Makin berseri wajah Suma Kiat. Akhirnya ia bersorak dan berjingkrak-jingkrak dalam kuil itu, lalu berjongkok dan....
“ngokk!” ia mencium pipi Kwi Lan dengan hidungnya. “Bagus! Terima kasih, Kwi Lan. Terima kasih, kau baik sekali. Tapi...., kalau sekarang, mengapa sih?”
Tadinya Kwi Lan sudah girang menyaksikan akalnya berhasil, akan tetapi kembali ia berdebar mendengar kalimat terakhir. Sungguh sukar menjenguk keadaan hati pemuda gila ini.
“Suheng, terus terang saja, wajah Bibi Sian masih terbayang di depan mataku. Tidak mau aku mendurhakai guru melakukan.... hal itu pada hari guru meninggal dunia. Kalau kau memaksa, aku akan mencari kesempatan membunuhmu atau membunuh diri sendiri. Awas, alangkah mudahnya membunuh diri. Jika aku menggunakan kekuatan kemauan menahan napas, sekarang pun aku dapat membunuh diri!”
Suma Kiat mengangguk-angguk,
“Baiklah, Kwi Lan. Menanti sampai besok pun tidak apa. Aku pun lelah sekali, harus tidur malam ini. Selamat tidur, sayang. Sampai besok!” Pemuda itu lalu berbaring di dekat Kwi Lan dan sebentar saja sudah mendengkur!
Kwi Lan duduk bersandar dinding, matanya kelap-kelip memandang api lilin yang hampir padam. Suram-suram keadaan di dalam kuil, sesuram hatinya. Ia sudah berhasil mengulur waktu. Berhasil untuk sementara terhindar daripada malapetaka hebat. Selanjutnya bagaimana? Ia tetap tidak melihat kesempatan.
Dan tiba-tiba jantungnya serasa berhenti berdetik. Benar! Pemuda ini tidur dan kurang lebih tiga jam lagi pengaruh totokan akan lenyap dengan sendirinya dari tubuhnya. Ia akan dapat bergerak dan alangkah mudahnya untuk membebaskan diri kalau ia sudah dapat bergerak!
Jam-jam berikutnya merupakan waktu yang amat sengsara, tegang dan menggelisahkan bagi Kwi Lan. Api lilin sudah padam dan karena ia menanti waktu pulihnya tenaga tubuhnya, maka setiap menit berlalu seakan-akan setahun. Orang bisa menjadi lekas tua kalau menanti jalannya waktu dengan tak sabar. Satu jam, dua jam...., hampir tiga jam. Dan Suma Kiat masih juga belum bergerak. Jantung Kwi Lan berdebar. Berkali-kali ia berusaha mengerahkan tenaga dari pusar, namun sia-sia. Totokan belum punah.
Akhirnya, ia dapat menggerakkan pinggangnya! Ia hampir bebas! Kwi Lan memejamkan mata, mengumpulkan seluruh semangat dan tenaga untuk menggerakkan kaki tangan yang lumpuh. Dan.... pada saat itu, jari-jari yang kuat telah menotok punggungnya, membuat ia roboh miring dan lemas kembali seperti tadi.
Suma Kiat tertawa dan Kwi Lan menahan isak tangisnya. Hatinya kecewa bukan main. Sudah mati-matian menanti, pada saat terakhir semua harapannya tersapu habis. Ia sudah ditotok kembali dan kini Suma Kiat sudah rebah miring lagi, malah memeluknya dan sebentar saja pemuda itu sudah mendengkur.
Untung bahwa ketika rebah tadi, kaki tangannya tertarik sehingga biarpun dipeluk, hanya pundaknya saja yang dirangkul pemuda itu. Napas pemuda itu terasa meniup dahinya. Kwi Lan bergidik, hatinya penuh kemarahan dan kebencian.
Matahari telah menyinarkan cahayanya melalui jendela kuil yang tak berdaun lagi. Kwi Lan memicingkan mata, silau oleh sinar matahari. Suma Kiat terbangun, menggeliat dan bangkit duduk lalu tersenyum dan terkekeh memandangi wajah Kwi Lan.
“Aduh, cantik nian kau Kwi Lan. Tersinar cahaya matahari pagi engkau tiada ubahnya setangkai bunga mawar. Rambutmu kusut, sebagian menutupi dahi, matamu sayu oleh kantuk, bibirmu basah kemerahan seperti kuncup bunga, mandi embun, ahhh, engkau sekarang tentu akan memegang janjimu, bukan? Kita menjadi suami isteri, disaksikan cahaya matahari pagi....“
Pemuda itu berbisik-bisik dan membungkuk hendak mencium bibir yang merah itu. Tiba-tiba ia tersentak kaget dan meloncat mundur karena bentakan di belakangnya.
“Suma Kiat! Engkau benar-benar keji dan jahat!”
Suma Kiat meloncat bangun, membalikkan tubuh dan berhadapan dengan.... Kiang Liong! Pemuda berpakaian putih itu berdiri tegak dengan wajah penuh amarah dan wibawa, di punggungnya nampak menonjol ujung alat musik yang-khim.
Seperti diketahui, pemuda ini diperintah oleh Suling Emas untuk mengejar Suma Kiat. Ia bertanya-tanya kepada perajurit Khitan dan akhirnya mendapat keterangan bahwa Suma Kiat membawa Kwi Lan berkuda ke selatan. Ia mengejar terus, akan tetapi terhalang malam gelap. Pagi-pagi sekali, setelah malam itu ia bermalam di dalam hutan, ia melanjutkan perjalanan dan melihat kuil tua di pinggir jalan dan seekor kuda di luarnya, hatinya girang dan cepat ia meloncat masuk dan masih sempat menegur dan mencegah Suma Kiat yang hendak melakukan perbuatan keji terhadap Kwi Lan.
Suma Kiat kaget bukan main dan sejenak ia hanya dapat memandang Kiang Liong dengan melongo dan muka pucat. Kiang Liong sebaliknya menyapu ke dalam dan memandang ke arah Kwi Lan. Hatinya bersorak lega melihat bahwa kedatangannya belum terlambat. Biarpun gadis itu dalam keadaan tertotok, namun tidak lebih daripada itu. Diam-diam Kiang Liong merasa heran bagaimana Kwi Lan dapat terhindar daripada penghinaan yang hebat.
“Piauw-heng (Kakak Misan).... kau.... menyusul kesini? Ah, Piauw-heng.... Ibuku telah.... telah meninggal dunia....” Dan Suma Kiat menangis!
“Suma Kiat!” Kiang Liong membentak marah. “Simpan air mata buaya itu! Dan katakan, apa maksudmu melarikan Mutiara Hitam dan apa yang hendak kau lakukan tadi?”
Suma Kiat berhenti menangis, lalu memandang Kiang Liong dengan mata terbelalak dan tidak mengerti agaknya mengapa kakak misannya marah-marah.
“Dia ini....? Ah, dia ini sumoiku dan calon isteriku, Piauw-heng. Dia akan menjadi isteriku. Kau tanya saja kepadanya!”
Kwi Lan cepat berkata.
“Suma Kiat! Engkau memang gila dan jahat. Kau hendak memperkosaku dan sejak kemarin menotokku, siapa ingin menjadi isterimu? Tunggu saja, kalau sudah bebas aku akan membunuhmu!”
“Heh....? Tapi.... tapi.... malam tadi kau berjanji.... kau akan menyerah pagi ini.... kau....”
Kiang Liong kini mengerti duduknya perkara. Kiranya Mutiara Hitam telah berhasil meloloskan diri malam tadi dengan jalan memberi janji dan mengulur waktu. Ia menjadi marah sekali, melangkah maju dan tangannya bergerak.
“Plak-plak-plak-plak!”
Empat kali kedua pipi Suma Kiat ditampar. Biarpun Suma Kiat berusaha mengelak dan menangkis, namun tetap saja tamparan-tamparan itu mengenai kedua pipinya sampai matang biru! Ia terhuyung-huyung mundur beberapa langkah, meraba kedua pipinya lalu mewek, menangis!
“Piauw-heng.... Piauw-heng.... kau.... kau mau bunuh aku....?” Ia mundur-mundur ketakutan.
Kiang Liong menggigit bibir,
“Kalau engkau bukan adik misan, atau kalau engkau sudah berhasil berbuat keji, tentu kau sudah kubunuh sekarang juga. Hayo, pergilah sebelum aku bunuh engkau!”
Suma Kiat membalikkan tubuh lalu.... lari secepatnya meninggalkan kuil itu sambil berteriak-teriak menangis dan memegangi kedua pipinya!
Kiang Liong menghampiri Kwi Lan, lalu membebaskan totokan di punggung. Kwi Lan bangkit duduk perlahan. Tubuhnya kaku dan sakit-sakit karena terlalu lama lumpuh. Setelah duduk bersila sejenak dan tenaga serta jalan darahnya pulih, ia lalu bangun berdiri. Kiang Liong sudah berada di luar kuil, tadi membiarkan dia beristirahat.
Kiang Liong sudah duduk bersila di luar kuil, memangku yang-khim, Kwi Lan berhenti dan mendengarkan, terpesona. Indah bukan main petikan Yang-khim itu, suaranya mengalun merdu, kemudian mendengar suara pemuda itu bernyanyi, suaranya halus dan mengandung ketenangan, namun juga menimbulkan haru dan iba. Mutiara Hitam berdiri tertegun, tak bergerak beberapa meter di belakang pemuda itu. Bahkan kuda yang ditinggalkan Suma Kiat dan berada di belakang pemuda itu pun diam, seakan ikut mendengarkan.
“Matahari cerah
menerangi bumi dan angkasa
tidak menembus hatiku
tetap gelap dan gelisah
hanya sepatah kata
kuharapkan dirimu
pengusir gelap dan resah.”
Dengan iringan suara yang-khim, nyanyian berhenti dan heninglah keadaan sekeliling tempat itu, Kiang Liong masih duduk bersila memangku yang-khim, tak bergerak seperti arca orang melamun. Kwi Lan menarik napas panjang, melangkah maju dan memanggil.
“Kiang-kongcu....“
Kiang Liong terkejut, bangkit berdiri, mengalungkan yang-khim di punggung dan membalikkan tubuh. Mereka berdiri berhadapan, pandang mata mereka bertemu, masing-masing seperti hendak menjenguk isi hati. Perlahan-lahan kedua pipi Kwi Lan menjadi merah.
Dalam nyanyian tadi dia merasa seakan-akan pemuda ini bicara kepadanya, seakan-akan dari dialah pemuda itu mengharapkan sepatah kata pengusir gelap dan resah! Dengan perasaan wanitanya yang kini amat tajam karena berkali-kali menerima pernyataan cinta, Kwi Lan merasa bahwa pemuda yang perkasa ini, pemuda yang terkenal di kota raja, pemuda idaman setiap wanita remaja, murid Suling Emas, agaknya juga.... jatuh cinta kepadanya! Jelas tersinar dari pandang mata itu! Kwi Lan menunduk, lalu berkata.
“Kiang-kongcu, kau telah menolongku, membebaskan aku daripada malapetaka. Terimalah ucapan syukur dan terima kasihku, Kongcu.”
Kiang Liong menjura,
“Ah. Nona mengapa banyak sungkan? Kita sudah pernah senasib sependeritaan di dalam kamar tahanan Bouw Lek Couwsu, kita bersama sudah lolos dari lubang jarum di sana. Apa artinya perbuatanku tadi? Agaknya memang nasib Nona harus mengalami banyak kaget dan ancaman bahaya, namun selalu terhindar ini membuktikan bahwa orang baik selalu dilindungi Thian.”
Kwi Lan bergidik.
“Tidak sangka...., Suheng makin gila....“
“Maafkanlah dia, Nona. Suhengmu atau adik misanku itu patut dikasihani. Dia tidak normal dan.... dan baru saja kehilangan ibunya....“
Kwi Lan menggerakkan pundak. Sukar baginya untuk memaafkan Suma Kiat, biarpun ia tahu bahwa pemuda itu gila, setelah apa yang diiakukan Suma Kiat terhadap dirinya. Menggigil ia kalau ingat pipinya dicium, tubuhnya dipeluk semalaman. Hih, masih untung tidak tercapai maksudnya yang keji! Cepat-cepat ia mengusir kenangan mengerikan ini dan mengalihkan percakapan.
“Apa yang terjadi di markas Bouw Lek Couwsu, Kongcu? Bagaimana Kongcu dapat lolos dan bagaimana dengan.... Pangeran.... dan teman-teman yang lain?” Berdebar jantung Kwi Lan teringat akan Pangeran Talibu, penuh kekhawatiran.
“Suhu datang setelah gurumu tewas dan berhasil menewaskan Bu-tek Siu-lam. Sungguh harus diakui kecerdikan Hauw Lam. Karena ketajaman lidahnya dan kecerdikannya memanaskan hati gurumulah kita semua selamat! Gurumu berhasil membunuh Bu-tek Siu-lam, akan tetapi tewas pula oleh pengeroyokan yang lain. Kemudian muncul guruku bersama pasukan-pasukan Khitan yang besar jumlahnya. Pasukan Khitan menghancurkan orang-orang Hsi-hsia, sedangkan guruku dikeroyok empat kakek-kakek sakti. Aku tidak tahu bagaimana selanjutnya karena aku dibebaskan Suhu dan disuruh mengejar Suma Kiat untuk menolongmu.”.
Kwi Lan mengerutkan kening. Ia percaya akan kesaktian Suling Emas dan besar harapan Pangeran Talibu dan yang lain-lain akan selamat. Akan tetapi mengapa Kiang Liong disuruh menolongnya?
“Gurumu menyuruhmu mengejar Suma suheng dan menolongku?”
“Aku sendiri tidak mengerti, Nona. Begitu datang, Suhu bertanya kepadaku tentang kau. Ketika aku memberi tahu bahwa kau dibawa lari Suma Kiat, Suhu membebaskan aku dan menyuruh aku cepat mengejar. Suhu agaknya amat memperhatikammu.”
Kwi Lan tidak mengerti, akan tetapi ia tidak memusingkan hal itu lebih lanjut karena ia masih mengkhawatirkan keselamatan yang lain-lain.
“Bagaimana dengan mereka? Ah, jangan-jangan....“
“Tak usah khawatir, Nona. Suhu tidak akan menyuruh aku pergi kalau beliau tidak yakin akan kemenangannya. Kurasa mereka semua selamat. Sekarang aku akan kembali ke kota raja mencari berita tentang mereka. Dan engkau, hendak ke manakah, Nona? Kalau tidak berkeberatan, kita melakukan perjalanan bersama,” Pandang mata pemuda itu penuh harapan.
Kwi Lan tersenyum. Semua pemuda yang dijumpainya selalu ingin melakukan perjalanan bersamanya. Semua mencintanya. Tapi disana ada Pangeran Talibu! Selain Pangeran ini, kalau disuruh memilih, sungguh amat sukar. Semua mempunyai kelebihan dan kebaikan masing-masing!
“ngokk!” ia mencium pipi Kwi Lan dengan hidungnya. “Bagus! Terima kasih, Kwi Lan. Terima kasih, kau baik sekali. Tapi...., kalau sekarang, mengapa sih?”
Tadinya Kwi Lan sudah girang menyaksikan akalnya berhasil, akan tetapi kembali ia berdebar mendengar kalimat terakhir. Sungguh sukar menjenguk keadaan hati pemuda gila ini.
“Suheng, terus terang saja, wajah Bibi Sian masih terbayang di depan mataku. Tidak mau aku mendurhakai guru melakukan.... hal itu pada hari guru meninggal dunia. Kalau kau memaksa, aku akan mencari kesempatan membunuhmu atau membunuh diri sendiri. Awas, alangkah mudahnya membunuh diri. Jika aku menggunakan kekuatan kemauan menahan napas, sekarang pun aku dapat membunuh diri!”
Suma Kiat mengangguk-angguk,
“Baiklah, Kwi Lan. Menanti sampai besok pun tidak apa. Aku pun lelah sekali, harus tidur malam ini. Selamat tidur, sayang. Sampai besok!” Pemuda itu lalu berbaring di dekat Kwi Lan dan sebentar saja sudah mendengkur!
Kwi Lan duduk bersandar dinding, matanya kelap-kelip memandang api lilin yang hampir padam. Suram-suram keadaan di dalam kuil, sesuram hatinya. Ia sudah berhasil mengulur waktu. Berhasil untuk sementara terhindar daripada malapetaka hebat. Selanjutnya bagaimana? Ia tetap tidak melihat kesempatan.
Dan tiba-tiba jantungnya serasa berhenti berdetik. Benar! Pemuda ini tidur dan kurang lebih tiga jam lagi pengaruh totokan akan lenyap dengan sendirinya dari tubuhnya. Ia akan dapat bergerak dan alangkah mudahnya untuk membebaskan diri kalau ia sudah dapat bergerak!
Jam-jam berikutnya merupakan waktu yang amat sengsara, tegang dan menggelisahkan bagi Kwi Lan. Api lilin sudah padam dan karena ia menanti waktu pulihnya tenaga tubuhnya, maka setiap menit berlalu seakan-akan setahun. Orang bisa menjadi lekas tua kalau menanti jalannya waktu dengan tak sabar. Satu jam, dua jam...., hampir tiga jam. Dan Suma Kiat masih juga belum bergerak. Jantung Kwi Lan berdebar. Berkali-kali ia berusaha mengerahkan tenaga dari pusar, namun sia-sia. Totokan belum punah.
Akhirnya, ia dapat menggerakkan pinggangnya! Ia hampir bebas! Kwi Lan memejamkan mata, mengumpulkan seluruh semangat dan tenaga untuk menggerakkan kaki tangan yang lumpuh. Dan.... pada saat itu, jari-jari yang kuat telah menotok punggungnya, membuat ia roboh miring dan lemas kembali seperti tadi.
Suma Kiat tertawa dan Kwi Lan menahan isak tangisnya. Hatinya kecewa bukan main. Sudah mati-matian menanti, pada saat terakhir semua harapannya tersapu habis. Ia sudah ditotok kembali dan kini Suma Kiat sudah rebah miring lagi, malah memeluknya dan sebentar saja pemuda itu sudah mendengkur.
Untung bahwa ketika rebah tadi, kaki tangannya tertarik sehingga biarpun dipeluk, hanya pundaknya saja yang dirangkul pemuda itu. Napas pemuda itu terasa meniup dahinya. Kwi Lan bergidik, hatinya penuh kemarahan dan kebencian.
Matahari telah menyinarkan cahayanya melalui jendela kuil yang tak berdaun lagi. Kwi Lan memicingkan mata, silau oleh sinar matahari. Suma Kiat terbangun, menggeliat dan bangkit duduk lalu tersenyum dan terkekeh memandangi wajah Kwi Lan.
“Aduh, cantik nian kau Kwi Lan. Tersinar cahaya matahari pagi engkau tiada ubahnya setangkai bunga mawar. Rambutmu kusut, sebagian menutupi dahi, matamu sayu oleh kantuk, bibirmu basah kemerahan seperti kuncup bunga, mandi embun, ahhh, engkau sekarang tentu akan memegang janjimu, bukan? Kita menjadi suami isteri, disaksikan cahaya matahari pagi....“
Pemuda itu berbisik-bisik dan membungkuk hendak mencium bibir yang merah itu. Tiba-tiba ia tersentak kaget dan meloncat mundur karena bentakan di belakangnya.
“Suma Kiat! Engkau benar-benar keji dan jahat!”
Suma Kiat meloncat bangun, membalikkan tubuh dan berhadapan dengan.... Kiang Liong! Pemuda berpakaian putih itu berdiri tegak dengan wajah penuh amarah dan wibawa, di punggungnya nampak menonjol ujung alat musik yang-khim.
Seperti diketahui, pemuda ini diperintah oleh Suling Emas untuk mengejar Suma Kiat. Ia bertanya-tanya kepada perajurit Khitan dan akhirnya mendapat keterangan bahwa Suma Kiat membawa Kwi Lan berkuda ke selatan. Ia mengejar terus, akan tetapi terhalang malam gelap. Pagi-pagi sekali, setelah malam itu ia bermalam di dalam hutan, ia melanjutkan perjalanan dan melihat kuil tua di pinggir jalan dan seekor kuda di luarnya, hatinya girang dan cepat ia meloncat masuk dan masih sempat menegur dan mencegah Suma Kiat yang hendak melakukan perbuatan keji terhadap Kwi Lan.
Suma Kiat kaget bukan main dan sejenak ia hanya dapat memandang Kiang Liong dengan melongo dan muka pucat. Kiang Liong sebaliknya menyapu ke dalam dan memandang ke arah Kwi Lan. Hatinya bersorak lega melihat bahwa kedatangannya belum terlambat. Biarpun gadis itu dalam keadaan tertotok, namun tidak lebih daripada itu. Diam-diam Kiang Liong merasa heran bagaimana Kwi Lan dapat terhindar daripada penghinaan yang hebat.
“Piauw-heng (Kakak Misan).... kau.... menyusul kesini? Ah, Piauw-heng.... Ibuku telah.... telah meninggal dunia....” Dan Suma Kiat menangis!
“Suma Kiat!” Kiang Liong membentak marah. “Simpan air mata buaya itu! Dan katakan, apa maksudmu melarikan Mutiara Hitam dan apa yang hendak kau lakukan tadi?”
Suma Kiat berhenti menangis, lalu memandang Kiang Liong dengan mata terbelalak dan tidak mengerti agaknya mengapa kakak misannya marah-marah.
“Dia ini....? Ah, dia ini sumoiku dan calon isteriku, Piauw-heng. Dia akan menjadi isteriku. Kau tanya saja kepadanya!”
Kwi Lan cepat berkata.
“Suma Kiat! Engkau memang gila dan jahat. Kau hendak memperkosaku dan sejak kemarin menotokku, siapa ingin menjadi isterimu? Tunggu saja, kalau sudah bebas aku akan membunuhmu!”
“Heh....? Tapi.... tapi.... malam tadi kau berjanji.... kau akan menyerah pagi ini.... kau....”
Kiang Liong kini mengerti duduknya perkara. Kiranya Mutiara Hitam telah berhasil meloloskan diri malam tadi dengan jalan memberi janji dan mengulur waktu. Ia menjadi marah sekali, melangkah maju dan tangannya bergerak.
“Plak-plak-plak-plak!”
Empat kali kedua pipi Suma Kiat ditampar. Biarpun Suma Kiat berusaha mengelak dan menangkis, namun tetap saja tamparan-tamparan itu mengenai kedua pipinya sampai matang biru! Ia terhuyung-huyung mundur beberapa langkah, meraba kedua pipinya lalu mewek, menangis!
“Piauw-heng.... Piauw-heng.... kau.... kau mau bunuh aku....?” Ia mundur-mundur ketakutan.
Kiang Liong menggigit bibir,
“Kalau engkau bukan adik misan, atau kalau engkau sudah berhasil berbuat keji, tentu kau sudah kubunuh sekarang juga. Hayo, pergilah sebelum aku bunuh engkau!”
Suma Kiat membalikkan tubuh lalu.... lari secepatnya meninggalkan kuil itu sambil berteriak-teriak menangis dan memegangi kedua pipinya!
Kiang Liong menghampiri Kwi Lan, lalu membebaskan totokan di punggung. Kwi Lan bangkit duduk perlahan. Tubuhnya kaku dan sakit-sakit karena terlalu lama lumpuh. Setelah duduk bersila sejenak dan tenaga serta jalan darahnya pulih, ia lalu bangun berdiri. Kiang Liong sudah berada di luar kuil, tadi membiarkan dia beristirahat.
Kiang Liong sudah duduk bersila di luar kuil, memangku yang-khim, Kwi Lan berhenti dan mendengarkan, terpesona. Indah bukan main petikan Yang-khim itu, suaranya mengalun merdu, kemudian mendengar suara pemuda itu bernyanyi, suaranya halus dan mengandung ketenangan, namun juga menimbulkan haru dan iba. Mutiara Hitam berdiri tertegun, tak bergerak beberapa meter di belakang pemuda itu. Bahkan kuda yang ditinggalkan Suma Kiat dan berada di belakang pemuda itu pun diam, seakan ikut mendengarkan.
“Matahari cerah
menerangi bumi dan angkasa
tidak menembus hatiku
tetap gelap dan gelisah
hanya sepatah kata
kuharapkan dirimu
pengusir gelap dan resah.”
Dengan iringan suara yang-khim, nyanyian berhenti dan heninglah keadaan sekeliling tempat itu, Kiang Liong masih duduk bersila memangku yang-khim, tak bergerak seperti arca orang melamun. Kwi Lan menarik napas panjang, melangkah maju dan memanggil.
“Kiang-kongcu....“
Kiang Liong terkejut, bangkit berdiri, mengalungkan yang-khim di punggung dan membalikkan tubuh. Mereka berdiri berhadapan, pandang mata mereka bertemu, masing-masing seperti hendak menjenguk isi hati. Perlahan-lahan kedua pipi Kwi Lan menjadi merah.
Dalam nyanyian tadi dia merasa seakan-akan pemuda ini bicara kepadanya, seakan-akan dari dialah pemuda itu mengharapkan sepatah kata pengusir gelap dan resah! Dengan perasaan wanitanya yang kini amat tajam karena berkali-kali menerima pernyataan cinta, Kwi Lan merasa bahwa pemuda yang perkasa ini, pemuda yang terkenal di kota raja, pemuda idaman setiap wanita remaja, murid Suling Emas, agaknya juga.... jatuh cinta kepadanya! Jelas tersinar dari pandang mata itu! Kwi Lan menunduk, lalu berkata.
“Kiang-kongcu, kau telah menolongku, membebaskan aku daripada malapetaka. Terimalah ucapan syukur dan terima kasihku, Kongcu.”
Kiang Liong menjura,
“Ah. Nona mengapa banyak sungkan? Kita sudah pernah senasib sependeritaan di dalam kamar tahanan Bouw Lek Couwsu, kita bersama sudah lolos dari lubang jarum di sana. Apa artinya perbuatanku tadi? Agaknya memang nasib Nona harus mengalami banyak kaget dan ancaman bahaya, namun selalu terhindar ini membuktikan bahwa orang baik selalu dilindungi Thian.”
Kwi Lan bergidik.
“Tidak sangka...., Suheng makin gila....“
“Maafkanlah dia, Nona. Suhengmu atau adik misanku itu patut dikasihani. Dia tidak normal dan.... dan baru saja kehilangan ibunya....“
Kwi Lan menggerakkan pundak. Sukar baginya untuk memaafkan Suma Kiat, biarpun ia tahu bahwa pemuda itu gila, setelah apa yang diiakukan Suma Kiat terhadap dirinya. Menggigil ia kalau ingat pipinya dicium, tubuhnya dipeluk semalaman. Hih, masih untung tidak tercapai maksudnya yang keji! Cepat-cepat ia mengusir kenangan mengerikan ini dan mengalihkan percakapan.
“Apa yang terjadi di markas Bouw Lek Couwsu, Kongcu? Bagaimana Kongcu dapat lolos dan bagaimana dengan.... Pangeran.... dan teman-teman yang lain?” Berdebar jantung Kwi Lan teringat akan Pangeran Talibu, penuh kekhawatiran.
“Suhu datang setelah gurumu tewas dan berhasil menewaskan Bu-tek Siu-lam. Sungguh harus diakui kecerdikan Hauw Lam. Karena ketajaman lidahnya dan kecerdikannya memanaskan hati gurumulah kita semua selamat! Gurumu berhasil membunuh Bu-tek Siu-lam, akan tetapi tewas pula oleh pengeroyokan yang lain. Kemudian muncul guruku bersama pasukan-pasukan Khitan yang besar jumlahnya. Pasukan Khitan menghancurkan orang-orang Hsi-hsia, sedangkan guruku dikeroyok empat kakek-kakek sakti. Aku tidak tahu bagaimana selanjutnya karena aku dibebaskan Suhu dan disuruh mengejar Suma Kiat untuk menolongmu.”.
Kwi Lan mengerutkan kening. Ia percaya akan kesaktian Suling Emas dan besar harapan Pangeran Talibu dan yang lain-lain akan selamat. Akan tetapi mengapa Kiang Liong disuruh menolongnya?
“Gurumu menyuruhmu mengejar Suma suheng dan menolongku?”
“Aku sendiri tidak mengerti, Nona. Begitu datang, Suhu bertanya kepadaku tentang kau. Ketika aku memberi tahu bahwa kau dibawa lari Suma Kiat, Suhu membebaskan aku dan menyuruh aku cepat mengejar. Suhu agaknya amat memperhatikammu.”
Kwi Lan tidak mengerti, akan tetapi ia tidak memusingkan hal itu lebih lanjut karena ia masih mengkhawatirkan keselamatan yang lain-lain.
“Bagaimana dengan mereka? Ah, jangan-jangan....“
“Tak usah khawatir, Nona. Suhu tidak akan menyuruh aku pergi kalau beliau tidak yakin akan kemenangannya. Kurasa mereka semua selamat. Sekarang aku akan kembali ke kota raja mencari berita tentang mereka. Dan engkau, hendak ke manakah, Nona? Kalau tidak berkeberatan, kita melakukan perjalanan bersama,” Pandang mata pemuda itu penuh harapan.
Kwi Lan tersenyum. Semua pemuda yang dijumpainya selalu ingin melakukan perjalanan bersamanya. Semua mencintanya. Tapi disana ada Pangeran Talibu! Selain Pangeran ini, kalau disuruh memilih, sungguh amat sukar. Semua mempunyai kelebihan dan kebaikan masing-masing!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar