Ads

Jumat, 01 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 096

Cia Kim Seng membalikkan kuda dan pada saat itu terdengar gonggongan anjing yang riuh-rendah. Ketika mereka memandang, banyak sekali serigala keluar dari padang rumput. Demikian banyaknya sehingga kuda yang ditunggangi dua orang itu meringkik-ringkik ketakutan.

"Kita lari....!" Cia Kim Seng berteriak.

"Jangan! Percuma, kuda-kuda kita akan dapat disusulnya. Tunggu!"

Yan Hwa berseru karena ia melihat penglihatan yang amat aneh. Diantara serigala-serigala itu, merangkak paling depan, tampak seorang laki-laki berkepala gundul, hanya memakai celana hitam sebatas betis yang sudah robek-robek ujungnya. Laki-laki ini merangkak seperti serigala, dan mulutnya mengeluarkan bunyi menggonggong dan agaknya dia memimpin barisan serigala itu!

"Pergunakan cambuk melindungi diri, Cia-hu-ciang! Aku akan menangkap manusia serigala itu. Tentu dia pemimpinnya!"

Setelah berkata demikian, Yan Hwa meloncat dari atas kudanya dan langsung menerkam Si Kepala Gundul.

Manusia serigala itu tiba-tiba meloncat berdiri, tertawa-tawa dan menyambut datangnya tubuh Yan Hwa dengan kedua tangan mencengkeram dan mulut dibuka lebar untuk menggigit!

Yan Hwa merasa ngeri, akan tetapi dia sama sekali tidak menjadi takut dan gugup. Sambutan serangan ini dapat ia elakkan dan kakinya terayun menendang dari samping.

"Desss!"

Tendangan kaki Yan Hwa tepat mengenai lambung laki-laki aneh itu, akan tetapi ternyata dia memiliki tubuh yang kebal dan kuat sehingga ketika tubuhnya terguling, dia sudah bangkit lagi dan mengeluarkan suara menggonggong keras. Mendengar suara ini, enam ekor serigala menerjang maju, akan tetapi dengan mudah Yan Hwa menggerakkan kedua kakinya, menendangi binatang-binatang itu sehingga terlempar jauh.

Melihat betapa Cia Kim Seng dikeroyok banyak serigala sehingga repot mengayun pecut ke kanan kiri tubuh kudanya yang meringkik-ringkik ketakutan dan keadaannya benar terancam bahaya, Yan Hwa maklum kalau dia tidak cepat bertindak, mereka akan terancam bahaya maut dan dia merasa enggan untuk menggunakan pedang pusakanya membunuh binatang-binatang itu! Maka ia lalu miringkan tubuh ketika laki-laki gundul itu menerjangnya, dari samping ia mengirim totokan yang tepat mengenai jalan darah di pundak yang telanjang. Laki-laki itu mengaduh dan Yan Hwa sudah mencengkeram tengkuknya.

"Cepat perintahkan anjing-anjingmu mundur, kalau tidak kupatahkan batang lehermu!"
Ia mengancam dan jari-jari tangannya yang halus itu mencengkeram tengkuk seperti sepasang jepitan baja!

"Aduhhh...., ampun.... lepaskan aku....!"

"Lekas perintahkan anjing-anjing itu mundur atau kau mampus!"

Tiba-tiba laki-laki gundul itu mengeluarkan suara menyalak-nyalak seperti seekor anjing ketakutan dan.... serigala-serigala itu lalu menyalak-nyalak dan mundur teratur meninggalkan Cia Kim Seng!

Dengan muka berkeringat Kim Seng melompat turun dari kudanya.
"Buhuh saja manusia serigala itu!" katanya marah.

"Ampun....!" Si Laki-laki gundul berkata.

"Aku mau mengampuni kau, akan tetapi engkau harus siap sewaktu-waktu membantu pasukan kami kalau kami butuhkan!" bentak Yan Hwa.

"Baik...., baik...., aku berjanji....!"

Yan Hwa melepaskan cengkeramannya dan sambil mengeluh laki-laki itu mengelus-elus tengkuknya dan memandang dengan gentar.

"Ceritakan siapa kau?"






"Aku bernama Theng Kok, keluargaku habis karena korban perang, dan aku.... sejak kecil bermain-main dengan serigala-serigala disini, aku pandai menguasai mereka...."

"Hemm, Theng Kok. Kalau kelak kau suka membantu kami, kau akan kami beri hadiah besar, akan tetapi kalau kau tidak mau, lihat ini!"

Yan Hwa mengayun tangannya ke arah sepotong batu dan hancurlah batu itu. Muka Theng Kok menjadi pucat dan ia mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul.

"Aku menurut.... menurut....!"

Yan Hwa lalu menangkap kembali kudanya dan melanjutkan perjalanan bersama Cia Kim Seng. Debu yang tampak di depan mengebul makin tinggi. Mereka membalapkan kuda ke arah debu mengebul itu dan tak lama kemudian tampaklah oleh mereka pasukan Mancu yang bergerak mengundurkan diri.

Terjadilah hal yang amat aneh dan mengherankan hati Ok Yan Hwa ketika mereka berdua bertemu dengan pasukan Mancu yang berada paling belakang. Pasukan yang dipimpin oleh seorang perwira Mancu itu begitu bertemu dengan Cia Kim Seng serta-merta menjatuhkan diri berlutut dan Sang Perwira berkata,

"Pangeran....!"

Lenyaplah sikap Cia Kim Seng yang biasanya sederhana, kini tampak dia penuh wibawa ketika bertanya,

"Siapa yang memimpin barisan ini?"

"Panglima Durbana, Pangeran!" jawab perwira itu penuh hormat.

"Mengapa mundur ke selatan dan kini mundur lagi ke timur? Apa yang terjadi?"

"Ketika kami hendak bergerak ke pantai timur, kami bertemu dengan barisan besar Yucen sehingga kami terpukul mundur ke selatan. Kemarin kami bertemu dengan barisan besar Kerajaan Sung dan setelah bertempur sehari semalam, terpaksa kami mundur...."

"Memalukan! Apakah pasukan-pasukan kita sudah demikian lemahnya sehingga bisanya hanya mundur dan lari saja? Panggil Panglima Durbana menghadap!"

"Baik, Pangeran!" Perwira itu lalu meloncat ke atas kudanya dan membalap ke depan.

Ok Yan Hwa memandang "rekannya" itu penuh takjub.
"Jadi kau.... kau.... seorang Pangeran Mancu....?"

Cia Kim Seng menggerakkan tubuh menjura dengan membungkuk setengah badan sambil berkata,

"Benar, Ok-lihuciang. Aku adalah Pangeran Bharigan yang sengaja menyamar untuk melakukan penyelidikan sendiri ke arah timur. Tidak ada waktu untuk bicara panjang, kelak tentu kujelaskan semua kepada Maya-ciangkun”.

Seorang panglima datang berkuda. Dia segera melompat turun dari kudanya dan berlutut dengan sebelah kaki di depan Pangeran Bharigan.

"Lekas katakan mengapa engkau mundur menghadapi pasukan Sung!" Pangeran itu menegur dengan suara marah.

"Maaf, Pangeran. Terpaksa hamba menarik mundur barisan karena pihak musuh terlalu kuat, apalagi dipimpin oleh Jenderal Besar Suma Kiat dan pembantu-pembantunya yang berkepandaian tinggi."

Pangeran Bharigan mengelus dagunya, kemudian menoleh kepada Yan Hwa.
"Ok-li-huciang. Harap kau suka segera memberi laporan kepada Maya-li-ciangkun mengenai keadaan kami yang memerlukan bantuan segera."

"Baik, Cia.... eh, Pangeran Bharigan”,

Ok Yan Hwa meloncat ke atas kudanya dan membalap meninggalkan tempat itu, Ketika tiba di perkemahan Pasukan Maut, dengan singkat namun jelas dia menceritakan kepada Maya dan para perwira lain tentang keadaan barisan Mancu, tentang pihak musuh barisan Sung yang dipimpin Suma Kiat, dan tentang diri Cia Kim Seng yang ternyata adalah Pangeran Bharigan dari Kerajaan Mancu. Mendengar penuturan itu, Maya menjadi terheran-heran, juga kaget dan girang. Musuh besarnya, Suma Kiat, berada di depan!

"Bagus! Kita akan berpesta menghancurkan barisan Sung! Sungguh tidak kusangka bahwa penggembala domba itu ternyata seorang Pangeran Mancu!"

Pada saat Maya mempersiapkan pasukannya untuk membantu pasukan Mancu menggempur bala tentara Sung yang dipimpin oleh Jenderal Suma Kiat, tiba-tiba datang sebuah pasukan kecil, terdiri dari lima puluh orang. Maya menjadi girang ketika mendapat kenyataan bahwa pasukan kecil itu ternyata adalah pasukan yang dipimpin Can Ji Kun yang kembali dari timur setelah memenuhi tugasnya melapor kepada Panglima Laut Bu Gi Hoat yang memberontak terhadap Kerajaan Sung.

Hati Maya menjadi tegang dan memandang penuh perhatian kepada Ok Yan Hwa dan Can Ji Kun, suheng dan sumoi yang bertemu di tempat itu dan kini berdiri berhadapan saling pandang itu.

"Hemm...., kiranya engkau di sini?"

Terdengar Can Ji Kun menegur, pandang matanya tidak pernah melepaskan wajah sumoinya.

"Kalau engkau cukup berharga menjadi pembantu di sini, mengapa aku tidak?"

Ok Yan Hwa menjawab pula, suaranya mengandung ejekan dan tantangan, namun sinar matanya yang bersinar dan kedua pipi yang kemerahan itu tak dapat menyembunyikan rasa rindu dan senangnya berhadapan dengan pemuda tampan itu.

Dua orang ini aneh, pikir Maya. Untung bahwa saat itu mereka sedang sibuk menghadapi serbuan ke tempat musuh maka segala urusan pribadi dapat dikesampingkan. Maya lalu berkata,

"Ji Kun dan Yan Hwa, kalian adalah murid-murid tersayang dari Bibi Mutiara Hitam! Suma Kiat adalah musuh besar kita karena dialah yang menjadi biang keladinya sehingga Menteri Kam Liong, uwa guru kalian, tewas secara menyedihkan. Semenjak dahulu, keturunan Suma selalu melakukan kejahatan, dan kini tiba saatnya bagi kita untuk membersihkan dunia dari keturunan jahat itu. Ji Kun, engkau memimpin pasukan sayap kiri, dan Yan Hwa memimpin pasukan sayap kanan. Biar aku sendiri yang akan menghadapinya langsung dari depan bersama pasukan-pasukan Mancu. Kalian berdua jangan ikut menerjang maju karena tugas kalian hanya menjaga kalau Si Keparat itu melarikan diri. Kalian harus mencegahnya lolos dan begitu bertemu dengan dia, lepaskan panah api sebagai isyarat."

Kedua orang suheng dan sumoi itu mengangguk.
"Jangan khawatir, Si Tua Bangka, keparat Suma Kiat itu tentu akan tewas di tanganku!" kata Ji Kun sambil meraba gagang pedangnya.

"Belum tentu! Agaknya akulah yang akan berhasil menembuskan pedangku di jantungnya!" Yan Hwa tidak mau kalah.

Maya tersenyum.
"Kita sama lihat sajalah. Hanya, sebagai atasan kalian, aku tidak akan memberi ampun kalau sampai kalian memberi kesempatan kepadanya untuk lolos."

Setelah melepas pandang mata penuh wibawa dengan sinar tajam seperti menembus dada mereka, Maya lalu tersenyum dan berkata,

"Ji Kun, engkau baru datang, beristirahatlah. Aku akan mengatur barisan dan menjelang senja nanti kita berangkat."

Ji Kun mengangguk dan membalikkan tubuh menghadapi Yan Hwa. Kembali mereka itu saling pandang dengan sinar mata penuh rindu. Maya yang sudah meninggalkan mereka, tiba-tiba teringat akan pandang mata mereka itu, lalu menengok. Alisnya berkerut dan berbagai pertanyaan aneh timbul di hatinya ketika ia melihat kedua orang muda itu sambil berpegangan tangan, bergandeng memasuki tenda Yan Hwa!

Jelas sekali sikap mereka itu menunjukkan bahwa mereka saling mencinta! Memasuki perkemahan berdua dengan sikap seperti itu? Hemmm.... diam-diam Maya makin terheran-heran mengapa di samping menyerahkan Sepasang Pedang Iblis yang sungguh tidak pantas dipegang pendekar, juga agaknya bibinya, Mutiara Hitam, telah memberi pendidikan batin yang keliru sehingga kini kedua orang suheng dan sumoi itu agaknya saling mencinta, bukan seperti saudara seperguruan, melainkan seperti seorang pria dan wanita.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar