Ads

Jumat, 27 September 2019

Mutiara Hitam Jilid 141

"Obat ini adalah obat paling manjur di dunia dan akhirat! Jangankan manusia sakit keracunan, bengek, mulas, pening dan lain-lain, bahkan dewa sekalipun dapat disembuhkan!" Ia lalu membagi-bagi menjadi dua puluh butir, dan membagi-bagikan kepada Bouw Lek Cousu dan murid-muridnya sambil berkata, "Telan sekarang juga sebelum terlambat!"

Bouw Lek Couwsu menelan pel ke mulutnya. Ia merasakan betapa "pel" itu kasar dan agak asin, terus ditelannya. Demikian pula dengan murid-muridnya, tanpa ragu-ragu lagi telah menelan obat mustajab itu. Alangkah lega rasa hati mereka ketika kini mereka menarik napas panjang bagian tubuh yang keracunan itu tidak begitu nyeri lagi. Demikian pula dengan Bouw Lek Couwsu. Kini ia menarik napas panjang sambil mengerahkan sin-kang dan.... rasa nyeri lenyap. Mau tak mau ia jadi berterima kasih sekali lalu menjura kepada Bu-tek Lo-jin.

"Omitohud, Lo-jin telah menyelamatkan nyawa pinceng dan para murid, sungguh merupakan budi besar. Nah, Cu-wi sekalian, sampai jumpa,"

Ia menjura ke arah Suling Emas dan teman-teman, memungut tongkatnya lalu membalikkan tubuh, menyeret tongkat dengan lenggang angkuh, diikuti para muridnya. Atas isyarat Pangeran Talibu, para pasukan Khitan membuka jalan, membiarkan rombongan pimpinan Hsi-hsia ini lewat.

Begitu mereka pergi, Bu-tek Lo-jin tertawa terpingkal-pingkal memegangi perutnya, bahkan ia sampai bergulingan di atas tanah terbahak-bahak dan diantara suara ketawanya ia berkata,

".... lucu.... ha-ha-ha.... lucu!"

Mereka yang tidak mengerti, termasuk Pangeran Talibu dan Puteri Mimi, tentu saja menjadi heran sekali, mengira bahwa kakek ini memang betul gila. Akan tetapi Hauw Lam yang merasa bangga akan gurunya, segera bercerita dengan suara lantang, bahwa Bouw Lek Couwsu dan murid-muridnya tadi sama sekali tidak terkena racun, melainkan terkena hawa pukulan tangan Bu-tek Lojin ketika menuding dan sama sekali tidak terancam maut, karena akibat hawa pukulan itu hanya menimbulkan rasa nyeri sebentar saja. Bahwa "obat mustajab" itu adalah upil (tahi hidung) yang dicampur dengan debu genteng dan tanah di telapak kaki.

Orang-orang Khitan yang mengerti bahasa Han, lalu menterjemahkannya dalam bahasa Khitan kepada teman-temannya dan meledaklah suara ketawa mereka. Bahkan Puteri Mimi sampai terpingkal-pingkal dan Pangeran Talibu tertawa geli. Yang membuat keadaan amat lucu adalah ketika mereka teringat betapa tahi hidung disebut batu hitam dari sepasang guha, tentu saja sepasang guha adalah sepasang lubang hidung dan tentu saja tidak ada manusia dapat memasuki lubang hidung! Dan sari bumi adalah kotoran di telapak kaki sedangkan debu angkasa adalah debu di atas genteng!

Setelah suara ketawa mereda, Suling Emas lalu menyarankan kepada Pangeran Talibu agar bersama Puteri Mimi kembali ke Khitan dikawal oleh pasukan Khitan yang sebagian ditugaskan untuk mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan. Di depan banyak orang, Suling Emas menyebut pangeran kepada puteranya itu. Pangeran Talibu tidak membantah, lalu mengajak Mimi naik kuda yang disediakan oleh pasukan Khitan, minta diri dari Suling Emas dan Bu-tek Lo-jin berpamit secara hangat kepada Yu Siang Ki dan Tang Hauw Lam yang dipersilakan sewaktu-waktu datang ke Khitan, kemudian berangkatlah rombongan itu.

Bu-tek Lo-jin lalu menarik lengan Hauw Lam, diajak menjauhi Suling Emas di tempat tersendiri untuk diajak bicara. Dengan singkat tapi jelas Hauw Lam menceritakan pengalamannya, pertemuannya dengan Mutiara Hitam, pengalaman mereka berdua, kemudian betapa berkat keterangan Mutiara Hitam, ia dapat bertemu dengan ibunya yang kini masih tinggal di istana bawah tanah karena tidak mau meninggalkan tempat itu.






Bu-tek Lo-jin mendengarkan penuturan ini dan segera dapat mengambil kesimpulan bahwa muridnya “ada hati” kepada Mutiara Hitam.

“Eh, kau mencinta Mutiara Hitam?”

Hauw Lam kaget, mukanya menjadi merah sekali.
“Bagaimana Suhu tahu?”

“Heh-heh, kau kira aku begitu tolol? Pembelaanmu di kamar tahanan, dan ketika kau bercerita setiap menyebut namanya, sinar matamu bercahaya. Hayo katakan, kau cinta dia?”

Hauw Lam menghela napas,
“Tak dapat teecu sangkal, Suhu. Teecu mencintanya, akan tetapi.... ah, seperti hendak menjangkau bintang, seperti kumbang merindukan matahari. Terlalu tinggi....“

“Uaaahh! Siapa bilang? Biarpun hanya untuk beberapa hari, engkau murid Bu-tek Lo-jin! Gadis mana yang terlalu tinggi untukmu? Biar puteri Kaisar sekalipun, kalau aku yang melamar untukmu, akan diberikan! Kenapa kau tidak mengawininya? Dia kemana?”

Hauw Lam maklum akan sifat gurunya yang ugal-ugalan. Kalau saat itu Mutiara Hitam berada di situ, tentu akan diseret gurunya dan dipaksa menikah dengannya! Ia tidak mau terjadi hal seperti ini, maka ia menjawab.

“Teecu sendiri tidak tahu, Suhu. Akan tetapi menurut penuturan ibuku, Mutiara Hitam itu sesungguhnya adalah Puteri Khitan, puterinya Ratu Khitan. Ibu tidak dapat menerangkan secara jelas duduknya perkara, tapi....“

“Sudahlah. Kau pergilah ke Khitan, aku akan melamarnya dari tangan Ratu Khitan! Nah, sampai jumpa di Khitan!” Kakek itu meloncat bangun, melambai ke arah Suling Emas, berseru, “Haii, Suling Emas! Aku pergi sekarang!” Tanpa menanti jawaban ia sudah melesat jauh dan lenyap dari pandangan mata.

Suling Emas yang sedang bercakap-cakap dengan Yu Siang Ki, hanya melambaikan tangan ke arah kakek itu. Ia sedang bicara dengan sikap sungguh-sungguh dan serius dengan pemuda itu.

“Kau sendiri sudah kalah olehnya?” Suling Emas melanjutkan percakapan yang tertunda oleh teriakan Bu-tek Lojin tadi.

“Betul, Locianpwe. Dia amat lihai,”

Jawab Siang Ki yang tadi bercerita tentang Suling Emas palsu yang menantang-nantang Yu Kang Tianglo!

“Dia tinggal di Lembah Ang-san-kok di Gunung Heng-tuan-san, kau bilang tadi? Dan dia pandai menggunakan hui-to (golok terbang)?”

“Benar, Locianpwe.”

Suling Emas mengangguk-angguk.
“Hemm, urusan ini penting, harus kubereskan sendiri. Akan tetapi aku masih ada persoalan di kota raja. Siang Ki, sekarang kau buatlah surat, memakai nama Yu Kang Tianglo dan mengajukan tantangan kepada Suling Emas pada bulan depan tanggal lima belas di markas Khong-sim Kai-pang di Kang-hu.”

“Tapi, Locianpwe....“ Yu Siang Ki tentu saja bingung mendengar perintah yang aneh ini.

“Lakukan sajalah. Kalau dia datang sebagai Suling Emas biarlah aku yang menjadi Yu Kang Tianglo. Kita lihat saja nanti.”

Yu Siang Ki akhirnya menyanggupi dan menjura sambil berpamit. Pada saat itu Tang Hauw Lam juga datang berpamit hendak. melanjutkan perjalanan. Mereka berpisah. Suling Emas ke kota raja, Yu Siang Ki hendak mengerjakan perintah pendekar sakti itu, adapun Hauw Lam sebelum ke Khitan hendak menyampaikan kepada ibunya lebih dulu tentang maksud pelamarannya kepada Kwi Lan.

**** 141 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar