Ads

Jumat, 01 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 097

Hemmm.... tiba-tiba Maya merasa betapa mukanya panas. Mengapa dia merasa tidak senang? Apakah salahnya kalau Yan Hwa dan Ji Kun saling mencinta? Mereka adalah dua orang muda yang sama-sama tampan dan cantik, sama-sama gagah perkasa. Sedangkan dia sendiri...., dia pun jatuh cinta kepada Kam Han Ki, Suhengnya! Ah, betapapun juga, tidak seperti mereka berdua itu yang secara terang-terangan di siang hari memasuki perkemahan berdua! Sungguh tidak patut! Itu pelanggaran susila namanya! Belum menjadi suami isteri, di siang hari, di depan mata semua anggauta pasukan, memasuki perkemahan untuk bermain asmara! Benar-benar tidak pantas!

Akan tetapi...., apa pedulinya? Maya mengangkat kedua pundak dan mengusir bayangan kedua orang itu dari dalam kepalanya lalu menyibukkan diri untuk mengatur barisan yang senja itu juga akan diberangkatkan untuk bersama barisan Mancu menghantam pasukan Sung yang dipimpin oleh Jenderal Suma Kiat.

Barisan Mancu sendiri, setelah melihat kehadiran Pangeran Bharigan yang gagah perkasa dan yang kini langsung memimpin mereka sendiri, timbul semangat baru, apalagi ketika mendengar bahwa mereka kini dibantu oleh Pasukan Maut yang sudah amat terkenal dipimpin oleh panglima wanita bersama pembantu-pembantunya yang lihai.

Segera Pangeran Bharigan yang sudah mengadakan kontak dengan Maya, menyusun barisannya dan mengatur siasat yang sesuai dengan petunjuk Maya untuk bersama-sama menyerbu barisan Sung pada malam hari itu.

Bala tentara Sung yang dipimpin oleh Suma Kiat itu memang kuat. Bukan hanya lengkap peralatan perangnya, akan tetapi juga besar jumlahnya dan dipimpin sendiri oleh Suma Kiat yang bukan saja amat tinggi ilmu silatnya, juga amat pandai mengatur barisan dalam perang.

Apalagi, di sampingnya terdapat pembantu-pembantunya yang lihai, di antaranya yang menjadi pembantu utamanya adalah selir mudanya sendiri, selir cantik jelita yang amat dicintanya, yaitu Bu Ci Goat yang tak pernah terpisah dari sampingnya semenjak dahulu tertangkap basah bermain gila dengan puteranya, Suma Hoat yang kemudian diusirnya.

Bu Ci Goat yang telah mewarisi ilmu kepandaian Suma Kiat, bahkan memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada Siangkoan Lee murid tunggal jenderal itu, selain menjadi pembantu utama yang boleh diandalkan juga merupakan satu-satunya yang dapat menghibur dan menyenangkan hati Suma Kiat dimana dan kapan saja. Selain selir mudanya ini, tentu saja orang ke dua yang dapat ia andalkan adalah muridnya sendiri, Siangkoan Lee yang kini juga merupakan seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Semenjak Suma Kiat berhasil mempengaruhi Kaisar untuk mencelakai orang yang amat dibencinya, yaitu Menteri Kam Liong sehingga musuhnya itu tewas bersama muridnya, dikeroyok pasukan pengawal, Suma Kiat merasa hidupnya tidak tenang dan tidak tenteram lagi.

Kebenciannya terhadap Kam Liong yang sesungguhnya masih keluarganya sendiri adalah kebencian yang timbul semenjak dia masih muda, timbul perasaan mengiri dan karena dia selalu mempunyai anggapan bahwa keturunan Suling Emas adalah orang-orang yang selalu memusuhinya dan menghalanginya. Padahal Suling Emas adalah kakak ibunya sehingga keturunan Suling Emas adalah saudara-saudara misannya sendiri.

Dia tidak pernah mau mengerti bahwa keturunan Suling Emas memusuhi perbuatannya, menentang kejahatannya, bukan pribadinya. Keturunan Suling Emas adalah orang-orang yang berjiwa pendekar, terutama Menteri Kam Liong, sedangkan dia selalu mengumbar nafsu dan tidak segan melakukan perbuatan yang amat jahat (baca cerita MUTIARA HITAM).

Memang demikianlah keadaan manusia yang belum sadar batinnya, suka sekali untuk dapat mengenal kekurangan pada diri sendiri. Orang yang belum sadar selalu tinggi hati, terlalu tinggi menghargai diri sendiri, selalu merasa sebagai orang terbaik, terpandai dan segala sifat baik yaitu diawali "ter" lagi karena dia mempunyai perasaan lebih daripada siapa pun di dunia ini. Mereka paling pandai, paling baik, paling benar karena itu paling patut dianugerahi, paling patut dikasihani, dan lain-lain.

Orang yang belum sadar batinnya selalu mengemukakan kebaikan-kebaikan dirinya sehingga dia menjadi terbiasa dan mabok, tanpa disadarinya menyeret dia menjadi hamba nafsu keakuannya, pertimbangan akalnya miring dan budinya digelapkan. Sebaliknya, manusia yang sudah sadar batinnya akan selalu berhati-hati dalam setiap sepak terjangnya, setiap kata-katanya, selalu mawas diri dan meneliti diri pribadi agar setiap perbuatannya tidak akan menyusahkan atau merugikan lain orang hanya demi keuntungan diri sendiri.






Menilai diri sendiri lebih dulu yang dianggap jauh lebih penting daripada menilai diri orang lain dengan kesadaran bahwa sesungguhnya SUMBER SEGALA SESUATU YANG MELANDA DIRI BERADA DI DALAM HATI SENDIRI. Karena itu, seorang yang sudah sadar batinnya, setiap kali tertimpa sesuatu hal, baik yang menyenangkan maupun yang menyusahkan, selalu akan menjenguk ke dalam hati sendiri untuk mencari sebab musababnya sebelum mencari sebab-sebab itu di luar dirinya.

Ketika menteri Kam Liong masih ada, Suma Kiat yang menjadi jenderal dan menduduki kursi panglima itu merasa tidak bebas, seolah-olah sepasang mata saudara misannya yang tajam itu selalu mengikuti dan mengawasinya. Dia selalu beranggapan bahwa kalau Kam Liong sudah dibinasakan, tentu akan merasa senang dan bebas, merasa tidak ada musuhnya lagi.

Akan tetapi, setelah keadaan membantunya, yaitu keadaan yang ditimbulkan oleh hubungan cinta antara Kam Han Ki dan Sung Hong Kwi, sehingga dia berhasil melenyapkan Menteri Kam Liong yang dibencinya, bukan kesenangan dan kebebasan yang didapatnya, melainkan sebaliknya!

Kematian Menteri Kam Liong itu membangkitkan kemarahan di hati banyak pembesar dan terutama di hati orang-orang gagah di dunia kang-ouw sehingga Suma Kiat malah dimusuhi banyak orang! Sudah banyak orang gagah berusaha menjatuhkannya, dan biarpun dengan kepandaian dan kedudukannya, dia berhasil mengalahkan mereka, namun dia selalu merasa tidak tenteram dan tidak aman.

Pemberontakan-pemberontakan yang timbul karena terutama sekali disebabkan oleh kematian Menteri Kam Liong membuat Suma Kiat merasa kepalang untuk mundur, bahkan dia mempergunakan kesempatan itu untuk mencari kedudukan lebih tinggi dan jasa lebih besar di mata Kaisar, maka dia sendiri yang memimpin pasukan untuk membasmi para pemberontak.

Di dalam melaksanakan tugas ini pun dia selalu didampingi oleh selirnya yang tercinta dan dapat diandalkan, juga oleh muridnya, Siangkoan Lee. Dengan adanya dua orang pembantu ini, bersama pasukan yang kuat dan besar, dia merasa agak aman sungguhpun dia selalu berhati-hati meneliti para pembantu di kanan kirinya kalau-kalau ada diantara mereka yang menjadi pengagum mendiang Menteri Kam Liong dan merupakan orang berbahaya baginya.

Ketika tiba di perbatasan utara dan bertemu dengan barisan Mancu, tentu saja Suma Kiat segera mengerahkan pasukan-pasukannya dan berhasil memukul mundur barisan Mancu ke utara kembali. Kemenangan besar itu dirayakan oleh Suma Kiat dengan pesta dan pencatatan pahala bagi para perwira dan tentaranya, dan sehari itu dia sendiri bersenang-senang dengan Bu Cin Goat selirnya tercinta sambil memberi kesempatan kepada pasukan-pasukannya untuk beristirahat.

Namun penjagaan tetap dilakukan dengan ketat dan para penyelidiknya tetap melakukan penyelidikan di sekitar daerah itu untuk mengawasi gerak-gerik musuh . Tentu saja Suma Kiat yang memandang rendah pasukan Mancu itu tidak tahu bahwa pasukan yang telah dipukul mundur itu sehabis menderita kekalahan dari pasukan-pasukan Yucen, kini bangkit kembali semangatnya karena Pangeran Bharigan telah berada di tengah mereka, apalagi karena pasukan Mancu ini percaya akan kekuatan Pasukan Maut yang dipimpin Panglima Wanita Maya yang membantunya dan telah mengatur siasat untuk menyerbu barisan Sung di malam itu.

Yang didengar oleh Suma Kiat dari para penyelidiknya hanya bahwa pasukan Mancu kini tidak lagi melarikan diri, melainkan menghentikan gerakan mereka lari dan kini agaknya sedang menyusun kekuatan dan membuat perkemahan di lereng bukit. Mendengar itu Suma Kiat tertawa dan memberi perintah kepada para perwiranya,

"Biarkan mereka hari ini. Kalau kita menyerbu, selain pasukan kita masih lelah juga kedudukan mereka di lereng membuat mereka kuat dan tentu kita akan mengorbankan banyak perajurit. Biarkan perajurit-perajurit kita beristirahat. Tentu mereka malam ini akan melakukan penyerbuan balasan, dan kita akan siap untuk menyambut dan menghancurkan mereka. Ha-ha-ha!"

Setelah memberi perintah, Suma Kiat menggandeng tangan selirnya memasuki kamar. Setelah menutupkan pintu kamar, langsung ia memeluk, memondong dan menciumi Bu Ci Goat penuh nafsu, membawanya ke pembaringan.

Akan tetapi Ci Goat melepaskan diri dan berkata,
"Musuh menyusun kekuatan dan ada bahaya mereka menyerbu. Mengapa engkau hanya memikirkan senang-senang saja? Ini bukan waktunya untuk kita bersenang-senang."

Suma Kiat memandang selirnya yang muda, merangkulnya dan tertawa.
"Ah, mengapa engkau pusingkan hal itu? Melawan sekelompok anjing Mancu yang sudah kita pukul mundur, apa bahayanya? Biarkan mereka mengira bahwa kita lengah dan biarkan mereka malam ini menyerbu untuk menemukan maut, seperti sekumpulan nyamuk menerjang api, ha-ha-ha! Ci Goat, engkau semakin manis saja!"

Ia memeluk dan menciumi lagi, dan kini Ci Goat tidak menolak, bahkan membalas dengan belaian yang dapat memabokkan jenderal tua itu. Akan tetapi, sepasang alis wanita itu agak mengerut, dan dia tidak melayani pencurahan kasih sayang suaminya dengan sepenuh hati, karena hanya tubuhnya saja yang melayani, akan tetapi hati dan pikirannya penuh kecewa dan terbayanglah wajah tampan seorang perwira muda yang sebetulnya selama ini telah direncanakan untuk menjadi temannya melewatkan malam dingin!

Memang, di samping kecerdikan Suma Kiat sebagai seorang panglima perang, dia memiliki kelemahan dan menghadapi selir mudanya ini dia seolah-olah buta tidak melihat kenyataan betapa selirnya ini hanya berpura-pura saja puas mempunyai suami yang jauh lebih tua akan tetapi sebenarnya, secara diam-diam dia cerdik, setiap ada kesempatan, Bu Ci Goat selalu mencari teman bersenang-senang melewatkan malam dengan perwira-perwira muda yang jauh lebih muda, tampan dan memuaskan daripada suaminya!

Penyelewengan Bu Ci Goat ini hanya diketahui oleh Siangkoan Lee yang cerdik. Akan tetapi, orang muda muka buruk seperti kuda ini masih kalah cerdik oleh Bu Ci Goat dalam hal seperti itu. Dengan modal wajah cantik tubuh menggairahkan, Ci Goat berhasil membuat Siangkoan Lee terpeleset ke dalam pelukannya dan menikmati cinta kasih berahinya!

Hal ini bukan dilakukan oleh Ci Goat karena dia suka kepada Siangkoan Lee, sama sekali bukan. Mana mungkin seorang wanita hamba nafsu berahi seperti dia tertarik kepada seorang pemuda yang mukanya seperti kuda itu? Dia sengaja menyerahkan diri kepada Siangkoan Lee karena dia tahu bahwa murid suaminya ini telah mengetahui rahasia penyelewengannya. Sekali Siangkoan Lee telah diberi kesempatan bermain cinta dengannya, tentu saja pemuda ini tidak lagi berani mencoba untuk membuka rahasianya kepada Suma Kiat, karena dia sendiri merupakan seorang diantara mereka yang berani mencemarkan kehormatan sang Panglima!

Suma Kiat adalah seorang panglima perang yang cerdik, dan juga seorang yang memiliki ilmu silat tinggi. Tentu saja dia pun bukan tidak dapat menduga bahwa seorang wanita seperti Ci Goat yang pernah mengganggu putera tunggalnya sehingga puteranya itu dia usir, akan dapat melayani dia seorang diri tanpa jemu. Dia menduga bahwa kalau ada kesempatan pasti Ci Goat akan melampiaskan nafsu berahinya yang tak kunjung padam dan puas itu dengan pria-pria muda dan tampan. Akan tetapi, dia tidak mau peduli asal tidak menyolok di depan matanya!

Memang, seorang pria seperti Suma Kiat yang tak tahu diri, adalah sebodoh-bodohnya orang. Dia pun menjadi lengah oleh nafsu-nafsunya, tidak tahu bahwa di saat dia bersenang dengan selirnya, ada beberapa orang perwiranya yang mengadakan pertemuan rahasia dan saling berbisik-bisik mengatur rencana.

Mereka itu bukan lain adalah para perwira yang sudah terbujuk oleh tiga orang perwira tinggi, yaitu Ong Ki Bu, Cong Hai dan Kwee Tiang, tiga orang perwira yang dahulu pernah menjadi rekan Khu Tek San dan mereka ini diam-diam mendendam atas kematian Menteri Kam Liong dan perwira Khu Tek San. Mereka itu hanya menanti saat baik, dan mendengar betapa pihak Mancu mengadakan persiapan, diam-diam mereka menanti saat itu untuk mereka pergunakan apabila keadaan memungkinkan.

**** 097 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar