mereka dan Puteri Mimi dalam keadaan selamat, sungguhpun Pangeran Mahkota itu tubuhnya luka-luka. Seorang komandan pasukan cepat-cepat maju menghampiri membawa sebuah jubah indah yang dikenakan pada tubuh Pangeran Talibu yang telanjang bagian atasnya. Kemudian komandan itu mundur lagi setelah memberi hormat.

Dengan wajah keruh Bouw Lek Couwsu melangkah maju menghadapi Suling Emas dan teman-temannya.
"Suling Emas, kau menggagalkan usahaku. Aku sudah kalah, mau bunuh lekas bunuh!"






Setelah berkata demikian, Bouw Lek Couwsu melempar tongkatnya ke atas tanah. Perbuatan ini diturut oleh anak muridnya yang semua melempar senjata ke atas tanah. Orang akan keliru kalau mengira bahwa perbuatan Bouw Lek Couwsu ini merupakan tanda sifat pengecut atau penakut. Tidak, sama sekali bukan begitu. Bouw Lek Couwsu tidak akan dapat menjadi pimpinan orang Hsi-hsia kalau ia penakut atau bodoh.

Perbuatan ini malah membuktikan kecerdikannya. Ia tentu saja mengenal siapa Suling Emas. Seorang pendekar sakti yang bernama besar dan yang terkenal memiliki watak satria dan gagah. Seorang satria yang gagah perkasa tak mungkin sudi membunuh musuh yang tidak melawan lagi! Sedangkan kalau dia dan murid-muridnya melawan, tak dapat diragukan lagi dia dan murid-muridnya tentu akan binasa semua.

"Bouw Lek Couwsu, kami tidak akan membunuhmu. Ketahuilah bahwa Kaisar Sung yang bijaksana tidak menghendaki permusuhan dengan bangsa apapun juga. Juga dengan bangsa Hsi-hsia tidak menghendaki permusuhan. Oleh karena itu kau kini melanggar wilayah Sung, maka Pemerintah Sung yang berhak memutuskan. Akan tetapi karena aku sudah tahu akan kehendak Kaisar, biarlah kekalahanmu ini menjadi pelajaran bagimu agar kelak kau tidak berani main-main dengan Kerajaan Sung maupun dengan Kerajaan Khitan. Kau pergilah pulang ke tempat asalmu!"

"Eh-eh-eh, nanti dulu!" tiba-tiba Bu-tek Lo-jin berkata sambil terkekeh. "Suling Emas, kau membebaskan mereka tanpa mengobati mereka, sama artinya dengan melepaskan kepala memegang buntutnya! Mereka kau bebaskan untuk mati, apa bedanya? Lihat, bukankah mereka semua menderita luka keracunan yang hebat dan tiada obatnya? Ini, lihat leher Bouw Lek Couwsu!" Ia mendekati dan tangannya menunjuk ke arah leher, "Tentu Bouw Lek Couwsu tidak dapat melihat lehernya sendiri, tapi coba tarik napas dalam-dalam tidakkah terasa gatal dan sakit?"

Bouw Lek Couwsu benar-benar menarik napas dalam dan ia kaget bukan main. Memang terasa gatal-gatal dan sakit. Sebagai seorang ahli ia berusaha menggunakan napas untuk memunahkan racun ini, namun makin dilawan makin sakit.

Sementara itu, Bu-tek Lo-jin terus mendekati murid-murid Bouw Lek Couwsu, menuding sana-sini, ada yang lehernya sakit, ada yang punggungnya, pundaknya, pahanya pendeknya dimana kakek itu menuding, tentu di situ benar-benar terasa gatal dan sakit apabila dipakai menarik napas panjang. Ributlah mereka dan dua puluh orang itu menjadi cemas sekali.

"Ha-ha-ha! Bouw Lek Couwsu, tahukah engkau luka apa dan racun apa yang bersarang di tubuh kalian semua? Inilah racun hebat yang tak mungkin dapat disembuhkan kecuali oleh obat yang dinamakan batu hitam dari guha kembar! Atau dengan cara lain, bagian yang kena racun itu dipotong. Kalau paha yang terkena, ya. pahanya dipotong, kalau punggung atau leher... yah, pinggangnya dan lehernya dipotong!"

Sepasang mata Bouw Lek Couwsu melotot marah, akan tetapi murid-muridnya menggigil ketakutan. Mana ada cara pengobatan macam itu? Pinggang atau leher dipotong berarti mati!

"Suling Emas, apakah benar apa yang dikatakan tua bangka gila ini?"

"Bouw Lek Couwsu, aku bukan seorang ahli tentang racun, akan tetapi harus diakui bahwa Locianpwe Bu-tek Lo-jin adalah seorang ahli tentang pukulan-pukulan beracun. Harap Couwsu suka bertanya kepada beliau."

Bouw Lek Couwsu dengan sikap angkuh kini menghadapi kakek cebol yang tertawa-tawa,

"Apakah omonganmu itu betul dan tidak omong kosong belaka?"

"Heh-heh-heh, memang omong kosong? Apa sih isinya omongan? Tapi yang kosong berisi, yang isi itu kosong, bukan begitu Bouw Lek Couwsu? Kau menyebut aku gila sebetulnya tidak gila, kau yang menganggap diri tidak gila sebetulnya gila. Anjing bukan manusia dan manusia bukan anjing tapi manusia dan anjing sama! Luka-luka kalian adalah akibat dari getaran ledakan yang disertai asap beracun. Kami yang melompat ke atas tidak terkena, akan tetapi kalian yang berada di bawah, terkena tanpa kalian rasakan. Padahal andaikata kami di bawah dan terkena racun juga, tidak mengapa karena aku mempunyai obat pemunahnya. Kebetulan sekali di antara perbekalanku terdapat Pel Batu Sepasang Guha."

"Omitohud....!" Bouw Lek Couwsu menyebut nama Buddha, hatinya lega karena ancaman maut yang mencengkeram dia dan anak-anak muridnya ada obat penawarnya, "Bu-tek Lo-jin, kalau begitu pinceng mengharapkan kau suka memberikan obat itu kepada kami."

"Tadi maki-maki sekarang minta-minta. Inilah watak manusia kalau membutuhkan sesuatu! Obat ini mencarinya juga bertaruhan nyawa. Sepasang guha itu tak seorang pun dapat memasukinya. Aku berani mempertaruhkan kepalaku kalau ada orang yang mampu memasuki sepasang guha itu. Hanya dengan kecerdikan luar biasa barulah batu hitam dikumpulkan sedikit demi sedikit. Dicampur dengan sari bumi dan debu angkasa. Bayangkan saja betapa sukarnya mendapatkan obat ini," Bu-tek Lo-jin mengeluarkan sekepal "obat" yang sudah ia bungkus kain kuning.

Bouw Lek Couwsu mengilar sekali. Kalau ia tidak ingat betapa lihainya kakek cebol ini, tentu sekali pukul ia membikin mampus padanya dan merampas obatnya.

"Lo-jin, sekali lagi pinceng mohon pertolonganmu. Kalau perlu dibeli, katakan saja berapa, pinceng akan sanggup menggantinya."

"Heh-heh-heh, kita sudah saling bertanding, itu berarti kita sudah menjadi sahabat. Di antara sobat, mana ada jual beli? Akan tetapi karena kau sudah menghina sobat-sobatku yang lain, kalau sekarang kau dan semua muridmu mau berlutut dan mengangguk-angguk tujuh kali kepadaku, obat akan kuberikan dengan gratis!"

Tanpa dikomando lagi, sembilan belas orang hwesio jubah merah itu serentak lalu berlutut kearah Bu-tek Lo-jin dan mengangguk-anggukkan kepala seperti sekumpulan ayam bulu merah mematuk beras, berulang-ulang, tidak hanya tujuh kali, sampai puluhan kali! Akan tetapi Bouw Lek Couwsu tetap berdiri, mukanya pucat dan matanya menyinarkan kemarahan. Orang telah mempermainkan dan menghinanya di luar batas. Namun ia tidak berdaya melampiaskan kemarahannya.

"Hemm, paling-paling pinceng akan mati kalau tidak dapat mengobati sendiri, akan tetapi seluruh dunia akan mendengar tentang perlakuan Bu-tek Lojin yang tidak patut!"

"Biarlah, mengingat bahwa engkau adalah seorang pemimpin bangsa Hsi-hsia, sekali ini kubebaskan dari berlutut. Akan tetapi lain kali kalau engkau pilek atau masuk angin lalu datang minta obat kepadaku, engkau harus berlutut!"

Kata Bu-tek Lo-jin yang agaknya sudah puas mempermainkan mereka. Ia membuka bungkusan kain kuning, mengeluarkan sekepal "obat" itu, mengangkatnya tinggi di atas kepala sambil berkata seperti lagak penjual obat di pasar mendemonstrasikan obatnya.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar